Seluk Beluk Ke-Ilahi-an (Dinamika Perikhoresis)
[by: Fr. Daniel Byantoro]
Date: 14 Agustus 2012
Atas Nama Sang Bapa, dan Sang Putra , serta Sang Roh Kudus, Allah yang Esa. Amin.
Kali ini, kita mulai dengan memahami bahwa menurut Roma 5:5 Roh Kudus adalah berfungsi sebagai “PENCURAH KASIH ALLAH”.
Memang ketika sudah ada manusia dan Firman Allah sudah datang ke dunia, kasih itu dicurahkan ke dalam hati kita, manusia yang telah ditebus oleh Kristus ini. Namun karena Roh Kudus itu adalah Roh yang kekal (Ibrani 9:14) maka fungsi Roh Kudus sebagai “Pencurah Kasih Allah” ini juga kekal.
Padahal yang secara kekal, sebelum adanya dunia, dikasihi Allah itu adalah Firman Allah sendiri (Yohanes 17:24), ini berarti sejak kekal kasih Allah itu dicurahkan oleh Roh Kudus kepada Firman itu. Dalam menanggapi kasih Allah (yang adalah essensi hidup Allah) itu sendiri, Sang Firman menyatakan bahwa “Aku mengasihi Bapa” (Yohanes 14:31). Padahal kasih essensi hidup Allah, dan hidup Allah yang sama itulah yang diberikan kepada Sang Firman (Yohanes 5:26), berarti kasih yang dimiliiki Firman kepada Bapa adalah kasih yang sama yang dicurahkan Bapa oleh Roh Kudus kepada Firman. Dengan demikian kasih di dalam Allah itu hanya ada satu, yang tinggal pada Bapa, sebagai asal-usulnya, dan di dalam Firman sebagai penerima kasih itu, serta Roh Kudus sebagai pencurah kasih itu.
Dengan demikian kasih Allah yang satu itu bersemayam secara “seragam” di dalam Allah, FirmanNya maupun RohNya. Karena masing-masing hypostasis ini memiliki kasih yang satu ini secara penuh dan sama. Sedangkan mengenai “komunikasi hypostasis” dalam hubungannya dengan kasih Allah yang satu ini, seperti sudah dijelaskan bahwa Bapa adalah asal-usul dan sumber dari kasih itu, sedangkan Firman adalah sasaran akhir dan tujuan dari kasih itu, sedangkan Roh Kudus adalah yang mencurahkan kasih itu kepada Firman dan mengembalikan atau memantulkan kasih yang sama tadi dari Firman kepada Bapa, sehingga di dalam Tritunggal Yang Esa itu ada lingkaran gerak kasih yang kekal tanpa henti.
Karena gerak itu tanda kehidupan, maka dengan adanya gerakan kasih tanpa henti dalam Allah Yang Esa itu, maka terbukti Allah itu memang Allah yang hidup, dan dengan hal ini terbukti pula bahwa hidup Allah itu identik dengan kasih Allah itu sendiri. Jadi Allah Alkitab itu tidak sama dengan “Unmoved Mover” (“Penggerak yang Tak Bergerak”) nya Aristoteles. Itulah sebabnya dikatakan “Allah itu kasih” (I Yohanes 4:8, 16).
Sedangkan mengenai “gambaran hypostasis” itu harus kita fahami bahwa ketika kita berbicara mengenai keberadaan Allah yang sebenarnya atau mengenai “the true nature of God” dan “the inner life of God” Alkitab mengatakan ”Tak seorangpun pernah melihat Allah” (Yohanes 1:18), atau juga “ ..Seorangpun tak pernah melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia…” (I Timotius 6:16b), serta ”…..tidak ada orang yang tahu. Apa yang terdapat dalam diri Allah…” (I Korintus 2:11b) . Ini bermakna bahwa manusia pada dasarnya tak dapat melihat, yaitu mengerti dan memahami, esensi dan hidup yang terdalam dari Allah, sehingga kita harus memahami esensi Allah ini secara “via negative” atau dengan jalan “apophatika” ( “jalan menidakkan atau mem-bukan-kan”), artinya esensi Allah itu tidak begini dan tidak begitu, bukan ini dan bukan itu.
Namun Alkitab juga menjelaskan bahwa bukan hanya mengenai esensi Allah saja yang tak dapat digambarkan, bahkan masing-masing hypostasis dalam Tritunggal itupun tak dapat digambarkan, sebagaimana dikatakan: ” …tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak…” (Matius 11:27), juga: ”…Roh Kebenaran. ….dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia…” (Yohanes 14: 17). Dengan demikian penggambaran secara akali, ataupun secara filsafati, mengenai ketiga hypostasis dalam Allah yang Esa ini tidak mungkin dilakukan. Namun itu tak berarti hypostasis-hypostasis itu tak bisa difahami, namun pemahamannya bukan dalam ranah filsafat ataupun logika, namun dalam ranah pengalaman “mistika”, karena dikatakan oleh Alkitab: ”tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan ORANG YANG KEPADANYA ANAK ITU BERKENAN MENYATAKANNYA’” (Matius 11:27). Jadi pemahaman dan penggambaran kita akan hypostasis Allah itu baru mungkin terjadi setelah kita mengalami penyataan dari Yesus Kristus. Demikian juga dikatakan “…tidak ada seorangpun yang dapat mengaku “Yesus itu Tuhan”, selain oleh Roh Kudus “ (I Korintus 12:3) yang berarti bahwa penyataan Yesus Kristus itu baru mungkin terjadi oleh dan di dalam kuasa Roh Kudus. Dan penyataan Yesus Kristus serta penerangan Roh Kudus itu baru terjadi setelah kita melakukan pembersihan dan pengudusan batin melalui pertobatan dan hidup kudus, karena Alkitab mengatakan :”…..orang yang suci hatinya, …dia akan melihat Allah” (Matius 5:8). Jadi tanpa kesucian hati kita tak akan dapat melihat Allah, memahami, mengalami ataupun menggambarkan Allah, baik dalam esensiNya maupun dalam hypostasis-hypostasis-Nya.
Selanjutnya ketiga hypostasis itu saling merespons kasih antar ketiganya melalui “perikhoresis” (“saling mendiami”). Karena kasih Allah itu dicurahkan melalui Roh Kudus (Roma 5:5), kepada Firman (Yohanes 17:24), dan kasih Allah adalah hidup Allah, sehingga kepada Firman hidup Allah ini diberikan dan berdiam (Yohanes 5:26) dengan demikian maka Bapa itu diam di dalam Firman (Yohanes 14:10). Demikian juga karena bukan saja Firman itu berada di dalam Bapa, namun karena Firman itu adalah FirmanNya Bapa berarti Firman itu sejak kekal berada di dalam Bapa. Namun juga oleh Roh Kudus yang sama Firman itu memantulkan kasih Bapa itu kembali kepada Bapa, sehingga dengan demikian Firman itu juga dalam kasih berada di dalam Bapa (Yohanes 14:10). Roh Kudus sebagai Roh Allah memang sejak kekal berada di dalam Bapa (I Korintus 2:10-11), namun karena Ia yang mencurahkan Kasih Allah berarti hidup Allah berada dalam Roh Kudus, kepada Firman, berarti Ia juga bersemayam di dalam Firman. Dengan demikian dalam kasih itu ini masing-masing hypostasis saling diam-mendiami sedemikan, sehinngga tak dapat dibagi-bagi ataupun dipisahkan.
Untuk memahami lebih jauh tentang hal ini maka kita juga perlu mengetahui ajaran Iman Orthodox mengenai perbedaan antara “Essensi” dan “Energi-Energi” di dalam diri Allah.
Yang dimaksud dengan “Essensi” adalah keberadaan dan hidup Allah yang tak tercipta yang ada di dalam Allah sendiri yang tidak dapat diketahui, tak dapat dimengerti maupun dialami makhluk/ciptaan dimana makhluk/ciptaan, terutama manusia dan malaikat, tak dapat ambil bagian didalamNya.
Essensi itu adalah apa adanya Allah itu, dan itulah yang menyebabkan Allah itu adalah Allah, dan bukan makhluk/ciptaan serta berbeda secara radikal dan total dari makhluk/ciptaan. Inilah yang dikatakan dalam I Timotius 6:16 “Dialah satu-satunya yang tidak takluk kepada maut, bersemayam DALAM TERANG YANG TAK TERHAMPIRI”. Ayat ini mengatakan bahwa Allah bersemayam “DALAM TERANG” bukan “dalam TEMPAT terang”, karena sebagai yang memiliki keberadaan yang tak tercipta (Mazmur 90:2), yang tak takluk kepada maut (I Tim.6:16) , yang Roh (Yohanes 4:24), yang tak dapat ditampung (II Tawarikh 6:18), maka Allah itu tak butuh “TEMPAT” dan tak berada dalam “TEMPAT”, artinya Allah tak butuh “Ruang” dan “Waktu”.
Ini berarti Allah bersemayam dalam “TERANG/NUR” kemuliaanNya sendiri. Dengan demikian Allah dikelilingi oleh Nur/KemuliaanNya sendiri, sebagaimana dikatakan “TUHAN (YHWH), Allahku…..berselimutkan terang seperti kain…” (Mazmur 104: 1a-2). Jika Nur/Terang persemayaman Allah itu merupakan “TERANG YANG TAK TERHAMPIRI” berarti Dia yang berada “DALAM TERANG” ini lebih-lebih tak dapat dihampiri, tak dapat dimengerti, tak dapat didekati oleh makhluk. Inilah Esensi Allah yang makhluk ciptaan tak dapat mengatakan bagaimana, tak dapat ikut ambil bagian di dalamnya, tak dapat menghampirinya. Hanya Allah dalam hypostasis-hypostasisNya saja yang mengetahui dan ada dalam Esensi Ilahi yang satu itu.
Sedangkan yang disebut “Energi-Energi” Allah itu adalah keberadaan dan hidup Allah yang tak tercipta yang mengalir dari dalam Essensi serta keluar dari Allah untuk berinteraksi dengan makhluk/ciptaan dimana manusia dapat mengalaminya serta dapat mengambil bagian di dalamnya. Itulah yang dikatakan dalam Kisah Rasul 17:28 :” Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, …”. Dan Energi-Energi Ilahi itulah “TERANG” yaitu “KEMULIAAN” yang mengelilingi Allah. Karena Alkitab mengatakan bahwa Yesus Kristus dibangkitkan oleh “KEMULIAAN” Bapa (Roma 4:4). Padahal menurut Efesus 1:19-20 dikatakan :”…..betapa hebat kuasaNya bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasaNya (bhs asli:”energhian tou kratous tees iskhuos autou” = energi dari kekuatan kuasaNya”) yang dikerjakannNya (bhs asli “een eneerghikan” = yang di energi-kan) di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukkanNya di sebelah kananNya di sorga” .
Ini berarti bahwa “kemuliaan Bapa” yang membangkitkan Kristus itu tak lain adalah “Energi” dari kekuatan kuasa Allah, yang dienergikan dalam Kristus dengan membangkitkanNya dari antara orang mati. Jadi kemuliaan itu tak lain adalah energi itu. Dan Energi Ilahi ini bukan hanya yang membangkitkan Kristus dari antara orang mati saja, tetapi yang juga “mendudukkanNya di sebelah kananNya di sorga” . Jadi energi ini betul-betul merupakan “kuasa yang hebat”. Dan energi ilahi yaitu Kemulian/Terang ilahi yang pada dasarnya tak dapat dihampiri manusia itu, justru yang dikatakan sebagai “betapa hebat kuasaNya bagi kita yang percaya”, yang berarti energi ilahi itu dikaruniakan untuk dialami sebagai “kuasa yang hebat” bagi manusia yang percaya. Ketika energi-energi ilahi itu bekerja di dalam manusia yang percaya yang mengubah dan menguduskan hidup manusia, itulah yang disebut Alkitab sebagai “kasih-karunia/rahmat/anugerah = “grace” (Inggris)/kharis (Yunani). Inilah kuasa yang membuat kita manunggal dengan Allah di dalam Kristus oleh Roh Kudus dalam kemuliaanNya, sehingga kita bisa “ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi” ( II Petrus 1:4).
Demikian juga mengenai pembahasan Yoh 17:21,
"Supaya mereka semua menjadi satu sama seperti Engkau, ya Bapa, DI DALAM Aku dan Aku DI DALAM Engkau, agar mereka juga DI DALAM Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku."
Apakah “berarti komunitas perikoretik antara Bapa dan Putra diekstensikan kepada Gereja”? Untuk mengerti hal ini, marilah kita lihat Yohanes 17:21 itu dalam kaitannya dengan Yohanes 17:22 yang berbunyi demikian: ”Dan Aku telah memberikan kepada mereka KEMULIAAN , yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita adalah satu”. Menurut ayat ini Sang Kristus telah memberikan “KEMULIAAN” kepada para pengikutNya. Dan “KEMULIAAN” itu adalah kemuliaan yang telah Bapa berikan kepada Sang Kristus sebagai FirmanNya, bukan hanya pada saat menjadi manusia itu saja, tetapi juga sejak kekal. Karena oleh Sang Kristus, Firman Allah yang menjelma itu, dinyatakan mengenai KEMULIAAN itu sebagai “KEMULIAAN yang Kumiliki dihadiratMu sebelum dunia ada” (Yohanes 17:5), berarti ini adalah “KEMULIAAN “ kekal yang tak tercipta, sebelum adanya dunia. Itulah energi ilahi yang tak tercipta.
Dan para pengikut Kristus itu diberi “KEMULIAAN” kekal ini dengan tujuan “supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita adalah satu”. Kesatuan Bapa dan FirmanNya adalah kesatuan Ilahi, karena berlandaskan kesatuan dalam Esensi Allah yang satu dan juga kesatuan akibat “Perikhoresis” (“saling mendiami”) dari tiga hypostasis dari Allah yang Esa ini. Namun kesatuan para pengikut Kristus itu meskipun juga merupakan kesatuan Ilahi (“menjadi satu sama seperti Kita adalah satu”) namun yang menjadi faktor penyatuannya bukanlah “Esensi Ilahi” ataupun “Perikhoresis Hypostasis-Hypostasis” Allah yang Esa, seperti yang ada pada Allah itu, namun “KEMULIAAN” kekal. Yaitu penyatuan dalam Energi Ilahi yang Tak Tercipta, yang telah diberikan kepada mereka oleh Sang Kristus (“Aku telah memberikan kepada mereka KEMULIAAN”). Karena Energi Ilahi itu tak tercipta, dan hanya Allah saja yang tak tercipta, jadi meskipun manusia tak dapat mengambil bagian dalam Esensi Ilahi, sebab kalau manusia dapat ambil bagian dalam Esensi Ilahi maka ia akan berhenti menjadi makhluk dan menjadi Allah karena Esensinya sama dengan Allah, tetapi tetap manusia itu betul-betul manunggal dengan Allah, dan berada “DI DALAM” Allah, yaitu “DI DALAM” Energi atau Kemuliaan Allah, yang bersifat kekal.
Dikatakan “…mereka semua menjadi satu sama seperti….” Artinya kesatuan para pengikut Kristus, yaitu Gereja, bukanlah berasal dari dunia ini, karena ini bukan kesatuan sosial, kesatuan politik, kesatuan ormas, kesatuan kekeluargaan, maupun kesatuan kesukuan dan kebangsaan, namun ini merupakan “satu sama seperti Engkau, ya Bapa, DI DALAM Aku dan Aku DI DALAM Engkau”, yaitu “kesatuan Ilahi”. Hanya bedanya kalau Bapa “Di Dalam” Putra/Firman, dan Putra/Firman “di Dalam Bapa” itu landasannya adalah kesatuan Esensi dan Perikhoresis Kedua Hypostasis itu, sedangkan para pengikut Kristus “kesatuan ilahi”nya landasannya adalah dalam “KEMULIAAN” atau Energi Ilahi. Dengan demikian para pengikut Kristus betul-betul ada “Di Dalam Kita” yaitu “Di Dalam” Energi Bapa dan Putra, karena Kemuliaan/Energi Bapa itu juga berada di dalam Putra. Dengan demikian manusia meskipun “ikut ambil bagian dalam kodrat Ilahi” (II Petrus 1:4), namun ia tak berubah jadi Allah, karena ia tak ambil bagian dalam “esensi ilahi”, hanya dalam “energi ilahi” saja. Demikian juga meskipun manusia itu ada “DI DALAM KITA” (“DI DALAM BAPA DAN PUTRA”) tak berarti para pengikut Kristus, Gereja, itu juga ikut ambil bagian dalam “Perikhoresis Hypostasis-Hypostasis” dari Allah yang Esa. Sebab jika demikian, maka Allah tak akan hanya memiliki Tiga Hypostasis saja, namun milyaran hypostasis.
Yang benar adalah manusia ada “DI DALAM BAPA dan PUTRA” melalui Energi Ilahi yang Satu, yang merupakan milik Bapa dan Putra sekaligus. Dengan demikian “komunitas perikoretik antara Bapa dan Putra” itu tidak “diekstensikan kepada Gereja”. Manusia tidak memiliki hypostasis ilahi, jadi tak mungkin mengalami “perikhopresis” dengan hypostasis-hypostasis ilahi itu. Penyatuan manusia dalam kodrat Ilahi, dalam Kemuliaan/Energi Allah, inilah yang disebut “theosis”/”pengilahian” yaitu “Pemuliaan”, karena manusia menyatu dengan “Kemuliaan Allah”
Selanjutnya mengenai Allah Tritunggal, I Korintus 8:6 mengatakan demikian :”namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang daripadaNya berasal segala sesuatu….”. Menurut ayat ini Allah yang satu ini disebut Bapa, karena “daripadaNya berasal segala sesuatu”. Jadi Allah disebut Bapa karena Dia merupakan asal dan sumber dari segala sesuatu. Padahal Allah itu kekal, Jika Dia hanya sumber dari segala ciptaan yang tidak bersifat kekal ini saja, maka gelar Bapa yang dimilikiNya itu tak bersifat kekal, berarti ada yang baru dalam Allah. Jika ada yang baru dalam sifat-sifat Allah, berarti Dia bukan Allah, tetapi makhluk. Karena semua yang ada pada Allah itu haruslah bersifat kekal, hanya makhluk saja yang bersifat baru. Berarti kalau begitu gelar Bapa itu harus pula bersifat kekal, dengan demikian Allah harus juga menjadi “asal” (“arkhee”) atau “sumber” (“peeghee”) dari sesuatu yang kekal. Karena gelar Bapa itu disamping berarti bahwa Allah itu sebagai asal dan sumber, namun juga gelar ini mengasumsikan adanya sesuatu yang menyebabkan gelarNya ini harus berbunyi “Bapa”. Padahal menurut makna kata, seseorang itu disebut Bapa kalau dia memiliki Anak. Jadi jika gelar Bapa itu bersifat kekal, maka di dalam Allah itu harus ada “Anak” yang secara kekal “berasal” yaitu “diperanakkan” dalam diri Allah. Dengan demikian Allah itu disebut Bapa karena sejak kekal “memperanakkan” AnakNya.
Dan menurut Ibrani 1:2, Allah menciptakan alam semesta melalui “Anak” ini. Sedangkan menurut Yohanes 1:1-3 dan menurut Kejadian 1:1, 3, 6,9,11,14,20,24,26, Allah menciptakan segala sesuatu melalui “Firman”, jadi yang disebut “Anak” itu adalah “Firman” ini. Dengan demikian sejak kekal Allah itu memiliki FirmanNya yang diperanakkan (“yaitu dilahirkan dari kandungan akal-budi ilahiNya”) secara kekal dari dalam diriNya sendiri, sehingga Ia disebut Bapa.
”Firman” atau “Kata-Kata” seseorang adalah ekspresi dan penyataan dari diri orang itu. Sehingga dengan mendengarkan atau membaca kata-kata seseorang dalam wujud tulisannyapun, kita dapat mengerti sifat-sifat dan watak orang yang bersangkutan. Demikian pula Firman Allah adalah yang “menyatakan” Allah (Yohanes 1:18), sehingga “Barangsiapa telah melihat Aku (Firman/Anak), ia telah melihat Bapa (Allah)” (Yohanes 14:9). Dengan demikian Firman Allah itu menggambarkan siapa Allah itu, dan memang Firman Allah itu disebut “gambar Allah” ( II Korintus 4: 4, Kolose 1:15, Ibrani 1:3). Karena dalam dunia manusia yang menggambarkan seorang bapa adalah anaknya, itulah sebabnya Gambar Allah yang adalah Firman Allah itu disebut juga sebagai “Anak Allah”, meskipun secara jasmani Allah itu tak beranak dan tak diperanakkan.
Sedangkan mengenai Roh Kudus atau Roh Allah, Ia tak pernah disebut sebagai Gambar Allah, namun “Nafas Allah” (Ayub 33:4, Mazmur 33:6). Nafas yang keluar dari seseorang itu bukan merupakan ekspresi sifat dan watak dari orang yang bersangkutan, karena kata-katanyalah yang berfungsi demikian. Begitu juga Roh Allah yang adalah Nafas Allah, Dia keluar dari Allah bukan menjadi ekspresi sifat-sifat keberadaan Allah, artinya dia bukan yang “menyatakan” Allah, namun hanya menunjukkan hidup dan kuasa Allah saja, itulah sebabnya Ia tak pernah disebut “Gambar Allah” dengan demikian Ia bukan Anak Allah, sebab hanya anak yang menggambarkan bapanya.
Karena Ia bukan Anak Allah, karena Dia bukan Firman Allah dan bukan Gambar Allah, maka keluarnya Roh Allah dari Allah tak disebut sebagai “diperanakkan” oleh Allah. Sebab Nafas itu bukan diperanakkan oleh seseorang, namun hanya dikeluarkan oleh hidung orang itu sebagai hembusan (bdk. Yohanes 20:22). Oleh sebab itu Roh Allah disebut hanya sebagai yang “keluar dari Bapa “ ( Yohanes 15:26), dan bukan “diperanakkan” oleh Bapa.
Dalam theologia Orthodox diajarkan bahwa Allah itu Esa, sebab Bapa itu satu (I Korintus 8:6), dengan demikian Keesaan (“Monarkhi”) Sang Bapa itu adalah sumber ke-Esa-an dalam Tritunggal Maha Kudus. Dari Bapa yang Esa inilah, “diperanakkanNya” Anak atau Firman, dan “keluarNya” Roh Kudus. Jadi memang ada jenjang dalam “hubungan hypostasis” (I Korintus 11:3, Yoihanes 14:28), namun dalam “esensi” Ilahi yang hanya satu itu, satu hypostasis tak ada yang lebih ilahi dari hypostasis yang lain, karena esensi Ilahi itu hanya satu dan di dalam esensi yang satu itu ketiga hypostasis bersemayam, dan dalam tiga hypostasis itu esensi ilahi berada. Itulah sebabnya mengapa dalam theologia Orthodox Sang Bapa itu memang disebut sebagai “ARKHEE” (“Asal-Usul”) maupun “PEGHEE” (“Sumber”).
Atas Nama Sang Bapa, dan Sang Putra , serta Sang Roh Kudus, Allah yang Esa. Amin.
Kali ini, kita mulai dengan memahami bahwa menurut Roma 5:5 Roh Kudus adalah berfungsi sebagai “PENCURAH KASIH ALLAH”.
Memang ketika sudah ada manusia dan Firman Allah sudah datang ke dunia, kasih itu dicurahkan ke dalam hati kita, manusia yang telah ditebus oleh Kristus ini. Namun karena Roh Kudus itu adalah Roh yang kekal (Ibrani 9:14) maka fungsi Roh Kudus sebagai “Pencurah Kasih Allah” ini juga kekal.
Padahal yang secara kekal, sebelum adanya dunia, dikasihi Allah itu adalah Firman Allah sendiri (Yohanes 17:24), ini berarti sejak kekal kasih Allah itu dicurahkan oleh Roh Kudus kepada Firman itu. Dalam menanggapi kasih Allah (yang adalah essensi hidup Allah) itu sendiri, Sang Firman menyatakan bahwa “Aku mengasihi Bapa” (Yohanes 14:31). Padahal kasih essensi hidup Allah, dan hidup Allah yang sama itulah yang diberikan kepada Sang Firman (Yohanes 5:26), berarti kasih yang dimiliiki Firman kepada Bapa adalah kasih yang sama yang dicurahkan Bapa oleh Roh Kudus kepada Firman. Dengan demikian kasih di dalam Allah itu hanya ada satu, yang tinggal pada Bapa, sebagai asal-usulnya, dan di dalam Firman sebagai penerima kasih itu, serta Roh Kudus sebagai pencurah kasih itu.
Dengan demikian kasih Allah yang satu itu bersemayam secara “seragam” di dalam Allah, FirmanNya maupun RohNya. Karena masing-masing hypostasis ini memiliki kasih yang satu ini secara penuh dan sama. Sedangkan mengenai “komunikasi hypostasis” dalam hubungannya dengan kasih Allah yang satu ini, seperti sudah dijelaskan bahwa Bapa adalah asal-usul dan sumber dari kasih itu, sedangkan Firman adalah sasaran akhir dan tujuan dari kasih itu, sedangkan Roh Kudus adalah yang mencurahkan kasih itu kepada Firman dan mengembalikan atau memantulkan kasih yang sama tadi dari Firman kepada Bapa, sehingga di dalam Tritunggal Yang Esa itu ada lingkaran gerak kasih yang kekal tanpa henti.
Karena gerak itu tanda kehidupan, maka dengan adanya gerakan kasih tanpa henti dalam Allah Yang Esa itu, maka terbukti Allah itu memang Allah yang hidup, dan dengan hal ini terbukti pula bahwa hidup Allah itu identik dengan kasih Allah itu sendiri. Jadi Allah Alkitab itu tidak sama dengan “Unmoved Mover” (“Penggerak yang Tak Bergerak”) nya Aristoteles. Itulah sebabnya dikatakan “Allah itu kasih” (I Yohanes 4:8, 16).
Sedangkan mengenai “gambaran hypostasis” itu harus kita fahami bahwa ketika kita berbicara mengenai keberadaan Allah yang sebenarnya atau mengenai “the true nature of God” dan “the inner life of God” Alkitab mengatakan ”Tak seorangpun pernah melihat Allah” (Yohanes 1:18), atau juga “ ..Seorangpun tak pernah melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia…” (I Timotius 6:16b), serta ”…..tidak ada orang yang tahu. Apa yang terdapat dalam diri Allah…” (I Korintus 2:11b) . Ini bermakna bahwa manusia pada dasarnya tak dapat melihat, yaitu mengerti dan memahami, esensi dan hidup yang terdalam dari Allah, sehingga kita harus memahami esensi Allah ini secara “via negative” atau dengan jalan “apophatika” ( “jalan menidakkan atau mem-bukan-kan”), artinya esensi Allah itu tidak begini dan tidak begitu, bukan ini dan bukan itu.
Namun Alkitab juga menjelaskan bahwa bukan hanya mengenai esensi Allah saja yang tak dapat digambarkan, bahkan masing-masing hypostasis dalam Tritunggal itupun tak dapat digambarkan, sebagaimana dikatakan: ” …tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak…” (Matius 11:27), juga: ”…Roh Kebenaran. ….dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia…” (Yohanes 14: 17). Dengan demikian penggambaran secara akali, ataupun secara filsafati, mengenai ketiga hypostasis dalam Allah yang Esa ini tidak mungkin dilakukan. Namun itu tak berarti hypostasis-hypostasis itu tak bisa difahami, namun pemahamannya bukan dalam ranah filsafat ataupun logika, namun dalam ranah pengalaman “mistika”, karena dikatakan oleh Alkitab: ”tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan ORANG YANG KEPADANYA ANAK ITU BERKENAN MENYATAKANNYA’” (Matius 11:27). Jadi pemahaman dan penggambaran kita akan hypostasis Allah itu baru mungkin terjadi setelah kita mengalami penyataan dari Yesus Kristus. Demikian juga dikatakan “…tidak ada seorangpun yang dapat mengaku “Yesus itu Tuhan”, selain oleh Roh Kudus “ (I Korintus 12:3) yang berarti bahwa penyataan Yesus Kristus itu baru mungkin terjadi oleh dan di dalam kuasa Roh Kudus. Dan penyataan Yesus Kristus serta penerangan Roh Kudus itu baru terjadi setelah kita melakukan pembersihan dan pengudusan batin melalui pertobatan dan hidup kudus, karena Alkitab mengatakan :”…..orang yang suci hatinya, …dia akan melihat Allah” (Matius 5:8). Jadi tanpa kesucian hati kita tak akan dapat melihat Allah, memahami, mengalami ataupun menggambarkan Allah, baik dalam esensiNya maupun dalam hypostasis-hypostasis-Nya.
Selanjutnya ketiga hypostasis itu saling merespons kasih antar ketiganya melalui “perikhoresis” (“saling mendiami”). Karena kasih Allah itu dicurahkan melalui Roh Kudus (Roma 5:5), kepada Firman (Yohanes 17:24), dan kasih Allah adalah hidup Allah, sehingga kepada Firman hidup Allah ini diberikan dan berdiam (Yohanes 5:26) dengan demikian maka Bapa itu diam di dalam Firman (Yohanes 14:10). Demikian juga karena bukan saja Firman itu berada di dalam Bapa, namun karena Firman itu adalah FirmanNya Bapa berarti Firman itu sejak kekal berada di dalam Bapa. Namun juga oleh Roh Kudus yang sama Firman itu memantulkan kasih Bapa itu kembali kepada Bapa, sehingga dengan demikian Firman itu juga dalam kasih berada di dalam Bapa (Yohanes 14:10). Roh Kudus sebagai Roh Allah memang sejak kekal berada di dalam Bapa (I Korintus 2:10-11), namun karena Ia yang mencurahkan Kasih Allah berarti hidup Allah berada dalam Roh Kudus, kepada Firman, berarti Ia juga bersemayam di dalam Firman. Dengan demikian dalam kasih itu ini masing-masing hypostasis saling diam-mendiami sedemikan, sehinngga tak dapat dibagi-bagi ataupun dipisahkan.
Untuk memahami lebih jauh tentang hal ini maka kita juga perlu mengetahui ajaran Iman Orthodox mengenai perbedaan antara “Essensi” dan “Energi-Energi” di dalam diri Allah.
Yang dimaksud dengan “Essensi” adalah keberadaan dan hidup Allah yang tak tercipta yang ada di dalam Allah sendiri yang tidak dapat diketahui, tak dapat dimengerti maupun dialami makhluk/ciptaan dimana makhluk/ciptaan, terutama manusia dan malaikat, tak dapat ambil bagian didalamNya.
Essensi itu adalah apa adanya Allah itu, dan itulah yang menyebabkan Allah itu adalah Allah, dan bukan makhluk/ciptaan serta berbeda secara radikal dan total dari makhluk/ciptaan. Inilah yang dikatakan dalam I Timotius 6:16 “Dialah satu-satunya yang tidak takluk kepada maut, bersemayam DALAM TERANG YANG TAK TERHAMPIRI”. Ayat ini mengatakan bahwa Allah bersemayam “DALAM TERANG” bukan “dalam TEMPAT terang”, karena sebagai yang memiliki keberadaan yang tak tercipta (Mazmur 90:2), yang tak takluk kepada maut (I Tim.6:16) , yang Roh (Yohanes 4:24), yang tak dapat ditampung (II Tawarikh 6:18), maka Allah itu tak butuh “TEMPAT” dan tak berada dalam “TEMPAT”, artinya Allah tak butuh “Ruang” dan “Waktu”.
Ini berarti Allah bersemayam dalam “TERANG/NUR” kemuliaanNya sendiri. Dengan demikian Allah dikelilingi oleh Nur/KemuliaanNya sendiri, sebagaimana dikatakan “TUHAN (YHWH), Allahku…..berselimutkan terang seperti kain…” (Mazmur 104: 1a-2). Jika Nur/Terang persemayaman Allah itu merupakan “TERANG YANG TAK TERHAMPIRI” berarti Dia yang berada “DALAM TERANG” ini lebih-lebih tak dapat dihampiri, tak dapat dimengerti, tak dapat didekati oleh makhluk. Inilah Esensi Allah yang makhluk ciptaan tak dapat mengatakan bagaimana, tak dapat ikut ambil bagian di dalamnya, tak dapat menghampirinya. Hanya Allah dalam hypostasis-hypostasisNya saja yang mengetahui dan ada dalam Esensi Ilahi yang satu itu.
Sedangkan yang disebut “Energi-Energi” Allah itu adalah keberadaan dan hidup Allah yang tak tercipta yang mengalir dari dalam Essensi serta keluar dari Allah untuk berinteraksi dengan makhluk/ciptaan dimana manusia dapat mengalaminya serta dapat mengambil bagian di dalamnya. Itulah yang dikatakan dalam Kisah Rasul 17:28 :” Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, …”. Dan Energi-Energi Ilahi itulah “TERANG” yaitu “KEMULIAAN” yang mengelilingi Allah. Karena Alkitab mengatakan bahwa Yesus Kristus dibangkitkan oleh “KEMULIAAN” Bapa (Roma 4:4). Padahal menurut Efesus 1:19-20 dikatakan :”…..betapa hebat kuasaNya bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasaNya (bhs asli:”energhian tou kratous tees iskhuos autou” = energi dari kekuatan kuasaNya”) yang dikerjakannNya (bhs asli “een eneerghikan” = yang di energi-kan) di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukkanNya di sebelah kananNya di sorga” .
Ini berarti bahwa “kemuliaan Bapa” yang membangkitkan Kristus itu tak lain adalah “Energi” dari kekuatan kuasa Allah, yang dienergikan dalam Kristus dengan membangkitkanNya dari antara orang mati. Jadi kemuliaan itu tak lain adalah energi itu. Dan Energi Ilahi ini bukan hanya yang membangkitkan Kristus dari antara orang mati saja, tetapi yang juga “mendudukkanNya di sebelah kananNya di sorga” . Jadi energi ini betul-betul merupakan “kuasa yang hebat”. Dan energi ilahi yaitu Kemulian/Terang ilahi yang pada dasarnya tak dapat dihampiri manusia itu, justru yang dikatakan sebagai “betapa hebat kuasaNya bagi kita yang percaya”, yang berarti energi ilahi itu dikaruniakan untuk dialami sebagai “kuasa yang hebat” bagi manusia yang percaya. Ketika energi-energi ilahi itu bekerja di dalam manusia yang percaya yang mengubah dan menguduskan hidup manusia, itulah yang disebut Alkitab sebagai “kasih-karunia/rahmat/anugerah = “grace” (Inggris)/kharis (Yunani). Inilah kuasa yang membuat kita manunggal dengan Allah di dalam Kristus oleh Roh Kudus dalam kemuliaanNya, sehingga kita bisa “ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi” ( II Petrus 1:4).
Demikian juga mengenai pembahasan Yoh 17:21,
"Supaya mereka semua menjadi satu sama seperti Engkau, ya Bapa, DI DALAM Aku dan Aku DI DALAM Engkau, agar mereka juga DI DALAM Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku."
Apakah “berarti komunitas perikoretik antara Bapa dan Putra diekstensikan kepada Gereja”? Untuk mengerti hal ini, marilah kita lihat Yohanes 17:21 itu dalam kaitannya dengan Yohanes 17:22 yang berbunyi demikian: ”Dan Aku telah memberikan kepada mereka KEMULIAAN , yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita adalah satu”. Menurut ayat ini Sang Kristus telah memberikan “KEMULIAAN” kepada para pengikutNya. Dan “KEMULIAAN” itu adalah kemuliaan yang telah Bapa berikan kepada Sang Kristus sebagai FirmanNya, bukan hanya pada saat menjadi manusia itu saja, tetapi juga sejak kekal. Karena oleh Sang Kristus, Firman Allah yang menjelma itu, dinyatakan mengenai KEMULIAAN itu sebagai “KEMULIAAN yang Kumiliki dihadiratMu sebelum dunia ada” (Yohanes 17:5), berarti ini adalah “KEMULIAAN “ kekal yang tak tercipta, sebelum adanya dunia. Itulah energi ilahi yang tak tercipta.
Dan para pengikut Kristus itu diberi “KEMULIAAN” kekal ini dengan tujuan “supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita adalah satu”. Kesatuan Bapa dan FirmanNya adalah kesatuan Ilahi, karena berlandaskan kesatuan dalam Esensi Allah yang satu dan juga kesatuan akibat “Perikhoresis” (“saling mendiami”) dari tiga hypostasis dari Allah yang Esa ini. Namun kesatuan para pengikut Kristus itu meskipun juga merupakan kesatuan Ilahi (“menjadi satu sama seperti Kita adalah satu”) namun yang menjadi faktor penyatuannya bukanlah “Esensi Ilahi” ataupun “Perikhoresis Hypostasis-Hypostasis” Allah yang Esa, seperti yang ada pada Allah itu, namun “KEMULIAAN” kekal. Yaitu penyatuan dalam Energi Ilahi yang Tak Tercipta, yang telah diberikan kepada mereka oleh Sang Kristus (“Aku telah memberikan kepada mereka KEMULIAAN”). Karena Energi Ilahi itu tak tercipta, dan hanya Allah saja yang tak tercipta, jadi meskipun manusia tak dapat mengambil bagian dalam Esensi Ilahi, sebab kalau manusia dapat ambil bagian dalam Esensi Ilahi maka ia akan berhenti menjadi makhluk dan menjadi Allah karena Esensinya sama dengan Allah, tetapi tetap manusia itu betul-betul manunggal dengan Allah, dan berada “DI DALAM” Allah, yaitu “DI DALAM” Energi atau Kemuliaan Allah, yang bersifat kekal.
Dikatakan “…mereka semua menjadi satu sama seperti….” Artinya kesatuan para pengikut Kristus, yaitu Gereja, bukanlah berasal dari dunia ini, karena ini bukan kesatuan sosial, kesatuan politik, kesatuan ormas, kesatuan kekeluargaan, maupun kesatuan kesukuan dan kebangsaan, namun ini merupakan “satu sama seperti Engkau, ya Bapa, DI DALAM Aku dan Aku DI DALAM Engkau”, yaitu “kesatuan Ilahi”. Hanya bedanya kalau Bapa “Di Dalam” Putra/Firman, dan Putra/Firman “di Dalam Bapa” itu landasannya adalah kesatuan Esensi dan Perikhoresis Kedua Hypostasis itu, sedangkan para pengikut Kristus “kesatuan ilahi”nya landasannya adalah dalam “KEMULIAAN” atau Energi Ilahi. Dengan demikian para pengikut Kristus betul-betul ada “Di Dalam Kita” yaitu “Di Dalam” Energi Bapa dan Putra, karena Kemuliaan/Energi Bapa itu juga berada di dalam Putra. Dengan demikian manusia meskipun “ikut ambil bagian dalam kodrat Ilahi” (II Petrus 1:4), namun ia tak berubah jadi Allah, karena ia tak ambil bagian dalam “esensi ilahi”, hanya dalam “energi ilahi” saja. Demikian juga meskipun manusia itu ada “DI DALAM KITA” (“DI DALAM BAPA DAN PUTRA”) tak berarti para pengikut Kristus, Gereja, itu juga ikut ambil bagian dalam “Perikhoresis Hypostasis-Hypostasis” dari Allah yang Esa. Sebab jika demikian, maka Allah tak akan hanya memiliki Tiga Hypostasis saja, namun milyaran hypostasis.
Yang benar adalah manusia ada “DI DALAM BAPA dan PUTRA” melalui Energi Ilahi yang Satu, yang merupakan milik Bapa dan Putra sekaligus. Dengan demikian “komunitas perikoretik antara Bapa dan Putra” itu tidak “diekstensikan kepada Gereja”. Manusia tidak memiliki hypostasis ilahi, jadi tak mungkin mengalami “perikhopresis” dengan hypostasis-hypostasis ilahi itu. Penyatuan manusia dalam kodrat Ilahi, dalam Kemuliaan/Energi Allah, inilah yang disebut “theosis”/”pengilahian” yaitu “Pemuliaan”, karena manusia menyatu dengan “Kemuliaan Allah”
Selanjutnya mengenai Allah Tritunggal, I Korintus 8:6 mengatakan demikian :”namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang daripadaNya berasal segala sesuatu….”. Menurut ayat ini Allah yang satu ini disebut Bapa, karena “daripadaNya berasal segala sesuatu”. Jadi Allah disebut Bapa karena Dia merupakan asal dan sumber dari segala sesuatu. Padahal Allah itu kekal, Jika Dia hanya sumber dari segala ciptaan yang tidak bersifat kekal ini saja, maka gelar Bapa yang dimilikiNya itu tak bersifat kekal, berarti ada yang baru dalam Allah. Jika ada yang baru dalam sifat-sifat Allah, berarti Dia bukan Allah, tetapi makhluk. Karena semua yang ada pada Allah itu haruslah bersifat kekal, hanya makhluk saja yang bersifat baru. Berarti kalau begitu gelar Bapa itu harus pula bersifat kekal, dengan demikian Allah harus juga menjadi “asal” (“arkhee”) atau “sumber” (“peeghee”) dari sesuatu yang kekal. Karena gelar Bapa itu disamping berarti bahwa Allah itu sebagai asal dan sumber, namun juga gelar ini mengasumsikan adanya sesuatu yang menyebabkan gelarNya ini harus berbunyi “Bapa”. Padahal menurut makna kata, seseorang itu disebut Bapa kalau dia memiliki Anak. Jadi jika gelar Bapa itu bersifat kekal, maka di dalam Allah itu harus ada “Anak” yang secara kekal “berasal” yaitu “diperanakkan” dalam diri Allah. Dengan demikian Allah itu disebut Bapa karena sejak kekal “memperanakkan” AnakNya.
Dan menurut Ibrani 1:2, Allah menciptakan alam semesta melalui “Anak” ini. Sedangkan menurut Yohanes 1:1-3 dan menurut Kejadian 1:1, 3, 6,9,11,14,20,24,26, Allah menciptakan segala sesuatu melalui “Firman”, jadi yang disebut “Anak” itu adalah “Firman” ini. Dengan demikian sejak kekal Allah itu memiliki FirmanNya yang diperanakkan (“yaitu dilahirkan dari kandungan akal-budi ilahiNya”) secara kekal dari dalam diriNya sendiri, sehingga Ia disebut Bapa.
”Firman” atau “Kata-Kata” seseorang adalah ekspresi dan penyataan dari diri orang itu. Sehingga dengan mendengarkan atau membaca kata-kata seseorang dalam wujud tulisannyapun, kita dapat mengerti sifat-sifat dan watak orang yang bersangkutan. Demikian pula Firman Allah adalah yang “menyatakan” Allah (Yohanes 1:18), sehingga “Barangsiapa telah melihat Aku (Firman/Anak), ia telah melihat Bapa (Allah)” (Yohanes 14:9). Dengan demikian Firman Allah itu menggambarkan siapa Allah itu, dan memang Firman Allah itu disebut “gambar Allah” ( II Korintus 4: 4, Kolose 1:15, Ibrani 1:3). Karena dalam dunia manusia yang menggambarkan seorang bapa adalah anaknya, itulah sebabnya Gambar Allah yang adalah Firman Allah itu disebut juga sebagai “Anak Allah”, meskipun secara jasmani Allah itu tak beranak dan tak diperanakkan.
Sedangkan mengenai Roh Kudus atau Roh Allah, Ia tak pernah disebut sebagai Gambar Allah, namun “Nafas Allah” (Ayub 33:4, Mazmur 33:6). Nafas yang keluar dari seseorang itu bukan merupakan ekspresi sifat dan watak dari orang yang bersangkutan, karena kata-katanyalah yang berfungsi demikian. Begitu juga Roh Allah yang adalah Nafas Allah, Dia keluar dari Allah bukan menjadi ekspresi sifat-sifat keberadaan Allah, artinya dia bukan yang “menyatakan” Allah, namun hanya menunjukkan hidup dan kuasa Allah saja, itulah sebabnya Ia tak pernah disebut “Gambar Allah” dengan demikian Ia bukan Anak Allah, sebab hanya anak yang menggambarkan bapanya.
Karena Ia bukan Anak Allah, karena Dia bukan Firman Allah dan bukan Gambar Allah, maka keluarnya Roh Allah dari Allah tak disebut sebagai “diperanakkan” oleh Allah. Sebab Nafas itu bukan diperanakkan oleh seseorang, namun hanya dikeluarkan oleh hidung orang itu sebagai hembusan (bdk. Yohanes 20:22). Oleh sebab itu Roh Allah disebut hanya sebagai yang “keluar dari Bapa “ ( Yohanes 15:26), dan bukan “diperanakkan” oleh Bapa.
Dalam theologia Orthodox diajarkan bahwa Allah itu Esa, sebab Bapa itu satu (I Korintus 8:6), dengan demikian Keesaan (“Monarkhi”) Sang Bapa itu adalah sumber ke-Esa-an dalam Tritunggal Maha Kudus. Dari Bapa yang Esa inilah, “diperanakkanNya” Anak atau Firman, dan “keluarNya” Roh Kudus. Jadi memang ada jenjang dalam “hubungan hypostasis” (I Korintus 11:3, Yoihanes 14:28), namun dalam “esensi” Ilahi yang hanya satu itu, satu hypostasis tak ada yang lebih ilahi dari hypostasis yang lain, karena esensi Ilahi itu hanya satu dan di dalam esensi yang satu itu ketiga hypostasis bersemayam, dan dalam tiga hypostasis itu esensi ilahi berada. Itulah sebabnya mengapa dalam theologia Orthodox Sang Bapa itu memang disebut sebagai “ARKHEE” (“Asal-Usul”) maupun “PEGHEE” (“Sumber”).