Penyebab Kejatuhan Manusia [by: Fr.Daniel Byantoro]
Date: 26 Agustus 2012
Kali ini kita akan membahas dan menjawab mengenai pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kejatuhan manusia berikut ini:
1) Tahukah Allah bahwa manusia akan jatuh kedalam dosa?
2) Jika Allah tahu mengapa Allah melarang manusia memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat?
3) Mengapa Allah menempatkan manusia ditengah-tengah taman itu?
4) Bukankah ini sama saja dengan menjerumuskan manusia?
5) Jika Allah tidak tahu maka ini juga aneh sebab katanya Ia Maha Tahu?
-- Allah Maha Tahu, bahkan sebelum kita ada diciptakanpun Dia sudah tahu masing-masing kita, sebagaimana dikatakan:"..... Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan...:" (Efesus 1:4), ".... telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman...."(II Timotius 4:9), serta :"..... memilih aku sejak kandungan ibuku..." (Galatia 1:15), dan masih banyak lagi. Ayat-ayat semacam ini yang kita jumpai dalam Alkitab menunjukkan bahwa Allah tahu sebelum kita lahir, dan bahkan sebelum kita diciptakan. Dengan menyadari bahwa Allah Maha Tahu tentu saja pertanyaan tentang kejatuhan manusia ke dalam dosa itu seolah-olah Allah yang sengaja menjerumuskan mereka. Namun bila kita mengerti maksud dan tujuan Allah menciptakan manusia diciptakan maka kita akan mengerti bahwa bukan demikian yang sebenarnya. Menurut Efesus 1:4-5, Kitab Suci mengajarkan bahwa: "di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya,” (Efesus 1:4-5).
Untuk mengerti maksud ayat ini kita harus mengerti mengenai keberadaan Sang Tritunggal Maha Kudus. Menurut Kitab Suci “Allah adalah Satu” (Galatia 3:20), dan Allah yang satu itu adalah “Bapa” ( I Korintus 8:6). Allah yang satu ini memiliki Firman di dalam Dirinya, sebagaimana dikatakan “ Firman itu bersama-sama dengan Allah” (Yohanes 1:1b), dan Firman yang bersama-sama dengan Allah inilah yang akhirnya menjadi manusia: Yesus Kristus (Yohanes 1:14). Ketika Ia menjadi manusia bernama Yesus Kristus, Firman ini mengatakan: ”… Aku keluar ….dari Allah” (Yohanes 8:42), berarti tadinya berada di “dalam Allah” atau “bersama-sama Allah”, yaitu bersama sama satu di dalam diri Allah sendiri.
Tentu saja yang dimaksud Yesus Kristus “keluar dari Allah” ini bukan dalam wujud manusiaNya, sebab wujud manusia-Nya itu adalah “lahir dari seorang perempuan” (Galatia 4:4b), jadi Ia berada bersama-sama satu dalam Allah itu adalah pada saat “di hadirat-Mu sebelum dunia ada” (Yohanes 17:5). Sebelum dunia ada dalam wujud non-tubuh-jasmani, dan non-manusiawi, itulah Yesus Kristus berada satu bersama-sama di dalam Diri Allah, yaitu sebagai “Firman Allah”. Kata “Firman” ini bahasa aslinya adalah “Logos”, yang mengandung makna sekaligus “ucapan” serta “isi dari ucapan” dan “perangkat yang memungkinkan adanya ucapan dan sisinya” yaitu “akal” atau pikiran. Jadi sama dengan akal dan pikiran serta kata-kata kita yang tersimpan dalam pikiran itu berada satu di dalam dan bersama-sama kita kemanapun kita pergi dan berada , demikianlah Logos-Nya Allah itu berada dalam dan bersama-sama Allah dimanapun Allah itu ada. Karena Allah itu kekal, maka Logosnya itu juga kekal, artinya sudah ada “sebelum dunia ada “. Jadi seolah-olah Allah “mengandung” Logos atau Firman, karena Logos itu bersama-sama dan didalam Allah tanpa awal maupun akhir. Dan karena Logos yang dikandung dalam Diri Allah itu juga dinyatakan Kitab Suci sebagai “keluar dari Allah”, maka Logos itu dapat dikatakan sebagai “diperanakkan” atau “dilahirkan” dari dalam Diri Allah. Itulah sebabnya Logos atau Firman Allah itu juga disebut sebagai “Anak Allah”. Jadi Yesus Kristus disebut sebagai Anak Allah, bukanlah dikarenakan lahirnya tanpa bapa manusia dari Perawan Maryam, namun karena Ia adalah Logos Allah yang sejak kekal dikandung di dalam Diri Allah, dan yang juga “keluar dari Allah”, yang kemudian diturunkan dari Sorga (Yohanes 3:13), masuk ke dalam rahim Bunda Maryam, serta mengambil daging darinya, sehingga Ia menjadi “buah rahim” (Lukas 1:42) Maryam, serta menjadi manusia, Anak Maryam (Markus 6:3): Yesus Kristus. Jadi sebelum ada manusia yang bernama Yesus Kristus lahir dari Perawan Maryam, sejak kekal Anak Allah itu sudah ada di dalam Diri Allah, atau dengan kata kias sudah “ada di pangkuan Bapa.” (Yohanes 1:18). Jadi artinya “Firman Allah” dan “Anak Allah” itu adalah sama saja. Ini dibuktikan oleh ayat yang demikian: ”Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah …..Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.” (Yohanes 1:1-3). Menurut ayat ini Firman itu sudah ada “pada mulanya”. Yang dimaksud dengan “pada mulanya” adalah saat penciptaan sebagaimana yang dikatakan “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” (Kejadian 1:1). Pada mulanya “adalah” (bahasa aslinya “sudah ada”) Firman, ini menunjukkan bahwa Firman bukan baru ada “pada mulanya” itu, namun Firman sudah ada “pada mulanya” yaitu saat ciptaan dijadikan. Berarti Firman mendahului ciptaan, karena Dia memang berada “di hadirat-Mu sebelum dunia ada”, jadi Firman itu kekal.
Dan melalui Firman inilah Allah menjadikan “segala sesuatu”, sehingga Firman ini disebut sebagai “permulaan (awal-mula) dari ciptaan Allah” (Wahyu 3:14) atau “asal-usul” dari segala yang diciptakan. Jadi Allah menciptakan alam –semesta melalui Firman ini, hal yang mana dapat kita baca dengan jelas dalam Kitab Kejadian 1:1-31, ketika Allah menciptakan segala sesuatu melalui Firman-Nya. Namun menurut Ibrani 1:2, dikatakan Kitab Suci bahwa :”…. Anak-Nya, …... Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.”. Menurut ayat ini Allah menjadikan alam semesta oleh atau melalui AnakNya, sedangan menurut Yohanes 1:1-3, dan Kejadian 1, Allah menjadikan alam semesta melalui “Firman:”Nya, maka jelas yang disebut “Anak Allah” itu adalah “Firman Allah” yang secara kekal tanpa awal maupun akhir berada satu di dalam diri Allah sendiri. Oleh karena itu FirmanNya Allah ini memiliki hakikat yang sama persis dengan hakikat dari Allah itu sendiri, sehingga Kitab Suci mengatakan “Firman itu adalah Allah” ( Yohanes 1:1c), meskipun Firman itu bukan Sang Bapa itu. Sang Bapa adalah asal-usul dari Firman, dan tempat beradaNya Firman itu, itulah sebabnya Firman itu disebut Anak, dan sebaliknya Allah yang mengeluarkan FirmanNya sendiri dari dalam DiriNya itu disebut Bapa, meskipun Allah itu bukan laki-laki, bukan perempuan ataupun banci, dan meskipun Allah itu tidak beranak ataupun diperanakkkan layaknya manusia melahirkan anak yang membutuhkan isteri terlebih dahulu. Jadi sejak kekal di dalam Diri Allah yang Satu (Bapa) terdapat FirmanNya sendiri yang kekal ( Anak). Jadi Bapa dan Anak itu bukan dua Allah, namun satu Allah, karena Bapa adalah sebutan untuk Allah yang Esa itu, sedangkan Anak adalah sebutan untuk FirmanNya yang sejak kekal berada satu di dalam DiriNya.
Allah Yang Satu yang memiliki Firman yang hanya satu ini, adalah Allah yang hidup. Oleh karena itu Ia juga memiliki “Prinsip Hidup Ilahi” dalam dirinya, yaitu Ia memiliki “Roh Allah” yang juga berada di dalam diriNya, sebagaimana dikatakan:”…. Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah. Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia? Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah.” (I Korintus 2:10-11). Menurut ayat ini, sebagaimana roh manusia itu berada di dalam diri manusia, demikianlah Roh Allah juga berada di dalam Diri Allah. Jadi Allah Yang Esa (Bapa) disamping memiliki “Firman: yang kekal (Anak) di dalam diriNya, juga memiliki “Prinsip Hidup” atau “Roh “ (Roh Kudus) yang juga ada di dalam DiriNya. Jadi Bapa (Allah Yang Esa), Anak (FirmanNya Allah yang berada di dalam Diri Allah) dan Roh Kudus (RohNya Allah yang juga berada di dalam Diri Allah) itu bukanlah “Tiga Ilah” namun “Satu Allah”. Jadi sama seperti setiap manusia itu memiliki “diri yang satu” yang dalam diri itu terdapat “akal-perkataan” yang satu, serta di dalam diri satu itu juga terdapat “roh”nya yang satu, tanpa hal itu membuat diriNya menjadi tiga orang manusia yang berbeda, demikianlah Allah, Firman/Logos, dan RohNya itu adalah satu. Karena memang Allah itu hanya satu, dan tidak ada Allah yang lain kecuali Dia. Yang membedakan Firman Allah dan Roh Allah di dalam diri Allah, dengan akal serta roh kita yang ada di dalam diri kita adalah, Firman Allah dan Roh Allah yang berada di dalam diri Allah itu memiliki “kesadaran” sehingga Roh Allah itu dapat “berdoa” di dalam Diri Allah (Roma 8:26), dapat “didukakan” manusia (Efesus 4:30), dapat “didustai” manusia (Kisah 5:4), dan sebagainya. Dengan kata lain Roh Allah itu memiliki kesadaran, meskipun berdiam satu di dalam Diri Allah. Namun bukan hanya Roh Allah saja yang memiliki sifat kesadaran yang begini ini, ternyata FirmanNya Allah juga memiliki sifat yang demikian, karena ternyata Ia dapat dikasihi oleh Bapa yang didalam Diri Bapa itu Firman ini bersemayam.
Kita tak dapat saling mengasihi dengan kata-kata kita sendiri yang kita ucapkan, namun Allah ternyata sejak kekal mengasihi FirmanNya sendiri itu, sebagaimana dikatakan oleh Firman itu sendiri kepada Allah ketika telah menjadi manusia, demikian: ”Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan” (Yohanes 17:24c). Jadi di dalam Diri Allah yang satu ini terdapat “Tiga Titik Kesadaran”, keberadaan Allah yang satu yang memiliki Tiga Titik Kesadaran, atau Tiga Pribadi, inilah yang disebut sebagai Tritungal Maha Kudus. Mengapa Firman dan Roh Allah ini masing-masing memiliki kesadaran tersendiri, di dalam Diri Allah Yang Esa, bukan seperti kata-kata kita dan roh kita , yang tak memiliki kesadaran lepas dari satu kesadaran yang kita miliki sebagai keutuhan manusia yang satu ini ? Sebab Allah bukan manusia, dan karena: "Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku. Siapakah seperti Aku? “ (Yes 44:6b-7), serta bahwa “ya Tuhan ALLAH, sebab tidak ada yang sama seperti Engkau” (II Samuel 7:22). Artinya Allah itu tidak sama dengan apapun, termasuk tidak sama dengan manusia. Oleh karena itu keberadaan Firman dan RohNya yang memiliki Titik Kesadaran itu menunjukkan bedanya Allah dengan kita. Jadi Tritunggal Maha Kudus itu adalah Allah Yang Satu itu, dimana Ia memiliki Satu Esensi/Hakekat, namun Tiga dalam Hypostasisnya.
Jadi Allah itu satu karena Sang Bapa itu satu, dan EsensiNya juga satu, serta di dalam Esensi Sang Bapa yang satu ini terdapat FirmanNya yang Satu dan RohNya yang Satu. Karena Firman dan Roh Allah ini berada dalam Esensi Allah yang Satu, maka itu juga memiliki Esensi Ilahi yang satu dan yang sama dengan Sang Bapa itu. Karena di dalam Tritunggal tidak ada Esensi Ilahi yang lebih dari satu, maka Kehendak Bapa yang satu itu juga kehendak dari Firman dan RohNya, kemuliaan Sang Bapa yang satu itu juga kemuliaan dari Firman dan RohNya, kekudusan Sang Bapa yang satu itu juga kekudusan dari Firman dan RohNya, kuasa dari Sang Bapa yang satu itu juga kuasa dari Firman dan RohNya, ke-Maha-Tahu-an Sang Bapa yang satu itu juga ka-Maha-Tahu-an dari Firman dan RohNya. Dimana Bapa hadir disitulah Firman dan Roh hadir, karena baik Firman maupun Roh berada dalam Bapa, dimana Firman hadir disitulah Bapa dan Roh itu hadir, karena Firman tak dapat dipisahkan dari Bapa sebab bersemayamNya dalam Bapa, dan di dalam Bapa itu terdapat RohNya sekaligus. Dimana Roh hadir disitu juga Firman dan Bapa hadir, karena Roh itu diamNya dalam Bapa , sehingga Roh tak dapat dipisahkan dari Bapa, sekaligus tak dapat dipisahkan dengan Firman, sebab saat Bapa hadir di dalamNya selalu ada FirmanNya. Demikianlah dalam segala hal Tritunggal itu memang satu, sebab EsensiNya hanya satu serta sifat-sifatNya hanya satu juga, dan sumber keilahi-an baik dari Firman maupun dari Roh itu hanya satu, yaitu Bapa saja, sebab baik Firman maupun Roh itu diamNya maupun keluarNya dari dalam Bapa yang hanya satu ini. Sejak “sebelum ada dunia” yaitu dalam kekekalan yang tanpa awal maupun akhir “Titik Kesadaran Pertama” dalam Allah Yang Esa itu, yaitu Bapa, ternyata berada dalam keadaan “mengasihi” “Titik Kesadaran Kedua”, yaitu Firman/Anak, dalam DiriNya sendiri yang Esa itu (Yohanes 17:24c). Selanjutnya di katakan dalam Roma 5:5 :” kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus”. Dengan demikian kita tahu bahwa fungsi dan karya Roh Kudus, ”Titik Kesadaran Ketiga” dalam Allah Yang Esa itu, adalah bagi “mencurahkan Kasih Allah”. Lebih jauh dikatakan dalam Ibrani 9:14, bahwa Roh Kudus ini disebut sebagai “Roh yang kekal, jikalau demikian maka fungsiNya untuk mencurahkan Kasih Allah itu juga kekal. Sebelum ada dunia ada, Bapa/Allah hanya mengasihi Anak/Firman, padahal yang mencurahkan Kasih Allah itu adalah Roh Allah itu sendiri. Dengan demikian fungsi Roh Allah bagi mencurahkan Kasih Allah secara kekal itu, diarahkan kepada Firman Allah. Dengan kata lain Allah mengasihi FirmanNya dan kasihNya itu dicurahkan oleh Allah melalui RohNya itu. Dan melalui Roh Allah yang sama itu Firman Allah memantulkan kembali kasih Allah itu kepada Allah, sehingga dalam diri Allah Yang Esa itu sejak kekal tanpa awal maupun akhir terdapat lingkaran kasih yang kekal, dari “Titik Kesadaran Pertama” (Allah/ Bapa) kepada “Titik Kesadaran Kedua” (Firman/Putra) melalui dan di dalam ”Titik Kesadran Ketiga” (Roh Allah /Roh Kudus). Jadi Esensi Allah yang satu itu tak lain dan tak bukan adalah “Kasih” ini, itulah sebabnya Kitab Suci mengatakan bahwa “Allah adalah kasih” (I Yohanes 4:8). Jadi kasih itu adalah sifat hakikat Allah, sebab Allah bersifat Tritunggal.
Ke-Esa-an Allah dalam Iman Kristen Orthodox adalah ke-Esa-an yang bergerak tanpa henti secara kekal dalam aliran Kasih. Dan Allah yang demikian ini dapat membagi diri, karena Titik Kesadaran PertamaNya (Bapa) itu memberikan HidupNya sendiri kepada Titik KesadaranNya yang Kedua (Anak) di dalam DiriNya yang Esa itu, sebagaimana dikatakan:” sama seperti Bapa mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri, demikian juga diberikan-Nya Anak mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri” (Yohanes 5: 26), dengan demikian Hidup Bapa itu sama persis berada di dalam Anak. Jadi Bapa dan Anak memiliki kehidupan yang satu dan yang sama di dalam diri Allah yang Esa itu. Maka dalam Diri Allah yang Esa itu, kita lihat keberadaan saling membagi Hidup antara Bapa (“Titik Kesadaran Pertama”) dan “Putra/Firman” (“Titik Kesadaran Kedua”), sehingga Tritunggal itu menjadi sumber dan teladan dari kerelaan berbagi hidup atau kerendahan hati. Dan kerendahan hati yang ada dalam Allah itu dinyatakan oleh Allah melalui turunNya FirmanNya ke bumi menjadi manusia dengan “mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia….. Ia telah merendahkan diri-Nya” (Filipi 2:7-8). Allah yang bukan Tritunggal tak mungkin dapat merendahkan diriNya seperti ini. Kerendahan hati Allah itu dinyatakan melalui FirmanNya yang turun ke dunia ini, dan itu pulalah sebabnya mengapa Firman yang telah menjadi manusia ini mengatakan:” Aku lemah lembut dan rendah hati” ( Matius 11:29).
Karena sasaran Kasih dari “Titik Kesadaran Pertama” (Bapa) dari Allah yang Kekal di dalam DiriNya yang Esa itu adalah “Titik Kesadaran Kedua” yaitu Firman/Anak, maka Firman Allah itu menjadi sasaran renungan Allah akan DiriNya sendiri. Allah melihat dan mengenal DiriNya melalui FirmanNya, sehingga Firman itu adalah merupakan:” cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (Ibrani 1:3), sebagaimana seorang anak adalah gambaran bapaknya. Itulah sebabnya Firman Allah itu disebut sebagai “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kolose 1:15) atau juga sebagai “dalam rupa Allah” (Filipi 2:6). Kasih Allah yang dicurahkan kepada FirmanNya yang menyebabkan Firman itu menjadi sasaran Cinta dan Renungan Allah ini, bersemayamNya dan beradaNya adalah di dalam Esensi Allah sendiri, dan bukan diluar Allah.
Padahal sifat Cinta atau Kasih itu selalu ingin menjangkau sesuatu yang di luar dirinya. Cinta atau Kasih selalu mempunyai sasaran di luar dirinya. Di dalam kekekalan Kasih Allah itu sasarannya ada di dalam diri Allah sendiri, yaitu FirmanNya yang memiliki Kesadaran. Namun sifat kasih itu selalu menjangkau keluar, maka pada saat Allah merenungkan Kasihnya dalam FirmanNya, sekaligus muncul dari situ rancangan tentang sesuatu diluar diriNya akibat kasihNya akan FirmanNya itu. Di dalam kasihNya akan FirmanNya itulah munculnya rencana akan sasaran kasih yang diluar diriNya, yaitu ciptaan. Jadi rencana atau “cetak-biru” akan adanya ciptaan itu terejadinya disebabkan karena Kasih Allah yang diarahkan kepada FirmanNya, dan itu terjadi sebelum dunia ada. Jadi segenap manusia dan makhluk lainnya itu sudah dikenal Allah sejak kekal, meskipun belum terwujud dalam realita. Cetak Biru yang keluar dari Kasih Allah akan FirmanNya sendiri inilah yang disebut sebagai “Hikmat Allah”. Jadi Hikmat itu terkait dengan Logos/Firman, tetapi bukan Logos itu sendiri, melainkan dampak dan pancaran yang keluar dari Logos/ Firman akibat Kasih Allah kepada Logos/Firman itu. Dan berdasarkan Hikmat atau “Rencana/Keputusan KehedakNya” ini Allah melakukan segala sesuatu yang berkaitan dengan ciptaan, sebagaimana dikatakan: ”Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya” (Efesus 1:11). Bahwa keputusan kehendak Allah atau “cetak biru” dari rancanganNya (baik itu rancangan penciptaan, maupun rancangan penebusan) itu adalah disebut hikmat dikatakan Kitab Suci demikian: ”Hikmat itu, dari manakah datangnya, atau akal budi, di manakah tempatnya? Ia terlindung dari mata segala yang hidup, bahkan tersembunyi bagi burung di udara. Kebinasaan dan maut berkata: Hanya desas-desusnya yang sampai ke telinga kami. Allah mengetahui jalan ke sana, Ia juga mengenal tempat kediamannya. Karena Ia memandang sampai ke ujung-ujung bumi, dan melihat segala sesuatu yang ada di kolong langit. Ketika Ia menetapkan kekuatan angin, dan mengatur banyaknya air, ketika Ia membuat ketetapan bagi hujan, dan jalan bagi kilat guruh, ketika itulah Ia melihat hikmat, lalu memberitakannya, menetapkannya, bahkan menyelidikinya“ (Ayub 28:20-27). Menurut ayat-ayat ini “hikmat” itu misterius dan tersembunyi sifatnya. Karena tempatnya tak diketahui, “terlindung dari mata“, “Hanya desas-desusnya yang sampai ke telinga” , dan hanya “Allah mengetahui jalan ke sana, Ia juga mengenal tempat kediamannya”. Namun demikian pada saat “Ia menetapkan kekuatan angin, dan mengatur banyaknya air, ketika Ia membuat ketetapan bagi hujan, dan jalan bagi kilat guruh” yaitu pada saat Ia menciptakan alam semesta dan mengatur jalannya alam ciptaan ini “ketika itulah Ia melihat hikmat “, jadi pada saat menciptakan alam-semesta itulah ia seolah-olah berkonsultasi dengan hikmat-Nya itu, karena hikmat adalah “cetak-biru” atau “rancang-bangun” dari “keputusan kehendakNya” di dalam menjadikan segala sesuatu yang kepadanya kasihNya dapat dicurahkan, sebagai perpanjangan dari kasih kekalNya kepada Logos yang ada di dalam DiriNya sendiri. Jadi karena kasih kepada Logos dan di dalam diri Logos itulah Allah merenungkan ciptaan, sehingga dalam ke-Maha-Tahu-anNya segala sesuatu baik secara umum dari awal kejadian sampai akhirnya di hari pengadilan, maupun secara khusus yang menyangkut apa yang akan terjadi kepada masing-masing pribadi dengan segala nasib dan umurnya, serta sikapnya terhadap Allah telah diketahui Allah sebelumnya, sehingga segala sesuatu yang menyangkut manusia, termasuk kejatuhan manusia, telah terkandung dalam “Hikmat” sejak sebelum dunia ada akibat kasihNya kepada Logos/Firman, akhirnya Hikmat itu menjadi realita ciptaan.
Demikian juga dikatakan lagi oleh Kitab Suci: ”….. hikmat berseru-seru……TUHAN telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama dahulu kala. Sudah pada zaman purbakala aku dibentuk, pada mula pertama, sebelum bumi ada. Sebelum air samudera raya ada, aku telah lahir, ketika Ia menetapkan dasar-dasar bumi, aku ada serta-Nya dengan padang-padangnya atau debu dataran yang pertama. Ketika Ia mempersiapkan langit, aku di sana, ketika Ia menggaris kaki langit pada permukaan air samudera raya, ketika Ia menetapkan awan-awan di atas, dan mata air samudera raya meluap dengan deras, ketika Ia menentukan batas kepada laut, supaya air jangan melanggar titah-Nya, dan ketika Ia menetapkan dasar-dasar bumi, aku ada serta-Nya sebagai anak keRomo Danielngan, setiap hari aku menjadi kesenangan-Nya, dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya;aku bermain-main di atas muka bumi-Nya dan anak-anak manusia menjadi kesenanganku” (Amsal 8:1, 22-31). Menurut ayat-ayat ini TUHAN (Yahweh) “telah menciptakan (yaitu: memunculkan sebagai akibat Kasih dan RenunganNya terhadap Logos/Firman) Hikmat itu sebagai “permulaan pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama“. “Pekerjaan” dan “perbuatan” disini merujuk kepada ciptaan yang akan dilakukan Allah. Sebelum pekerjaan dan perbuatan, yaitu karya penciptaan itu dilakukan, maka “permulaannya” atau “cetak-birunya” yaitu “rancang-bangunnya” dan “keputusan kehendakNya” terkandung dalam “hikmat” itu. Jadi permulaan atau awal dan titik pijak atas apa yang akan dibuatNya adalah “Hikmat” itu. Karena itu hikmat itu telah ada, atau “telah lahir” artinya “telah mucul” sebelum ada ciptaan (yaitu “sebelum”adanya samudera raya , sumber-sumber yang sarat dengan air, gunung-gunung tertanam dan lebih dahulu dari pada bukit-bukit, bumi dengan padang-padangnya atau debu dataran yang pertama) sebagai “cetak-biru” dari ciptaan itu. Sebab hikmat itu lahirnya atau munculnya bersamaan dengan kasih dan renungan Allah yang diarahkan kepada Firman/LogosNya, sebelum dunia ada. Sebagaimana dikatakan dalam Ayub 28 diatas, dimana pada saat penciptaan, “ketika itulah Ia melihat hikmat“, demikian juga dalam Amsal 8 ini dikatakan “Ketika Ia mempersiapkan langit, aku di sana”, serta “ketika Ia menetapkan dasar-dasar bumi, aku ada serta-Nya”. Ini dikarenakan Allah menciptakan sesuai dengah rencanaNya yang terkandung dalam Hikmat itu, sehingga seolah-olah Allah selalu berkonsultasi dengan Hikmat itu. Dan karena Hikmat itu juga yang selalu “dilihat” sehingga itu digambarkan seperti “anak kesenangan”, atau digambarkan “setiap hari aku menjadi kesenangan-Nya” serta “senantiasa bermain-main di hadapan-Nya”. Jadi ciptaan Allah ini dijadikan tepat sesuai dengan Hikmat atau Kebijaksanaan Ilahi itu, sehingga dikatakan lagi oleh Kitab Suci: ”Betapa banyak perbuatan-Mu, ya TUHAN, sekaliannya Kaujadikan dengan kebijaksanaan“ (Mazmur 104:24).
Karena ciptaan itu terkandung dalam Hikmat/Kebijaksanaan Allah sebagai akibat kasih Allah kepada Logos/Firman, dan merupakan perpanjangan kasih Allah kepada Logos/Firman itu, maka realisasi dan perwujudan ciptaan, terutama manusia, itupun terjadinya oleh Logos/Firman yang sama tadi (Kejadian 1:1dst, Yohanes 1:1-3, Ibrani 1:1-2, Mazmur 33:6). Karena “cetak-biru” ciptaan, terutama manusia itu, muncul akibat Allah mengasihi FirmanNya, dan menghendaki agar kasih yang di dalam diri Allah sendiri melalui FirmanNya, itu juga meluber di luar diri Allah sehingga ada ciptaan, maka segenap ciptaan itu terjadi karena Kasih Allah di dalam Logos/Firman ini.
Jadi Logos/Firman adalah “pola” dari kodrat keberadaan ciptaan, terutama manusia. Jadi “fitrah” manusia adalah berada dalam keberadaan seperti Logos itu. Karena Logos/Firman Allah itu disebut sebagai “ gambar Allah” (Kolose 1:15) dan “rupa Allah” (Filipi 2:6), dan atas “pola” keberadaan Logos/Firman ini manusia diciptakan, oleh karena itu ketika manusia diciptakan, Kitab Suci mengatakan bahwa manusia diciptakan “MENURUT” “gambar” dan “rupa” Allah” (Kejadian 1:26-27). Dengan demikian kasih yang dicurahkan Allah kepada FirmanNya itu juga dapat dialami manusia, sebab manusia keberadaannya diciptakan “menurut” pola dari Firman yang adalah “gambar” dan “rupa” Allah yang sejati itu, sehingga manusia menjadi semacam “copy” dari Firman/Logos. Setelah mengerti semuanya ini marilah kembali kepada Efesus 1:4-5 diatas untuk menjawab pertanyaan yang pertama ini.
Dalam Efesus 1:4-5 dikatakan: ”Sebab di dalam Dia (di dalam Diri Logos/Firman sebagai sasaran kasih dan renungan Allah secara kekal, sehingga memunculkan Hikmat dimana cetak biru keberadaan kita sudah diketahui Allah secara kekal) Allah telah memilih (“memilih” disini mempunyai dua makna, memilih dalam arti bahwa dari antara segenap makhluk ciptaan Allah yang lain: para malaikat, binatang-binatang, tumbuh- tumbuhan, alam semesta, dan lain-lain; manusia itulah yang secara khusus dijadikan pilihan Allah untuk menjadi sasaran perpanjangan kasihNya kepada Firman, “memilih” itu juga berarti dalam ke-Maha-Tahu-anNya Allah sudah tahu bahwa ada manusia yang akan menolak dan ada yang beriman kepadanNya. Dan mereka yang beriman itulah yang terpilih, dan mereka yang menolak itulah yang terbuang, dan semuanya itu sudah diketahui Allah sejak kekal. Dan mereka yang akan memilih untuk beriman yang dari kekal sudah diketahui Allah ini, adalah mereka yang akan menyatu dengan Kristus dalam GerejaNya.
Jadi yang disebut orang pilihan itu adalah paguyuban dalam Tubuh Kristus: Gereja Rasuliah kita (kata “kita” disini bukan berarti “kita-kita masing-masing” secara individu, namun kita secara bersama sebagai satu paguyuban yaitu “Gereja Rasuliah”, dengan demikian Gereja, Tubuh Firman yang Menjelma sebagai Manusia itulah yang dipilih Allah, dan barangsiapa dari antara “kita masing-masing” yang oleh iman menyatu dalam Tubuh Kristus ini, akan juga masuk dalam pilihan itu) sebelum dunia dijadikan (“pemilihan” kita dalam persekutuan Tubuh Kristus itu terjadi sebagai akibat perpanjangan kasih Allah kepada FirmanNya sendiri, dan kasih Allah kepada Firman itu terjadi “sebelum dunia dijadikan”, maka pemilihan kita dalam ke-Maha-Tahu-an Allah itupun terjadi pada saat “sebelum dunia dijadikan” tepat bersamaan dengan keberadaan kasih Allah yang kekal kepada Firman/Logos itu), supaya (pemilihan Allah atas manusia yang menunggal di dalam Logos/Firman melalui GerejaNya itu memiliki tujuan) kita (semua manusia yang oleh iman manunggal dengan Firman/Logos dalam Tubuh MistikaNya, Gereja) kudus dan tak bercacat (tak ada satu manusiapun yang kudus dan tanpa cacat, hanya Allah saja yang Maha Suci, Maha Kudus dan Tanpa Cacat. Karena Kudus dan Tak Bercacat ini adalah sifat-sifatNya Allah, maka berarti manusia yang masuk dalam pilihan ini, adalah mereka yang masuk dalam tujuan Allah menciptakan manusia, yaitu supaya menjadi sama seperti “FirmanNya” (I Yohanes 3:2) yaitu “ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi” -II Petrus 1:4-) di hadapan-Nya (dalam kehidupan kita sebagai anak-anak Allah, terutama di hadapanNya pada saat akhir zaman nanti). Dalam kasih (karena munculnya rencana untuk menciptakan manusia itu terjadi akibat “kasih” Allah kepada Firman, maka segala sesuatu yang menyangkut pemilihan kodrat manusia itu landasannya adalah “kasih” kekal Allah kepada Firman/Logos ini) Ia telah menentukan kita dari semula (penentuan dari semula, yaitu penentuan sejak sebelum ada dunia, ini adalah penentuan kodrat keberadaan manusia, jadi bukan takdir masuk sorga atau masuk nerakanya seseorang seperti yang diajarkan Calvin. Artinya sejak semua Allah telah menentukan kodrat manusia itu agar ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi, yaitu menjadi sama seperti Firman/Logos itu) oleh Yesus Kristus (penentuan kodrat manusia ini terkait dengan Yesus Kristus, dan penentuan ini sudah terjadi sejak semula, yaitu sejak sebelum ada dunia. Hal ini jelas menunjuk kepada keberadaan Allah yang mengasihi Firman sejak sebelum dunia ada. Jadi penentuan penciptaan manusia dengan kodratnya sekalian itu terkait dengan kehendak Allah untuk memperpanjang kasihNya di luar dari FirmanNya, yang berkibat diciptakannya manusia dengan kodrat yang telah ditentukan sejak semula yaitu kodrat diciptakan “menurut “ gambar dan rupa Allah, yaitu menurut kodrat dari Sang Firman itu. Firman Allah disini sudah disebut Yesus Kristus, padahal penentuan dari semula itu terjadinya sebelum Firman itu jadi manusia. Ini menunjuk bahwa dalam ke-Maha-Tahu-an dan hikmatNya Allah sudah mengetahui bahwa Firman itu nanti akan menjadi manusia dan bernama Yesus Kristus, dengan demikian dalam ke-Maha-Tahu-anNya Allah sudah melihat bahwa Inkarnasi itu harus terjadi, berarti Allah sudah mengetahui bahwa manusia pertama akan membuat pilihan yang salah, sehingga sekaligus telah disediakan jalan pemulihannya melalui Firman Allah menjadi manusia. Oleh karena itu meskipun Firman itu belum menjadi manusia, telah disebut sebagai “Yesus Kristus”) untuk menjadi anak-anak-Nya (karena tujuan penciptaan adalah agar manusia dapat menjadi perpanjangan dari sasaran pencurahan kasih Allah kepada Firman, sehingga menjadi sama seperti Firman, maka karena Firman itu disebut Anak Allah, manusia yang diciptakan untuk mencapai derajat menjadi sama seperti Firman yaitu ambil bagian dalam kodrat ilahi ini disebut sebagai anak-anak Allah. Jadi menjadi anak-anak Allah artinya memiliki kodrat ilahi atau mengalami “pengilahian/”theosis” itulah tujuan manusia diciptakan, dan dari semula itulah Allah telah menentukan kodrat manusia untuk menjadi seperti ini), sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya (penetapan dari semula dari kodrat kemanusiaan untuk mencapai pengilahian atau theosis ini terjadi sama persis seperti apa yang telah terkandung dalam “Hikmat” Allah akibat kasih dan renungan kekalNya atas Sang Firman. Itulah sebabnya penentuan dari semula itu dikatakan “sesuai dengan” artinya menurut “cetak-biru” dari rencana Allah untuk menciptakan itu. Tujuan penciptaan manusia itu tak lain merupakan kehendak Allah untuk memperpanjang kasihNya kepada sesuatu yang diluar diriNya. Dan kehendak Allah menjadikan manusia seperti itu, bukan dipaksa oleh kebutuhan dalam diri Allah, namun semata-mata karena kerelaanNya sendiri saja.)”.
1) Tahukah Allah bahwa manusia akan jatuh kedalam dosa?
Jawabannya kita salin langsung dari penjelasan penggunaan Nama Yesus Kristus dalam Efesus 1:5 diatas: “ Firman Allah disini sudah disebut Yesus Kristus, padahal penentuan dari semula itu terjadinya sebelum Firman itu jadi manusia. Ini menunjuk bahwa dalam ke-Maha-Tahu-an dan hikmatNya Allah sudah mengetahui bahwa Firman itu nanti akan menjadi manusia dan bernama Yesus Kristus, dengan demikian dalam ke-Maha-Tahu-anNya Allah sudah melihat bahwa Inkarnasi itu harus terjadi, berarti Allah sudah mengetahui bahwa manusia pertama akan membuat pilihan yang salah, sehingga sekaligus telah disediakan jalan pemulihannya melalui Firman Allah menjadi manusia. Oleh karena itu meskipun Firman itu belum menjadi manusia, telah disebut sebagai “Yesus Kristus”
2) Jika Allah tahu mengapa Allah melarang manusia memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat?
Manusia diciptakan menurut Gambar dan Rupa Allah. Yang dimaksud dengan “Gambar” adalah pantulan/refleksi sedangkan yang dimaksud dengan Rupa adalah realita. Gambar itu ada pada foto, rupa itu ada pada wajah. Jadi gambar itu memang pantulan dari wajah yang sebenarnya, sedangkan rupa adalah wajahnya itu sendiri. Manusia diciptakan menurut gambar Allah, berarti di dalam diri manusia terdapat pantulan sifat-sifat Allah. Manusia diciptakan dengan potensi dan kemampuan untuk memantulkan sifat-sifat Allah, misalnya, kasih, keadilan, kekudusan dan lain-lain asal manusianya mau. Disamping itu sebagai yang diciptakan menurut gambar Allah, manusia juga dapat memantulkan sifat Allah sebagai yang bebas atau yang merdeka, karena Allah itu bebas dan merdeka. Demikianlah manusia diciptakan dengan memiliki kehendak bebas. Namun kehendak bebas mengandung resiko, yaitu resiko memilih yang salah atau memilih yang benar, memilih secara tepat atau secara keliru, memilih untuk bertindak benar atau bertindak sesat. Resiko ini adalah bagian tak teprisahkan dari keberadaan diciptakan dengan memiliki kehendak bebas. Dan Allah tak hendak mengambil kehendak bebas ini, karena itu akan bertentangan dengan kodrat kemanusiaan yang telah Ia ciptakan, “menurut” gambar-Nya itu.. Juga karena kodrat “menurut gambar Allah” itu adalah “potensi” manusia untuik merefleksikan sifat-sifat Allah, dan kodrat “menurut Rupa Allah” itu adalah realita yang harus dicapai, maka, melalui keberadaannya sebagai yang diciptakan “menurut gambar Allah” yaitu kemampuannya untuk memunculkan sifat-sifat Allah dalam dirinya melalui energi ilahi yang dimiliki manusia yang dihembuskan padanya saat penciptaan dalam wujud nafas hidup Allah itu (Kejadian 2:7), manusia dikehendaki Allah untuk maju untuik mencapai keberadaan sebagai yang diciptakan ”menurut Rupa” yaitu menjadi seperti Allah di dalam panunggalan dengan Dia yang adalah “gambar” dan “rupa” Allah yang hakiki, Firman Allah yang akhirnya menjadi manusia Yesus Kristus itu. Untuk naik derajat dan meningkat dari “menurut gambar” menuju “menurut rupa” inilah manusia harus diuji dalam ketaatannya kepada Allah. Hal ini dikatakan oleh Kitab Suci demikian:” TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas,tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” (Kejadian 2:15-17).
3) Mengapa Allah menempatkan manusia ditengah-tengah taman itu?
Jawabannya adalah “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden” untuk membuktikan bahwa memang aslinya manusia tidak diciptakan untuk mati, namun untuk memiliki hidup kekal. Sedangkan hidup kekal itu perlu dicapai melalui panunggalan dengan “pola asli fitrah” manusia itu sendiri, yaitu manunggal dengan “Sang Gambar” dan “Sang Rupa”Allah yang kekal (yaitu: Sang “Logos/Firman”) melalui ketaatan. Sebab Taman Eden itu adalah simbol persekutuan yang se-erat-eratnya dengan Allah dimana tidak ada kematian. Namun untuk mencapai keberadaan “menurut Rupa Allah” ini sehingga keberadaan hidup kekal itu menjadi kekal miliknya, manusia diuji ketaatanya dengan perintah “pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya”. Jadi buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat itu merupakan bentuk fisik dari perintah Allah yang harus diataati manusia, sama seperti kedua loh batu yang dierima Musa itu adalah merupakan bentuk fisik dari perintah-perintah Allah yang harus ditaati Israel. Namun Allah tahu bahwa karena manusia diciptakan dengan memiliki “kehendak bebas” maka resiko untuk tidak taat itu bukan sesuatu yang mustahil. Dan dalam “Hikmat” kekal Allah, telah ter-rekam dalam ke-Maha-Tahu-an Allah bahwa manusia pertama ini menggunakan resiko tidak taat terhadap perintah Allah. Itulah sebabnya diatas kita telah sebutkan bahwa, karena Allah sudah mengetahui sebelumnya bahwa dalam ke-Maha-Tahu-anNya, manusia pertama ini akan memberontak, maka Allah juga sudah “ melihat bahwa Inkarnasi itu harus terjadi, berarti Allah sudah mengetahui bahwa manusia pertama akan membuat pilihan yang salah, sehingga sekaligus telah disediakan jalan pemulihannya melalui Firman Allah menjadi manusia. Oleh karena itu meskipun Firman itu belum menjadi manusia, telah disebut sebagai “Yesus Kristus”
Inkarnasi yaitu manunggalnya Yang Ilahi (Firman) dengan Manusia (Yohanes 1:14) itu terjadi bukan semata-mata karena adanya dosa, namun karena memang manusia diciptakan untuk mencapai keberadaan “menurut Rupa Allah” yaitu menjadi “seperti Allah” melalui panunggalan dengan Sang Firman. Tetapi karena dalam “Hikmat”Nya Allah sudah mengetahui sebelumnya bahwa manusia akan memilih tidak taat, maka supaya dengan cara bagaimanapun juga tujuan panunggalan yang sudah direncanakan Allah itu tidak gagal dan harus terjadi, entah dengan cara manusianya yang dalam ketaatan akan manunggal dengan Sang Firman, ataukah FirmanNya dalam ketaatan kepada kehendak Bapa memanunggalkan diriNya dengan manusia, maka Allah sudah melihat panunggalan antara Firman Allah dengan Kemanusiaan kita itu memang betul-betul terjadi, yaitu dalam wujud manusia Yesus Kristus, sehingga dalam kekekalan, Sang Firman yang tak berwujud manusia itu sudah dikenal dengan nama InkarnasiNya: Yesus Kristus. Jadi tak ada perubahan dalam rencana Allah. Karena resiko tidak taat itu sudah diketahui Allah dan ter-rekam dalam “Hikmat/Kebijaksaan”Nya, maka ketika manusia diuji untuk taat dengan jalan tidak makan dari buah larangan itupun terlebih dulu diberi peringatan “pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati”, dengan harapan kalau boleh manusia itu taat, supaya tidak mengalami mati. Namun peringatan ini juga merupakan pemberitahuan bahwa Allah tidak main sembunyi dengan manusia, bahwa akibat dari pelanggaran dan ketidak-taatan kepada perintah Allah itu adalah “kematian” (“roh”nya pertama, kemudian “tubuh”nya). Jadi manusia sudah tahu resikonya bahwa “pada hari” ia melanggar, maka ia akan mati. Ini berarti juga merupakan pemberitahuan, seandainya mereka tidak melanggar mereka tak akan pernah mati, yaitu hidup kekal, sebab kematian itu hanya diancamkan “pada hari” mereka melanggar saja.. Dengan demikian didepan mata manusia pertama itu Allah telah menjelaskan dua jalan yang harus dipilih manusia, dengan dampak serta resiko masing-masing sesuai dengan pilihan itu. Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa pada saat penciptaan ini manusia itu belum dikuasai maut, namun juga belum memiliki hidup kekal secara permanen, manusia dalam keberadaan “bersimpang jalan”, manusia masih dalam tingkat ujian, bisa kekal kalau taat, namun bisa mati “pada hari” ia melanggar. Ternyata meskipun sudah diberitahu secara gamblang seperti inipun manusia tetap melanggar. Padahal tujuan ujian itu adalah untuk meningkatkan derajatnya dari tingkat ”menurut Gambar” kepada tingkat lebih tinggi “menurut Rupa Allah, yaitu tingkat permanen dalam kekekalan dalam panunggalan dengan Sang Firman. Jadi ketika manusia menerima dampak dari pemberontakannya, yaitu jatuh kepada kematian, maka resikonya harus ditanggung sendiri. Ia tak bisa menyalahkan Allah, karena Allah tidak menyembunyikan sesuatu apapun dari manusia, mengenai resiko pilihan kehendak yang dilakukannya itu.
4) Bukankah ini sama saja dengan menjerumuskan manusia?
Jawabannya berdasarkan keterangan diatas jelas tidak. Yang menjerumuskan manusia kepada kejatuhan dari kemungkinan hidup kekal kepada maut, itu bukan Allah, karena Allah sudah memberitahu resiko masing-masing dari dua pilihan yang mungkin dilakukan manusia. Allah tidak menjebak Adam agar jatuh, sebab aturan mainnya sudah dijelaskan dengan gamblang. Namun demikian meskipun sudah diberitahu atutran main yang sedemikianpun manusia tetap nekat untuk melanggar, karena ia memang lebih memilih untuk mendengar suara Si Ular melalui bujukan isterinya (Kejadian 3:6) daripada pada mendengar dan taat kepada perintah Allah yang begitu jelas dan gamblang ini. Ujian dengan perintah berwujud larangan makan buah pohon itu, dimaksudkan Allah untuk peningkatan manusia, dan Allah telah memberi tahu syarat-syaratnya, namun manusia gagal memenuhi syarat-syarat Allah itu, ia gagal ujian, jadi ia jatuh. Penyebab kejatuhannya bukan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri. Manusialah yang oleh ketidak-taatannya menjerumuskan dirinya sendiri dengan menggunakan pilihan kehendak bebasnya secara salah. Meskipun setelah diberi tahu akibat-akibat dari pelanggaran semacam itu oleh Allah, namun toh masih tetap melanggar. Bukankah sifat Adam yang demikian masih kita temukan dalam diri kita masing-masing. Hanya saja larangan Allah pada kita bagi ujuan untuk meningkatkan derajat kita itu bukan berwujud buah dari pohon larangan, namun dalam wujud ajaran yang tertera dalam Kitab Suci. Apakah kalau kita jatuh ke dalam dosa Allah juga yang menjerumuskan, tentu bukankan? Karena sama seperti kepada Adam, kepada kitapun Allah sudah memberitahu tentang dua jalan ini, dengan resikonya masing-masing.
5) Jika Allah tidak tahu maka ini juga aneh sebab katanya Ia Maha Tahu?
Jawabannya kita kutipkan langsung saja dari pembahasan kita tentang Hikmat Allah diatas: ”Jadi karena kasih kepada Logos dan di dalam diri Logos itulah Allah merenungkan ciptaan, sehingga dalam ke-Maha-Tahu-anNya segala sesuatu baik secara umum dari awal kejadian sampai akhirnya di hari pengadilan, maupun secara khusus yang menyangkut apa yang akan terjadi kepada masing-masing pribadi dengan segala nasib dan umurnya, serta sikapnya terhadap Allah telah diketahui Allah sebelumnya, sehingga segala sesuatu yang menyangkut manusia, termasuk kejatuhan manusia, telah terkandung dalam “Hikmat” sejak sebelum dunia ada akibat kasihNya kepada Logos/Firman, akhirnya apa yang terkandung dalam Hikmat itu menjadi realita ciptaan.”, Maha Tahu tidak berarti membuat kehendak bebas manusia hilang, sebab manusia memang diciptakan menurut “gambar” Allah, yang salah satu cirinya adalah memiliki kehendak bebas itu. Jadi “kehendak-bebas” itu adalah manifestasi “rahmat/kasih-karunia” Allah pada manusia, bukan suatu kemampuan manusia sendiri lepas dari Allah. Itulah sebabnya karena Allah Maha Tahu, dan juga sudah tahu sebelumnya bahwa resiko kehendak bebas adalah kemungkinan manusia menggunakan kehendakNya secara salah, jawaban Allah untuk menolong manusia bukan dengan cara menghilangkan kehendak bebas agar tidak melakukan kesalahan, namun dengan jalan manusia diperingatkan dan diberi tahu akibat-akibat apa yang akan terjadi kalau memilih secara benar atau secara salah. Disamping itu Allah sekaligus menyediakan kemungkinan kepada manusia melalui penjelmaanNya atau inkarnasi SabdaNya sehingga kejatuhan manusia dapat dipulihkan di dalam diri Sang Sabda itu. Jadi tidak ada yang aneh dalam apa yang Allah lakukan, malahan indah dan mulia.
Kali ini kita akan membahas dan menjawab mengenai pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kejatuhan manusia berikut ini:
1) Tahukah Allah bahwa manusia akan jatuh kedalam dosa?
2) Jika Allah tahu mengapa Allah melarang manusia memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat?
3) Mengapa Allah menempatkan manusia ditengah-tengah taman itu?
4) Bukankah ini sama saja dengan menjerumuskan manusia?
5) Jika Allah tidak tahu maka ini juga aneh sebab katanya Ia Maha Tahu?
-- Allah Maha Tahu, bahkan sebelum kita ada diciptakanpun Dia sudah tahu masing-masing kita, sebagaimana dikatakan:"..... Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan...:" (Efesus 1:4), ".... telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman...."(II Timotius 4:9), serta :"..... memilih aku sejak kandungan ibuku..." (Galatia 1:15), dan masih banyak lagi. Ayat-ayat semacam ini yang kita jumpai dalam Alkitab menunjukkan bahwa Allah tahu sebelum kita lahir, dan bahkan sebelum kita diciptakan. Dengan menyadari bahwa Allah Maha Tahu tentu saja pertanyaan tentang kejatuhan manusia ke dalam dosa itu seolah-olah Allah yang sengaja menjerumuskan mereka. Namun bila kita mengerti maksud dan tujuan Allah menciptakan manusia diciptakan maka kita akan mengerti bahwa bukan demikian yang sebenarnya. Menurut Efesus 1:4-5, Kitab Suci mengajarkan bahwa: "di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya,” (Efesus 1:4-5).
Untuk mengerti maksud ayat ini kita harus mengerti mengenai keberadaan Sang Tritunggal Maha Kudus. Menurut Kitab Suci “Allah adalah Satu” (Galatia 3:20), dan Allah yang satu itu adalah “Bapa” ( I Korintus 8:6). Allah yang satu ini memiliki Firman di dalam Dirinya, sebagaimana dikatakan “ Firman itu bersama-sama dengan Allah” (Yohanes 1:1b), dan Firman yang bersama-sama dengan Allah inilah yang akhirnya menjadi manusia: Yesus Kristus (Yohanes 1:14). Ketika Ia menjadi manusia bernama Yesus Kristus, Firman ini mengatakan: ”… Aku keluar ….dari Allah” (Yohanes 8:42), berarti tadinya berada di “dalam Allah” atau “bersama-sama Allah”, yaitu bersama sama satu di dalam diri Allah sendiri.
Tentu saja yang dimaksud Yesus Kristus “keluar dari Allah” ini bukan dalam wujud manusiaNya, sebab wujud manusia-Nya itu adalah “lahir dari seorang perempuan” (Galatia 4:4b), jadi Ia berada bersama-sama satu dalam Allah itu adalah pada saat “di hadirat-Mu sebelum dunia ada” (Yohanes 17:5). Sebelum dunia ada dalam wujud non-tubuh-jasmani, dan non-manusiawi, itulah Yesus Kristus berada satu bersama-sama di dalam Diri Allah, yaitu sebagai “Firman Allah”. Kata “Firman” ini bahasa aslinya adalah “Logos”, yang mengandung makna sekaligus “ucapan” serta “isi dari ucapan” dan “perangkat yang memungkinkan adanya ucapan dan sisinya” yaitu “akal” atau pikiran. Jadi sama dengan akal dan pikiran serta kata-kata kita yang tersimpan dalam pikiran itu berada satu di dalam dan bersama-sama kita kemanapun kita pergi dan berada , demikianlah Logos-Nya Allah itu berada dalam dan bersama-sama Allah dimanapun Allah itu ada. Karena Allah itu kekal, maka Logosnya itu juga kekal, artinya sudah ada “sebelum dunia ada “. Jadi seolah-olah Allah “mengandung” Logos atau Firman, karena Logos itu bersama-sama dan didalam Allah tanpa awal maupun akhir. Dan karena Logos yang dikandung dalam Diri Allah itu juga dinyatakan Kitab Suci sebagai “keluar dari Allah”, maka Logos itu dapat dikatakan sebagai “diperanakkan” atau “dilahirkan” dari dalam Diri Allah. Itulah sebabnya Logos atau Firman Allah itu juga disebut sebagai “Anak Allah”. Jadi Yesus Kristus disebut sebagai Anak Allah, bukanlah dikarenakan lahirnya tanpa bapa manusia dari Perawan Maryam, namun karena Ia adalah Logos Allah yang sejak kekal dikandung di dalam Diri Allah, dan yang juga “keluar dari Allah”, yang kemudian diturunkan dari Sorga (Yohanes 3:13), masuk ke dalam rahim Bunda Maryam, serta mengambil daging darinya, sehingga Ia menjadi “buah rahim” (Lukas 1:42) Maryam, serta menjadi manusia, Anak Maryam (Markus 6:3): Yesus Kristus. Jadi sebelum ada manusia yang bernama Yesus Kristus lahir dari Perawan Maryam, sejak kekal Anak Allah itu sudah ada di dalam Diri Allah, atau dengan kata kias sudah “ada di pangkuan Bapa.” (Yohanes 1:18). Jadi artinya “Firman Allah” dan “Anak Allah” itu adalah sama saja. Ini dibuktikan oleh ayat yang demikian: ”Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah …..Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.” (Yohanes 1:1-3). Menurut ayat ini Firman itu sudah ada “pada mulanya”. Yang dimaksud dengan “pada mulanya” adalah saat penciptaan sebagaimana yang dikatakan “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” (Kejadian 1:1). Pada mulanya “adalah” (bahasa aslinya “sudah ada”) Firman, ini menunjukkan bahwa Firman bukan baru ada “pada mulanya” itu, namun Firman sudah ada “pada mulanya” yaitu saat ciptaan dijadikan. Berarti Firman mendahului ciptaan, karena Dia memang berada “di hadirat-Mu sebelum dunia ada”, jadi Firman itu kekal.
Dan melalui Firman inilah Allah menjadikan “segala sesuatu”, sehingga Firman ini disebut sebagai “permulaan (awal-mula) dari ciptaan Allah” (Wahyu 3:14) atau “asal-usul” dari segala yang diciptakan. Jadi Allah menciptakan alam –semesta melalui Firman ini, hal yang mana dapat kita baca dengan jelas dalam Kitab Kejadian 1:1-31, ketika Allah menciptakan segala sesuatu melalui Firman-Nya. Namun menurut Ibrani 1:2, dikatakan Kitab Suci bahwa :”…. Anak-Nya, …... Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.”. Menurut ayat ini Allah menjadikan alam semesta oleh atau melalui AnakNya, sedangan menurut Yohanes 1:1-3, dan Kejadian 1, Allah menjadikan alam semesta melalui “Firman:”Nya, maka jelas yang disebut “Anak Allah” itu adalah “Firman Allah” yang secara kekal tanpa awal maupun akhir berada satu di dalam diri Allah sendiri. Oleh karena itu FirmanNya Allah ini memiliki hakikat yang sama persis dengan hakikat dari Allah itu sendiri, sehingga Kitab Suci mengatakan “Firman itu adalah Allah” ( Yohanes 1:1c), meskipun Firman itu bukan Sang Bapa itu. Sang Bapa adalah asal-usul dari Firman, dan tempat beradaNya Firman itu, itulah sebabnya Firman itu disebut Anak, dan sebaliknya Allah yang mengeluarkan FirmanNya sendiri dari dalam DiriNya itu disebut Bapa, meskipun Allah itu bukan laki-laki, bukan perempuan ataupun banci, dan meskipun Allah itu tidak beranak ataupun diperanakkkan layaknya manusia melahirkan anak yang membutuhkan isteri terlebih dahulu. Jadi sejak kekal di dalam Diri Allah yang Satu (Bapa) terdapat FirmanNya sendiri yang kekal ( Anak). Jadi Bapa dan Anak itu bukan dua Allah, namun satu Allah, karena Bapa adalah sebutan untuk Allah yang Esa itu, sedangkan Anak adalah sebutan untuk FirmanNya yang sejak kekal berada satu di dalam DiriNya.
Allah Yang Satu yang memiliki Firman yang hanya satu ini, adalah Allah yang hidup. Oleh karena itu Ia juga memiliki “Prinsip Hidup Ilahi” dalam dirinya, yaitu Ia memiliki “Roh Allah” yang juga berada di dalam diriNya, sebagaimana dikatakan:”…. Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah. Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia? Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah.” (I Korintus 2:10-11). Menurut ayat ini, sebagaimana roh manusia itu berada di dalam diri manusia, demikianlah Roh Allah juga berada di dalam Diri Allah. Jadi Allah Yang Esa (Bapa) disamping memiliki “Firman: yang kekal (Anak) di dalam diriNya, juga memiliki “Prinsip Hidup” atau “Roh “ (Roh Kudus) yang juga ada di dalam DiriNya. Jadi Bapa (Allah Yang Esa), Anak (FirmanNya Allah yang berada di dalam Diri Allah) dan Roh Kudus (RohNya Allah yang juga berada di dalam Diri Allah) itu bukanlah “Tiga Ilah” namun “Satu Allah”. Jadi sama seperti setiap manusia itu memiliki “diri yang satu” yang dalam diri itu terdapat “akal-perkataan” yang satu, serta di dalam diri satu itu juga terdapat “roh”nya yang satu, tanpa hal itu membuat diriNya menjadi tiga orang manusia yang berbeda, demikianlah Allah, Firman/Logos, dan RohNya itu adalah satu. Karena memang Allah itu hanya satu, dan tidak ada Allah yang lain kecuali Dia. Yang membedakan Firman Allah dan Roh Allah di dalam diri Allah, dengan akal serta roh kita yang ada di dalam diri kita adalah, Firman Allah dan Roh Allah yang berada di dalam diri Allah itu memiliki “kesadaran” sehingga Roh Allah itu dapat “berdoa” di dalam Diri Allah (Roma 8:26), dapat “didukakan” manusia (Efesus 4:30), dapat “didustai” manusia (Kisah 5:4), dan sebagainya. Dengan kata lain Roh Allah itu memiliki kesadaran, meskipun berdiam satu di dalam Diri Allah. Namun bukan hanya Roh Allah saja yang memiliki sifat kesadaran yang begini ini, ternyata FirmanNya Allah juga memiliki sifat yang demikian, karena ternyata Ia dapat dikasihi oleh Bapa yang didalam Diri Bapa itu Firman ini bersemayam.
Kita tak dapat saling mengasihi dengan kata-kata kita sendiri yang kita ucapkan, namun Allah ternyata sejak kekal mengasihi FirmanNya sendiri itu, sebagaimana dikatakan oleh Firman itu sendiri kepada Allah ketika telah menjadi manusia, demikian: ”Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan” (Yohanes 17:24c). Jadi di dalam Diri Allah yang satu ini terdapat “Tiga Titik Kesadaran”, keberadaan Allah yang satu yang memiliki Tiga Titik Kesadaran, atau Tiga Pribadi, inilah yang disebut sebagai Tritungal Maha Kudus. Mengapa Firman dan Roh Allah ini masing-masing memiliki kesadaran tersendiri, di dalam Diri Allah Yang Esa, bukan seperti kata-kata kita dan roh kita , yang tak memiliki kesadaran lepas dari satu kesadaran yang kita miliki sebagai keutuhan manusia yang satu ini ? Sebab Allah bukan manusia, dan karena: "Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku. Siapakah seperti Aku? “ (Yes 44:6b-7), serta bahwa “ya Tuhan ALLAH, sebab tidak ada yang sama seperti Engkau” (II Samuel 7:22). Artinya Allah itu tidak sama dengan apapun, termasuk tidak sama dengan manusia. Oleh karena itu keberadaan Firman dan RohNya yang memiliki Titik Kesadaran itu menunjukkan bedanya Allah dengan kita. Jadi Tritunggal Maha Kudus itu adalah Allah Yang Satu itu, dimana Ia memiliki Satu Esensi/Hakekat, namun Tiga dalam Hypostasisnya.
Jadi Allah itu satu karena Sang Bapa itu satu, dan EsensiNya juga satu, serta di dalam Esensi Sang Bapa yang satu ini terdapat FirmanNya yang Satu dan RohNya yang Satu. Karena Firman dan Roh Allah ini berada dalam Esensi Allah yang Satu, maka itu juga memiliki Esensi Ilahi yang satu dan yang sama dengan Sang Bapa itu. Karena di dalam Tritunggal tidak ada Esensi Ilahi yang lebih dari satu, maka Kehendak Bapa yang satu itu juga kehendak dari Firman dan RohNya, kemuliaan Sang Bapa yang satu itu juga kemuliaan dari Firman dan RohNya, kekudusan Sang Bapa yang satu itu juga kekudusan dari Firman dan RohNya, kuasa dari Sang Bapa yang satu itu juga kuasa dari Firman dan RohNya, ke-Maha-Tahu-an Sang Bapa yang satu itu juga ka-Maha-Tahu-an dari Firman dan RohNya. Dimana Bapa hadir disitulah Firman dan Roh hadir, karena baik Firman maupun Roh berada dalam Bapa, dimana Firman hadir disitulah Bapa dan Roh itu hadir, karena Firman tak dapat dipisahkan dari Bapa sebab bersemayamNya dalam Bapa, dan di dalam Bapa itu terdapat RohNya sekaligus. Dimana Roh hadir disitu juga Firman dan Bapa hadir, karena Roh itu diamNya dalam Bapa , sehingga Roh tak dapat dipisahkan dari Bapa, sekaligus tak dapat dipisahkan dengan Firman, sebab saat Bapa hadir di dalamNya selalu ada FirmanNya. Demikianlah dalam segala hal Tritunggal itu memang satu, sebab EsensiNya hanya satu serta sifat-sifatNya hanya satu juga, dan sumber keilahi-an baik dari Firman maupun dari Roh itu hanya satu, yaitu Bapa saja, sebab baik Firman maupun Roh itu diamNya maupun keluarNya dari dalam Bapa yang hanya satu ini. Sejak “sebelum ada dunia” yaitu dalam kekekalan yang tanpa awal maupun akhir “Titik Kesadaran Pertama” dalam Allah Yang Esa itu, yaitu Bapa, ternyata berada dalam keadaan “mengasihi” “Titik Kesadaran Kedua”, yaitu Firman/Anak, dalam DiriNya sendiri yang Esa itu (Yohanes 17:24c). Selanjutnya di katakan dalam Roma 5:5 :” kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus”. Dengan demikian kita tahu bahwa fungsi dan karya Roh Kudus, ”Titik Kesadaran Ketiga” dalam Allah Yang Esa itu, adalah bagi “mencurahkan Kasih Allah”. Lebih jauh dikatakan dalam Ibrani 9:14, bahwa Roh Kudus ini disebut sebagai “Roh yang kekal, jikalau demikian maka fungsiNya untuk mencurahkan Kasih Allah itu juga kekal. Sebelum ada dunia ada, Bapa/Allah hanya mengasihi Anak/Firman, padahal yang mencurahkan Kasih Allah itu adalah Roh Allah itu sendiri. Dengan demikian fungsi Roh Allah bagi mencurahkan Kasih Allah secara kekal itu, diarahkan kepada Firman Allah. Dengan kata lain Allah mengasihi FirmanNya dan kasihNya itu dicurahkan oleh Allah melalui RohNya itu. Dan melalui Roh Allah yang sama itu Firman Allah memantulkan kembali kasih Allah itu kepada Allah, sehingga dalam diri Allah Yang Esa itu sejak kekal tanpa awal maupun akhir terdapat lingkaran kasih yang kekal, dari “Titik Kesadaran Pertama” (Allah/ Bapa) kepada “Titik Kesadaran Kedua” (Firman/Putra) melalui dan di dalam ”Titik Kesadran Ketiga” (Roh Allah /Roh Kudus). Jadi Esensi Allah yang satu itu tak lain dan tak bukan adalah “Kasih” ini, itulah sebabnya Kitab Suci mengatakan bahwa “Allah adalah kasih” (I Yohanes 4:8). Jadi kasih itu adalah sifat hakikat Allah, sebab Allah bersifat Tritunggal.
Ke-Esa-an Allah dalam Iman Kristen Orthodox adalah ke-Esa-an yang bergerak tanpa henti secara kekal dalam aliran Kasih. Dan Allah yang demikian ini dapat membagi diri, karena Titik Kesadaran PertamaNya (Bapa) itu memberikan HidupNya sendiri kepada Titik KesadaranNya yang Kedua (Anak) di dalam DiriNya yang Esa itu, sebagaimana dikatakan:” sama seperti Bapa mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri, demikian juga diberikan-Nya Anak mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri” (Yohanes 5: 26), dengan demikian Hidup Bapa itu sama persis berada di dalam Anak. Jadi Bapa dan Anak memiliki kehidupan yang satu dan yang sama di dalam diri Allah yang Esa itu. Maka dalam Diri Allah yang Esa itu, kita lihat keberadaan saling membagi Hidup antara Bapa (“Titik Kesadaran Pertama”) dan “Putra/Firman” (“Titik Kesadaran Kedua”), sehingga Tritunggal itu menjadi sumber dan teladan dari kerelaan berbagi hidup atau kerendahan hati. Dan kerendahan hati yang ada dalam Allah itu dinyatakan oleh Allah melalui turunNya FirmanNya ke bumi menjadi manusia dengan “mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia….. Ia telah merendahkan diri-Nya” (Filipi 2:7-8). Allah yang bukan Tritunggal tak mungkin dapat merendahkan diriNya seperti ini. Kerendahan hati Allah itu dinyatakan melalui FirmanNya yang turun ke dunia ini, dan itu pulalah sebabnya mengapa Firman yang telah menjadi manusia ini mengatakan:” Aku lemah lembut dan rendah hati” ( Matius 11:29).
Karena sasaran Kasih dari “Titik Kesadaran Pertama” (Bapa) dari Allah yang Kekal di dalam DiriNya yang Esa itu adalah “Titik Kesadaran Kedua” yaitu Firman/Anak, maka Firman Allah itu menjadi sasaran renungan Allah akan DiriNya sendiri. Allah melihat dan mengenal DiriNya melalui FirmanNya, sehingga Firman itu adalah merupakan:” cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (Ibrani 1:3), sebagaimana seorang anak adalah gambaran bapaknya. Itulah sebabnya Firman Allah itu disebut sebagai “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kolose 1:15) atau juga sebagai “dalam rupa Allah” (Filipi 2:6). Kasih Allah yang dicurahkan kepada FirmanNya yang menyebabkan Firman itu menjadi sasaran Cinta dan Renungan Allah ini, bersemayamNya dan beradaNya adalah di dalam Esensi Allah sendiri, dan bukan diluar Allah.
Padahal sifat Cinta atau Kasih itu selalu ingin menjangkau sesuatu yang di luar dirinya. Cinta atau Kasih selalu mempunyai sasaran di luar dirinya. Di dalam kekekalan Kasih Allah itu sasarannya ada di dalam diri Allah sendiri, yaitu FirmanNya yang memiliki Kesadaran. Namun sifat kasih itu selalu menjangkau keluar, maka pada saat Allah merenungkan Kasihnya dalam FirmanNya, sekaligus muncul dari situ rancangan tentang sesuatu diluar diriNya akibat kasihNya akan FirmanNya itu. Di dalam kasihNya akan FirmanNya itulah munculnya rencana akan sasaran kasih yang diluar diriNya, yaitu ciptaan. Jadi rencana atau “cetak-biru” akan adanya ciptaan itu terejadinya disebabkan karena Kasih Allah yang diarahkan kepada FirmanNya, dan itu terjadi sebelum dunia ada. Jadi segenap manusia dan makhluk lainnya itu sudah dikenal Allah sejak kekal, meskipun belum terwujud dalam realita. Cetak Biru yang keluar dari Kasih Allah akan FirmanNya sendiri inilah yang disebut sebagai “Hikmat Allah”. Jadi Hikmat itu terkait dengan Logos/Firman, tetapi bukan Logos itu sendiri, melainkan dampak dan pancaran yang keluar dari Logos/ Firman akibat Kasih Allah kepada Logos/Firman itu. Dan berdasarkan Hikmat atau “Rencana/Keputusan KehedakNya” ini Allah melakukan segala sesuatu yang berkaitan dengan ciptaan, sebagaimana dikatakan: ”Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya” (Efesus 1:11). Bahwa keputusan kehendak Allah atau “cetak biru” dari rancanganNya (baik itu rancangan penciptaan, maupun rancangan penebusan) itu adalah disebut hikmat dikatakan Kitab Suci demikian: ”Hikmat itu, dari manakah datangnya, atau akal budi, di manakah tempatnya? Ia terlindung dari mata segala yang hidup, bahkan tersembunyi bagi burung di udara. Kebinasaan dan maut berkata: Hanya desas-desusnya yang sampai ke telinga kami. Allah mengetahui jalan ke sana, Ia juga mengenal tempat kediamannya. Karena Ia memandang sampai ke ujung-ujung bumi, dan melihat segala sesuatu yang ada di kolong langit. Ketika Ia menetapkan kekuatan angin, dan mengatur banyaknya air, ketika Ia membuat ketetapan bagi hujan, dan jalan bagi kilat guruh, ketika itulah Ia melihat hikmat, lalu memberitakannya, menetapkannya, bahkan menyelidikinya“ (Ayub 28:20-27). Menurut ayat-ayat ini “hikmat” itu misterius dan tersembunyi sifatnya. Karena tempatnya tak diketahui, “terlindung dari mata“, “Hanya desas-desusnya yang sampai ke telinga” , dan hanya “Allah mengetahui jalan ke sana, Ia juga mengenal tempat kediamannya”. Namun demikian pada saat “Ia menetapkan kekuatan angin, dan mengatur banyaknya air, ketika Ia membuat ketetapan bagi hujan, dan jalan bagi kilat guruh” yaitu pada saat Ia menciptakan alam semesta dan mengatur jalannya alam ciptaan ini “ketika itulah Ia melihat hikmat “, jadi pada saat menciptakan alam-semesta itulah ia seolah-olah berkonsultasi dengan hikmat-Nya itu, karena hikmat adalah “cetak-biru” atau “rancang-bangun” dari “keputusan kehendakNya” di dalam menjadikan segala sesuatu yang kepadanya kasihNya dapat dicurahkan, sebagai perpanjangan dari kasih kekalNya kepada Logos yang ada di dalam DiriNya sendiri. Jadi karena kasih kepada Logos dan di dalam diri Logos itulah Allah merenungkan ciptaan, sehingga dalam ke-Maha-Tahu-anNya segala sesuatu baik secara umum dari awal kejadian sampai akhirnya di hari pengadilan, maupun secara khusus yang menyangkut apa yang akan terjadi kepada masing-masing pribadi dengan segala nasib dan umurnya, serta sikapnya terhadap Allah telah diketahui Allah sebelumnya, sehingga segala sesuatu yang menyangkut manusia, termasuk kejatuhan manusia, telah terkandung dalam “Hikmat” sejak sebelum dunia ada akibat kasihNya kepada Logos/Firman, akhirnya Hikmat itu menjadi realita ciptaan.
Demikian juga dikatakan lagi oleh Kitab Suci: ”….. hikmat berseru-seru……TUHAN telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama dahulu kala. Sudah pada zaman purbakala aku dibentuk, pada mula pertama, sebelum bumi ada. Sebelum air samudera raya ada, aku telah lahir, ketika Ia menetapkan dasar-dasar bumi, aku ada serta-Nya dengan padang-padangnya atau debu dataran yang pertama. Ketika Ia mempersiapkan langit, aku di sana, ketika Ia menggaris kaki langit pada permukaan air samudera raya, ketika Ia menetapkan awan-awan di atas, dan mata air samudera raya meluap dengan deras, ketika Ia menentukan batas kepada laut, supaya air jangan melanggar titah-Nya, dan ketika Ia menetapkan dasar-dasar bumi, aku ada serta-Nya sebagai anak keRomo Danielngan, setiap hari aku menjadi kesenangan-Nya, dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya;aku bermain-main di atas muka bumi-Nya dan anak-anak manusia menjadi kesenanganku” (Amsal 8:1, 22-31). Menurut ayat-ayat ini TUHAN (Yahweh) “telah menciptakan (yaitu: memunculkan sebagai akibat Kasih dan RenunganNya terhadap Logos/Firman) Hikmat itu sebagai “permulaan pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama“. “Pekerjaan” dan “perbuatan” disini merujuk kepada ciptaan yang akan dilakukan Allah. Sebelum pekerjaan dan perbuatan, yaitu karya penciptaan itu dilakukan, maka “permulaannya” atau “cetak-birunya” yaitu “rancang-bangunnya” dan “keputusan kehendakNya” terkandung dalam “hikmat” itu. Jadi permulaan atau awal dan titik pijak atas apa yang akan dibuatNya adalah “Hikmat” itu. Karena itu hikmat itu telah ada, atau “telah lahir” artinya “telah mucul” sebelum ada ciptaan (yaitu “sebelum”adanya samudera raya , sumber-sumber yang sarat dengan air, gunung-gunung tertanam dan lebih dahulu dari pada bukit-bukit, bumi dengan padang-padangnya atau debu dataran yang pertama) sebagai “cetak-biru” dari ciptaan itu. Sebab hikmat itu lahirnya atau munculnya bersamaan dengan kasih dan renungan Allah yang diarahkan kepada Firman/LogosNya, sebelum dunia ada. Sebagaimana dikatakan dalam Ayub 28 diatas, dimana pada saat penciptaan, “ketika itulah Ia melihat hikmat“, demikian juga dalam Amsal 8 ini dikatakan “Ketika Ia mempersiapkan langit, aku di sana”, serta “ketika Ia menetapkan dasar-dasar bumi, aku ada serta-Nya”. Ini dikarenakan Allah menciptakan sesuai dengah rencanaNya yang terkandung dalam Hikmat itu, sehingga seolah-olah Allah selalu berkonsultasi dengan Hikmat itu. Dan karena Hikmat itu juga yang selalu “dilihat” sehingga itu digambarkan seperti “anak kesenangan”, atau digambarkan “setiap hari aku menjadi kesenangan-Nya” serta “senantiasa bermain-main di hadapan-Nya”. Jadi ciptaan Allah ini dijadikan tepat sesuai dengan Hikmat atau Kebijaksanaan Ilahi itu, sehingga dikatakan lagi oleh Kitab Suci: ”Betapa banyak perbuatan-Mu, ya TUHAN, sekaliannya Kaujadikan dengan kebijaksanaan“ (Mazmur 104:24).
Karena ciptaan itu terkandung dalam Hikmat/Kebijaksanaan Allah sebagai akibat kasih Allah kepada Logos/Firman, dan merupakan perpanjangan kasih Allah kepada Logos/Firman itu, maka realisasi dan perwujudan ciptaan, terutama manusia, itupun terjadinya oleh Logos/Firman yang sama tadi (Kejadian 1:1dst, Yohanes 1:1-3, Ibrani 1:1-2, Mazmur 33:6). Karena “cetak-biru” ciptaan, terutama manusia itu, muncul akibat Allah mengasihi FirmanNya, dan menghendaki agar kasih yang di dalam diri Allah sendiri melalui FirmanNya, itu juga meluber di luar diri Allah sehingga ada ciptaan, maka segenap ciptaan itu terjadi karena Kasih Allah di dalam Logos/Firman ini.
Jadi Logos/Firman adalah “pola” dari kodrat keberadaan ciptaan, terutama manusia. Jadi “fitrah” manusia adalah berada dalam keberadaan seperti Logos itu. Karena Logos/Firman Allah itu disebut sebagai “ gambar Allah” (Kolose 1:15) dan “rupa Allah” (Filipi 2:6), dan atas “pola” keberadaan Logos/Firman ini manusia diciptakan, oleh karena itu ketika manusia diciptakan, Kitab Suci mengatakan bahwa manusia diciptakan “MENURUT” “gambar” dan “rupa” Allah” (Kejadian 1:26-27). Dengan demikian kasih yang dicurahkan Allah kepada FirmanNya itu juga dapat dialami manusia, sebab manusia keberadaannya diciptakan “menurut” pola dari Firman yang adalah “gambar” dan “rupa” Allah yang sejati itu, sehingga manusia menjadi semacam “copy” dari Firman/Logos. Setelah mengerti semuanya ini marilah kembali kepada Efesus 1:4-5 diatas untuk menjawab pertanyaan yang pertama ini.
Dalam Efesus 1:4-5 dikatakan: ”Sebab di dalam Dia (di dalam Diri Logos/Firman sebagai sasaran kasih dan renungan Allah secara kekal, sehingga memunculkan Hikmat dimana cetak biru keberadaan kita sudah diketahui Allah secara kekal) Allah telah memilih (“memilih” disini mempunyai dua makna, memilih dalam arti bahwa dari antara segenap makhluk ciptaan Allah yang lain: para malaikat, binatang-binatang, tumbuh- tumbuhan, alam semesta, dan lain-lain; manusia itulah yang secara khusus dijadikan pilihan Allah untuk menjadi sasaran perpanjangan kasihNya kepada Firman, “memilih” itu juga berarti dalam ke-Maha-Tahu-anNya Allah sudah tahu bahwa ada manusia yang akan menolak dan ada yang beriman kepadanNya. Dan mereka yang beriman itulah yang terpilih, dan mereka yang menolak itulah yang terbuang, dan semuanya itu sudah diketahui Allah sejak kekal. Dan mereka yang akan memilih untuk beriman yang dari kekal sudah diketahui Allah ini, adalah mereka yang akan menyatu dengan Kristus dalam GerejaNya.
Jadi yang disebut orang pilihan itu adalah paguyuban dalam Tubuh Kristus: Gereja Rasuliah kita (kata “kita” disini bukan berarti “kita-kita masing-masing” secara individu, namun kita secara bersama sebagai satu paguyuban yaitu “Gereja Rasuliah”, dengan demikian Gereja, Tubuh Firman yang Menjelma sebagai Manusia itulah yang dipilih Allah, dan barangsiapa dari antara “kita masing-masing” yang oleh iman menyatu dalam Tubuh Kristus ini, akan juga masuk dalam pilihan itu) sebelum dunia dijadikan (“pemilihan” kita dalam persekutuan Tubuh Kristus itu terjadi sebagai akibat perpanjangan kasih Allah kepada FirmanNya sendiri, dan kasih Allah kepada Firman itu terjadi “sebelum dunia dijadikan”, maka pemilihan kita dalam ke-Maha-Tahu-an Allah itupun terjadi pada saat “sebelum dunia dijadikan” tepat bersamaan dengan keberadaan kasih Allah yang kekal kepada Firman/Logos itu), supaya (pemilihan Allah atas manusia yang menunggal di dalam Logos/Firman melalui GerejaNya itu memiliki tujuan) kita (semua manusia yang oleh iman manunggal dengan Firman/Logos dalam Tubuh MistikaNya, Gereja) kudus dan tak bercacat (tak ada satu manusiapun yang kudus dan tanpa cacat, hanya Allah saja yang Maha Suci, Maha Kudus dan Tanpa Cacat. Karena Kudus dan Tak Bercacat ini adalah sifat-sifatNya Allah, maka berarti manusia yang masuk dalam pilihan ini, adalah mereka yang masuk dalam tujuan Allah menciptakan manusia, yaitu supaya menjadi sama seperti “FirmanNya” (I Yohanes 3:2) yaitu “ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi” -II Petrus 1:4-) di hadapan-Nya (dalam kehidupan kita sebagai anak-anak Allah, terutama di hadapanNya pada saat akhir zaman nanti). Dalam kasih (karena munculnya rencana untuk menciptakan manusia itu terjadi akibat “kasih” Allah kepada Firman, maka segala sesuatu yang menyangkut pemilihan kodrat manusia itu landasannya adalah “kasih” kekal Allah kepada Firman/Logos ini) Ia telah menentukan kita dari semula (penentuan dari semula, yaitu penentuan sejak sebelum ada dunia, ini adalah penentuan kodrat keberadaan manusia, jadi bukan takdir masuk sorga atau masuk nerakanya seseorang seperti yang diajarkan Calvin. Artinya sejak semua Allah telah menentukan kodrat manusia itu agar ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi, yaitu menjadi sama seperti Firman/Logos itu) oleh Yesus Kristus (penentuan kodrat manusia ini terkait dengan Yesus Kristus, dan penentuan ini sudah terjadi sejak semula, yaitu sejak sebelum ada dunia. Hal ini jelas menunjuk kepada keberadaan Allah yang mengasihi Firman sejak sebelum dunia ada. Jadi penentuan penciptaan manusia dengan kodratnya sekalian itu terkait dengan kehendak Allah untuk memperpanjang kasihNya di luar dari FirmanNya, yang berkibat diciptakannya manusia dengan kodrat yang telah ditentukan sejak semula yaitu kodrat diciptakan “menurut “ gambar dan rupa Allah, yaitu menurut kodrat dari Sang Firman itu. Firman Allah disini sudah disebut Yesus Kristus, padahal penentuan dari semula itu terjadinya sebelum Firman itu jadi manusia. Ini menunjuk bahwa dalam ke-Maha-Tahu-an dan hikmatNya Allah sudah mengetahui bahwa Firman itu nanti akan menjadi manusia dan bernama Yesus Kristus, dengan demikian dalam ke-Maha-Tahu-anNya Allah sudah melihat bahwa Inkarnasi itu harus terjadi, berarti Allah sudah mengetahui bahwa manusia pertama akan membuat pilihan yang salah, sehingga sekaligus telah disediakan jalan pemulihannya melalui Firman Allah menjadi manusia. Oleh karena itu meskipun Firman itu belum menjadi manusia, telah disebut sebagai “Yesus Kristus”) untuk menjadi anak-anak-Nya (karena tujuan penciptaan adalah agar manusia dapat menjadi perpanjangan dari sasaran pencurahan kasih Allah kepada Firman, sehingga menjadi sama seperti Firman, maka karena Firman itu disebut Anak Allah, manusia yang diciptakan untuk mencapai derajat menjadi sama seperti Firman yaitu ambil bagian dalam kodrat ilahi ini disebut sebagai anak-anak Allah. Jadi menjadi anak-anak Allah artinya memiliki kodrat ilahi atau mengalami “pengilahian/”theosis” itulah tujuan manusia diciptakan, dan dari semula itulah Allah telah menentukan kodrat manusia untuk menjadi seperti ini), sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya (penetapan dari semula dari kodrat kemanusiaan untuk mencapai pengilahian atau theosis ini terjadi sama persis seperti apa yang telah terkandung dalam “Hikmat” Allah akibat kasih dan renungan kekalNya atas Sang Firman. Itulah sebabnya penentuan dari semula itu dikatakan “sesuai dengan” artinya menurut “cetak-biru” dari rencana Allah untuk menciptakan itu. Tujuan penciptaan manusia itu tak lain merupakan kehendak Allah untuk memperpanjang kasihNya kepada sesuatu yang diluar diriNya. Dan kehendak Allah menjadikan manusia seperti itu, bukan dipaksa oleh kebutuhan dalam diri Allah, namun semata-mata karena kerelaanNya sendiri saja.)”.
1) Tahukah Allah bahwa manusia akan jatuh kedalam dosa?
Jawabannya kita salin langsung dari penjelasan penggunaan Nama Yesus Kristus dalam Efesus 1:5 diatas: “ Firman Allah disini sudah disebut Yesus Kristus, padahal penentuan dari semula itu terjadinya sebelum Firman itu jadi manusia. Ini menunjuk bahwa dalam ke-Maha-Tahu-an dan hikmatNya Allah sudah mengetahui bahwa Firman itu nanti akan menjadi manusia dan bernama Yesus Kristus, dengan demikian dalam ke-Maha-Tahu-anNya Allah sudah melihat bahwa Inkarnasi itu harus terjadi, berarti Allah sudah mengetahui bahwa manusia pertama akan membuat pilihan yang salah, sehingga sekaligus telah disediakan jalan pemulihannya melalui Firman Allah menjadi manusia. Oleh karena itu meskipun Firman itu belum menjadi manusia, telah disebut sebagai “Yesus Kristus”
2) Jika Allah tahu mengapa Allah melarang manusia memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat?
Manusia diciptakan menurut Gambar dan Rupa Allah. Yang dimaksud dengan “Gambar” adalah pantulan/refleksi sedangkan yang dimaksud dengan Rupa adalah realita. Gambar itu ada pada foto, rupa itu ada pada wajah. Jadi gambar itu memang pantulan dari wajah yang sebenarnya, sedangkan rupa adalah wajahnya itu sendiri. Manusia diciptakan menurut gambar Allah, berarti di dalam diri manusia terdapat pantulan sifat-sifat Allah. Manusia diciptakan dengan potensi dan kemampuan untuk memantulkan sifat-sifat Allah, misalnya, kasih, keadilan, kekudusan dan lain-lain asal manusianya mau. Disamping itu sebagai yang diciptakan menurut gambar Allah, manusia juga dapat memantulkan sifat Allah sebagai yang bebas atau yang merdeka, karena Allah itu bebas dan merdeka. Demikianlah manusia diciptakan dengan memiliki kehendak bebas. Namun kehendak bebas mengandung resiko, yaitu resiko memilih yang salah atau memilih yang benar, memilih secara tepat atau secara keliru, memilih untuk bertindak benar atau bertindak sesat. Resiko ini adalah bagian tak teprisahkan dari keberadaan diciptakan dengan memiliki kehendak bebas. Dan Allah tak hendak mengambil kehendak bebas ini, karena itu akan bertentangan dengan kodrat kemanusiaan yang telah Ia ciptakan, “menurut” gambar-Nya itu.. Juga karena kodrat “menurut gambar Allah” itu adalah “potensi” manusia untuik merefleksikan sifat-sifat Allah, dan kodrat “menurut Rupa Allah” itu adalah realita yang harus dicapai, maka, melalui keberadaannya sebagai yang diciptakan “menurut gambar Allah” yaitu kemampuannya untuk memunculkan sifat-sifat Allah dalam dirinya melalui energi ilahi yang dimiliki manusia yang dihembuskan padanya saat penciptaan dalam wujud nafas hidup Allah itu (Kejadian 2:7), manusia dikehendaki Allah untuk maju untuik mencapai keberadaan sebagai yang diciptakan ”menurut Rupa” yaitu menjadi seperti Allah di dalam panunggalan dengan Dia yang adalah “gambar” dan “rupa” Allah yang hakiki, Firman Allah yang akhirnya menjadi manusia Yesus Kristus itu. Untuk naik derajat dan meningkat dari “menurut gambar” menuju “menurut rupa” inilah manusia harus diuji dalam ketaatannya kepada Allah. Hal ini dikatakan oleh Kitab Suci demikian:” TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas,tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” (Kejadian 2:15-17).
3) Mengapa Allah menempatkan manusia ditengah-tengah taman itu?
Jawabannya adalah “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden” untuk membuktikan bahwa memang aslinya manusia tidak diciptakan untuk mati, namun untuk memiliki hidup kekal. Sedangkan hidup kekal itu perlu dicapai melalui panunggalan dengan “pola asli fitrah” manusia itu sendiri, yaitu manunggal dengan “Sang Gambar” dan “Sang Rupa”Allah yang kekal (yaitu: Sang “Logos/Firman”) melalui ketaatan. Sebab Taman Eden itu adalah simbol persekutuan yang se-erat-eratnya dengan Allah dimana tidak ada kematian. Namun untuk mencapai keberadaan “menurut Rupa Allah” ini sehingga keberadaan hidup kekal itu menjadi kekal miliknya, manusia diuji ketaatanya dengan perintah “pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya”. Jadi buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat itu merupakan bentuk fisik dari perintah Allah yang harus diataati manusia, sama seperti kedua loh batu yang dierima Musa itu adalah merupakan bentuk fisik dari perintah-perintah Allah yang harus ditaati Israel. Namun Allah tahu bahwa karena manusia diciptakan dengan memiliki “kehendak bebas” maka resiko untuk tidak taat itu bukan sesuatu yang mustahil. Dan dalam “Hikmat” kekal Allah, telah ter-rekam dalam ke-Maha-Tahu-an Allah bahwa manusia pertama ini menggunakan resiko tidak taat terhadap perintah Allah. Itulah sebabnya diatas kita telah sebutkan bahwa, karena Allah sudah mengetahui sebelumnya bahwa dalam ke-Maha-Tahu-anNya, manusia pertama ini akan memberontak, maka Allah juga sudah “ melihat bahwa Inkarnasi itu harus terjadi, berarti Allah sudah mengetahui bahwa manusia pertama akan membuat pilihan yang salah, sehingga sekaligus telah disediakan jalan pemulihannya melalui Firman Allah menjadi manusia. Oleh karena itu meskipun Firman itu belum menjadi manusia, telah disebut sebagai “Yesus Kristus”
Inkarnasi yaitu manunggalnya Yang Ilahi (Firman) dengan Manusia (Yohanes 1:14) itu terjadi bukan semata-mata karena adanya dosa, namun karena memang manusia diciptakan untuk mencapai keberadaan “menurut Rupa Allah” yaitu menjadi “seperti Allah” melalui panunggalan dengan Sang Firman. Tetapi karena dalam “Hikmat”Nya Allah sudah mengetahui sebelumnya bahwa manusia akan memilih tidak taat, maka supaya dengan cara bagaimanapun juga tujuan panunggalan yang sudah direncanakan Allah itu tidak gagal dan harus terjadi, entah dengan cara manusianya yang dalam ketaatan akan manunggal dengan Sang Firman, ataukah FirmanNya dalam ketaatan kepada kehendak Bapa memanunggalkan diriNya dengan manusia, maka Allah sudah melihat panunggalan antara Firman Allah dengan Kemanusiaan kita itu memang betul-betul terjadi, yaitu dalam wujud manusia Yesus Kristus, sehingga dalam kekekalan, Sang Firman yang tak berwujud manusia itu sudah dikenal dengan nama InkarnasiNya: Yesus Kristus. Jadi tak ada perubahan dalam rencana Allah. Karena resiko tidak taat itu sudah diketahui Allah dan ter-rekam dalam “Hikmat/Kebijaksaan”Nya, maka ketika manusia diuji untuk taat dengan jalan tidak makan dari buah larangan itupun terlebih dulu diberi peringatan “pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati”, dengan harapan kalau boleh manusia itu taat, supaya tidak mengalami mati. Namun peringatan ini juga merupakan pemberitahuan bahwa Allah tidak main sembunyi dengan manusia, bahwa akibat dari pelanggaran dan ketidak-taatan kepada perintah Allah itu adalah “kematian” (“roh”nya pertama, kemudian “tubuh”nya). Jadi manusia sudah tahu resikonya bahwa “pada hari” ia melanggar, maka ia akan mati. Ini berarti juga merupakan pemberitahuan, seandainya mereka tidak melanggar mereka tak akan pernah mati, yaitu hidup kekal, sebab kematian itu hanya diancamkan “pada hari” mereka melanggar saja.. Dengan demikian didepan mata manusia pertama itu Allah telah menjelaskan dua jalan yang harus dipilih manusia, dengan dampak serta resiko masing-masing sesuai dengan pilihan itu. Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa pada saat penciptaan ini manusia itu belum dikuasai maut, namun juga belum memiliki hidup kekal secara permanen, manusia dalam keberadaan “bersimpang jalan”, manusia masih dalam tingkat ujian, bisa kekal kalau taat, namun bisa mati “pada hari” ia melanggar. Ternyata meskipun sudah diberitahu secara gamblang seperti inipun manusia tetap melanggar. Padahal tujuan ujian itu adalah untuk meningkatkan derajatnya dari tingkat ”menurut Gambar” kepada tingkat lebih tinggi “menurut Rupa Allah, yaitu tingkat permanen dalam kekekalan dalam panunggalan dengan Sang Firman. Jadi ketika manusia menerima dampak dari pemberontakannya, yaitu jatuh kepada kematian, maka resikonya harus ditanggung sendiri. Ia tak bisa menyalahkan Allah, karena Allah tidak menyembunyikan sesuatu apapun dari manusia, mengenai resiko pilihan kehendak yang dilakukannya itu.
4) Bukankah ini sama saja dengan menjerumuskan manusia?
Jawabannya berdasarkan keterangan diatas jelas tidak. Yang menjerumuskan manusia kepada kejatuhan dari kemungkinan hidup kekal kepada maut, itu bukan Allah, karena Allah sudah memberitahu resiko masing-masing dari dua pilihan yang mungkin dilakukan manusia. Allah tidak menjebak Adam agar jatuh, sebab aturan mainnya sudah dijelaskan dengan gamblang. Namun demikian meskipun sudah diberitahu atutran main yang sedemikianpun manusia tetap nekat untuk melanggar, karena ia memang lebih memilih untuk mendengar suara Si Ular melalui bujukan isterinya (Kejadian 3:6) daripada pada mendengar dan taat kepada perintah Allah yang begitu jelas dan gamblang ini. Ujian dengan perintah berwujud larangan makan buah pohon itu, dimaksudkan Allah untuk peningkatan manusia, dan Allah telah memberi tahu syarat-syaratnya, namun manusia gagal memenuhi syarat-syarat Allah itu, ia gagal ujian, jadi ia jatuh. Penyebab kejatuhannya bukan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri. Manusialah yang oleh ketidak-taatannya menjerumuskan dirinya sendiri dengan menggunakan pilihan kehendak bebasnya secara salah. Meskipun setelah diberi tahu akibat-akibat dari pelanggaran semacam itu oleh Allah, namun toh masih tetap melanggar. Bukankah sifat Adam yang demikian masih kita temukan dalam diri kita masing-masing. Hanya saja larangan Allah pada kita bagi ujuan untuk meningkatkan derajat kita itu bukan berwujud buah dari pohon larangan, namun dalam wujud ajaran yang tertera dalam Kitab Suci. Apakah kalau kita jatuh ke dalam dosa Allah juga yang menjerumuskan, tentu bukankan? Karena sama seperti kepada Adam, kepada kitapun Allah sudah memberitahu tentang dua jalan ini, dengan resikonya masing-masing.
5) Jika Allah tidak tahu maka ini juga aneh sebab katanya Ia Maha Tahu?
Jawabannya kita kutipkan langsung saja dari pembahasan kita tentang Hikmat Allah diatas: ”Jadi karena kasih kepada Logos dan di dalam diri Logos itulah Allah merenungkan ciptaan, sehingga dalam ke-Maha-Tahu-anNya segala sesuatu baik secara umum dari awal kejadian sampai akhirnya di hari pengadilan, maupun secara khusus yang menyangkut apa yang akan terjadi kepada masing-masing pribadi dengan segala nasib dan umurnya, serta sikapnya terhadap Allah telah diketahui Allah sebelumnya, sehingga segala sesuatu yang menyangkut manusia, termasuk kejatuhan manusia, telah terkandung dalam “Hikmat” sejak sebelum dunia ada akibat kasihNya kepada Logos/Firman, akhirnya apa yang terkandung dalam Hikmat itu menjadi realita ciptaan.”, Maha Tahu tidak berarti membuat kehendak bebas manusia hilang, sebab manusia memang diciptakan menurut “gambar” Allah, yang salah satu cirinya adalah memiliki kehendak bebas itu. Jadi “kehendak-bebas” itu adalah manifestasi “rahmat/kasih-karunia” Allah pada manusia, bukan suatu kemampuan manusia sendiri lepas dari Allah. Itulah sebabnya karena Allah Maha Tahu, dan juga sudah tahu sebelumnya bahwa resiko kehendak bebas adalah kemungkinan manusia menggunakan kehendakNya secara salah, jawaban Allah untuk menolong manusia bukan dengan cara menghilangkan kehendak bebas agar tidak melakukan kesalahan, namun dengan jalan manusia diperingatkan dan diberi tahu akibat-akibat apa yang akan terjadi kalau memilih secara benar atau secara salah. Disamping itu Allah sekaligus menyediakan kemungkinan kepada manusia melalui penjelmaanNya atau inkarnasi SabdaNya sehingga kejatuhan manusia dapat dipulihkan di dalam diri Sang Sabda itu. Jadi tidak ada yang aneh dalam apa yang Allah lakukan, malahan indah dan mulia.