18 Juli
St.Athanasias dari Athos & Enam Muridnya
By: Frumentius Welly Mainollo
Rahib Athanasias dari Athos, yang dibaptis dengan nama Abraham, dilahirkan di kota Trapezund. Ia menjadi yatim sejak dini dan dibesarkan oleh seorang rahibah yang baik dan saleh. Ia meneladani kehidupan membiara, doa, dan puasa dari ibu angkatnya. Ia menjalani latihannya dengan lancar dan dengan segera menjadi yang terdepan dalam pembelajarannya. Setelah kematian ibu angkatnya, Abraham dibawa ke Konstantinopel, ke hadapan Kaisar Byzantium selanjutnya, Romanus Yang Lebih Tua, dan belajar di bawah bimbingan Athanasias si ahli retorika yang terkenal di sana. Dengan cepat, Abraham menguasai ilmu dari gurunya dan ia dipercaya menjadi pengajar bagi anak-anak yang lebih muda. Menyadari kesejatian hidup dari puasa dan ketaatan, Abraham memilih hidup mati raga dengan ketat, ia hanya tidur sedikit, dan roti gandum serta air menjadi makanannya. Ketika Athanasias, gurunya, karena kelemahan manusia kemudian menjadi iri kepada muridnya, Abraham yang terberkati itu pun berhenti dari proses belajarnya di sana dan kemudian pergi.
Pada saat itu, datanglah ke Konstantinopel Rahib Michael Maleinos (diperingati 12 Juli kalender lama) yang adalah pengurus biara Kimineia. Abraham menceritakan kisah hidupnya kepada rahib Michael, dan ia pun mengungkapkan keinginannya yang terpendam untuk menjadi seorang rahib. Rahib kudus ini pun menyadari bahwa Abraham adalah sebuah ranting yang dipilih oleh Roh Kudus, dan ia mengajarkan Abraham banyak hal mengenai keselamatan. Pada suatu waktu, ketika mereka sedang membicarakan hal-hal rohani, St. Michael dikunjungi oleh keponakannya, Nikiforus Phokas, seorang pejabat militer terkenal yang kelak akan menjadi Kaisar. Jiwa yang lembut dan pemikiran Abraham yang gemilang membuat Nikiforus terkesan, dan sepanjang hidupnya kelak ia akan memperlakukan orang kudus ini dengan kasih dan penghormatan. Abraham kemudian memutuskan untuk menghabiskan hidupnya dalam kehidupan membiara. Setelah meninggalkan segalanya, ia pergi ke biara Kimineia dan memohon di bawah kaki rahib Michael untuk diterima ke dalam kehidupan biara. Rahib Michael memenuhi permintaan Abraham dengan sukacita dan ia memberikan Abraham nama biaranya, yakni Athanasias.
Dengan menghidupi puasa yang panjang, doa-doa, bersujud dengan lututnya, dan bekerja siang dan malam, Athanasias dengan segera mencapai kepenuhan hidup membiara, sehingga Rahib Michael memberkatinya untuk menghidupi keheningan di sebuah tempat sunyi yang tak jauh dari biara. Setelah meninggalkan biara Kimineia, ia berkunjung ke berbagai tempat yang sunyi dan terisolasi, dan Allah menuntunnya sehingga ia sampai di sebuah tempat yang bernama Melanos, yang berada di posisi yang sangat ekstrem di Athos dan terletak sangat jauh dari tempat tinggal para rahib lainnya. Di sana, ia membuat sebuah bilik kecil dan mulai hidup mati raga dengan bekerja dan berdoa, berproses dari satu pencapaian ke pencapaian lain menuju kepada kehidupan membiara yang lebih tinggi.
Si musuh dari umat manusia kemudian berusaha untuk membangkitkan kebencian St. Athanasias kepada tempat berdoa yang ia pilih sendiri, dan menyerang Athanasias dengan pikiran-pikiran ini setiap saat. Sang rahib memutuskan untuk menahan penderitaannya di tempat itu selama satu tahun lagi dan menunggu perintah Allah yang akan mengarahkannya ke manapun ia harus pergi. Di hari terakhir dari satu tahun penantiannya akan jawaban itu, ketika St. Athanasias bersiap untuk sembahyang, sebuah Cahaya Surgawi tiba-tiba bersinar di atasnya, memenuhinya dengan sukacita penuh, semua konflik pemikirannya dicerahkan, dan dari kedua matanya turunlah air mata yang diberkati. Sejak saat itu, St. Athanasias menerima karunia kemurnian ("umilenie"), dan tempat permenungannya ia bangun lebih kuat dari sebelum ia tinggali. Pada masa ini, Nikiforus Phokas, setelah ia memiliki kekuatan militer yang cukup, mengingat kembali karibnya yang menjadi rahib dan dari perbendaharaannya, ia membantu rahib Athanasias untuk membangun sebuah biara, membangun bilik-bilik untuk Athanasius dan anak-anak rohaninya, dan dibangun pula sebuah Gereja agar mereka dapat menerima Sakramen Kudus Kristus pada setiap hari Minggu.
Athanasias yang terberkati pada mulanya tidak setuju untuk menerima bantuan emas-emas itu, tetapi setelah ia melihat dorongan yang kuat dan niatan yang baik dari Nikiforus, sambil mengingat bahwa mungkin ini adalah kehendak Allah, maka ia pun bersiap untuk membangun biara. Ia membangun sebuah Gereja yang besar untuk menghormati nabi kudus dan pembuka jalan bagi Kristus, St. Yohanes Pembaptis, dan sebuah Gereja lain di kaki sebuah bukit dengan nama Sang Perawan Tersuci Bunda Allah. Di sekitar gereja dibangun bilik-bilik, dan sebuah biara besar dibangun di atas Gunung Kudus itu. Di sana dibangun sebuah tempat bagi orang-orang sakit dan bagi para peziarah, serta diuat pula bangunan-bangunan lain yang memang diperlukan.
Anak-anak rohani berkumpul di biara tersebut dari mana-mana tempat, tidak hanya dari Yunani, tetapi juga dari negeri lain. Orang-orang sederhana, para rahib yang telah bertapa bertahun-tahun di gurun, pengurus dari berbagai biara dan para rohaniawan, semuanya ingin menjadi rahib di Athos Laura St. Athanasias. Di biara itu, St. Athanasias membentuk peraturan biara untuk hidup bersama ("coenobitic") dengan mengambil model peraturan dai biara-biara tua Palestina. Liturgi Ilahi dilaksanakan dengan sangat ketat, dan tidak boleh ada yang berbincang sedikitpun selama Liturgi dilaksanakan, tidak diizinkan pula untuk datang terlambat dan meninggalkan Gereja tanpa keperluan yang benar-benar mendesak.
Patron surgawi dari Athos, yakni Bunda Allah yang termurni itu sendiri, dihormati dengan sangat oleh St. Athanasias. Banyak waktu di mana ia diizinkan untuk melihat mata ajaib dari Sang Bunda. Melalui pemeliharaan Allah, timbullah bencana kelaparan pada suatu waktu, membuat para rahib seorang demi seorang, meninggalkan biara. St. Athanasias tetap di sana seorang diri, dan pada suatu waktu dari kelemahannya itu, ia juga berpikir untuk pergi. Namun tiba-tiba, ia melihat seorang Wanita dengan sebuah kerudung datang menemuinya. "Siapakah kamu dan ke mana hendak pergi?", pelan wanita itu bertanya. St. Athanasias menjawab, "Aku seorang rahib dari tempat ini", dan ia menceritakan kisahnya dan segala kekuatirannya. "Siapakah engkau?", tanya Athanasias. "Aku adalah Bunda dari Tuhanmu", wanita itu menjawab dan membuat Athanasias meletakkan barang-barangnya di atas sebuah batu, dan kemudian dari sebuah tempat di sana memancar sebuah mata air, yang masih ada hingga kini sebagai kenangan akan kunjungan ajaib tersebut.
Anak-anak rohaninya pun kembali bertambah banyak, dan pekerjaan pembangunan biara dilanjutkan. Rahib Athanasias, setelah mendapat visi bagaimana ia akan pergi menghadap Tuhan, kemudian menubuatkan kematiannya dan mengingatkan anak-anak rohaninya untuk tidak dipusingkan dengan visi yang telah ia lihat itu. "Karena Hikmat telah memutuskan yang lain dari penilaian orang-orang". Anak-anak rohaninya pun mengingat perkataan rahib kudus ini. Setelah memberikan bimbingan terakhir bagi anak-anak rohaninya dan menenangkan semuanya, St. Athanasias masuk ke dalam biliknya, mengenakan mantel dan kukol' (tutup kepala) kudus yang biasa ia kenakan hanya pada perayaan-perayaan besar, dan setelah menaikkan sebuah doa, ia bangkit berdiri. Hening namun penuh sukacita, rahib kudus ini bersama enam orang anak rohaninya pergi ke bagian atas Gereja untuk melihat keseluruhan bangunan. Mendadak, melalui kehendak Allah, bagian atas Gereja itu runtuh. Lima orang anak rohaninya seketika menyerahkan jiwanya kepada Allah. Rahib Athanasias dan arsitek Daniel, jatuh di atas batu-batu namun selamat. Semuanya mendengar sang rahib berseru kepada Tuhan: "Kemuliaan bagi-Mu, ya Allah! Tuhan Yesus Kristus, tolonglah aku!" Anak-anak rohaninya dengan isak tangis mulai mengeluarkan bapa mereka dari tengah reruntuhan, namun mereka menemukannya dalam keadaan telah wafat.
Rahib Athanasias dari Athos, yang dibaptis dengan nama Abraham, dilahirkan di kota Trapezund. Ia menjadi yatim sejak dini dan dibesarkan oleh seorang rahibah yang baik dan saleh. Ia meneladani kehidupan membiara, doa, dan puasa dari ibu angkatnya. Ia menjalani latihannya dengan lancar dan dengan segera menjadi yang terdepan dalam pembelajarannya. Setelah kematian ibu angkatnya, Abraham dibawa ke Konstantinopel, ke hadapan Kaisar Byzantium selanjutnya, Romanus Yang Lebih Tua, dan belajar di bawah bimbingan Athanasias si ahli retorika yang terkenal di sana. Dengan cepat, Abraham menguasai ilmu dari gurunya dan ia dipercaya menjadi pengajar bagi anak-anak yang lebih muda. Menyadari kesejatian hidup dari puasa dan ketaatan, Abraham memilih hidup mati raga dengan ketat, ia hanya tidur sedikit, dan roti gandum serta air menjadi makanannya. Ketika Athanasias, gurunya, karena kelemahan manusia kemudian menjadi iri kepada muridnya, Abraham yang terberkati itu pun berhenti dari proses belajarnya di sana dan kemudian pergi.
Pada saat itu, datanglah ke Konstantinopel Rahib Michael Maleinos (diperingati 12 Juli kalender lama) yang adalah pengurus biara Kimineia. Abraham menceritakan kisah hidupnya kepada rahib Michael, dan ia pun mengungkapkan keinginannya yang terpendam untuk menjadi seorang rahib. Rahib kudus ini pun menyadari bahwa Abraham adalah sebuah ranting yang dipilih oleh Roh Kudus, dan ia mengajarkan Abraham banyak hal mengenai keselamatan. Pada suatu waktu, ketika mereka sedang membicarakan hal-hal rohani, St. Michael dikunjungi oleh keponakannya, Nikiforus Phokas, seorang pejabat militer terkenal yang kelak akan menjadi Kaisar. Jiwa yang lembut dan pemikiran Abraham yang gemilang membuat Nikiforus terkesan, dan sepanjang hidupnya kelak ia akan memperlakukan orang kudus ini dengan kasih dan penghormatan. Abraham kemudian memutuskan untuk menghabiskan hidupnya dalam kehidupan membiara. Setelah meninggalkan segalanya, ia pergi ke biara Kimineia dan memohon di bawah kaki rahib Michael untuk diterima ke dalam kehidupan biara. Rahib Michael memenuhi permintaan Abraham dengan sukacita dan ia memberikan Abraham nama biaranya, yakni Athanasias.
Dengan menghidupi puasa yang panjang, doa-doa, bersujud dengan lututnya, dan bekerja siang dan malam, Athanasias dengan segera mencapai kepenuhan hidup membiara, sehingga Rahib Michael memberkatinya untuk menghidupi keheningan di sebuah tempat sunyi yang tak jauh dari biara. Setelah meninggalkan biara Kimineia, ia berkunjung ke berbagai tempat yang sunyi dan terisolasi, dan Allah menuntunnya sehingga ia sampai di sebuah tempat yang bernama Melanos, yang berada di posisi yang sangat ekstrem di Athos dan terletak sangat jauh dari tempat tinggal para rahib lainnya. Di sana, ia membuat sebuah bilik kecil dan mulai hidup mati raga dengan bekerja dan berdoa, berproses dari satu pencapaian ke pencapaian lain menuju kepada kehidupan membiara yang lebih tinggi.
Si musuh dari umat manusia kemudian berusaha untuk membangkitkan kebencian St. Athanasias kepada tempat berdoa yang ia pilih sendiri, dan menyerang Athanasias dengan pikiran-pikiran ini setiap saat. Sang rahib memutuskan untuk menahan penderitaannya di tempat itu selama satu tahun lagi dan menunggu perintah Allah yang akan mengarahkannya ke manapun ia harus pergi. Di hari terakhir dari satu tahun penantiannya akan jawaban itu, ketika St. Athanasias bersiap untuk sembahyang, sebuah Cahaya Surgawi tiba-tiba bersinar di atasnya, memenuhinya dengan sukacita penuh, semua konflik pemikirannya dicerahkan, dan dari kedua matanya turunlah air mata yang diberkati. Sejak saat itu, St. Athanasias menerima karunia kemurnian ("umilenie"), dan tempat permenungannya ia bangun lebih kuat dari sebelum ia tinggali. Pada masa ini, Nikiforus Phokas, setelah ia memiliki kekuatan militer yang cukup, mengingat kembali karibnya yang menjadi rahib dan dari perbendaharaannya, ia membantu rahib Athanasias untuk membangun sebuah biara, membangun bilik-bilik untuk Athanasius dan anak-anak rohaninya, dan dibangun pula sebuah Gereja agar mereka dapat menerima Sakramen Kudus Kristus pada setiap hari Minggu.
Athanasias yang terberkati pada mulanya tidak setuju untuk menerima bantuan emas-emas itu, tetapi setelah ia melihat dorongan yang kuat dan niatan yang baik dari Nikiforus, sambil mengingat bahwa mungkin ini adalah kehendak Allah, maka ia pun bersiap untuk membangun biara. Ia membangun sebuah Gereja yang besar untuk menghormati nabi kudus dan pembuka jalan bagi Kristus, St. Yohanes Pembaptis, dan sebuah Gereja lain di kaki sebuah bukit dengan nama Sang Perawan Tersuci Bunda Allah. Di sekitar gereja dibangun bilik-bilik, dan sebuah biara besar dibangun di atas Gunung Kudus itu. Di sana dibangun sebuah tempat bagi orang-orang sakit dan bagi para peziarah, serta diuat pula bangunan-bangunan lain yang memang diperlukan.
Anak-anak rohani berkumpul di biara tersebut dari mana-mana tempat, tidak hanya dari Yunani, tetapi juga dari negeri lain. Orang-orang sederhana, para rahib yang telah bertapa bertahun-tahun di gurun, pengurus dari berbagai biara dan para rohaniawan, semuanya ingin menjadi rahib di Athos Laura St. Athanasias. Di biara itu, St. Athanasias membentuk peraturan biara untuk hidup bersama ("coenobitic") dengan mengambil model peraturan dai biara-biara tua Palestina. Liturgi Ilahi dilaksanakan dengan sangat ketat, dan tidak boleh ada yang berbincang sedikitpun selama Liturgi dilaksanakan, tidak diizinkan pula untuk datang terlambat dan meninggalkan Gereja tanpa keperluan yang benar-benar mendesak.
Patron surgawi dari Athos, yakni Bunda Allah yang termurni itu sendiri, dihormati dengan sangat oleh St. Athanasias. Banyak waktu di mana ia diizinkan untuk melihat mata ajaib dari Sang Bunda. Melalui pemeliharaan Allah, timbullah bencana kelaparan pada suatu waktu, membuat para rahib seorang demi seorang, meninggalkan biara. St. Athanasias tetap di sana seorang diri, dan pada suatu waktu dari kelemahannya itu, ia juga berpikir untuk pergi. Namun tiba-tiba, ia melihat seorang Wanita dengan sebuah kerudung datang menemuinya. "Siapakah kamu dan ke mana hendak pergi?", pelan wanita itu bertanya. St. Athanasias menjawab, "Aku seorang rahib dari tempat ini", dan ia menceritakan kisahnya dan segala kekuatirannya. "Siapakah engkau?", tanya Athanasias. "Aku adalah Bunda dari Tuhanmu", wanita itu menjawab dan membuat Athanasias meletakkan barang-barangnya di atas sebuah batu, dan kemudian dari sebuah tempat di sana memancar sebuah mata air, yang masih ada hingga kini sebagai kenangan akan kunjungan ajaib tersebut.
Anak-anak rohaninya pun kembali bertambah banyak, dan pekerjaan pembangunan biara dilanjutkan. Rahib Athanasias, setelah mendapat visi bagaimana ia akan pergi menghadap Tuhan, kemudian menubuatkan kematiannya dan mengingatkan anak-anak rohaninya untuk tidak dipusingkan dengan visi yang telah ia lihat itu. "Karena Hikmat telah memutuskan yang lain dari penilaian orang-orang". Anak-anak rohaninya pun mengingat perkataan rahib kudus ini. Setelah memberikan bimbingan terakhir bagi anak-anak rohaninya dan menenangkan semuanya, St. Athanasias masuk ke dalam biliknya, mengenakan mantel dan kukol' (tutup kepala) kudus yang biasa ia kenakan hanya pada perayaan-perayaan besar, dan setelah menaikkan sebuah doa, ia bangkit berdiri. Hening namun penuh sukacita, rahib kudus ini bersama enam orang anak rohaninya pergi ke bagian atas Gereja untuk melihat keseluruhan bangunan. Mendadak, melalui kehendak Allah, bagian atas Gereja itu runtuh. Lima orang anak rohaninya seketika menyerahkan jiwanya kepada Allah. Rahib Athanasias dan arsitek Daniel, jatuh di atas batu-batu namun selamat. Semuanya mendengar sang rahib berseru kepada Tuhan: "Kemuliaan bagi-Mu, ya Allah! Tuhan Yesus Kristus, tolonglah aku!" Anak-anak rohaninya dengan isak tangis mulai mengeluarkan bapa mereka dari tengah reruntuhan, namun mereka menemukannya dalam keadaan telah wafat.