Seri Matius 4: Abraham, Sahabat Allah 2
[by: Fr.Daniel Byantoro]
Date: 18 Desember 2012
Shalom Alaikhem Be Shem Ha-Massiakh,
Saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus,
Dalam bagian 1 dari pembahasan kita tentang Abraham ini, telah kita pelajari bahwa Abraham telah dipilih Allah dipanggil keluar dari antara sanak keluarganya yang menyembah berhala, menuju ke tanah Kanaan agar menyembah “El Shaddai” yang tunggal saja, serta telah diangkat sebagai “Nabi” (Kejadian 20: 7) dan disebut sebagai “sahabat Allah” (Yakobus 2:23, II Tawarikh 20:7).
Dan kepadanya juga telah diberikan Perjanjian yang intinya adalah mengandung 3 unsur :
1) Perajnjian tentang Negeri.
2) Perjanjian tentang Bangsa dan Nama.
3) Perjanjian tentang Berkat bagi semua kaum di bumi melalui dia.
Di dalam pemahaman Islam Perjanjian tenatang tanah itu dikaitkan dengan tanah Arab dan Ka’bah, dan Perjanjian tentang bangsa itu dikaitkan dengan keturunan Ismail, yaitu bangsa Arab dimana Ka’bah berada, sehinga terkait dengan Agama Islam. Dengan demikan Agama Islam, menurut theologia Islam, dapat dikatakan sebagai isi Perjanjian Berkat/Rahmat bagi segenap manusia (“rahmatan lil alamin” = “rahmat bagi segenap alam” Surah 21 (Al-Anbiya ):107) melalui Abraham yang digenapi dengan datangnya Nabi Muhammad.
Namun Alkitab mengajarkan sesuatu yang berbeda, karena menurut Alkitab Perjanjian tentang “keturunan” itu diberikan oleh Allah kepada Abraham ketika Abraham masih hanya beristeri satu orang, sebelum dia menikah dengan Hagar, jadi anak perjanjian yang akan lahir itu logikanya haruslah yang berasal dari istri tuanya ini. Dan inilah yang diajarkan Alkitab, dan anak Perjanjian itulah “Ishak”. Oleh karena itu dalam silsilah Injil Matius ini, nama “Ismail” itu tidak disebutkan namun dikatakan: ”Abraham memperanakkan Ishak….” (Matius 1:2). Sehingga mengenai kedua anak Abraham itu Alkitab mengatakan: “….Abraham mempunyai dua anak (yaitu: Ismail dan Ishak), seorang dari perempuan yang menjadi hambanya (yaitu: Hagar) dan seorang dari perempuan yang merdeka (yaitu:Sarah)… anak dari perempuan yang menjadi hambanya itu (yaitu: Ismael) diperanakkan menurut daging (artinya: lahir bukan sebagai akibat dari perjanjian!!!) dan anak dari perempuan yang merdeka itu (yaitu: Ishak) oleh karena janji. Ini adalah suatu kiasan. Sebab kedua perempuan itu adalah dua ketentuan Allah…. Hagar ialah gunung Sinai di tanah Arab…… karena ia hidup dalam perhambaan dengan anak-anaknya…. Yerusalem sorgawi adalah perempuan yang merdeka, dan ialah ibu kita” (Galatia 4:22-26).
Dalam data Alkitab Perjanjian Allah kepada Abraham tentang keturunan yang akan lahir itu dinyatakan berulang-ulang oleh Allah kepada Abraham disamping Perjanjian yang telah disabdakan Allah sebelumnya (Kejadian 12:1-3), yang demikian bunyinya: ”Setelah Lot berpisah dari pada Abram, berfirmanlah TUHAN (Yahweh) kepada Abram: "Pandanglah sekelilingmu dan lihatlah dari tempat engkau berdiri itu ke timur dan barat, utara dan selatan, sebab seluruh negeri yang kaulihat itu akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu untuk selama-lamanya. Dan Aku akan menjadikan keturunanmu seperti debu tanah banyaknya, sehingga, jika seandainya ada yang dapat menghitung debu tanah, keturunanmupun akan dapat dihitung juga. Bersiaplah, jalanilah negeri itu menurut panjang dan lebarnya, sebab kepadamulah akan Kuberikan negeri itu." (Kejadian 13:14-17). Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa “negeri yang kaulihat itu akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu” serta “negeri itu menurut panjang dan lebarnya, sebab kepadamulah akan Kuberikan negeri itu”, itu adalah berbicara tentang negeri Kanaan. Karena negeri dimana Abraham telah melihatnya dan diperintahkan untuk menjalaninya itu adalah negeri Kanaan atau Tanah Israel, bukan negeri yang lain. Dan negeri inilah yang dijanjikan Allah untuk diberikan kepada “keturunan” (bahasa Ibrani “zera” = “benih” dalam bentuk tunggal, bukan “zeraim” = “benih-benih” dalam bentuk jamak) Abraham itu. Demikian juga kita dikatakan lagi: ”Lagi kata Abram: "Engkau tidak memberikan kepadaku keturunan, sehingga seorang hambaku nanti menjadi ahli warisku." Tetapi datanglah firman TUHAN kepadanya, demikian: "Orang ini tidak akan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu." Lalu TUHAN membawa Abram ke luar serta berfirman: "Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya." Maka firman-Nya kepadanya: "Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu." (Kejadian 15:3-5). Menurut ayat ini Allah menjanjikan “keturunan” kepada Abraham, yang adalah “anak kandung” nya sendiri, dan ia ini yang akan menjadi “ahli waris” Abraham.
Perkataan “ahli waris” disini bukan hanya ahli waris dalam arti yang akan memiliki harta benda dan kekayaan jasmani Abraham saja, namun lebih dari itu, ia akan mewarisi Perjanjian yang diberikan Allah kepada Abraham. Jadi sebenarnya ketika Perjanjian itu diberikan tidak ada dalam pikiran Abraham bahwa ia akan memiliki anak dengan wanita lain, karena hanya Sarah itulah isterinya. Namun sayang, justru Sarah itulah penyebab gara-gara suaminya ikut terpengaruh untuk tidak kokoh meyakini Perjanjian Allah, sehingga mengusulkan agar Abraham mengambil budak Sarah seorang gadis Mesir yang masih muda: Hagar. Dia minta suaminya berseketiduran dengan gadis ini bagi memiliki anak, bukan untuk si gadis ini, namun untuk Sarah, yang menurut sistem hukum zaman itu mungkin dilakukan, sebab budak itu dianggap sebagai harta-benda milik tuan atau nyonya-nya. Alkitab mengatakan: ”Adapun Sarai, isteri Abram itu, tidak beranak. Ia mempunyai seorang hamba perempuan, orang Mesir, Hagar namanya. Berkatalah Sarai kepada Abram: "Engkau tahu, TUHAN tidak memberi aku melahirkan anak. Karena itu baiklah hampiri hambaku itu; mungkin oleh dialah aku dapat memperoleh seorang anak." Dan Abram mendengarkan perkataan Sarai. Jadi Sarai, isteri Abram itu, mengambil Hagar, hambanya, orang Mesir itu, --yakni ketika Abram telah sepuluh tahun tinggal di tanah Kanaan--,lalu memberikannya kepada Abram, suaminya, untuk menjadi isterinya. Abram menghampiri Hagar, lalu mengandunglah perempuan itu. Ketika Hagar tahu, bahwa ia mengandung, maka ia memandang rendah akan nyonyanya itu.” (Kejadian 16: 1-4). Sarai , sebelum, namanya diubah Allah menjadi Sarah, tidak meyakini Perjanjian Allah dan tidak sabar menunggu Perjanjian itu, sehingga karena emosi dan rasa inginnya mempunyai anak, ia tak bertanya kepada Tuhan. Ia mengambil keputusan jalannya sendiri, bagi menggenapi Perjanjian Yahweh, tanpa bertanya kepadaNya. Dagingnya yang berbicara, bukan imannya. Akibatnya ia sodorkan hambanya pada Abraham, dan setelah budak itu mengandung “maka ia memandang rendah akan nyonyanya itu”. Dalam bahasa Jawa ada pepatah “Kere (orang gelandangan) munggah (naik) mbale (balai-balai atau ruang-tamu)”, dan inilah yang terjadi pada Hagar. Budak dinikahi majikannya sendiri, meskipun itu atas permintaan nyonyanya, maka ia jadi lupa diri, merasa mentang-mentang, nyonya yang telah mengangkat derajatnya, yang membuat dia dapat “munggah mbale” bukan saja dilupakan, namun ia malahan “memandang rendah” nyona besarnya sendiri. Menggunakan kebaikan orang lain hanya untuk bisa naik dalam tanggga kehidupan, lalu orang yang menolong bukan saja dilupakan tetapi malahan ditohok dari belakang, dan dijatuhkan, dijelek-jelekkan, digossipkan, dan dirusak namanya demi ambisi diri untuk makin menjadi besar, adalah suatu watak rendah dan tak berbudi. Tetapi kasus kisah kita ini, memang itu buah yang harus dipetik Sarai karena ia tak mempercayai Perjanjian Tuhan, namun sayangnya “Abram mendengarkan perkataan Sarai.” juga. Kesalahan mereka berdua, sampai terlahirnya jabang bayi Ismael itu.
Namun Sarai tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sakit hatinya diperlakukan secara tidak menyenangkan oleh “madu” nya itu ditimpakan kepada suaminya Abram, sebelum namanya diubah Allah menjadi Abraham itu: ”Lalu berkatalah Sarai kepada Abram: "Penghinaan yang kuderita ini adalah tanggung jawabmu; akulah yang memberikan hambaku ke pangkuanmu, tetapi baru saja ia tahu, bahwa ia mengandung, ia memandang rendah akan aku; TUHAN kiranya yang menjadi Hakim antara aku dan engkau." (Kejadian 16:5). Kelihatannya dari episode ini, kita melihat Abraham sebagai suami yang lemah dalam menghadapi isterinya, atau karena terlalu cintanya isterinya itu, sehingga apa saja yang diminta diikuti, akhirnya menimbulkan malapetaka bagi kemanusiaan sampai kini. Suami harus menjadi Imam dalam keluarga (Efesus 5:23,25; I Korintus 14:34-35) dengan penuh hormat dan kasih (Efesus 5:25, I Petrus 3:7) jangan semua apa yang diminta isterinya yang tidak menuntun kepada kesalehan dan kebaikan dituruti, bisa berbahaya bagi keluarga dan bagi orang lain sikap suami yang demikian ini. Abraham sebagai Imam keluarga, dan sebagai suami bukannya mengingatkan,mengarahkan dan menasihati isterinya sebagaimana seharusnya sikap seorang suami (I Korintus 14:34-35), malah ia mengikuti kemauan isterinya sehingga bertindak tidak adil kepada Hagar: ”Kata Abram kepada Sarai: "Hambamu itu di bawah kekuasaanmu; perbuatlah kepadanya apa yang kaupandang baik." Lalu Sarai menindas Hagar, sehingga ia lari meninggalkannya.” (Kejadian 16:6). Kelihatannya Abraham ini menjadi anggota kelompok “BTI” (“ Barisan Takut Isteri”), sehingga mengorbankan apa yang benar dan adil demi menyenangkan isterinya. Para suami harus mencatat teladan yang keliru dari Abraham ini, supaya dijauhi. Para isteri jangan tekan suamimu hanya untuk menuruti kemauanmu. Hormati dia sebagai Imam dalam rumah tangga (Efesus 5:24), jangan hanya maumu saja yang ingin dipenuhi! Peristiwa Hagar ini adalah suatu kecelakaan sejarah dalam kehidupan Abraham, bukan termasuk dalam skenario ilahi, meskipun dalam ke-Maha-Tahu-anNya Allah tahu bahwa Abraham dan Sarah akan mengambil keputusan yang salah ini, namun Allah tak mengintervensi kehendak bebas manusia.
Bahwa “keturunan “ yang dimaksud itu memang bukan anak yang berasal dari Hagar terbukti dengan diulangnya kembali Perjanjian tentang keturunan itu kepada Abraham, setelah terjadinya episode mengandungnya Hagar itu, sebagaimana dikatakan : ”Ketika Abram berumur sembilan puluh sembilan tahun, maka TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman kepadanya: "Akulah Allah Yang Mahakuasa (El-Shaddai), hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela. Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau, dan Aku akan membuat engkau sangat banyak." Lalu sujudlah Abram, dan Allah berfirman kepadanya. Dari pihak-Ku, inilah perjanjian-Ku dengan engkau: Engkau akan menjadi bapa sejumlah besar bangsa. Karena itu namamu bukan lagi Abram, melainkan Abraham, karena engkau telah Kutetapkan menjadi bapa sejumlah besar bangsa. Aku akan membuat engkau beranak cucu sangat banyak; engkau akan Kubuat menjadi bangsa-bangsa, dan dari padamu akan berasal raja-raja. Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu. Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka." (Kejadian 17: 1-8). Isi Perjanjian Allah dengan Abraham ini tetap berkisar pada masalah “keturunan” (“zera”), karena hanya dengan adanya “keturunan” tadi Abraham dapat berkembang menjadi “bapa sejumlah besar bangsa. Itulah sebabnya namanya diubah dari “Abram” (“Bapa Yang Tinggi”) menjadi “Abraham” (Ab = Abba= Bapa/ Raham = Sejumlah Besar Orang). Disamping mengenai “keturunan” isi Perjanjian itu menyangkut “negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan” yaitu bumi Israel. Memang tempat tinggal diperlukan kalau keturunan Abraham menjadi banyak. Dan kepada keturunan yang akan tinggal di Tanah Perjanjian inilah, Allah mengatakan “Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu.” atau “Aku akan menjadi Allah mereka”, artinya keturunan Abraham akan memiliki ikatan Perjanjian yang Khusus dengan Allah, yaitu menjadi bangsa pilihan, umat Allah milik Allah sendiri, yaitu bangsa Israel sebagai anak-anak Abraham secara jasmani, dalam Perjanjian Lama (Keluaran 19:5-6), dan Gereja, yaitu “Israel milik Allah” (Galatia 6:16) sebagai anak-anak Abraham secara rohani, dalam Perjanjian Baru (I Petrus 2:9).
Lebih jauh dijelaskan bahwa keturunan yang menurut Perjanjian Allah, itu harus yang berasal dari Ishak dikatakan demikian oleh Kitab Suci: “Selanjutnya Allah berfirman kepada Abraham: "Tentang isterimu Sarai, janganlah engkau menyebut dia lagi Sarai, tetapi Sara, itulah namanya. Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya." Lalu tertunduklah Abraham dan tertawa serta berkata dalam hatinya: "Mungkinkah bagi seorang yang berumur seratus tahun dilahirkan seorang anak dan mungkinkah Sara, yang telah berumur sembilan puluh tahun itu melahirkan seorang anak?" Dan Abraham berkata kepada Allah: "Ah, sekiranya Ismael diperkenankan hidup di hadapan-Mu!" (Kejadian 17: 15-18). Allah dalam PerjanjianNya tak pernah membahas status Hagar kepada Abraham, karena Hagar bukanlah ibu dari anak Perjanjian itu, dan Hagar bukanlah Permaisuri, bukan “Ratu”, bukan “Sarah”. Tetapi dengan Sarah, Allah memberikan status yang sama dengan Abraham, dimana kedua-duanya diberi nama baru, yang tadinya ibu anak Perjanjian itu bernama “Sarai” (“Bersifat Ke-Putri-an”) sekarang menjadi “Sarah/Sara” (“Sang Putri”/”Sang Ratu”) karena ia akan menjadi “ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya” , dimulai dengan lahirnya Ishak melaluinya, sebagaimana Abram juga menjadi “Abraham” (Bapa Sejumlah Besar Orang), karena ia akan “menjadi bapa sejumlah besar bangsa” dan “engkau akan Kubuat menjadi bangsa-bangsa, dan dari padamu akan berasal raja-raja”, melalui Ishak anak Sarah itu.
Penegasan bahwa anak Perjanjian itu memang harus datang melalui melalui Ishak ini dilakukan Allah untuk yang terakhir kalinya ketika Yahweh menampakkan diri bersama dengan dua orang malaikatNya kepada Abraham demikian: ”Kemudian TUHAN menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon tarbantin di Mamre, sedang ia duduk di pintu kemahnya waktu hari panas terik. Ketika ia mengangkat mukanya, ia melihat tiga orang berdiri di depannya. Sesudah dilihatnya mereka, ia berlari dari pintu kemahnya menyongsong mereka, lalu sujudlah ia sampai ke tanah,……. Dan firman-Nya: "Sesungguhnya Aku akan kembali tahun depan mendapatkan engkau, pada waktu itulah Sara, isterimu, akan mempunyai seorang anak laki-laki." Dan Sara mendengarkan pada pintu kemah yang di belakang-Nya. Adapun Abraham dan Sara telah tua dan lanjut umurnya dan Sara telah mati haid. Jadi tertawalah Sara dalam hatinya, katanya: "Akan berahikah aku, setelah aku sudah layu, sedangkan tuanku sudah tua?" Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Abraham: "Mengapakah Sara tertawa dan berkata: Sungguhkah aku akan melahirkan anak, sedangkan aku telah tua? Adakah sesuatu apapun yang mustahil untuk TUHAN? Pada waktu yang telah ditetapkan itu, tahun depan, Aku akan kembali mendapatkan engkau, pada waktu itulah Sara mempunyai seorang anak laki-laki." (Kejadian 18: 1-2, 10-14). Dari semua data yang ada dalan Kitab Suci ini jelaslah bahwa “keturunan” Abraham yang dimaksud itu memang lahir dari Sara, yaitu Ishak, dan bukan dari Hagar, yaitu Ismael Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh sabda Allah kepada Abraham, ketika Abraham memohon kepada Allah: ”Dan Abraham berkata kepada Allah: "Ah, sekiranya Ismael diperkenankan hidup di hadapan-Mu!" (Kejadian 17:18). Permohonan Abraham ini dilakukan setelah Allah memberitahu bahwa Sara akan melahirkan anak dalam ayat-ayat sebelumnya yang telah kita kutip diatas. Dari kacamata manusiawi dapat dimengerti bahwa Abraham menyayangi Ismael, karena memang dia itu anaknya juga, meskipun lahir dari seorang budak. Namun dari kacamata rencana Ilahi, dan Perjanjian Allah, pastilah tidak demikian. Karena sebelum Ismael lahir, Perjanjian itu sudah ada dulu, dan waktu Perjanjian dibuat Abraham memang dimaksudkan memiliki anak dengan Sarai. Hagar tidak masuk hitungan dalam Perjanjian tadi, karena Hagar belum muncul dalam skenario sejarah hidup Abraham. Berarti lahirnya Ismael memang bukan yang dimaksudkan Allah dalam Perjanjian itu, meskipun ditoleransi. Allah tetap bertahan pada PerjanjianNya, sebab Allah itu tak bersifat plin-plan, dan tidak tunduk pada pikiran Abraham yang berubah-ubah itu. Oleh karenanya jawab Allah atas permohonan Abraham itu tegas tanpa kompromi, yaitu: ”Tetapi Allah berfirman: "Tidak, melainkan isterimu Saralah yang akan melahirkan anak laki-laki bagimu, dan engkau akan menamai dia Ishak, dan Aku akan mengadakan perjanjian-Ku dengan dia menjadi perjanjian yang kekal untuk keturunannya.” (Kejadian 17:19). Dari ayat ini jelas bahwa dengan Ishak, bukan dengan Ismael, yang lahir melalui Sara, bukan melalui Hagar, itulah, Allah mengatakan “Aku akan mengadakan perjanjian-Ku dengan dia menjadi perjanjian yang kekal untuk keturunannya”. Jadi anak Perjanjian itu adalah Ishak, dan Perjanjian kekal itu adalah dengan Ishak, tetapi bukan untuk dirinya sendiri melainkan “untuk keturunannya” (sekali lagi “zera” = benih, dalam bentuk tunggal). Dan itulah sebabnya ditegaskan lagi oleh Allah sendiri bahwa “yang akan disebut keturunan (“zera”) mu ialah yang berasal dari Ishak.” (Kejadian 21:12c). Penekanan kepada “keturunan” (“benih”) ini penting sekali untuk dimengerti, karena ketika Allah menjanjikan kepada Abraham bahwa “olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." (Kejadian 12:3c), maka dengan berkembangnya waktu makin dijelaskan bahwa berkat untuk “kaum di muka bumi” yang akan terjadi “olehmu” yaitu “oleh”, “melalui”, dan “didalam” Abraham itu, ternyata bukan oleh Abraham secara pribadi, namun “Oleh keturunanmu (“zera”) lah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku." (Kejadian 22:18). Ini dikatakan oleh Allah setelah Abraham taat perintah Yahweh (Kejadian 22:3-9) untuk mengorbankan anaknya yang tunggal (Kejadian 22:1-2), karena waktu terjadinya perintah pengorbanan ini Ismael sudah tidak bersama Ishak lagi (Kejadian 21: 14-21) dan juga bahwa hanya Ishaklah anak Perjanjian satu-satunya. Dimana dikatakan: ”Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya. Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: "Abraham, Abraham." Sahutnya: "Ya, Tuhan." Lalu Ia berfirman: "Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku." Lalu Abraham menoleh dan melihat seekor domba jantan di belakangnya, yang tanduknya tersangkut dalam belukar. Abraham mengambil domba itu, lalu mengorbankannya sebagai korban bakaran pengganti anaknya.” (Kejadian 22: 10-13). Peristiwa pengorbanan Ishak ini adalah tipologi dari pengorbanan Kristus diatas Salib.
Pernyataan Malaikat TUHAN (Malak Yaweh) yaitu Sang Firman Allah sebelum menjadi manusia Yesus Kristus, bahwa Abraham “tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku.” itu adalah typologi dari “Ia (Bapa), yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua” (Roma 8:32). Dan perintah "Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia,” itu adalah tipologi dari kita sebagai orang berdosa yang seharusnya mati, karena upah dosa itu adalah maut, dilepaskan dari kuasa maut itu. Dan pelepasan dari maut terjadi karena “seekor domba jantan“ yang adalah tipologi dari “Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia.” (Yohanes 1:29), yaitu Yoshua Ha-Massiakh sendiri yang mengatakan bahwa Dia datang: ”untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Markus 10:45). Sedangkan “tanduknya tersangkut dalam belukar.” itu adalah tipologi dari prajurit-prajurit Romawi “menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya di atas kepala-Nya.” (Markus 15:17). Dan yang terakhir ungkapan “Abraham mengambil domba itu, lalu mengorbankannya sebagai korban bakaran pengganti anaknya” ini adalah tipologi dari “Kristus telah mati karena dosa-dosa kita” (I Korintus 15: 3b), serta “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” ( II Korintus 5:19). Karena kaitan Perjanjian berkat bagi umat manusia yang dikatakan oleh kepada Abraham: “Oleh keturunanmu (“zera”) lah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat,” terkait dengan nubuat-tipologis dari Pengorbanan Kristus diatas Salib, maka tak heranlah kita bahwa kata “zera” (“benih”) yang menunjuk kepada “keturunan” Abraham itu dijelaskan oleh Kitab Suci demikian: ”Adapun kepada Abraham diucapkan segala janji itu dan kepada keturunannya. Tidak dikatakan "kepada keturunan-keturunannya" seolah-olah dimaksud banyak orang, tetapi hanya satu orang: "dan kepada keturunanmu", yaitu Kristus.” (Galatia 3:16), Kita sudah sampai kepada kesimpulannya bahwa selama ini Perjanjian Allah dengan Abraham itu terkait dengan “keturunan” (“zera”) yaitu hanya “satu orang” saja, bukan dengan “keturunan-keturunan” yang jumlahnya banyak orang, dan ternyata keturunan yang hanya “satu orang” itu adalah Kristus sendiri. Itulah sebabnya Kristus itu memang keturunan Abraham itu, tetapi keturunan yang melalui Ishak, bukan melalui Ismael sebab “yang akan disebut keturunan (“zera”) mu ialah yang berasal dari Ishak.” (Kejadian 21:12c), serta “perjanjian-Ku dengan dia (Ishak) menjadi perjanjian yang kekal untuk keturunan (“zera”) nya (yang adalah: Kristus, Ha Massiakh).” (Kejadian 17:19).
Perjanijian berkat Allah yang kekal bagi segenap umat di bumi itu adalah Perjanjian di dalam Kristus, yaitu Perjanjian Keselamatan. Itulah sebabnya kita makin disadarkan betapa agungnya misteri kedatangan Kristus yang akan kita rayakan dalam masa Natal beberapa hari lagi ke depan ini. Kita telah persiapkan diri melalui puasa “Milad Al-Masih” ini, sehingga waktu kita merayakan Milad/Kelahiran itu nanti, bukan pesta-pestanya atau hura-huranya yang kita ingat namun penggenapan Perjanjian yang mengikat kita dengan Perjanjian Allah yang kekal bagi keselamatan kita, yang digenapi melalui kedatangan Kristus ke dunia ini yang harus menjadi renungan kita yang mendalam.
Next: Seri Matius 5: Abraham, Sahabat Allah 3
Shalom Alaikhem Be Shem Ha-Massiakh,
Saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus,
Dalam bagian 1 dari pembahasan kita tentang Abraham ini, telah kita pelajari bahwa Abraham telah dipilih Allah dipanggil keluar dari antara sanak keluarganya yang menyembah berhala, menuju ke tanah Kanaan agar menyembah “El Shaddai” yang tunggal saja, serta telah diangkat sebagai “Nabi” (Kejadian 20: 7) dan disebut sebagai “sahabat Allah” (Yakobus 2:23, II Tawarikh 20:7).
Dan kepadanya juga telah diberikan Perjanjian yang intinya adalah mengandung 3 unsur :
1) Perajnjian tentang Negeri.
2) Perjanjian tentang Bangsa dan Nama.
3) Perjanjian tentang Berkat bagi semua kaum di bumi melalui dia.
Di dalam pemahaman Islam Perjanjian tenatang tanah itu dikaitkan dengan tanah Arab dan Ka’bah, dan Perjanjian tentang bangsa itu dikaitkan dengan keturunan Ismail, yaitu bangsa Arab dimana Ka’bah berada, sehinga terkait dengan Agama Islam. Dengan demikan Agama Islam, menurut theologia Islam, dapat dikatakan sebagai isi Perjanjian Berkat/Rahmat bagi segenap manusia (“rahmatan lil alamin” = “rahmat bagi segenap alam” Surah 21 (Al-Anbiya ):107) melalui Abraham yang digenapi dengan datangnya Nabi Muhammad.
Namun Alkitab mengajarkan sesuatu yang berbeda, karena menurut Alkitab Perjanjian tentang “keturunan” itu diberikan oleh Allah kepada Abraham ketika Abraham masih hanya beristeri satu orang, sebelum dia menikah dengan Hagar, jadi anak perjanjian yang akan lahir itu logikanya haruslah yang berasal dari istri tuanya ini. Dan inilah yang diajarkan Alkitab, dan anak Perjanjian itulah “Ishak”. Oleh karena itu dalam silsilah Injil Matius ini, nama “Ismail” itu tidak disebutkan namun dikatakan: ”Abraham memperanakkan Ishak….” (Matius 1:2). Sehingga mengenai kedua anak Abraham itu Alkitab mengatakan: “….Abraham mempunyai dua anak (yaitu: Ismail dan Ishak), seorang dari perempuan yang menjadi hambanya (yaitu: Hagar) dan seorang dari perempuan yang merdeka (yaitu:Sarah)… anak dari perempuan yang menjadi hambanya itu (yaitu: Ismael) diperanakkan menurut daging (artinya: lahir bukan sebagai akibat dari perjanjian!!!) dan anak dari perempuan yang merdeka itu (yaitu: Ishak) oleh karena janji. Ini adalah suatu kiasan. Sebab kedua perempuan itu adalah dua ketentuan Allah…. Hagar ialah gunung Sinai di tanah Arab…… karena ia hidup dalam perhambaan dengan anak-anaknya…. Yerusalem sorgawi adalah perempuan yang merdeka, dan ialah ibu kita” (Galatia 4:22-26).
Dalam data Alkitab Perjanjian Allah kepada Abraham tentang keturunan yang akan lahir itu dinyatakan berulang-ulang oleh Allah kepada Abraham disamping Perjanjian yang telah disabdakan Allah sebelumnya (Kejadian 12:1-3), yang demikian bunyinya: ”Setelah Lot berpisah dari pada Abram, berfirmanlah TUHAN (Yahweh) kepada Abram: "Pandanglah sekelilingmu dan lihatlah dari tempat engkau berdiri itu ke timur dan barat, utara dan selatan, sebab seluruh negeri yang kaulihat itu akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu untuk selama-lamanya. Dan Aku akan menjadikan keturunanmu seperti debu tanah banyaknya, sehingga, jika seandainya ada yang dapat menghitung debu tanah, keturunanmupun akan dapat dihitung juga. Bersiaplah, jalanilah negeri itu menurut panjang dan lebarnya, sebab kepadamulah akan Kuberikan negeri itu." (Kejadian 13:14-17). Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa “negeri yang kaulihat itu akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu” serta “negeri itu menurut panjang dan lebarnya, sebab kepadamulah akan Kuberikan negeri itu”, itu adalah berbicara tentang negeri Kanaan. Karena negeri dimana Abraham telah melihatnya dan diperintahkan untuk menjalaninya itu adalah negeri Kanaan atau Tanah Israel, bukan negeri yang lain. Dan negeri inilah yang dijanjikan Allah untuk diberikan kepada “keturunan” (bahasa Ibrani “zera” = “benih” dalam bentuk tunggal, bukan “zeraim” = “benih-benih” dalam bentuk jamak) Abraham itu. Demikian juga kita dikatakan lagi: ”Lagi kata Abram: "Engkau tidak memberikan kepadaku keturunan, sehingga seorang hambaku nanti menjadi ahli warisku." Tetapi datanglah firman TUHAN kepadanya, demikian: "Orang ini tidak akan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu." Lalu TUHAN membawa Abram ke luar serta berfirman: "Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya." Maka firman-Nya kepadanya: "Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu." (Kejadian 15:3-5). Menurut ayat ini Allah menjanjikan “keturunan” kepada Abraham, yang adalah “anak kandung” nya sendiri, dan ia ini yang akan menjadi “ahli waris” Abraham.
Perkataan “ahli waris” disini bukan hanya ahli waris dalam arti yang akan memiliki harta benda dan kekayaan jasmani Abraham saja, namun lebih dari itu, ia akan mewarisi Perjanjian yang diberikan Allah kepada Abraham. Jadi sebenarnya ketika Perjanjian itu diberikan tidak ada dalam pikiran Abraham bahwa ia akan memiliki anak dengan wanita lain, karena hanya Sarah itulah isterinya. Namun sayang, justru Sarah itulah penyebab gara-gara suaminya ikut terpengaruh untuk tidak kokoh meyakini Perjanjian Allah, sehingga mengusulkan agar Abraham mengambil budak Sarah seorang gadis Mesir yang masih muda: Hagar. Dia minta suaminya berseketiduran dengan gadis ini bagi memiliki anak, bukan untuk si gadis ini, namun untuk Sarah, yang menurut sistem hukum zaman itu mungkin dilakukan, sebab budak itu dianggap sebagai harta-benda milik tuan atau nyonya-nya. Alkitab mengatakan: ”Adapun Sarai, isteri Abram itu, tidak beranak. Ia mempunyai seorang hamba perempuan, orang Mesir, Hagar namanya. Berkatalah Sarai kepada Abram: "Engkau tahu, TUHAN tidak memberi aku melahirkan anak. Karena itu baiklah hampiri hambaku itu; mungkin oleh dialah aku dapat memperoleh seorang anak." Dan Abram mendengarkan perkataan Sarai. Jadi Sarai, isteri Abram itu, mengambil Hagar, hambanya, orang Mesir itu, --yakni ketika Abram telah sepuluh tahun tinggal di tanah Kanaan--,lalu memberikannya kepada Abram, suaminya, untuk menjadi isterinya. Abram menghampiri Hagar, lalu mengandunglah perempuan itu. Ketika Hagar tahu, bahwa ia mengandung, maka ia memandang rendah akan nyonyanya itu.” (Kejadian 16: 1-4). Sarai , sebelum, namanya diubah Allah menjadi Sarah, tidak meyakini Perjanjian Allah dan tidak sabar menunggu Perjanjian itu, sehingga karena emosi dan rasa inginnya mempunyai anak, ia tak bertanya kepada Tuhan. Ia mengambil keputusan jalannya sendiri, bagi menggenapi Perjanjian Yahweh, tanpa bertanya kepadaNya. Dagingnya yang berbicara, bukan imannya. Akibatnya ia sodorkan hambanya pada Abraham, dan setelah budak itu mengandung “maka ia memandang rendah akan nyonyanya itu”. Dalam bahasa Jawa ada pepatah “Kere (orang gelandangan) munggah (naik) mbale (balai-balai atau ruang-tamu)”, dan inilah yang terjadi pada Hagar. Budak dinikahi majikannya sendiri, meskipun itu atas permintaan nyonyanya, maka ia jadi lupa diri, merasa mentang-mentang, nyonya yang telah mengangkat derajatnya, yang membuat dia dapat “munggah mbale” bukan saja dilupakan, namun ia malahan “memandang rendah” nyona besarnya sendiri. Menggunakan kebaikan orang lain hanya untuk bisa naik dalam tanggga kehidupan, lalu orang yang menolong bukan saja dilupakan tetapi malahan ditohok dari belakang, dan dijatuhkan, dijelek-jelekkan, digossipkan, dan dirusak namanya demi ambisi diri untuk makin menjadi besar, adalah suatu watak rendah dan tak berbudi. Tetapi kasus kisah kita ini, memang itu buah yang harus dipetik Sarai karena ia tak mempercayai Perjanjian Tuhan, namun sayangnya “Abram mendengarkan perkataan Sarai.” juga. Kesalahan mereka berdua, sampai terlahirnya jabang bayi Ismael itu.
Namun Sarai tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sakit hatinya diperlakukan secara tidak menyenangkan oleh “madu” nya itu ditimpakan kepada suaminya Abram, sebelum namanya diubah Allah menjadi Abraham itu: ”Lalu berkatalah Sarai kepada Abram: "Penghinaan yang kuderita ini adalah tanggung jawabmu; akulah yang memberikan hambaku ke pangkuanmu, tetapi baru saja ia tahu, bahwa ia mengandung, ia memandang rendah akan aku; TUHAN kiranya yang menjadi Hakim antara aku dan engkau." (Kejadian 16:5). Kelihatannya dari episode ini, kita melihat Abraham sebagai suami yang lemah dalam menghadapi isterinya, atau karena terlalu cintanya isterinya itu, sehingga apa saja yang diminta diikuti, akhirnya menimbulkan malapetaka bagi kemanusiaan sampai kini. Suami harus menjadi Imam dalam keluarga (Efesus 5:23,25; I Korintus 14:34-35) dengan penuh hormat dan kasih (Efesus 5:25, I Petrus 3:7) jangan semua apa yang diminta isterinya yang tidak menuntun kepada kesalehan dan kebaikan dituruti, bisa berbahaya bagi keluarga dan bagi orang lain sikap suami yang demikian ini. Abraham sebagai Imam keluarga, dan sebagai suami bukannya mengingatkan,mengarahkan dan menasihati isterinya sebagaimana seharusnya sikap seorang suami (I Korintus 14:34-35), malah ia mengikuti kemauan isterinya sehingga bertindak tidak adil kepada Hagar: ”Kata Abram kepada Sarai: "Hambamu itu di bawah kekuasaanmu; perbuatlah kepadanya apa yang kaupandang baik." Lalu Sarai menindas Hagar, sehingga ia lari meninggalkannya.” (Kejadian 16:6). Kelihatannya Abraham ini menjadi anggota kelompok “BTI” (“ Barisan Takut Isteri”), sehingga mengorbankan apa yang benar dan adil demi menyenangkan isterinya. Para suami harus mencatat teladan yang keliru dari Abraham ini, supaya dijauhi. Para isteri jangan tekan suamimu hanya untuk menuruti kemauanmu. Hormati dia sebagai Imam dalam rumah tangga (Efesus 5:24), jangan hanya maumu saja yang ingin dipenuhi! Peristiwa Hagar ini adalah suatu kecelakaan sejarah dalam kehidupan Abraham, bukan termasuk dalam skenario ilahi, meskipun dalam ke-Maha-Tahu-anNya Allah tahu bahwa Abraham dan Sarah akan mengambil keputusan yang salah ini, namun Allah tak mengintervensi kehendak bebas manusia.
Bahwa “keturunan “ yang dimaksud itu memang bukan anak yang berasal dari Hagar terbukti dengan diulangnya kembali Perjanjian tentang keturunan itu kepada Abraham, setelah terjadinya episode mengandungnya Hagar itu, sebagaimana dikatakan : ”Ketika Abram berumur sembilan puluh sembilan tahun, maka TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman kepadanya: "Akulah Allah Yang Mahakuasa (El-Shaddai), hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela. Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau, dan Aku akan membuat engkau sangat banyak." Lalu sujudlah Abram, dan Allah berfirman kepadanya. Dari pihak-Ku, inilah perjanjian-Ku dengan engkau: Engkau akan menjadi bapa sejumlah besar bangsa. Karena itu namamu bukan lagi Abram, melainkan Abraham, karena engkau telah Kutetapkan menjadi bapa sejumlah besar bangsa. Aku akan membuat engkau beranak cucu sangat banyak; engkau akan Kubuat menjadi bangsa-bangsa, dan dari padamu akan berasal raja-raja. Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu. Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka." (Kejadian 17: 1-8). Isi Perjanjian Allah dengan Abraham ini tetap berkisar pada masalah “keturunan” (“zera”), karena hanya dengan adanya “keturunan” tadi Abraham dapat berkembang menjadi “bapa sejumlah besar bangsa. Itulah sebabnya namanya diubah dari “Abram” (“Bapa Yang Tinggi”) menjadi “Abraham” (Ab = Abba= Bapa/ Raham = Sejumlah Besar Orang). Disamping mengenai “keturunan” isi Perjanjian itu menyangkut “negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan” yaitu bumi Israel. Memang tempat tinggal diperlukan kalau keturunan Abraham menjadi banyak. Dan kepada keturunan yang akan tinggal di Tanah Perjanjian inilah, Allah mengatakan “Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu.” atau “Aku akan menjadi Allah mereka”, artinya keturunan Abraham akan memiliki ikatan Perjanjian yang Khusus dengan Allah, yaitu menjadi bangsa pilihan, umat Allah milik Allah sendiri, yaitu bangsa Israel sebagai anak-anak Abraham secara jasmani, dalam Perjanjian Lama (Keluaran 19:5-6), dan Gereja, yaitu “Israel milik Allah” (Galatia 6:16) sebagai anak-anak Abraham secara rohani, dalam Perjanjian Baru (I Petrus 2:9).
Lebih jauh dijelaskan bahwa keturunan yang menurut Perjanjian Allah, itu harus yang berasal dari Ishak dikatakan demikian oleh Kitab Suci: “Selanjutnya Allah berfirman kepada Abraham: "Tentang isterimu Sarai, janganlah engkau menyebut dia lagi Sarai, tetapi Sara, itulah namanya. Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya." Lalu tertunduklah Abraham dan tertawa serta berkata dalam hatinya: "Mungkinkah bagi seorang yang berumur seratus tahun dilahirkan seorang anak dan mungkinkah Sara, yang telah berumur sembilan puluh tahun itu melahirkan seorang anak?" Dan Abraham berkata kepada Allah: "Ah, sekiranya Ismael diperkenankan hidup di hadapan-Mu!" (Kejadian 17: 15-18). Allah dalam PerjanjianNya tak pernah membahas status Hagar kepada Abraham, karena Hagar bukanlah ibu dari anak Perjanjian itu, dan Hagar bukanlah Permaisuri, bukan “Ratu”, bukan “Sarah”. Tetapi dengan Sarah, Allah memberikan status yang sama dengan Abraham, dimana kedua-duanya diberi nama baru, yang tadinya ibu anak Perjanjian itu bernama “Sarai” (“Bersifat Ke-Putri-an”) sekarang menjadi “Sarah/Sara” (“Sang Putri”/”Sang Ratu”) karena ia akan menjadi “ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya” , dimulai dengan lahirnya Ishak melaluinya, sebagaimana Abram juga menjadi “Abraham” (Bapa Sejumlah Besar Orang), karena ia akan “menjadi bapa sejumlah besar bangsa” dan “engkau akan Kubuat menjadi bangsa-bangsa, dan dari padamu akan berasal raja-raja”, melalui Ishak anak Sarah itu.
Penegasan bahwa anak Perjanjian itu memang harus datang melalui melalui Ishak ini dilakukan Allah untuk yang terakhir kalinya ketika Yahweh menampakkan diri bersama dengan dua orang malaikatNya kepada Abraham demikian: ”Kemudian TUHAN menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon tarbantin di Mamre, sedang ia duduk di pintu kemahnya waktu hari panas terik. Ketika ia mengangkat mukanya, ia melihat tiga orang berdiri di depannya. Sesudah dilihatnya mereka, ia berlari dari pintu kemahnya menyongsong mereka, lalu sujudlah ia sampai ke tanah,……. Dan firman-Nya: "Sesungguhnya Aku akan kembali tahun depan mendapatkan engkau, pada waktu itulah Sara, isterimu, akan mempunyai seorang anak laki-laki." Dan Sara mendengarkan pada pintu kemah yang di belakang-Nya. Adapun Abraham dan Sara telah tua dan lanjut umurnya dan Sara telah mati haid. Jadi tertawalah Sara dalam hatinya, katanya: "Akan berahikah aku, setelah aku sudah layu, sedangkan tuanku sudah tua?" Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Abraham: "Mengapakah Sara tertawa dan berkata: Sungguhkah aku akan melahirkan anak, sedangkan aku telah tua? Adakah sesuatu apapun yang mustahil untuk TUHAN? Pada waktu yang telah ditetapkan itu, tahun depan, Aku akan kembali mendapatkan engkau, pada waktu itulah Sara mempunyai seorang anak laki-laki." (Kejadian 18: 1-2, 10-14). Dari semua data yang ada dalan Kitab Suci ini jelaslah bahwa “keturunan” Abraham yang dimaksud itu memang lahir dari Sara, yaitu Ishak, dan bukan dari Hagar, yaitu Ismael Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh sabda Allah kepada Abraham, ketika Abraham memohon kepada Allah: ”Dan Abraham berkata kepada Allah: "Ah, sekiranya Ismael diperkenankan hidup di hadapan-Mu!" (Kejadian 17:18). Permohonan Abraham ini dilakukan setelah Allah memberitahu bahwa Sara akan melahirkan anak dalam ayat-ayat sebelumnya yang telah kita kutip diatas. Dari kacamata manusiawi dapat dimengerti bahwa Abraham menyayangi Ismael, karena memang dia itu anaknya juga, meskipun lahir dari seorang budak. Namun dari kacamata rencana Ilahi, dan Perjanjian Allah, pastilah tidak demikian. Karena sebelum Ismael lahir, Perjanjian itu sudah ada dulu, dan waktu Perjanjian dibuat Abraham memang dimaksudkan memiliki anak dengan Sarai. Hagar tidak masuk hitungan dalam Perjanjian tadi, karena Hagar belum muncul dalam skenario sejarah hidup Abraham. Berarti lahirnya Ismael memang bukan yang dimaksudkan Allah dalam Perjanjian itu, meskipun ditoleransi. Allah tetap bertahan pada PerjanjianNya, sebab Allah itu tak bersifat plin-plan, dan tidak tunduk pada pikiran Abraham yang berubah-ubah itu. Oleh karenanya jawab Allah atas permohonan Abraham itu tegas tanpa kompromi, yaitu: ”Tetapi Allah berfirman: "Tidak, melainkan isterimu Saralah yang akan melahirkan anak laki-laki bagimu, dan engkau akan menamai dia Ishak, dan Aku akan mengadakan perjanjian-Ku dengan dia menjadi perjanjian yang kekal untuk keturunannya.” (Kejadian 17:19). Dari ayat ini jelas bahwa dengan Ishak, bukan dengan Ismael, yang lahir melalui Sara, bukan melalui Hagar, itulah, Allah mengatakan “Aku akan mengadakan perjanjian-Ku dengan dia menjadi perjanjian yang kekal untuk keturunannya”. Jadi anak Perjanjian itu adalah Ishak, dan Perjanjian kekal itu adalah dengan Ishak, tetapi bukan untuk dirinya sendiri melainkan “untuk keturunannya” (sekali lagi “zera” = benih, dalam bentuk tunggal). Dan itulah sebabnya ditegaskan lagi oleh Allah sendiri bahwa “yang akan disebut keturunan (“zera”) mu ialah yang berasal dari Ishak.” (Kejadian 21:12c). Penekanan kepada “keturunan” (“benih”) ini penting sekali untuk dimengerti, karena ketika Allah menjanjikan kepada Abraham bahwa “olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." (Kejadian 12:3c), maka dengan berkembangnya waktu makin dijelaskan bahwa berkat untuk “kaum di muka bumi” yang akan terjadi “olehmu” yaitu “oleh”, “melalui”, dan “didalam” Abraham itu, ternyata bukan oleh Abraham secara pribadi, namun “Oleh keturunanmu (“zera”) lah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku." (Kejadian 22:18). Ini dikatakan oleh Allah setelah Abraham taat perintah Yahweh (Kejadian 22:3-9) untuk mengorbankan anaknya yang tunggal (Kejadian 22:1-2), karena waktu terjadinya perintah pengorbanan ini Ismael sudah tidak bersama Ishak lagi (Kejadian 21: 14-21) dan juga bahwa hanya Ishaklah anak Perjanjian satu-satunya. Dimana dikatakan: ”Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya. Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: "Abraham, Abraham." Sahutnya: "Ya, Tuhan." Lalu Ia berfirman: "Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku." Lalu Abraham menoleh dan melihat seekor domba jantan di belakangnya, yang tanduknya tersangkut dalam belukar. Abraham mengambil domba itu, lalu mengorbankannya sebagai korban bakaran pengganti anaknya.” (Kejadian 22: 10-13). Peristiwa pengorbanan Ishak ini adalah tipologi dari pengorbanan Kristus diatas Salib.
Pernyataan Malaikat TUHAN (Malak Yaweh) yaitu Sang Firman Allah sebelum menjadi manusia Yesus Kristus, bahwa Abraham “tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku.” itu adalah typologi dari “Ia (Bapa), yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua” (Roma 8:32). Dan perintah "Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia,” itu adalah tipologi dari kita sebagai orang berdosa yang seharusnya mati, karena upah dosa itu adalah maut, dilepaskan dari kuasa maut itu. Dan pelepasan dari maut terjadi karena “seekor domba jantan“ yang adalah tipologi dari “Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia.” (Yohanes 1:29), yaitu Yoshua Ha-Massiakh sendiri yang mengatakan bahwa Dia datang: ”untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Markus 10:45). Sedangkan “tanduknya tersangkut dalam belukar.” itu adalah tipologi dari prajurit-prajurit Romawi “menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya di atas kepala-Nya.” (Markus 15:17). Dan yang terakhir ungkapan “Abraham mengambil domba itu, lalu mengorbankannya sebagai korban bakaran pengganti anaknya” ini adalah tipologi dari “Kristus telah mati karena dosa-dosa kita” (I Korintus 15: 3b), serta “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” ( II Korintus 5:19). Karena kaitan Perjanjian berkat bagi umat manusia yang dikatakan oleh kepada Abraham: “Oleh keturunanmu (“zera”) lah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat,” terkait dengan nubuat-tipologis dari Pengorbanan Kristus diatas Salib, maka tak heranlah kita bahwa kata “zera” (“benih”) yang menunjuk kepada “keturunan” Abraham itu dijelaskan oleh Kitab Suci demikian: ”Adapun kepada Abraham diucapkan segala janji itu dan kepada keturunannya. Tidak dikatakan "kepada keturunan-keturunannya" seolah-olah dimaksud banyak orang, tetapi hanya satu orang: "dan kepada keturunanmu", yaitu Kristus.” (Galatia 3:16), Kita sudah sampai kepada kesimpulannya bahwa selama ini Perjanjian Allah dengan Abraham itu terkait dengan “keturunan” (“zera”) yaitu hanya “satu orang” saja, bukan dengan “keturunan-keturunan” yang jumlahnya banyak orang, dan ternyata keturunan yang hanya “satu orang” itu adalah Kristus sendiri. Itulah sebabnya Kristus itu memang keturunan Abraham itu, tetapi keturunan yang melalui Ishak, bukan melalui Ismael sebab “yang akan disebut keturunan (“zera”) mu ialah yang berasal dari Ishak.” (Kejadian 21:12c), serta “perjanjian-Ku dengan dia (Ishak) menjadi perjanjian yang kekal untuk keturunan (“zera”) nya (yang adalah: Kristus, Ha Massiakh).” (Kejadian 17:19).
Perjanijian berkat Allah yang kekal bagi segenap umat di bumi itu adalah Perjanjian di dalam Kristus, yaitu Perjanjian Keselamatan. Itulah sebabnya kita makin disadarkan betapa agungnya misteri kedatangan Kristus yang akan kita rayakan dalam masa Natal beberapa hari lagi ke depan ini. Kita telah persiapkan diri melalui puasa “Milad Al-Masih” ini, sehingga waktu kita merayakan Milad/Kelahiran itu nanti, bukan pesta-pestanya atau hura-huranya yang kita ingat namun penggenapan Perjanjian yang mengikat kita dengan Perjanjian Allah yang kekal bagi keselamatan kita, yang digenapi melalui kedatangan Kristus ke dunia ini yang harus menjadi renungan kita yang mendalam.
Next: Seri Matius 5: Abraham, Sahabat Allah 3