Seminar Ikonografi Orthodox di Gedung LAI-Jakarta
Date: 24 April 2014
[Disertai Edit Teks Seperlunya]
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dalam rangka memperingati Jubileum ke-60 Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) serta 20 tahun pelayanan Gereja Orthodox Indonesia, LAI menyelenggarakan Pameran dan Seminar Ikonografi di Gedung Pusat Alkitab-LAI, Jakarta Pusat. Kegiatan yang diselenggarakan atas kerjasama LAI dengan Pusat Kebudayaan Rusia dan Gereja Orthodox Indonesia St. Thomas Rasul tersebut dimulai pada Kamis (24/4) dengan dibukanya pameran ikonografi dan dilanjutkan dengan lokakarya pembuatan ikon serta seminar “Mengenal dan Mendalami Ikonografi”.
Sejumlah ikon koleksi Gereja Orthodox St. Thomas Rasul dan Mangasi Sihombing (mantan Duta Besar Indonesia untuk Hungaria) dipamerkan dalam kegiatan tersebut. Beberapa pengunjung asing pun turut menghayati tokoh-tokoh dan peristiwa kudus yang tercermin dalam ikonografi yang dipamerkan. Tertarik untuk melihat langsung ikonografi, mengenalnya lebih dalam, dan mencoba membuat ikonografi? Jangan khawatir, Pameran dan Seminar Ikonografi masih berlangsung sampai Sabtu (26/4) pada pukul 09.00 – 17.00 di Gedung Pusat Alkitab-LAI, Jl. Salemba Raya No. 12, Jakarta Pusat.
[Disertai Edit Teks Seperlunya]
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dalam rangka memperingati Jubileum ke-60 Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) serta 20 tahun pelayanan Gereja Orthodox Indonesia, LAI menyelenggarakan Pameran dan Seminar Ikonografi di Gedung Pusat Alkitab-LAI, Jakarta Pusat. Kegiatan yang diselenggarakan atas kerjasama LAI dengan Pusat Kebudayaan Rusia dan Gereja Orthodox Indonesia St. Thomas Rasul tersebut dimulai pada Kamis (24/4) dengan dibukanya pameran ikonografi dan dilanjutkan dengan lokakarya pembuatan ikon serta seminar “Mengenal dan Mendalami Ikonografi”.
Sejumlah ikon koleksi Gereja Orthodox St. Thomas Rasul dan Mangasi Sihombing (mantan Duta Besar Indonesia untuk Hungaria) dipamerkan dalam kegiatan tersebut. Beberapa pengunjung asing pun turut menghayati tokoh-tokoh dan peristiwa kudus yang tercermin dalam ikonografi yang dipamerkan. Tertarik untuk melihat langsung ikonografi, mengenalnya lebih dalam, dan mencoba membuat ikonografi? Jangan khawatir, Pameran dan Seminar Ikonografi masih berlangsung sampai Sabtu (26/4) pada pukul 09.00 – 17.00 di Gedung Pusat Alkitab-LAI, Jl. Salemba Raya No. 12, Jakarta Pusat.
Arkhimandrit Dr. Daniel Byantoro (Pendiri dan Ketua Umum Gereja Orthodox Indonesia) mengatakan tradisi ikonografi dalam Gereja Orthodox tidak pernah membuat ikonografi Allah. Karena, Allah tidak dapat digambarkan dalam lukisan maupun dalam patung. Rm. Daniel Byantoro menyampaikan pernyataan tersebut sebagai pengantar materi “Sejarah dan Makna Ikon dalam Gereja Orthodox” pada Seminar Ikonografi yang diselenggarakan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), Kamis (24/4) di Gedung Pusat Alkitab-LAI, Jakarta Pusat.
|
Dalam pemaparannya, Rm.Daniel Byantoro menegaskan bahwa ikon yang dimaksud dalam tradisi Gereja Orthodox Timur adalah dalam bentuk gambar-gambar dan bukan patung. “Sampai sekarang pun Gereja Orthodox melarang penggunaan patung dalam gereja. Bahkan gambar atau ikon pun dilarang melukiskan Allah, sebab Allah tak dapat dilukis atau dipatungkan,” katanya. Rm. Daniel Byantoro memaparkan, “Gereja Orthodox memaknai Pribadi Kristus pada Konsili Ekumenis VII tahun 787 Masehi dengan memusatkannya pada ikon-ikon kudus, yaitu gambar-gambar Kristus, Theotokos yang mencakup Bunda Allah dan Sang Firman, dan para Orang Kudus.” Lebih lanjut, Rm.Daniel Byantoro mengungkapkan tiga hal penting mengenai keberadaan ikonografi dalam tradisi Gereja Orthodox.
Ikon, Bagian Pengajaran Gereja
Mengutip pernyataan Leontius dari Neapolis, Rm.Daniel Byantoro hendak mengatakan bahwa ikonografi adalah bagian tak terpisahkan dari pengajaran gereja. Ia mengatakan, “menurut Leontius, ikon-ikon adalah buku-buku terbuka untuk mengingatkan kita akan Allah. Berdasarkan hal itu, ikon-ikon menjadi salah satu sarana yang digunakan gereja untuk mengajarkan iman. Orang yang kurang dalam pengajaran dan kekurangan waktu untuk memelajari karya-karya teologi cukup hanya masuk gereja untuk melihat yang terpampang pada tembok-tembok, yaitu semua misteri dalam agama Kristen”.
Makna Doktrinal Ikon
Rm.Daniel Byantoro memaparkan inti dari pertikaian Ikonoklasme (gerakan penghancuran ikon) antara ikonoklastis (kaum penghancur ikon) dengan ikonodoulia (kaum penghormat ikon), yaitu apakah ikon merupakan sesuatu yang diperbolehkan atau diharuskan serta mengenai sifat ikon. Mengenai hal tersebut, Rm.Daniel Byantoro mengatakan, “ para pendukung ikonodoulia menyatakan ikon memiliki sifat hakiki karena ikon-ikon menjaga aman suatu doktrin Inkarnasi yang penuh dan layak. Inkarnasi telah membuat seni agamawi menjadi mungkin.”
Ikonografi Bukan Berhala
Sejarah panjang kekristenan dalam berbagai tradisi dan denominasi turut diwarnai perdebatan mengenai ikonografi yang dianggap sebagai bentuk berhala. Menanggapi hal tersebut, Rm.Daniel Byantoro mengatakan, “jika seorang Kristen Orthodox mencium ikon-ikon atau bersujud di hadapannya, ia tidak sedang melakukan penyembahan berhala. Ikon bukanlah berhala, melainkan suatu simbol.” Argumentasi tersebut disampaikannya dengan kembali mengutip pernyataan Leontius yang mengatakan, “kita tidak bersujud kepada kodrat si kayu, tetapi kita menghormati dan bersujud kepada Dia yang disalibkan di atas Salib. Penghormatan yang ditunjukkan kepada gambar-gambar tersebut bukanlah ditujukan kepada kayu atau cat, melainkan kepada pribadi yang digambarkan. Jadi umat Orthodox tidak menyembah ikon melainkan menghormati pribadi yang disimbolkan dalam ikon,” pungkasnya.
Ikon, Bagian Pengajaran Gereja
Mengutip pernyataan Leontius dari Neapolis, Rm.Daniel Byantoro hendak mengatakan bahwa ikonografi adalah bagian tak terpisahkan dari pengajaran gereja. Ia mengatakan, “menurut Leontius, ikon-ikon adalah buku-buku terbuka untuk mengingatkan kita akan Allah. Berdasarkan hal itu, ikon-ikon menjadi salah satu sarana yang digunakan gereja untuk mengajarkan iman. Orang yang kurang dalam pengajaran dan kekurangan waktu untuk memelajari karya-karya teologi cukup hanya masuk gereja untuk melihat yang terpampang pada tembok-tembok, yaitu semua misteri dalam agama Kristen”.
Makna Doktrinal Ikon
Rm.Daniel Byantoro memaparkan inti dari pertikaian Ikonoklasme (gerakan penghancuran ikon) antara ikonoklastis (kaum penghancur ikon) dengan ikonodoulia (kaum penghormat ikon), yaitu apakah ikon merupakan sesuatu yang diperbolehkan atau diharuskan serta mengenai sifat ikon. Mengenai hal tersebut, Rm.Daniel Byantoro mengatakan, “ para pendukung ikonodoulia menyatakan ikon memiliki sifat hakiki karena ikon-ikon menjaga aman suatu doktrin Inkarnasi yang penuh dan layak. Inkarnasi telah membuat seni agamawi menjadi mungkin.”
Ikonografi Bukan Berhala
Sejarah panjang kekristenan dalam berbagai tradisi dan denominasi turut diwarnai perdebatan mengenai ikonografi yang dianggap sebagai bentuk berhala. Menanggapi hal tersebut, Rm.Daniel Byantoro mengatakan, “jika seorang Kristen Orthodox mencium ikon-ikon atau bersujud di hadapannya, ia tidak sedang melakukan penyembahan berhala. Ikon bukanlah berhala, melainkan suatu simbol.” Argumentasi tersebut disampaikannya dengan kembali mengutip pernyataan Leontius yang mengatakan, “kita tidak bersujud kepada kodrat si kayu, tetapi kita menghormati dan bersujud kepada Dia yang disalibkan di atas Salib. Penghormatan yang ditunjukkan kepada gambar-gambar tersebut bukanlah ditujukan kepada kayu atau cat, melainkan kepada pribadi yang digambarkan. Jadi umat Orthodox tidak menyembah ikon melainkan menghormati pribadi yang disimbolkan dalam ikon,” pungkasnya.
|
Juga Pdt. Joas Adiprasetya, pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pondok Indah mengemukakan pandangannya sebagai seorang Calvinis (Kristen Protestan berpedoman ajaran Johannes Calvin) yang hidup pada abad ke-21 mengenai ikonografi. Pendeta yang juga menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta itu mengemukakan pandangannya dalam Seminar Ikonografi yang dilaksanakan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) pada Kamis (24/4) di Gedung Pusat Alkitab-LAI, Jakarta Pusat.
“Saya diminta berbicara ikonografi untuk mewakili, bukan sekadar Protestan, tetapi Protestan yang lebih keras, yaitu dari Calvinisme,” Pdt. Joas mengatakan,”tetapi izinkan saya memberi perspektif dari perspektif Calvinis abad ke-21 yang memang masih memiliki jejak-jejak warisan Calvinisme dan Protestan pada umumnya." |
Pdt. Joas menyadari bahwasanya ikonoklasme, yaitu gerakan penghancuran ikon, kerap dikaitkan dengan Protestantisme. Ia juga mengungkapkan bahwa semua gerakan ikonoklasme mengakarkan diri pada larangan pemakaian imaji yang tertulis dalam kitab Keluaran 20:45 dan Imamat 19:4. Ia bahkan menggambarkan bagaimana Calvin mengambil jalur finitum non capx infiniti (yang terbatas tak mampu menampung yang tak terbatas) sehingga meradikalisasi perbedaan antara Pencipta dan ciptaan. Sebab itu menurut Pdt. Joas, Calvin menganggap semua ibadah kepada Allah harus bersifat spiritual.
Hal tesebut membuat Calvin selalu curiga terhadap semua hasil karsa batin manusia karena dianggap menjadi sanggar bagi manusia untuk menciptakan idol-idol. Namun demikian, Pdt. Joas juga mengakui bahwa dalam proses pembelajarannya, ia banyak dipengaruhi pandangan para Bapa Gereja juga para teolog kontemporer dari Orthodox. Hal ini menjadi salah satu alasan baginya untuk turut mempraktikkan bentuk devosi atau kehidupan spiritual yang menggunakan ikon dari tradisi Orthodox. “Jadi ketika saya berdoa, atau apa yang orang Protestan sebut sebagai saat teduh, saya seringkali menggunakan ikon Andrei Rublev tentang Trinitas, yaitu ikon yang sangat menarik bagi saya. Ikon kedua yang juga sering saya gunakan adalah ikon Maria Ibu Yesus,” ia mengungkapkan.
Ikonoklasme, Usaha Meneguhkan Identitas Baru
Lebih lanjut Pdt. Joas memaparkan pandangannya dengan mendasarkannya pada kesimpulan Willem van Assel tentang sejarah ikonoklasme di kalangan para reformator mula-mula. Ia mengatakan ikonoklasme sesungguhnya merupakan “sebuah usaha meneguhkan identitas baru yang berbeda dari tradisi gereja lama mereka, yaitu Katolik, yang identitasnya direpresentasikan melalui ikon dan imaji religius.” Sebab itu, Willem van Assel akhirnya menyimpulkan bahwa wajah Protestantisme secara perlahan berubah dari iconoclast atau image-breaker (penghancur ikon) menjadi image-maker (pembuat ikon). Protestan yang sebelumnya menolak penggunaan ikon seperti yang digunakan umat Katolik, mulai memunculkan ikon-ikon kontemporer. Dalam akhir pemaparannya Pdt. Joas membuat suatu kesimpulan teologis: “Protestantisme yang mulai belajar menghargai kembali ikonografi dapat tetap mempertahankan sikap kritisnya dengan membarenginya dengan sikap yang terbuka dan murah hati pada praktik spiritual yang berbeda,” pungkas Pdt. Joas.
Sumber:
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/lai-selenggarakan-pameran-ikonografi
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/gereja-orthodox-tidak-pernah-ada-ikonografi-allah
http://www.satuharapan.com/index.php?_route_=read-detail/read/ikonografi-dalam-pandangan-calvinis-abad-21
Hal tesebut membuat Calvin selalu curiga terhadap semua hasil karsa batin manusia karena dianggap menjadi sanggar bagi manusia untuk menciptakan idol-idol. Namun demikian, Pdt. Joas juga mengakui bahwa dalam proses pembelajarannya, ia banyak dipengaruhi pandangan para Bapa Gereja juga para teolog kontemporer dari Orthodox. Hal ini menjadi salah satu alasan baginya untuk turut mempraktikkan bentuk devosi atau kehidupan spiritual yang menggunakan ikon dari tradisi Orthodox. “Jadi ketika saya berdoa, atau apa yang orang Protestan sebut sebagai saat teduh, saya seringkali menggunakan ikon Andrei Rublev tentang Trinitas, yaitu ikon yang sangat menarik bagi saya. Ikon kedua yang juga sering saya gunakan adalah ikon Maria Ibu Yesus,” ia mengungkapkan.
Ikonoklasme, Usaha Meneguhkan Identitas Baru
Lebih lanjut Pdt. Joas memaparkan pandangannya dengan mendasarkannya pada kesimpulan Willem van Assel tentang sejarah ikonoklasme di kalangan para reformator mula-mula. Ia mengatakan ikonoklasme sesungguhnya merupakan “sebuah usaha meneguhkan identitas baru yang berbeda dari tradisi gereja lama mereka, yaitu Katolik, yang identitasnya direpresentasikan melalui ikon dan imaji religius.” Sebab itu, Willem van Assel akhirnya menyimpulkan bahwa wajah Protestantisme secara perlahan berubah dari iconoclast atau image-breaker (penghancur ikon) menjadi image-maker (pembuat ikon). Protestan yang sebelumnya menolak penggunaan ikon seperti yang digunakan umat Katolik, mulai memunculkan ikon-ikon kontemporer. Dalam akhir pemaparannya Pdt. Joas membuat suatu kesimpulan teologis: “Protestantisme yang mulai belajar menghargai kembali ikonografi dapat tetap mempertahankan sikap kritisnya dengan membarenginya dengan sikap yang terbuka dan murah hati pada praktik spiritual yang berbeda,” pungkas Pdt. Joas.
Sumber:
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/lai-selenggarakan-pameran-ikonografi
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/gereja-orthodox-tidak-pernah-ada-ikonografi-allah
http://www.satuharapan.com/index.php?_route_=read-detail/read/ikonografi-dalam-pandangan-calvinis-abad-21