Campus Asia: Agama Tidak Dihapus, Hanya Dikebiri
[by: Fr. Kyrillos Junan SL]
Date: 11 Agustus 2010
Orang-orang semakin memilih kehidupan sekuler temporal dan dangkal. Dedikasi untuk materialisme, konsumerisme, dan hedonisme menandai pemujaan mereka akan kenikmatan jasmani. Orang-orang seperti - sebagian besar masyarakat - sering mengabaikan kehidupan rohani mereka. Imam Presbiter Kirill JSL dari Paroki St Jonah dari Manchuria, Surabaya, Gereja Orthodox Indonesia, berbicara tentang kepeduliannya untuk Campus Asia mengenai masalah ini. Oleh Candyce Isabella Purba
Kepuasan sesaat dan disertai pengabaian hal-hal transendental mengganggu keseimbangan antara kehidupan material dan spiritual kita dan menimbulkan dampak pada pendidikan kita.
Dengan pendidikan yang menyimpang ini, siswa tidak dididik untuk bertanggung jawab kepada Pencipta. Pendidikan ini mengabaikan nilai-nilai luhur yang berakar pada agama serta ketuhanan.
Dalam teologi, terutama teologi Kristen, orang tua mewakili Allah, oleh karena itu mendidik anak-anak untuk bertanggung jawab kepada orangtua mereka sama dengan mendidik mereka untuk bertanggung jawab kepada Allah.
"Sebagai seorang pastor, saya tidak setuju dengan sistem pendidikan yang memisahkan ajaran agama dari kurikulum umum," kata Presbiter Rm. Kirill.
Pendidik seharusnya tidak melihat panggilan mereka sebagai kebetulan. Pekerjaan ini termasuk kewajiban yang diberikan Allah untuk menjadi pendidik yang bertanggung jawab kepada Allah.
Ini tidak berarti bahwa semua guru - matematika, biologi atau kimia dll - harus mengajarkan teologi. Apa pun yang mereka ajarkan, mereka harus menyampaikan nilai-nilai agama yang kuat, khususnya tentang bagaimana berinteraksi dengan Allah, sesama manusia, dan dengan alam lingkungan. Sebuah kesatuan dan keseimbangan harus dipertahankan di antara unsur-unsur ini. Indonesia perlu tokoh teladan untuk memperkenalkan kepada masyarakat contoh-contoh integritas ini.
Saat ini kita tidak dapat menunjukkan tokoh teladan yang tepat; orang yang hidup dengan budaya bertanggung-jawab kepada Allah dan sesama mereka. Ketika ditemukan bersalah atas kejahatan, rata-rata "pemimpin" modern merasa tidak bertanggung-jawab kepada Allah atau masyarakat atas pelanggaran hukumnya. Tidak mungkin mereka akan tampil ke depan untuk mengakui kesalahan mereka, apa lagi mengundurkan diri dari posisi mereka secara sukarela.
"Jika mereka keluar dari pekerjaan mereka, mereka kehilangan kesempatan mereka untuk memuaskan kesenangan fisik mereka - meskipun ini hanya sementara. Sayangnya, saya tidak menemukan tokoh teladan sejati di Indonesia sampai sekarang, "Rm. Kirill menjelaskan.
Dia (penterjemah: tokoh teladan) telah memainkan peran aktif dalam mendidik anak-anak dalam kebajikan dan nilai-nilai dimana bertanggung-jawab kepada Allah, orang lain, dan lingkungan alam. Sayangnya, masyarakat Indonesia cenderung mengagungkan demokrasi lebih dari Allah dan urusan agama. Urusan agama terbatas pada kepedulian dalam refleksi selama kunjungan singkat ke tempat-tempat ibadah.
Pemuliaan demokrasi telah membuatnya menjadi sebuah agama baru. Hal ini menggantikan nilai-nilai yang kekal, menggantikan Allah sebagaimana banyak orang sekarang cenderung mengabaikan nilai-nilai spiritual - bahkan Allah sendiri. Namun, Allah tidak dapat digantikan oleh apa pun - termasuk dengan banyak memuji dan mengagung-agungkan demokrasi kita.
Pemuliaan ini mengkompromikan peran-peran tradisional dan tanggung-jawab ketika orang mengklaim kebebasan tanpa batas. Lebih buruk lagi, orang-orang yang berkewajiban untuk mengoreksi dan mengontrol program demokrasi ketakutan oleh demokrasi yang baru saja ditinggikan dengan status "mulia".
Mereka mogok pada saat melakukan tugas mereka. Ini akan berakhir dalam kekacauan. Dengan tidak adanya seorangpun mengendalikan demokrasi, pada akhirnya akan menghancurkan dirinya sendiri.
Media massa, misalnya, sering memaksa pihak terdakwah terpojok sebelum Pengadilan memutuskan bersalah. Ini adalah media massa yang tidak bertanggung jawab.
"Media massa bukan lembaga peradilan. Media massa tidak dapat menentukan bersalah atau menghukum, tapi ini adalah apa yang terjadi ketika orang-orang media massa tidak bekerja secara profesional dan tidak sesuai dengan tanggung jawab mereka kepada Allah dan sesama mereka, "Rm. Kirill menekankan.
Sebagian besar media massa mengisi dirinya sendiri dengan keuntungan dari menyediakan bagi masyarakat dengan hal-hal murahan, informasi merangsang; skandal, gosip, atau berita-berita kontroversial dan bombastis - semua dihitung untuk memaksimalkan keuntungan. Tidak peduli bahwa berita itu tidak memiliki keseimbangan, integritas atau nilai pendidikan.
Solusinya terletak dengan mendidik generasi muda kita dalam kebajikan tradisional; untuk memelihara nilai-nilai luhur dan gaya hidup yang bertanggung jawab berfokus pada Allah, orang lain (sesame), dan alam lingkungan.
Lebih penting lagi, pendidik harus memelihara nilai-nilai spiritual dan agama dimana anak-anak bisa menyeimbangkan kebutuhan kesejahteraan fisik dan rohani mereka.
Pendidikan berimbang dapat ditujukan baik jangka pendek akan terjadi dan lebih transendental sekaligus juga memelihara dan berjaga terhadap ekosistem dunia.
Untuk mencapai keseimbangan ini, kita harus bergerak melampaui kecerdasan intelektual (IQ) untuk membangkitkan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Menurut filsuf Danah Zohar, IQ bekerja untuk mengamati seseorang di luar (mata pikiran), EQ bekerja untuk proses apa yang di dalam (telinga perasaan), dan SQ mengacu pada pusat diri.
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi ter-kavling-kavling sedemikian rupa.
Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber – SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Metode ini harus memiliki aplikasi di Indonesia dengan keyakinan yang kuat kita dalam Allah diinspirasikan oleh Pancasila. Namun, saat ini beberapa orang Indonesia telah mengabaikan peraturan Allah.
Untuk orang timur rasanya sulit untuk tidak beragama dan bubarnya agama, tapi untuk menjadi sekuler adalah mungkin.
"Adalah benar-benar bertentangan untuk menyarankan bahwa orang Indonesia adalah sekuler dan agamis pada saat yang sama," Rm. Kirill mengatakan.
Tidak perlu untuk diperdebatkan, agama dapat hanyut bersama sebagai formalitas belaka untuk orang Indonesia yang menolak pilihan dikatakan ateis di depan umum.
Lebih buruk lagi, orang akan mengakui sementara agama yang sebenarnya hanya sebagai tanda pengenal tanpa makna – menganggap agama sebagai suatu gaya hidup. Jenis spiritual dangkal dan tidak mengakar dan hidup keagamaan secara bertahap menjadi berpikiran sempit dan picik - pengalaman keagamaan seperti garam yang tawar. Jika agama tidak bisa "menggarami dunia", agama itu menjadi kehilangan fungsi dan kehilangan kemampuan bimbingan untuk perilaku manusia. Akhirnya fungsi Pancasila juga dilupakan.
Sila pertama Pancasila membawahi dan ditempatkan di atas keempat sila lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa religius dan kehadirannya tak terpisahkan dari norma-norma dan nilai-nilai agama. Ketuhanan dijunjung tinggi sebagai nilai luhur sebagai bangsa beradab untuk menghormati nilai-nilai pluralistik (kemajemukan).
Menghapuskan sila pertama, atau bahkan mengubahnya, berarti pengingkaran terhadap sifat dasariah dan karakter bangsa Indonesia yang tertanam dalam fondasi kebangsaan sejak jaman dulu.
Menyingkirkan sila pertama Pancasila akan menjadi berusaha untuk menyangkal kehidupan yang mendasar dan sumber-mata air bangsa religius ini. "Saya sangat percaya bahwa agama di Indonesia tidak akan binasa; akankah mereka dapat ditekan? - Ya tentu saja!
Ada kemungkinan nyata bahwa agama di Indonesia akan menjadi tandus dan tawar, garam tidak berguna, "Rm. Kirill menyimpulkan sambutannya.
REFERENSI
Candyce Isabella Purba. Religions Won’t Be Eliminated, Just Neutered. CampusAsia Magazine. Volume 3 Number 14, June – August 2010. www.campusasia.co.id.
Orang-orang semakin memilih kehidupan sekuler temporal dan dangkal. Dedikasi untuk materialisme, konsumerisme, dan hedonisme menandai pemujaan mereka akan kenikmatan jasmani. Orang-orang seperti - sebagian besar masyarakat - sering mengabaikan kehidupan rohani mereka. Imam Presbiter Kirill JSL dari Paroki St Jonah dari Manchuria, Surabaya, Gereja Orthodox Indonesia, berbicara tentang kepeduliannya untuk Campus Asia mengenai masalah ini. Oleh Candyce Isabella Purba
Kepuasan sesaat dan disertai pengabaian hal-hal transendental mengganggu keseimbangan antara kehidupan material dan spiritual kita dan menimbulkan dampak pada pendidikan kita.
Dengan pendidikan yang menyimpang ini, siswa tidak dididik untuk bertanggung jawab kepada Pencipta. Pendidikan ini mengabaikan nilai-nilai luhur yang berakar pada agama serta ketuhanan.
Dalam teologi, terutama teologi Kristen, orang tua mewakili Allah, oleh karena itu mendidik anak-anak untuk bertanggung jawab kepada orangtua mereka sama dengan mendidik mereka untuk bertanggung jawab kepada Allah.
"Sebagai seorang pastor, saya tidak setuju dengan sistem pendidikan yang memisahkan ajaran agama dari kurikulum umum," kata Presbiter Rm. Kirill.
Pendidik seharusnya tidak melihat panggilan mereka sebagai kebetulan. Pekerjaan ini termasuk kewajiban yang diberikan Allah untuk menjadi pendidik yang bertanggung jawab kepada Allah.
Ini tidak berarti bahwa semua guru - matematika, biologi atau kimia dll - harus mengajarkan teologi. Apa pun yang mereka ajarkan, mereka harus menyampaikan nilai-nilai agama yang kuat, khususnya tentang bagaimana berinteraksi dengan Allah, sesama manusia, dan dengan alam lingkungan. Sebuah kesatuan dan keseimbangan harus dipertahankan di antara unsur-unsur ini. Indonesia perlu tokoh teladan untuk memperkenalkan kepada masyarakat contoh-contoh integritas ini.
Saat ini kita tidak dapat menunjukkan tokoh teladan yang tepat; orang yang hidup dengan budaya bertanggung-jawab kepada Allah dan sesama mereka. Ketika ditemukan bersalah atas kejahatan, rata-rata "pemimpin" modern merasa tidak bertanggung-jawab kepada Allah atau masyarakat atas pelanggaran hukumnya. Tidak mungkin mereka akan tampil ke depan untuk mengakui kesalahan mereka, apa lagi mengundurkan diri dari posisi mereka secara sukarela.
"Jika mereka keluar dari pekerjaan mereka, mereka kehilangan kesempatan mereka untuk memuaskan kesenangan fisik mereka - meskipun ini hanya sementara. Sayangnya, saya tidak menemukan tokoh teladan sejati di Indonesia sampai sekarang, "Rm. Kirill menjelaskan.
Dia (penterjemah: tokoh teladan) telah memainkan peran aktif dalam mendidik anak-anak dalam kebajikan dan nilai-nilai dimana bertanggung-jawab kepada Allah, orang lain, dan lingkungan alam. Sayangnya, masyarakat Indonesia cenderung mengagungkan demokrasi lebih dari Allah dan urusan agama. Urusan agama terbatas pada kepedulian dalam refleksi selama kunjungan singkat ke tempat-tempat ibadah.
Pemuliaan demokrasi telah membuatnya menjadi sebuah agama baru. Hal ini menggantikan nilai-nilai yang kekal, menggantikan Allah sebagaimana banyak orang sekarang cenderung mengabaikan nilai-nilai spiritual - bahkan Allah sendiri. Namun, Allah tidak dapat digantikan oleh apa pun - termasuk dengan banyak memuji dan mengagung-agungkan demokrasi kita.
Pemuliaan ini mengkompromikan peran-peran tradisional dan tanggung-jawab ketika orang mengklaim kebebasan tanpa batas. Lebih buruk lagi, orang-orang yang berkewajiban untuk mengoreksi dan mengontrol program demokrasi ketakutan oleh demokrasi yang baru saja ditinggikan dengan status "mulia".
Mereka mogok pada saat melakukan tugas mereka. Ini akan berakhir dalam kekacauan. Dengan tidak adanya seorangpun mengendalikan demokrasi, pada akhirnya akan menghancurkan dirinya sendiri.
Media massa, misalnya, sering memaksa pihak terdakwah terpojok sebelum Pengadilan memutuskan bersalah. Ini adalah media massa yang tidak bertanggung jawab.
"Media massa bukan lembaga peradilan. Media massa tidak dapat menentukan bersalah atau menghukum, tapi ini adalah apa yang terjadi ketika orang-orang media massa tidak bekerja secara profesional dan tidak sesuai dengan tanggung jawab mereka kepada Allah dan sesama mereka, "Rm. Kirill menekankan.
Sebagian besar media massa mengisi dirinya sendiri dengan keuntungan dari menyediakan bagi masyarakat dengan hal-hal murahan, informasi merangsang; skandal, gosip, atau berita-berita kontroversial dan bombastis - semua dihitung untuk memaksimalkan keuntungan. Tidak peduli bahwa berita itu tidak memiliki keseimbangan, integritas atau nilai pendidikan.
Solusinya terletak dengan mendidik generasi muda kita dalam kebajikan tradisional; untuk memelihara nilai-nilai luhur dan gaya hidup yang bertanggung jawab berfokus pada Allah, orang lain (sesame), dan alam lingkungan.
Lebih penting lagi, pendidik harus memelihara nilai-nilai spiritual dan agama dimana anak-anak bisa menyeimbangkan kebutuhan kesejahteraan fisik dan rohani mereka.
Pendidikan berimbang dapat ditujukan baik jangka pendek akan terjadi dan lebih transendental sekaligus juga memelihara dan berjaga terhadap ekosistem dunia.
Untuk mencapai keseimbangan ini, kita harus bergerak melampaui kecerdasan intelektual (IQ) untuk membangkitkan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Menurut filsuf Danah Zohar, IQ bekerja untuk mengamati seseorang di luar (mata pikiran), EQ bekerja untuk proses apa yang di dalam (telinga perasaan), dan SQ mengacu pada pusat diri.
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi ter-kavling-kavling sedemikian rupa.
Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber – SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Metode ini harus memiliki aplikasi di Indonesia dengan keyakinan yang kuat kita dalam Allah diinspirasikan oleh Pancasila. Namun, saat ini beberapa orang Indonesia telah mengabaikan peraturan Allah.
Untuk orang timur rasanya sulit untuk tidak beragama dan bubarnya agama, tapi untuk menjadi sekuler adalah mungkin.
"Adalah benar-benar bertentangan untuk menyarankan bahwa orang Indonesia adalah sekuler dan agamis pada saat yang sama," Rm. Kirill mengatakan.
Tidak perlu untuk diperdebatkan, agama dapat hanyut bersama sebagai formalitas belaka untuk orang Indonesia yang menolak pilihan dikatakan ateis di depan umum.
Lebih buruk lagi, orang akan mengakui sementara agama yang sebenarnya hanya sebagai tanda pengenal tanpa makna – menganggap agama sebagai suatu gaya hidup. Jenis spiritual dangkal dan tidak mengakar dan hidup keagamaan secara bertahap menjadi berpikiran sempit dan picik - pengalaman keagamaan seperti garam yang tawar. Jika agama tidak bisa "menggarami dunia", agama itu menjadi kehilangan fungsi dan kehilangan kemampuan bimbingan untuk perilaku manusia. Akhirnya fungsi Pancasila juga dilupakan.
Sila pertama Pancasila membawahi dan ditempatkan di atas keempat sila lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa religius dan kehadirannya tak terpisahkan dari norma-norma dan nilai-nilai agama. Ketuhanan dijunjung tinggi sebagai nilai luhur sebagai bangsa beradab untuk menghormati nilai-nilai pluralistik (kemajemukan).
Menghapuskan sila pertama, atau bahkan mengubahnya, berarti pengingkaran terhadap sifat dasariah dan karakter bangsa Indonesia yang tertanam dalam fondasi kebangsaan sejak jaman dulu.
Menyingkirkan sila pertama Pancasila akan menjadi berusaha untuk menyangkal kehidupan yang mendasar dan sumber-mata air bangsa religius ini. "Saya sangat percaya bahwa agama di Indonesia tidak akan binasa; akankah mereka dapat ditekan? - Ya tentu saja!
Ada kemungkinan nyata bahwa agama di Indonesia akan menjadi tandus dan tawar, garam tidak berguna, "Rm. Kirill menyimpulkan sambutannya.
REFERENSI
Candyce Isabella Purba. Religions Won’t Be Eliminated, Just Neutered. CampusAsia Magazine. Volume 3 Number 14, June – August 2010. www.campusasia.co.id.