Hari Sabat Perspektif Gereja Orthodox
[by: Fr. Yohanes Bambang]
Date: 22 April 2010
Sabat adalah hari perhentian yang diperintahkan oleh Allah kepada Bangsa Israel di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Dan sampai sekarang hari Sabat ini menjadi pusat terpenting dalam sistem ibadah Agama yahudi (Yudaisme). Hari Sabat itu sendiri sebanding dengan hari ketujuh, yaitu hari Sabtu (Sabt) kata yang berakar sama dengan bahasa Ibrani Sabat tersebut.
Namun oleh pengaruh dari hukum sepuluh yang memerintahkan agar umat Israel merayakan hari Sabat sebagai hari kudus, dimana orang dilarang melakukan pekerjaan apapun, ada sementara orang Kristen terutama dari kalangan tradisi Advent dan tradisi “World wide church of God” atau Armstrongisme yang menekankan bahwa setiap orang Kristen yang sejati, haruslah menguduskan hari Sabtu ini untuk membuktikan ketaatan mereka kepada Allah, sebab dengan tak menguduskan hari Sabat berarti murtad terhadap Allah. Sedangkan Tradisi Kristen yang lain mengatakan bahwa hari Sabat itu sudah diganti oleh hari Minggu, yang tentu saja kaum Sabbathisme ( Hari ketujuhisme) akan cepat menunjuk bahwa kata Sabat itu artinya Sabt (tujuh) atau Sabtu, dan bukan hari minggu (Dominggos) atau ahad. Sehingga terjadilah simpang siur mengenai masalah ini.
Ada yang mengatakan hari tertentu itu tidak perlu, semua hari itu sama saja, asal itu digunakan untuk menyembah Allah, semua hari adalah Sabat. Mana yang benar dari semua pendapat ini. Dan kalau memang semua hari adalah sama saja, mengapa Allah memerintahkan hari Sabat untuk dirayakan itu begitu jelas ditandaskan. Apakah betul merayakan hari Minggu itu telah menggantikan hari Sabtu dan Minggu itu sendirilah Sabat? Adakah hubungan hari Sabat (hari ketujuh) itu dengan hari Minggu? Atau mungkin memang betul bahwa kedua-duanya itu tidak penting. Untuk mengetahui hal ini secara rici baiklah kita lihat penjelasan dibawah ini.
Asal-Usul & Makna Sabat
Dalam Kitab Nehemia 9:13-14 ditandaskan : “Engkau telah turun ke atas gunung Sinai dan berbicara dengan mereka dari langit dan memberikan mereka peraturan-peraturan yang adil, hukum-hukum yang benar serta ketetapan-ketetapan dan perintah-perintah yang baik. Juga Kau beritahukan kepada mereka SabbatMu Yang Kudus…..”. Menurut ayat ini “Sabat kudus” itu diberikan oleh Allah kepada bangsa Israel itu pada saat pernyataan Allah di gunung Sinai, yaitu bersamaan diberikannya Hukum Sepuluh atau Dasa Titah, seperti yang tertulis dalam Kitab Keluaran 20 :8-11 yang berbunyi: ”Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat, enam hari lamanya engkau bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu, maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan….sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh, itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya”.
Berdasarkan pernyataan Allah di gunung Sinai ini, Musa ketika mulai menulis Kitab Taurat yang pertama yaitu : Kitab Kejadian terutama di pasal yang kedua menandaskan : ”Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuatNya, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuatNya itu. Lalu Allah memberkati hari ketujuh dan menguduskannya, karena pada hari Sabat itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatNya itu” (Kej 2:2-3). Ayat ini bukalah perintah Allah secara langsung kepada Adam dan Hawa di Taman Eden, namun ini hanyalah komentar dari sang Penulis (Musa) atas kisah penciptaan yang dikaitkan secara langsung dengan pengalaman pembaca yang dimaksud penulis yaitu “Bangsa Israel itu sendiri, yang telah menerima perintah di gunung Sinai untuk merayakan hari Sabat. Dan juga kata “Sabat” itu belum muncul dalam kejadian 2:2-3, yang muncul adalah “hari ketujuh” . Dengan demikian jelas bahwa Sabat itu memang baru diberitahukan oleh Allah kepada bangsa Israel pada saat pemberian Hukum Sepuluh di gunung Sinai seperti yang dikatakan oleh Nabi Nehemia 9:13-14. Sabat itu belum dikenal di Taman Eden, Tak dikenal oleh Adam, Abraham, Ishak, Yakub dan Bangsa Israel sebelum pernyataan Allah digunung Sinai itu. Oleh karena itu tidaklah heran jika kita tak pernah menjumpai satu perintahpun dalam kitab Kejadian sampai Keluaran 15 yang mengatakan bahwa “manusia harus merayakan hari Sabat. Memang kata “Sabat” itu pertama kali muncul dalam Kitab Keluaran 16:23-30, dan perintah untuk merayakannya itu juga diberikan dalam kontek “Pekerjaan” Israel mengumpulkan manna yang turun dari langit, namun sebagai perintah yang tertulis serta alasan-alasan merayakan dan menguduskan itu baru diberikan pada hukum sepuluh yang diberikan di atas Gunung Sinai kepada Musa.
Sebenarnya secara langsung perintah untuk merayakan dan menguduskan hari Sabat itu, ada kaitannya dengan peristiwa “lahirnya Bangsa Israel itu sendiri”, yaitu lepas dari penindasan Mesir dimana disitu mereka di “pekerja” kan dengan berat dan keras sebagai budak, menuju sebagai bangsa yang bebas bak layaknya “berhenti dari kerja” keras dan paksa yang dilakukan di Mesir oleh mereka. Oleh karena itulah perintah merayakan dan menguduskan Sabat itu ada kaitannya dengan “pekerjaan”. Kaitan ini dijelaskan dalam Kitab Ulangan 5:12-15 yang mengatakan: ”Tetaplah ingat dan kuduskanlah hari Sabat, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu. Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu, maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan….sebab haruslah kau ingat, bahwa sengkaupun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau dibawa keluar dari sana oleh Tuhan, Allahmu dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung, itulah sebabnya Tuhan, Allahmu memerintahkan engkau merayakan hari Sabat”. Sebagaimana Israel dahalu itu adalah budak orang Mesir yang harus bekerja keras, namun sekarang berhenti bekerja sebagai budak, dengan demikian Sabat itu hari perhentian, dan dapat dikatakan sebagai hari Tuhan, yaitu tanda pelepasan mereka dari kerja keras tersebut. Dengan selalu merayakan Sabat, Bangsa Israel selalu diingatkan terus-menerus kepada Allah yang telah melepaskan dan membebaskan mereka dari penindasan dan penganiayaan, sehingga itu menjadi sarana mereka bersyukur dan berbakti kepada Allah yang berbelas kasihan kepada orang yang tertindas, budak dan binatang dengan tak memperkejakan mereka tanpa batas dan istirahat. Jadi Sabat ini akhirnya menjadi gaya hidup Israel baik secara agamawi maupun sosial. Jika Sabat itu dikaitkan dengan kisah penciptaan, itu hanya menunjukkan prototype “kerja dan berhenti” dalam karya Allah itu sendiri, namun bukan langsung menunjuk eksistensi Israel sebagai bangsa yang telah “disabatkan” oleh Allah yaitu dibebaskan dari Mesir. Lagi pula karena hari ketujuh itu tak terjumpai dalam perintah merayakan Sabat dengan berhenti dari kerja dalam prototype kisah pembebasan dari Mesir itu sendiri, maka pemilihan hari ketujuh sebagai hari perhentian itu diambil dari kisah penciptaan.
Namun dalam Kisah penciptaan itu sendiri, ternyata hari ketujuh yang dimaksud itu, berbeda dengan hari ketujuh dari realita hari yang dimiliki manusia pada zaman hidup di dunia sesudah Adam keluar dari Eden itu. Hal ini terbukti dari fakta bahwa hari kita yang terdiri dari 24 jam itu tergantung dari berputarnya bumi disekitar matahari atau dari gelap atau terangnya alam oleh sinar matahari. Padahal dalam kejadian 1 itu matahari, bulan, dan binatang-binatang itu baru terjadi sesudah hari yang keempat ( Kejadia 1:14-19), yang berarti hari pertama ( Kej 1:5) yaitu hari minggu dan hari kedua ( Kej 1:8) yaitu hari Senin, dan hari ketiga ( Kej 1:13) yaitu hari Selasa, itu berbeda dengan hari-hari yang ada sekarang yaitu yang terdiri dari 24 jam, meskipun disebutkan disana petang dan pagi. Kitapun tak tahu pagi dan petang yang bagaimana yang dimaksud oleh ayat-ayat itu, karena jelas itu tak tergantung pada terang dan gelapnya sinar matahari seperti hari yang kita kenal sekarang. Itu sebabnya hari dalam Kitab Kejadian 1 itu bukan hari yang sama seperti hari kita sekarang, dengan demikian hari ketujuh itu bukan tepat hari Sabtu yang kita kenal. Namun itu lebih bersifat hari yang bermakna periode atau jangka waktu yang terdiri dari tujuh tahap. Bahwa hari Sabtulah yang akhirnya dinyatakan sebagai hari ketujuh karena perhitungan satu Minggu dalam kalender kita manusia, baik zaman itu maupun zaman sekarang, memang menyebutkan bahwa Sabtulah hari ketujuh itu. Tahapan proses penciptaan yang memakan 7 periode itulah yang yang akhirnya digunakan sebagai rujukan untuk menyebut hari Sabtu sebagai hari ketujuh.
Dengan melihat bukti-bukti Alkitab yang ada ini, maka jelas bahwa hari Sabat itu lebih terikat erat dengan peristiwa penciptaan Israel sebagai bangsa, yaitu pembebasan dari Mesir, daripada dengan penciptaan dunia itu sendiri. Karena penekanan Hari Sabat itu bukan pada hari ketujuhnya, yang dalam proses penciptaan ternyata bukan tepat pada hari Sabtu seperti yang telah kita kenal sekarang, namun pada makna “berhenti kerja”nya, yaitu tanda peringatan “berhenti kerja” budak-budak” mesir itu.
Jadi berhenti bekerja sebagai budak itu diperingati dengan larangan melakukan ”sesuatu” pekerjaan atau pekerjaan apapun, namun karena peringatan berhenti kerja itu harus diperingati oleh hari tertentu, maka dicari hari mana yang ada kaitannnya dengan “berhenti kerja” itu. Hal itu ditemukan dengan “Berhentinya Karya” Allah dalam penciptaan, yang terjadi pada hari ”ketujuh” yang kebetulan dalam kalender Israel dan bangsa-bangsa lain di jaman itu dan jaman sekarang bertepatan dengan hari sabtu, meskipun “hari ketujuh” yang dimaksud dalam proses penciptaan (Kej 2:2-3) itu tidak sama persis dengan hari Sabtu yang kita kenal. Jadi yang digaris bawahi sebenarnya adalah soal “berhenti kerja atau pembebasan” dan bukan hari Sabtunya. Sebab hari ketujuh dari kejadian 2:2-3 itu tak kita ketahui dari yang bagaimana. Allah memerintahkan hari ketujuh karena kaitan maknanya dengan pembebasan Israel dari perbudakan, bukan karena harinya itu sendiri.
Hari Sabat & Tanda Perjanjian
Alkitab secara keseluruhan dapat kita sebut sebagai Kitab Perjanjian, karena di dalamnya mengisahkan sejarah Perjanjian yang dilakukan Allah kepada manusia-manusia yang dipilihNya. Dan Perjanjian itu sendiri dibagi dalam : Perjanjian sebelum kedatangan Kristus yang disebut sebagai Perjanjian Lama, yang pada pokoknya dapat kita sebut Perjanjian utama: Perjanjian dengan Nuh dan alam semesta, Perjanjian dengan Abraham (Iskak dan Yakub) serta Perjanjian dengan Musa (dan Bangsa Israel). Sedangkan puncak dari semua Perjanjian tersebut adalah Perjanjian dengan Kristus yang disebut sebagai Perjanjian Baru. Dan ini jelas sekali dikatakan oleh Js. Paulus dalam suratnya bahwa: ”Sebab Kristus adalah ya bagi semua janji Allah” (II Kor 1:20).
Dalam Perjanjian-perjanjian ini, Allah memberikan tanda fisik yanmg sesuai dengan isi perjanjian tersebut. Dalam Perjanjian dengan Nuh, dan segala mahluk, isi perjanjian adalah keputusan Allah untuk tidak menghukum bumi lagi dengan air bah, karena perjanjian ini adalah Perjanjian dengan alam semesta agar sejarah manusia dapat berlangsung demi pemenuhannya nanti di dalam Kristus, maka tanda perjanjian yang ada haruslah sesuai dengan isi perjanjian yang ada di alam luas yaitu “pelangi” (bianglala, busur) – (Kej 9:12-16), dan dengan melihat busur Allah, maka kita ingat perjanjianNya, bahwa Allah tak menghukum bumi lagi dengan air bah.
Demikian juga dengan Perjanjian Allah dengan Abraham (Kej 17). Karena kepada Abraham ini, Allah menjanjikan keturunan dan melalui keturunan ini bangsa di muka bumi akan diberkati (Kej 12:2-3, 13:14, 15:12-16), maka “alat” yang melaluinya keturunan Abraham akan muncul itulah yang diberi tanda Perjanjian tadi. Kepada Abraham Allah menjanjikan banyak keturunan dan Abraham menjadi Bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:1-8), maka Abraham diperintah Allah atas alat tadi “haruslah dikerat kulit khatanmu dan itulah menjadi tanda Perjanjian antara Aku dan kamu…maka dalam dagingmulah PerjanjianKu itu menjadi perjanjian yang kekal. Dan orang yang tidak di sunat…, maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya, ia telah mengingkari perjanjianKu”. (Kej 17:11-14). Untuk menggenapi dan mentaati tanda Perjanjian Allah inilah Abraham dan keturunannya yaitu seluruh bangsa Israel harus disunat.
Kepada Musa dan Israel, Allah memberikan kebebasan dan pelepasan yaitu perhentian dari kerja paksa perbudakan di Mesir. Oleh oleh karena itu Israel akhirnya menjadi umat Allah. Untuk memelihara kasih-karunia Allah atas perhentian ini tak terlupakan, sama seperti kepada Abraham mengenai janji tentang keturunan itu, maka Israelpun diberi tanda perjanjian atas pelepasan dan perhentian dari perbudakan itu dengan Sabat yaitu : berhenti bekerja pada hari ketujuh. Sebagaimana yang dikatakan “…..hari-hari SabbathKu harus kau pelihara…Haruslah kamu pelihara hari Sabat, sebab itulah hari kudus bagimu, siapa yang melanggar kekudusan hari Sabat, pastilah ia dihukum mati, sebab setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, orang itu harus dilenyapkan dari antara bangsanya….Maka haruslah orang Israel memelihara hari Sabat, dengan merayakan hari Sabat, turun-tumurun, menjadi Perjanjian Kekal, antara Aku dan orang Israel maka inilah suatu peringatan untuk selama-lamanya…..” (Kel 31:12-17).
Beberapa hal yang patut kita catat dari ayat-ayat tersebut diatas : sama dengan janji sunat kepada Abraham, Sabatpun itu dikatakan sebagai Perjanjian kekal, sama dengan janji sunat, Sabatpun diberi syarat hukum mati bagi pelanggarnya. Sabat ini adalah peringatan antara Allah dan orang Israel (bukan bagi orang Kristen atau segenap manusia), memelihara Sabat artinya merayakan Sabat, dan cara merayakan itu sudah ditetapkan sendiri oleh Allah dalam Kitab Taurat itu sendiri, jadi bukan dengan cara tradisi lainnya suatu misal: ”TRADISI ADVENT”. Tidak mengikuti syarat merayakan ini berarti sama saja melanggar ketentuan Allah. Membuat cara merayakan sendiri yang tidak saesuai dengan yang sudah ditetapkan Allah dalam merayakan Sabat berarti tetap melanggar Sabat biarpun kalau hari Sabtunya itu dipelihara. Untuk mengerti cara-cara merayakan ini, kita akan bahas pada bagian dibawah ini. Dengan demikian jelas bahwa Sabat itu adalah tanda Perjanjian atau bahkan Perjanjian itu sendiri, sama dengan sunat dan busur pelangi. Dan Sabat itu menjadi Perjanjian dan Peringatan kekal antara Aku dan orang Israel.
Sabat & Ibadah Israel
Dalam Kitab Imamat ditandaskan: ”kamu harus memelihara hari-hari SabatKu dan menghormati tempat kudusKu, Akulah Tuhan” (Im 19:30, 26:2). Dalam ayat ini terpapar bahwa pemeliharaan Sabat dan penghormatan akan tempat kudus (kemah suci, tabernakel, Bait Allah) itu saling terkait. Itu menunjukkan pada kita bahwa perayaan Sabat itu bukanlah sesuatu yang vakum tanpa isi. Asalkan hari Sabtunya saja yang kita pelihara, lalu cara-cara melakukannnya kita buat sendiri, itu sudah cukup, jelas tidaklah demikian. Sabat itu terkait erat dengan tempat kudus atau “Locus Sanctuary” yaitu tata cara ibadah Israel di kemah kudus.
Untuk lebih jelasnya, kita akan lihat konteks Kitab Keluaran 31 dan Kel 34:18-26 serta Kel 35. Dalam Keluaran 31 itu, konteksnya adalah berbicara tentang persiapan pembangunan kemah suci, demikian juga dengan Keluaran 35, juga membicarakan tentang Pembangunan Kemah Suci yang sama tadi, namun di tengah-tengah membahas masalah kemah suci inilah Sabat dibicarakan. Bahkan dalam Keluaran 34:18-26 itu, Sabat itu dibahas dalam konteks membicara korban ibadah dan hari-hari raya Israel. Dengan demikian jelas bahwa bukan hanya kerangka harinya saja yang harus dipelihara, namun Allah juga telah memberikan hukum dan peraturan mengenai cara merayakan Sabat itu yaitu dalam konteks ibadah Kemah Suci ( Bait Allah) dan hari-hari raya serta korban ibadah Israel dengan peraturan serta cara-cara tertentu, jadi bukan seperti yang terdapat dalam Gereja Advent atau Gereja Protestan manapun. Sabtu dipelihara, namun jika hukum dan cara merayakan yang dilakukan pada hari Sabtu itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan Allah pada orang Israel dalam melakukan ibadah, maka hal tersebut tetap dikatakan sebagai suatu pelanggaran, dan menurut Hukum Taurat orang yang demikian itu, wajib dihukum dan dilenyapkan. JIka hendak merayakan Sabat sebagai hukum Allah yang kekal, maka haruslah konsisten dengan cara pelaksanaannnya, bukan comot sini dan buang sana seperti halnya yang dilakukan oleh sementara orang yang melakukan demikian itu. Artinya jika ingin secara utuh, konsisten dan lengkap serta Alkitabiah menjalankan Sabat, maka orang itu harus menjadi pengikut Agama Yahudi (Yudaisme) dan bukan pengikut Iman Kristen. Lalu bagaimanakah syarat hukum merayakan Sabbath yang sesuai dengan Alkitab itu? Untuk lebih jelasnya marilah kita lihat paparan dibawah ini.
Syarat Hukum Memelihara & Merayakan Sabbath
Dalam Kitab Keluaran ditandaskan: ”…maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atas hewanmu atau orang asing yang ditempat kediamanmu” ( Kel 20:10).
Dalam Kitab Ulangan juga disebutkan: ”…maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau lembumu atau keledaimu, atau hewanmu yang manapun, atau orang asing yang ditempat kediamanmu, supaya hambamu laki-laki atau hambamu perempuan berhenti seperti engkau juga” (Ul 5:14)
Dalam Kitab Imamat juga mengungkapkan: ”Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada Sabat, hari perhentian, yakni hari pertemuan kudus, janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan (you are not to do any work = kamu tak boleh melakukan pekerjaan apapun, NIV), itulah Sabat bagi Tuhan di segala tempat kediamanmu” (Im 23:3)
Dan kemudian dalam Kitab Keluaran dikatakan: ”janganlah kamu memasang api di manapun dalam tempat kediamanmu pada hari Sabat” (Kel 35:3).
Ayat-ayat tersebut diatas itu, menjelaskan kepada kita bahwa bahwa inti dan hakekat merayakan Sabat itu adalah “Berhenti” penuh dari segala pekerjaan. Karena yang dilarang dilakukan itu bukan hanya “Pekerjaan” atau “Perbuatan” yang buruk saja, namun “any work” atau “Pekerjaan apapun” tanpa peduli baik atau buruk, itu tak boleh dilakukan. Terbukti bahwa pekerjaan yang dilarang itu bukan hanya pekerjaan yang buruk saja lalu yang baik boleh dilakukan, adalah bahwa hewan manapun, termasuk lembu dan keledai juga harus berhenti bekerja, padahal binatang itu tak mengenal pekerjaan baik dan buruk. Jadi yang dilarang itu semua pekerjaan dan tanpa mengenal sifat pekerjaan, yang jelas itu pekerjaan harus berhenti penuh dan tak boleh dilakukan, bahkan yang paling kecilpun asal itu pekerjaan, maka hal tersebut dilarang untuk dilakukan pada hari Sabat ini, suatu misal “Memasang api”.
Pada dasarnya, kita tak dapat melakukan sesuatu apapun pada hari Sabat. Dengan demikian maka hal tersebut makin menegaskan bagi kita bahwa bukan hari Sabtunya sebagai hari yang menjadi fokus, karena orang asingpun diperintahkan untuk tidak bekerja jika mereka tinggal ditengah-tengah orang Israel, demikian juga budak-budak, padahal Alkitab juga melarang Israel untuk memperbudak sesama Israel namun hanya orang-orang kafir diantara bangsa-bangsa non-Israel saja (Im 25:39-45), yang berarti orang-orang kafir yang tak berada dibawah kuasa hukum Allah yaitu yang tak terikat pada ketentuan-ketentua hukum Sabat ini, berhenti dari pekerjaan bukan karena merayakan Sabat, namun hanya berhenti demi berhenti dari pekerjaan. Sebab jika mereka merayakan Sabat berarti mereka berhenti jadi kafir, dengan demikian tak boleh jadi budak lagi, namun sama dengan orang Israel. Artinya sebagai budak mereka itu bukanlah Israel, sehingga mereka tak melakukan ibadah Sabat yang ditetapkan Allah. Jadi mereka berhenti dari melakukan pekerjaan itu, bukanlah karena merayakan untuk beribadah, namun demi berhenti itu sendiri. Dengan demikian makin jelaslah bagi kita bahwa hakikat Sabat itu berkaitan erat dengan tak boleh melakukan pekerjaan apapun sebagai tanda langsung atas “berhentinya” orang Israel dari “Pekerjaan” sebagai budak di Mesir.
Karena inti dan hakekat Sabat itu terkait erat dengan tanda “berhenti” nya Israel dari pekerjaan sebagai budak, maka pelanggaran atas ketentuan yang telah ditetapkan itu, sama saja menyerang inti makna Sabat, karena itu akan mengingatkan kembali pada “pekerjaan” sebagai budak, dengan demikian melecehkan bahkan menghujat karya pembebasan dan “perhentian” yang dilakukan oleh Allah terhadap Israel. Itu sebabnya dalam kacamata orang yahudi, Yesus benar-benar betul-betul menghujat makna hari Sabat, karena penekanan Yesus justru pada melakukan atau berbuat sesuatu, hal itu nyata sekali ditandaskan oleh Js.Matius dalam injilnya bahwa: ”Lihatlah, murid-muridMu BERBUAT SESUATU yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat” (Mat 12:2), “karena itu boleh BERBUAT BAIK pada hari Sabbath” (Mat 12:2), “Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabbath, BERBUAT BAIK ATAU BERBUAT JAHAT…” (Mark 3:4). Tindakan Yesus ini tak dapat didamaikan dengan ketentuan hukum Sabat yang ada dalam Taurat diatas, karena jelas tak diberi syarat “hanya perbuatan/pekerjaan baik saja yang dilakukan” atau “hanya perbuatan/pekerjaan jahat saja yang dilarang”. Bahkan para murid Yesuspun “berbuat sesuatu” itu, merupakan kontradiksi secara langsung dengan hukum “jangan melakukan SESUATU PEKERJAAN” (Kel 20:10, Ul 5:14). Justru yang dilarang untuk melakukan “sesuatu”, namun malah “sesuatu” itu juga yang dilanggar murid-murid Yesus. Taurat tak memberi syarat “SESUATU” tadi : baik atau jahat, namun Yesus mengubah dan memporak-porandakan ketentuan itu dengan memberi syarat yang tak ada dalam Taurat yaitu : “Boleh berbuat baik”. Dalam kacamata Perjanjian Lama dan orang-orang yahudi yang tahu hukum Perjanjian Lama, jelas Yesus itu melanggar, dan menurut hukum Dia memang patut dihukum mati. Untuk itulah sebagai orang Kristen jelas tak mungkin Sabat diambil alih langsung begitu saja, kemudian diterapkan pada kehidupan Gereja. Sikap ajaran dan kehidupan serta pribadi Yesus Kristus itu harus diperhitungkan jika kita hendak mengerti bagaimana seharusnya sikap Kristen terhadap Sabat. Betulkah manusia Kristen itu terikat pada Perjanjian kekal Sabat yang merupakan Perjanjian Allah dengan Israel? Betulkah pengalaman sejarah Kristen itu didasari pada peristiwa pelepasan dari perbudakan dari Mesir, dimana Sabat itu sendiri menjadi tanda perjanjian secara langsung? kalau bukan, peristiwa apa yang mendasari Perjanjian Allah dengan komunitas Kristen? Inilah yang akan kita bahas lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya.
Masih berbicara tentang sikap Yesus, Thesis Taurat bahwa Sabat itu dilakukan karena Allah berhenti bekerja pada hari ketujuh (Kej 2:2-3, Kel 20:11) itu ditolak oleh Yesus dan dijungkir-balikan, melalui pernyataanNya yang mengatakan: ”BapaKu bekerja sampai sekarang” (Yoh 5:17), sebagai koreksi atas pernyataan “Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan” (Kej 2:2-3). Pernyataan Kejadian 2:2-3 itu hanya boleh dimengerti berdasarkan ajaran Yesus, bahwa bukanlah Allah yang berhenti bekerja, namun alam semesta ini telah selesai diciptakan, Allah sendiri tak henti-hentinya bekerja saampai sekarang: memelihara, menghidupi, menopang, membimbing, mencipta manusia baru yaitu bayi-bayi dan lain-lain. Jadi memang tak pernah ada saatnya Allah itu berhenti bekerja, dulupun tidak, sekarangpun tidak, pada hari ketujuhpun tidak. Dengan demikian jelas bahwa Sabat itu diperintahkan bukan karena memang betul ada perhentian pada Allah seolah-olah Dia itu manusia yang perlu istirahat. Maha Suci Allah dari sifat-sifat kelemahan seperti itu. Atas dasar inilah, jika para pengikut paham Sabbathisme atau hari Ketujuhisme ini hendak merujuk pada “perhentian” kerja Allah, maka harap diingat bahwa Allah tak pernah berhenti bekerja, yang berhenti itu adalah selesainya pekerjaan penciptaan.
Memang Sabath itu sebagai hari peringatan karya Allah atas terciptanya bangsa Israel melalui pembebasan dari Mesir, dan itu haruslah merupakan “hari kenikmatan”, “hari yang mulia” , bagi Israel dimana mereka dilarang untuk “melakukan urusan” dengan “tidak menginjak-injak hukum Sabat” serta menghormatinya” dengan tidak menjalankan segala acara”, “dengan tidak mengurusi urusan” atau “berkata omong kosong (Yes 58:13-14), namun bagi Gereja, permasahannya jadi lain. Karena terciptanya atau lahirnya Gereja itu, bukanlah dari peristiwa pembebasan dari tanah Mesir, dan bukan dari “pekerjaan” secara jasmani yang dipaksakan oleh siapapun. Gereja lahir dan tercipta karena kematian dan kebangkitan Kristus dari antara orang mati. Dengan demikian umat Kristen (yang bukan umat Israel secara fisik) harus mengingat peristiwa yang mendasar ini, bukan mencangkokkan sesuatu yang bukan merupakan pengalaman sejarah eksistensinya. Memang sungguh tak masuk akal jika kemerdekaan bangsa Indonesia harus dirayakan sesuai dengan tanggal perayaan kemerdekaan bangsa Jepang. Demikian halnya sama juga tidak masuk akal dan sesatnya kita, memaksakan tanda perjanjian pembebasan Israel dari Mesir kepada Gereja yang bukan dibebaskan dari perbudakan Mesir, bukan oleh peristiwa dibebaskannya dari Mesir, namun dibebaskannnya dari dosa dan maut oleh peristiwa penyaliban, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati pada hari ketiga.
Sabat & Sosial – Keagamaan Israel
Setelah pembebasannya dari Mesir dan terciptanya status dan eksistensi kebangsaannya, Israel masuk ketanah Kanaan dan disana mereka hidup sebagai “Bangsa yang bersifat agraris dengan hukum-hukum keagamaan sebagai pranata hidup sosial kemasyarakatan mereka”. Sabat adalah salah satu daripadanya, serta itu merupakan daur lingkaran gaya hidup Israel sebagai individu yang bermasyarakat dan juga sebagai komunitas bangsa yang terikat pada budaya yang berpusat pada agama.
Ikatan erat antara Sabat dengan sistem hidup Israel secara keseluruhan ini sangat jelas sekali, sehingga memisahkan konteks –sosial keagamaan Israel yang merupakan pranata Illahi dari Sabat, lalu menerapkannya pada Gereja Kristen modern yang tak membentuk suatu ikatan budaya kebangsaan dengan hidup sosial yang bersifat agamis adalah merupakan pemerkosaan atas fakta Alkitab. Dan yang lebih penting adalah bahwa hal tersebut telah memperkosa kebenaran wahyu itu sendiri.
Sabat itu terikat erat dengan sistem hidup sosial-keagamaan Israel dan itu dapat kita lihat dalam Kitab Keluaran 23:1-19. Dalam Perikop ini beberapa hukum sosial keagamaan Israel itu dijelaskan. Disana dijelaskan mengenai larangan menyebarkan kabar bohong, kerelaan menolong binatang milik musuh yang tersesat atau keberatan beban, keadilan, suap dan akhirnya Sabat dan hari-hari raya dan perayaan Israel. Dalam ayat 10-11 dalam Kitab Keluaran 23 itu dibicarakan tentang “Tahun Sabat” yaitu bekerja dan mengusahakan tanah selama enam tahun dan menghentikannya selama tahun ketujuh, ayat 12 berbicara tentang “HARI SABAT” yaitu bekerja selama enam hari dan berhenti pada hati yang ketujuh, sedangkan dari ayat 14-19 dijelaskan mengenai keharusan merayakan tiga hari raya Israel, roti tanpa ragi, hari raya buah bungaran, hari raya pengumpulan hasil, dan peraturan mempersembahkan korban binatang.
Perikop diatas merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dilepaskan, sehingga ketentuan tentang “Hari Sabat jelas merupakan satuan dengan ketentuan Tahun Sabat, tiga hari raya dan korban-korban yang menyertainya. Merayakan Sabat berarti bukan hanya “Hari Sabat”, namun juga “Tahun Sabat”, dan beserta itu merayakan perayaan-perayaan tiga lainnya yang disertai dengan pranata korban yang menyertainya. Dengan demikian mengambil hari Sabatnya saja dan melupakan konteks kesatuan perikop sebagai yang sama-sama diberikan oleh Allah, adalah merupakan pemerkosaan kebenaran. Penjelasan lebih rinci bagaimana seharusnya Sabat itu harus dirayakan dan dalam konteks apa Sabat itu dirayakan, itu dapat kita lihat dalam Kitab Imamat 23.
Dalam Kitab Imamat 23:2 disebutkan bahwa: ”…hari-hari Raya yang ditetapkan Tuhan yang harus kamu maklumkan….adalah yang berikut. Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada Sabbath…”. Selanjutnya dalam perikop pasal ini memberikan rincia dari hari-hari raya dengan tatacara pelaksanaannya, termasuk di dalamnya adalah apa yang sudah disebut dalam Kitab Imamat 23 diatas: paskah, hari raya roti tidak beragi, dimana syarat pelaksanaannya sama dengan Sabat yaitu: “janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat” (Im 23:8), dimana ini menunjukkan perluasan makna Sabat dalam kehidupan sosial-keagamaan Israel. Demikian juga hari raya pengumpulan hasil, dan hari raya buah bungaran itu, dihitung dalam kaitannya dengan Sabat (Imamat 23:11,15) dan juga dalam kaitannya untuk tidak melakukan pekerjaan berat (Im 23:25). Semua ini menunjukan bahwa Sabat itu menjadi dasar dari semua hari raya Israel dan sistem kehidupan bangsa itu. Serta Sabat itu tak dibatasi pada hari ketujuh secara terisolasi namun juga terkait dengan perayaan – perayaan Israel lainnya yang disertai syarat korban tyang harus dipenuhi, dimana setiap perayaan hari raya itu memiliki cirri Sabat: tahun Sabat, 7 Sabat (Minggu Sabat), serta Sabat tak memperbolehkan orang untuk bekerja.
Demikianlah Alkitab telah memberikan peraturannya sendiri bagaimana Sabat itu harus dilaksanakan dan dalam konteks yang bagaimana itu harus dilaksanakan. Jika dalam hukum sepuluh hanya disebut mengenai “Hari Sabat” saja, itu disebabkan hukum sepuluh hanya menunjuk garis pokok ketentuan hukum saja. Sedangkan rinciannnya disebut ditempat lain seperti yang telah kita bahas diatas, suatu misal: menghormati bapa – ibu itu diperluas dengan menghormati semua otoritas yang ada diatas kita: pemimpin, guru, tua-tua, pemerintah dan sebagainya. Jadi sungguh tak masuk akal jika kita hanya mengambil hukum menghormati bapa-ibu lalu menolak ketetapan mentaati pemerintah sebagai perluasan makna hukum dasar tadi. Demikian pula dengan Sabat ini. Mengambil Hari Sabat saja, lalu mengabaikan segenap rincian ketentuannya dengan segala konteks dan kaitannya seperti yang dijelaskan oleh Kitab Suci sendiri, adalah merupakan tindak sewenang-wenang terhadap nats Kitab Suci. Jika Sabat harus diikuti maka semua ketentuannya harus tidak boleh diabaikan. Melakukan ini berarti kita harus menjalankan seluruh hukum Perjanjian Lama tanpa pilih-pilih, yang berarti kita harus menjadi Yahudi. Itulah konsekwensinya jika kita mau taat terhadap ketentuan Sabat yang utuh, konsekwensi dan sempurna.
Lingkup Makna Sabat
Jika kita telah menyebutkan bahwa Kitab Suci bukan hanya mengajarkan mengenai “Hari Sabat” tetapi juga “Minggu Sabat” (hari raya tujuh minggu : Minggu 7 ke 14,21,28,35,42, 49), dan juga “Tahun Sabat” (Tahun 7, ke 14,21,28,35,42,49), dan semuanya ini ditetapkan oleh Allah sendiri sebagai “suatu ketetapan untuk selama-lamannya” ( Im 23:14), yang bermakna tak seorangpun boleh menghapuskan ketetapan-ketetapan yang menyangkut Sabbath dengan segala kaitan perluasan maknanya tadi.
Jadi telah kita sebutkan bahwa perayaan Hari Sabat itu ditentukan bagi “Israel” dalam kaitannya langsung dengan sejarah suci Israel yang dilepaskan dari perbudakan di Mesir menuju pada “Perhentian”, kemerdekaan, sehingga Sabat itu merupakan “Perjanjian kekal” buat Israel.
Oleh karena itu hakekat perayaan Sabat itu adalah “Berhenti Kerja” bagi individu-individu umat Israel. Pelanggaran terhadap ketentuan “berhenti kerja” ini dikritik dengan tegas oleh para nabi, bahkan diancam hukuman Tuhan (Yeremia 17:19-27, Yesaya 58:13-14). Hari Sabat adalah ketentuan dasar yang menyangkut perorangan yang harus “berhenti kerja”, artinya perhentian sebagai tanda pelepasan dari perbudakan ini bersangkutan dengan pelaku-pelakunya yaitu manusianya yang harus berhenti kerja. Namun ternyata kaitan Sabat itu begitu luasnya, sehingga bukan hanya manusianya saja yang dikeani ketetapan untuk berhenti kerja. Namun juga tempat kerja yaitu tanahpun punya harus punya hari perhentiannya atau lebih tepat “tahun perhentiannya” yaitu tahun Sabat (Im 25), karena bangsa Israel adalah bangsa petani dan peternak.
Menurut ketetapan Tuhan ini, bangsa Israel boleh mengerjakan tanah itu selama enam tahun, dan pada tahun ketujuh “tanah itu harus mendapat perhentian sebagai Sabat bagi Tuhan” (Im 25:2), segala sesuatu yang tumbuh di tanah selama tahun Sabat itu tak boleh diambil oleh Israel, dan yang boleh mengambil itu adalah orang asing atau orang miskin. Melalui sistem tahun Sabat ini, orang Israel diajar untuk memikirkan kebutuhan orang lain, disamping untuk menghormati lingkungan dengan tidak hanya mengeksploitasi lingkungan demi keuntungannya saja, namun juga lingkungan yaitu tanah diberi kesempatan untuk memulihkan kesuburannya kembali. Melalui tahun Sabat ini, Israel diajar menghargai kebutuhan orang lain dan juga diajar tanggung jawabnya pada pemeliharaan lingkungan dan bukan penghancuran karena manusia itu diciptakan untuk menjaga kelestarian alam yang dengan demikian akan menunjang lingkup hidupnya sendiri demi kebahagiaan manusia Israel itu. Karena demikian dalamnya jangkuan makna Sabat, dan karena alam itu diciptakan bagi manusia dan Allah menganggapnya sangat baik (Kej 1:31), maka pelanggaran atas ketentuan “Tahun Sabat” ini diancam dengan hukuman oleh Allah, sama seperti pelanggaran atas hari Sabat itu sendiri, yaitu hukuman pembuangan dan perang, sehingga kesucian tanah itu terjaga yaitu Sabatnya atau perhentiannya dapat terpelihara (Im 26:14-17, 34-35). Jika ada “Hari Sabat”, “Minggu Sabat” dan “Tahun Sabat”, maka ada juga “Abad Sabat” yang terjadi setiap setengah abad atau “7 x tahun Sabat” dan ini disebut sebagai “Tahun Yobel”. Pada saat ini ada pembebasan besar-besaran atas tanah yang digadaikan dan juga atas budak yang diperhamba. Saat ini orang harus mengembalikan secara cuma-cuma semua yang tergadai dan membebaskan secara tanpa syarat semua budak Israel yang dimiliki (Im 25:3-55). Yang jelas tahun Yobel atau “Ahad Sabat” yang terjadi setiap tahun kelima puluh ini merupakan penetrapan makna pembebasan dari Mesir secara budaya dan secara komunitas dari umat Israel, untuk mengajar mnereka bahwa segala sesuatu itu adalah pemberian dan milik Tuhan, bahwa bangsa Israel bukan pemilik mutlak atas tanah itu. Dengan demikian atas harta milik di dunia, mereka itu hanyalah menumpang pada Allah (Im 23:23-24), sehingga mengajar mereka untuk bersyukur pada Allah. Demikian juga pembebasan atas budak tanpa syarat ini untuk mengajar orang, bahwa pada akhirnya tuan manusia yang sebenarnya adalah Allah itu sendiri.
Sesama manusia itu adalah hanya sesama hamba Allah, oleh karena itu tak seorangpun berhak menjajah dan memperbudak manusia yang lain. Hal ini dikarenakan Israelpun telah dilepaskan dari perbudakan manusia di Mesir: “karena padaKulah orang Israel menjadi hamba, mereka adalah hamba-hambaKu yang Kubawa keluar dari tanah Mesir, Akulah Tuhan, AllahMu” (Im 25:55). Dengan demikian makin jelaslah bagi kita bahwa yang dipentingkan oleh Alkitab mengenai hari Sabat itu bagi Israel itu, bukanlah hanya sekedar masalah hari Sabtunya saja, namun lebih dari itu sebagai penterapan secara langsung makna pembebasan mereka dari Mesir dalam kehidupan individu, masyarakat, sosial, ekonomi, agama dan bangsa mereka yaitu menaruh hormat akan kebebasan dan kemerdekaan. Kebebasan dari perbudakan kerja dan waktu (Hari Sabat), kebebasan dari keterikatan benda jasmani dan harta dengan mempersembahkan buah-buah hasil pertanian (Minggu Sabat), kebebasan dari keserakahan dan eksploitasi atas alam dan lingkungan secara tak bertanggung jawab (Tahun Sabat) serta kebebasan dari keserakahan dan kekejaman manusia yang hanya ingin mengeksploitasi kaum lemah (perbudakan) dan mengakumulasi kekayaan tanpa memperdulikan pihak lain yang berada dalam posisi terjepit secara ekonomi (penggadaian) atas hak milik rumah dan tanah yang dinyatakan dalam perayaan tahun Yobel (Abad Sabat).
Dengan melihat akan keutuhan berita Alkitab mengenai makna Sabat ini, jelas suatu pemikiran yang amat kerdil dan sempit bila penekanan hari Sabat itu hanya pada penggunaan hari Sabtu sebagai hari berbakti orang Kristen demikian saja. Karena Alkitab mengatakan bahwa Sabat-Sabat yang bersifat “Minggu”, “Tahun” dan “Abad” itu, jelas tidak sama sekali menekankan pada Sabtunya. Lagi pula merayakan hari Sabat, tetapi mengabaikan “Minggu Sabat”, Tahun Sabat”, dan “Abad Sabat”, adalah merupakan pelanggaran ajaran Kitab suci karena segenap Sabat-Sabat tadi adalah merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Juga melihat hari Sabat hanya dengan penekanan hari Sabtunya saja, bagi umat Kristen adalah pendangkalan yang amat sangat atas pesan moral Sabat yang amat merangkum seperti halnya telah kita bahas diatas.
Makin tak dapat diragukan lagi bagi kita, bahwa Sabat itu adalah sistem ritual–moral-agamawi-sosial bagi bangsa Israel yang eksistensinya didasarkan pada pelepasan mereka dari perbudakan di tanah Mesir, sehingga semua jenis Sabat yang mempunyai implikasi yang merangkum itu, selalu mengingatkan dan menunjuk pada peristiwa penting dalam sejarah Israel itu. Maka Gereja Kristen sebagai yang bukan bagian dari “Bangsa Israel” yang dibebaskan dari Mesir, tentunya mempunyai dasar eksistensi yang berbeda, dalam dalam mengerti makna kebebasan yang merangkum, yang dalam Isreal dinyatakan dalam perayaan-perayaan “Hari”, “Minggu”, “Tahun” dan “Abad Sabat”. Inilah Sabat yang utuh, bukan hanya hari Sabtu yang lepas dari konteks makna dan syarat pelaksanaannya yang hendak dipaksakan oleh beberapa Gereja yang bersifat Sabbathisme semacam Gereja Advent itu.
Bagi Umat Yahudi menghayati makna pelepasan mereka dari Mesir yang dinyatakan dalam hukum praktis mengenai Sabat-sabat ini, adalah sesuatu yang dapat memperdalam iman mereka kepada Allah, serta makin memperdalam rasa syukur mereka pada nikmat dan karunia Allah yang membebaskan mereka dari perbudakan di tanah Mesir itu. Sehingga melalui pelaksanaan akan ketentuan dan syarat-syarat pengamalan secara individu atau secara komunitas akan makin disadarkan perlunya menyisihkan waktu bagi Tuhan bukan hanya sibuk mementingkan diri mencari kebutuhan jasmaninya saja (hari Sabat). Dengan demikian setiap hari Sabat mereka diperingatkan akan karya dahsyat Allah yang telah membebaskan mereka dari perbudakan di tanah Mesir. Demikian juga agar mereka tidak menjadi terlalu materialistik dan menganggap segala sesuatu itu akibat dari usaha dan kepandaiannya sendiri, mereka diingatkan akan ketidak boleh terikatan mereka pada harta benda namun mengembalikan semuanya pada Allah dalam merayakan “Minggu Sabat” dimana hasil kerja mereka dalam wujud panenan itu diserahkan pada Tuhan. Dan bahwa hubungan manusia dengan Allah yang diingatkan dalam peristiwa Hari dan Minggui Sabat itu, bukanlah hanya bersifat individualistik saja, namun juga mempunyai implikasi terhadap alam dan lingkungan jasmani yang tercipta ini, jelas diajarkan oleh Allah pada bangsa Yahudi ini melalui Perayaan Tahun Sabat, dan akhirnya kesadaran akan implikasi semestawi dari perayaan Sabat dalam Tahun Sabat itu harus juga berkaitan secara praktis dan langsung dengan sesamanya, yaitu pembebasan budak dan harta milik yang tergadai yang secara cuma-cuma harus dibebaskan pada “Abad Sabat” (Tahun Yobel) adalah mengajar bangsa Israel mengenai cinta kasih kepada sesama seperti kepada diri sendiri dalam wujud praktis yang langsung diterapkan.
Ini semua mengandung moral yang dalam bagi bangsa Israel, yang tema eksistensi kebneradaan dan agamnya adalah pembebasan dari perbudakan dari Mesir, sehingga dengan melaksanakan semua ketentuan dan syarat hukum pengamalan Sabat-Sabat itu, mereka akan diajar menuju pada kesucian hidup yang serba merangkum. Itulah sebabnya Sabat itu disebut sarana pengudusan bagi Israel, sebagaimana yang dikatakan: ”Akan tetapi hari-hari SabatKu harus kamu pelihara, sebab itulah peringatan antara Aku (Allah) dan kamu (Israel), turun-tumurun, sehingga kamu mengetahui bahwa Akulah Tuhan, yang menguduskan kamu” (Kel 3:23). Melalui pemeliharaan Sabat inilah Israel tahu bahwa Allah menguduskan mereka, yaitu melalui ajaran-ajaran iman dan moral yang disampaikan oleh perayaan-perayaan Sabat tadi yang disertai dengan segala ketentuan hukum dan syarat-syarat pelaksanaannya. Allahlah yang menguduskan Israel melalui pemeliharaan Sabat itu, dan perayaan Sabatlah yang menjadi sarana pengudusan, karena itu adalah tanda Perjanjian Allah yang kekal dengan Israel, sebagai yang telah dilepaskan dari perbudakan di tanah Mesir.
Sabat & Bangsa-Bangsa Bukan Yahudi
Kelompok aliran Sabbathisme mempercayai dan mengajarkan bahwa Sabat itu berlaku juga bagi orang orang yang bukan Yahudi, yaitu orang-orang Kristen, dimana data Alkitab diatas justru membuktikan yang sebaliknya. Alasan mereka ini bukannya tanpa dasar. Memang ada dasarnya tetapi ditafsirkan tanpa melihat konteks pewahyuan Perjanjian Lama maupun sejarah Bangsa Israel, apalagi tanpa memperhatikan makna terdalam dari wahyu Perjanjian Baru yaitu makna Inkanasi Sang Sabda, kematian dan kebangkitan Yesus yang adalah pondasi dari dari eksistensi keberadaan dan system keagamaan Gereja Kristen.
Dasar yang diambil adalah nubuat nabi Yesaya seperti yang tertulis dalam Kitab Yesaya 56:1-8. Dalam perikop ini, Yesaya menubuatkan keselamatan Israel yang akan merangkum juga orang-orang yang secara tradisional terbuang dari persekutuan Ibadah Israel, misalnya: orang-orang asing dan orang-orang kebiri. Namun dalam pasal ini nubuat Yesaya diatas justru mereka itu dihibur untuk tidak merasa kuatir dibedakan dan dipisahkan dari umatNya yaitu Israel (Yes 56:3). Mereka dijamin asal mereka hidup seperti “umatNya” (Israel) yaitu dengan memelihara hari-hari SabatKu, memilih apa yang Kukehendaki dan yang berpegang kepada perjanjianKu (Yes 56:4), maka mereka inipun akan diberi “tanda peringatan dan nama” di “dalam rumahKu dan di lingkungan tembok-tembok kediamanKu (ayat 5) yaitu di Bait Allah di Yerusalem, dengan itu mereka ini juga akan “Kubawa ke gunungKu yang kudus dan akan Kuberi kesukaan di rumah doaKu” (ayat 7) yang juga adalah bait Allah di gunung kudus Sion di Yerusalem. Dengan demikian Allah akan berkenan kepada “korban- korban bakaran dan korban-korban sembelihan mereka yang dipersembahkan di atas mezbahKu” (ayat 7). Dari sini jelas dapat kita lihat, bahwa disana tidak menunjukkan bahwa nubuat tersebut terkait erat dengan nubuat yang menunjuk pada Gereja Kristen yang akan memelihara Sabat. Namun ini justru menunjuk akan universalitas agama Yahudi itu sendiri, dimana Sabat, korban bakaran, korban sembelihan serta bait Allah itu adalah simbol jasmani yang nampak dari sistem keagamaan mereka. Jika pada Taurat Musa bahwa untuk menjadi Yahudi hanya dibatasi oleh orang-orang Israel secara jasmani saja dan orang-orang yang memiliki alat vitas yang lengkap, sekarang mereka tak dibatasi lagi. Mereka boleh juga menjadi umat Tuhan dengan umat Israel lainnya, asal mereka hidup seperti unmat Israel itu. Inilah yang dalam sejarah akhirnya disebut sebagai “Kaum Proselit” (penganut agama Yahudi, namun bukan Yahudi asli , Kisah 2:11). Dengan demikian jelas, bahwa perikop ini sama sekali tak menubuatkan tentang Sabat yang akan dipelihara orang-orang Kristen yang bukan Yahudi, namun membicarakan “kaum Proselit” yaitu orang-orang bukan yahudi yang memeluk agama Yahudi dengan ketentuan melaksanakan hukum keagamaan Yahudi, termasuk Sabat. Dari sini pembahasan kita sebelumnya makin diteguhkan bahwa Sabat itu terkait erat dengan Bait Allah, korban bakaran, korban sembelihan dan perjanjian dengan Israel. Artinya Sabat itu berkaitan dengan system ibadah dan kehidupan Israel sebagai bangsa dan bukan untuk hal yang lain.
Jika orang Kristen hendak memelihara Sabat atas dasar nubuatan yang tertera dalam Kitab Yesaya ini, karena mereka merasa dirinya sebagai orang asing dan bukan yahudi, maka harus diingat bahwa nubuat ini bukan hanya membicarakan Sabat saja, namun juga membicarakan tentang korban bakaran, korban sembelihan, mezbah dan Bait Allah, dimana semuanya itu harus dijalankan seiring dengan pemeliharaan dari Sabat tadi. Mengambil hari Sabatnya saja, kemudian mengabaikan hal-hal lain yang disebutkan dalam perikop nuibuat yang sama, berarti melanggar kebenaran pernyataan nats Kitab Suci, yaitu melanggar Firman Tuhan sendiri.
Dalam Kitab Yesaya 66:18-23 ditegaskan adanya nubuatan yang berbicara tentang bertobatnya bangsa-bangsa bukan Yahudi yang akan melihat kemuliaan Allah diantara orang-orang Israel dan dikembalikannya semua kaum Israel yang dalam pembuanmgan ke Yerusalem (ayat 20), sehingga mereka akan mempersembahkan korban dalam Bait Allah serta dipulihkannya imam-imam dan orang-orang Lewi dari antara mereka yang baru saja kembali itu. Dan bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi itu akan terus menerus datang sujud untuk menyembah Tuhan, yang dinyatakan dalam ayat 23: ”Bulan berganti bulan, dan Sabat berganti Sabat, maka seluruh manusia akan datang untuk sujud menyembah di hadapanku firman Tuhan”. Ayat ini digunakan oleh kaum Sabbathisme untuk menunjang dan membuktikan bahwa Sabat itu akan selalu dipelihara oleh bangsa-bangsa lain. Namun melihat konteks perikop ini, jelas kesimpulan yang demikian itu, tidak dapat dibenarkan. Mengapa? karena ayat 23 ini tak membicarakan tentang perintah bahwa bangsa-bangsa Non-Yahudi harus memelihara Sabat. Namun yang dibicarakan disana adalah bahwa selama ada waktu dibumi ini, maka menurut cara hitungan Yahudi disebut: ”bulan beganti bulan, dan Sabat berganti Sabat” dan bangsa-bangsa yang bertobat kepada Allah itu akan datang dan sujud menyembah Dia.
Selanjutnya harus diingat juga, bahwa bahasa yang digunakan Yesaya itu, sangat ketat dengan menggunakan simbol dan sistem keagamaan Yahudi: Bait Allah, korban, Yerusalem, Imam-imam dan orang-orang Lewi. Jika demikian halnya sukarlah bagi kita untuk mengerti mengapa dia juga menggunakan Sabat untuk menghitung waktu? karena satuan yang terkecil itu dalam sistem daur lingkaran hari peringatan keagamaan Yahudi adalah Sabat dan itu merupakan simbol keagamaan yang penting bagi kaum Yahudi, maka dengan menggunakan”Sabat berganti Sabat” ini, Yesaya hendak menjelaskan mengenai bergulirnya waktu yang terus menerus dan kelestarian penyembahan yang dilakukan oleh kaum Proselit ini. Dengan demikian jelas bahwa ekspresi diatas tidak menunjuk atau menubuatkan apapun tentang perintah memelihara Sabat bagi orang-orang bukan Yahudi yang bukan Proselit, apalagi gereja Kristen yang bukan bagian dari “bangsa Israel” secara fisik itu. Memang dari kacamata Kristen, semua nubuat Yesaya ini sudah digenapi dalam PRIBADI Kristus dan GerejaNya. Namun dalam fakta historisnya ternyata Gereja Kristen itu, ternyata bukan hanya sekedar tiruan tambal sulam dari sistem kehidupan keagamaan Israel. Sebaliknya itu mempunyai system Perjanjian yang sangat berbeda, yang pada saat dinubuatkannya itu, masih bersifat lambang dengan simbol-simbol fisik keagamaan Yahudi. Untuk itu marilah kita lihat bagaimana Gereja Kristen itu dinubuatkan oleh Kitab Suci bangsa Yahudi : Perjanjian Lama, menurut kacamata Iman Kristen, terutama yang terkait dengan Sabat.
Nubuat Tentang Datangnya Perjanjian Baru
Dalam Kitab Yeremia 31 :31-34, disana dinyatakan tentang rencana Allah bagi “kaum Israel dan kaum Yahudi” untuk mengadakan “Perjanjian Baru” dimana sifat dan keberadaan Perjanjian itu, “bukan seperti Perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir”. Artinya Perjanjian Baru itu akan berbeda sama sekali baik dalam wujud maupun hakekatnya dengan Perjanjian Lama, yaitu Perjanjian keluar dari tanah Mesir. Sabat adalah meterai dan tanda kekal bagi Perjanjian Lama yaitu perjanjian “dengan nenek moyang….pada waktu Aku…membawa mereka keluar dari tanah Mesir” seperti yang telah kita bahas diatas.
Namun Perjanjian Lama dengan nenek moyang itu, berdasarkan keluaran dari Mesir ini, pada saat Yeremia diilhami Allah yang hendak mengadakan Perjanjian itu, “telah mereka ingkari” artinya telah ditolak oleh Israel. Berarti Perjanjian yang berlandaskan pada pengalaman keluar dari Mesir dengan segala tatacara dan meterai kekalnya yaitu Sabat, itu tidak mampu untuk mengubah atau menguduskan Israel, meskipun tujuan Sabat itu adalah untuk menguduskan Israel. Artinya “Hukum ketetapan Allah yang berwujud undang-undang tertulis yaitu Taurat, itu harus diperbaharui bentuknya, yaitu dengan jalan “Aku akan menaruh TauratKu dalam batin mereka, dan menuliskannya dalam hati mereka…”. Dalam Perjanjian Baru yang bersifat batin dan hati dan bukan bersifat hukum tertulis inilah: ”Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umatKu”. Terlaksananya Perjanjian baru dimana Taurat atau hukum-hukum Allah itu akan diam dalam batin dan hati manusia, dan bukan lagi dalam lembaran lembaran hukum-legal yang tertulis itu diterangkan oleh Yehezkiel sebagai berikut: ”Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu…RohKu akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapanKu dan tetap berpegang pada peraturan peraturanKu dan melakukannya” (Yehezkiel 37:26-27). Kebenaran inilah yang dikatakan oleh Js. Paulus dalam suratnya II Kor 3:6 bahwa: “…Perjanjian baru, yang tidak terdiri dari hukum yang tertulis (yaitu: Taurat), tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan”.
Dengan demikian maka menurut nubuat kedua nabi ini, Perjanjian baru yang diadakan oleh Allah itu bukanlah Taurat tertulis, namun Roh Kudus yang berdiam dalam batin dan hati. Manusia tidak lagi ditiuntut oleh suatu hukum yang tertulis yang berada diluar dirinya tertera dalam sebuah buku, namun dari dalam dirinya timbul kemampuan bertindak oleh Roh Kudus, dimana buah tindakannya itu sesuai dengan tuntutan moral dari Hukum taurat yang tertulis. Dengan demikian dalam Perjanjian Baru yang dinubuatkan ini, jelas tak ada tempat bagi legalisme dan pemaksaan ketentuan yang bersifat hukum yang sangat legalistik dalam hakekatnya, semacam pemaksaan pelaksanaan hari Sabat. Lagi pula Perjanjian Baru yang akan diadakan Allah itu bukan seperti Perjanjian keluaran dari Mesir, dimana Sabat itu sebagai meterai dan tanda kekalnya. Perjanjian Baru itu bersifat batin dan hati oleh karya Roh Kudus. Roh kudus itu akan diberikan oleh Allah ke batin manusia. Padahal kita tahu bahwa datangnya Roh Kudus didalam batin manusia itu adalah sebagai akibat karya penjelmaan, kematian, kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus (Kis 2:32-33). Karena Perjanjian Baru itu bersifat Roh dan bukan bersifat hukum tertulis, dan juga datangnya Roh itu karena karya penjelmaan, kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus, dan bukan akibat keluarnya dari tanah Mesir yang melaluinya taurat itu datang dan dinyatakan Allah, maka jelas tanda dan meterai Perjanjian Baru yang pasti bukan Sabat, karena Perjanjian Baru yang dijanjikan itu “bukan seperti Perjanjian….keluar dari tanah Mesir”, seperti yang dikatakan oleh Nabi Yeremia diatas tadi. Dengan demikian sungguh suatu kekeliruan yang besar dan ketak–pahaman yang mendalam akan makna Kitab Suci jika orang menyatakan diri sebagai anggota Gereja Kristus berdasarkan Perjanjian Baru, kemudian menekankan meterai dan tanda Perjanjian Lama yaitu meterai keberadaan dan kebangsaan dan keagamaan Israel sebagai sesuatu yang mengikat dan diharuskan bagi orang Kristen.
Dasar Sejarah Perjanjian Baru
Telah kita bahas bahwa keluaran dari Mesir itulah dasar sejarah dan peristiwa yang didalamnya Perjanjian Lama itu dibuat oleh Allah dengan Israel, dengan Sabat sebagai tanda dan meterai Perjanjian tadi. Perjanjian Baru memiliki peristiwa Yesus (Penjelmaan, Penyaliban, Kematian, kebangkitan dan Kenaikan Yesus Kristus) sebagai dasar pemberitaan dan pengajarannya.
Js. Yohanes dalam Injilnya mengatakan: ”Firman itu telah menjadi manusia” (Yoh 1:14), artinya bukan lagi menjadi loh batu yang tertulis atau huruf-huruf Ibrani dari Kitab Taurat. Sekarang firman Allah itu bukan lagi berwujud hukum dan ketentuan-ketentuan legalistik Taurat, namun menjadi manusia dengan sebutan Yesus Kristus. Inilah yang diberitakan para rasul, seperti juga yang dijelaskan oleh Js. Yohanes dalam suratnya yang pertama: ”Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan, dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup- itulah yang kami tuliskan kepada kamu “ (1 Yoh 1:1). Karena telah di dengar, dilihat dengan mata, di saksikan, dan diraba dengan tangan, sebagai sesuatu makhluk jasmani yang hidup sebagai manusia itulah Kristus disebut “Firman Hidup”, berbeda dengan Kitab Taurat yang adalah benda mati yang tertulis. Itulah hukum tertulis yang mematikan kata Js. Paulus. Hanya Firman yang hidup itulah yang menghidupkan. Dengan kata lain peristiwa Yesus (Firman) sebagai manusia yang hidup itulah yang menjadi inti dan dasar berita para rasul yang diberitakan dengan lisan maupun dalam tulisan. Dan dari seluruh peristiwa Firman menjadi manusia “yang hidup” ini maka yang sangat sentral dan penting adalah peristiwa penyaliban, kematian, kebangkitanNya, sebagaimana yang dikatakan oleh Js. Paulus: ”Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu….ialah bahwa Kristus telah mati kerena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari ketiga…bahwa Ia telah menampakkan diri…” (1 Kor 15:3-5). Inilah Pondasi dari Iman Kristen, bukan Taurat, bukan Sinai dan jelas bukan Sabat, sebab: ”Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-silah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu” (Kor 15:17). Iman kita punya makna hanya karena Kristus telah bangkit, dan kita dilepaskan dari dosa juga dikarenakan peristiwa yang sama. Dengan demikian jelas, bahwa oleh kematian dan kebangkitan Kristus itulah, kita dilepaskan dan dikeluarkan dari dosa dan maut, dan ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh surat Ibrani: ”..oleh kematianNya Ia telah memusnahkan dia, yaitu Iblis,…dengan jalan demikian Ia telah membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada dalam perhambaan,…” (Ibr 2:14-15). Ayat ini menjelaskan bahwa manusia memang tidak bebas dan berada dalam perhambaan dan perbudakan, namun bukan perbudakan Mesir seperti Israel, tetapi perhambaan Iblis dan maut. Dan kematian Krisuslah yang membebaskan manusia ini dari perhambaan tadi. Jelas kalau begitu perhambaan dan perbudakan oleh manusia sebelum percaya Kristus tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan fisik seperti perbudakan dan perhambaan Israel di tanah Mesir, namun perbudakan pada maut, Iblis, kelapukan dan dosa. Serta pelepasan mereka bukanlah pelepasan untuk menjadi komunitas bangsa secara fisik dalam lokasi wilayah negara tertentu dengan ketentuan hukum sosial politik dan keagamaan tertentu, namun pelepasan untuk mendapatkan hidup kekal didalam Kristus. Dengan demikian jelas bahwa Sabat tak ada sangkut pautnya dengan peristiwa semacam ini. Sabat yang intinya “berhenti kerja” karena memang Sabat itu merupakan peringatan “berhenti kerja” nya Isreal dari perhambaan. Maka terlepasnya orang dari dosa, Iblis, kelapukan dan maut itu, haruslah bukan yang bersifat “berhenti kerja”, namun yang ada sangkut pautnya dengan hidup kekal atau Kristus itu sendiri. Karena makna Sabat itu dipaksakan, maka bagaimanapun juga tak akan dapat menyelaraskan diri dengan peristiwa mendasar dari sejarah kebebasan dan keluaran dari dosa, Iblis, kelapukan dan maut yang telah terjadi melalui kematian dan kebangkitan Kristus itu sendiri. Dengan demikian hubungan makna Sabat dengan kematian dan kebangkitan Kristus itu tidak ada secara hakiki. Akhirnya hanya akan menimbulkan tambal sulam yang tak konsisten dengan fakta kebenaran Iman Kristen itu sendiri. Jadi agar suapaya fokus kita terang mengenai makna keselamatan di dalam Kristus, seharusnya kita juga memahami tentang Perjanjian Baru dan Sabat sebagai tanda perjanjian antara Allah dan Israel dalam Perjanjian Lama.
Patut diperhatikan bahwa dalam Perjanjian baru secara keseluruhan, tak pernah memberitakan sedikitpun tentang sentralitas dan pentingya Sabbath ini. Jika Sabbath itu disinggung, itu hanya karena konflik yang muncul antara para Murid Yesus dengan orang-orang yahudi mengenai masalah perayaan hari Sabbath itu saja dan juga karena lingkup sejarah penulisan Perjanjian baru itu adalah diantara bangsa Yahudi sehingga dalam menghitung waktu dan hari, tak mungkin lepas begitu saja tanpa menyebut hari Sabbath. Tetapi Sabbath itu sendiri tak pernah menjadi inti dari berita Perjanjian Baru. Kristus dan karyanyalah itulah focus berita Perjanjian Baru. Jadi bukan Hukum Sepuluh dan bukan pula Sabbath.
Sabat dalam Hidup Kristus
Diatas telah kita bahas mengenai sikap Yesus dan ajaranNya tentang Sabat Yahudi, yang pada pokoknya Yesus mengubah dan memporak-porandakan makna Sabat sebagai hari untuk berhenti dari melakukan sesuatu pekerjaan menjadi hari “melakukan sesuatu pekerjaan yang baik”. Dengan demikian Yesus sudah memulai suatu perombakan makna dari Sabat sebagai tanda perjanjian yang berpusat pada pengalaman keluaran dari Mesir, menjadi suatu peristiwa yang berpusat pada diriNya. Hal ini dibuktikan pada saat Dia ditantang kaum ulama Yahudi, Dia mempertanggung-jawabkan perbuatanNya dengan mengatakan: ”Karena Anak manusia adalah Tuhan atas hari Sabat” (Mat 12:8). Sebagai Tuhan (Penguasa) “atas” hari Sabat, berarti Yesus berkuasa untuk melakukan apapun atas hari Sabat itu termasuk mengubah dan memberikan makna yang baru. Dengan demikian Yesus tidak tunduk pada ketentuan “berhenti dari pekerjaan apapun”, Sabatlah yang harus tunduk kepada Yesus, karena Yesus itu adalah Tuhan (Penguasa) “atas” hari “Sabat”.
Memang setiap hari Sabat “menurut kebiasaanNya….Ia masuk kerumah Ibadat (Lukas 4:16), namun Dia melakukanNya bukan karena Sabat dan segala ketentuannya itu berkuasa “atas” Dia, namun justru sebaliknya Dia masuk ke rumah Ibadat setiap hari Sabat itu, untuk menunjukkan bahwa sekarang bukan lagi Sabat yang harus menjadi tanda Perjanjian, namun justru diriNyalah itu penggenap Perjanjian (Lukas 4:21), dan dengan demikian Dia sekarang yang berkuasa atas segala sesuatu termasuk hari Sabat, sehingga manusia hidup bukan lagi untuk hari Sabat. Artinya tujuan hidup manusia itu bukan digunakan untuk mengabdi pada Sabat, namun sebaliknya “hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabbath” (Mark 2:27). Sabat mengabdi pada kepentingan manusia.
Itulah sebabnya tak petrnah sekalipun Yesus dalam pengajaranNya meninggikan atau menjunjung Sabat, Dia membicarakan tentang Sabat hanya dalam konteks konfrontasi perjumpaanNya dengan pemimpin agama Yahudi yang menentang sikapNya terhadap Sabat yang justru oleh mereka dilihat sebagai hujatan dan bertentangan dengan ketetapan dari Kitab Suci Perjanjian Lama.
Kita berjumpa lagi dengan masalah Sabat ini pada akhir kehidupan Kristus, yaitu pada saat penyaliban, kematian, penguburan dan kebangkitanNya. Namun bukan Kristus sendiri yang membahas Sabat dalam konfrontasi dengan orang-orang Yahudi, tetapi para murid yang menulis Injillah yang menyebutkannnya, bukan sebagai bukti bahwa para murid itu mengajarkan suapaya Sabat itu dipelihara sebagai perintah Kristus, namun hanya sebagai sarana perhitungan waktu untuk menjelaskan saat dan hari ketika mana Kristus disalibkan, mati dan bangkit itu, dengan menggunakan perhitungan hari menurut budaya Yahudi, karena Yesus memang orang Yahudi dan ditengah-tengah bangsa Yahudi itu Dia mengalami penyaliban, kematian – penguburan, dan kebangkitanNya itu.
Js.Matius menerangkan dalam Injilnya, saat dan hari ketika Yesus mengalami derita akhir dari hidupNya itu demikian “Sesudah membicarakan saat malam Yesus diolok dan dicemooh dan paginya (hari Jumat) dibawa menghadap Pilatis (Mat 27:1-2), dan disalibkan pada hari itu juga: ”keesokan harinya, yaitu sesudah hari persiapan, datanglah imam-imam kepala dan orang-orang farisi bersama-sama menghadap Pilatus” (Mat 27:62). Jadi menurut ayat ini hari ketika Yesus disalibkan dan dikuburkan dalam ayat-ayat sebelumnya dalam Matius 27 ini, disebut oleh Js. Matius (perhatikan: bukan oleh Yesus ) sebagai “hari Persiapan” (paraskevee), yaitu hari jumat sebagai “hari persiapan” bagi orang Yahudi untuk merayakan hari Sabat. Sedangkan dalam Matius 28:1, ketika para murid wanita mengunjungi kuburan pada saat kebanmgkitan Yesus disebutkan demikian: ”Setelah Hari Sabat lewat… pada hari pertama Minggu itu….”, yang menunjukkan bahwa Yesus tidak melakukan apapun secara fisik diantara hari persiapan sampai dengan hari pertama Minggu itu, yaitu selama Hari Sabbath itu Yesus berada di kuburan pasif tergeletak seolah-olah beristirahat dari semua karyaNya selama 6 hari bagi penciptaan baru atas dunia ini, sejak Minggu Palem (Mat 21:1-23), Senin Kudus (Mat 24:3-35), Selasa Kudus (Mat 24:36-26:2), Rabu Kudus (Mat 26:2-26 “dua hari lagi akan dirayakan paskah” ayat 2, menunjukkan saat itu hari Rabu, karena paskah terjadi hari Sabtu), Kamis Kudus (Mat 26: 17-75), dan Jumat Agung (Mat 27:1-61), dan pada hari Sabtu yaitu hari ketujuh Yesus berhenti atau istirahat dari segala karya penciptaan baru yang dilakukanNya selama enam hari, di dalam kubur menanti penggenapan yang dimeteraikanNya segala karya tadi oleh kebangkitan, pada hari sesudah Sabat lewat, yaitu hari pertama Minggu itu, hari pertama atau Hari Satu itulah hari Ahad dalam bahasa Arab. Dan karena hari Ahad (Satu) itu adalah hari kebangkitan Kristus sebagai puncak dari karyaNya selama enam hari dan beristirahat selama hari ketujuh dalam kuburan, maka hari pertama itu disebut sebagai “Hari Tuhan” (Kuriakee) yang sampai sekarang masih dikenal demikian dalam kalender Gereja Orthodox dan kalender nasional Negara Yunani, dimana kata Kuriakee (Kyriaki diambil dari kata Kyrios = Tuhan) itu disebut dalam bahasa Fortugis “Dominggos” dan itu akhirnya menjadi Minggu dalam bahasa Indonesia.
Demikianlah dalam penciptaan barupun Allah melalui SabdaNya yang menjelma, berkarya selama enam hari dan beristirahat pada hari ketujuh di dalam tergeletakNya Sang Sabda menjelma ini di dalam kuburan. Namun berbeda dengan penciptaan lama dimana pada hari ketujuh itu sudah lengkap selesai penciptaan itu, dalam penciptaan baru ini, selesai dan puncak karya selama enam hari bagi penebusan sejak minggu Palem itu, bukan pada hari terkuburNya atau beristirahatNya Kristus dalam kuburan, namun kebangkitanNya pada hari Ahad atau Hari pertama, karena jika “Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-silah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosa” (I Kor 15:7).
Itulah sebabnya jika hari ketujuh sebagai hari perhentian itu dirayakan, namun maknanya sudah berbeda dari Sabat dalam Perjanjian Lama. Ini harus berpusat pada karya penciptaan baru yang dilakukan Kristus selama seminggu kesengsaraanNya atau pekan sengsara itu. Dengan demikian hari Sabat sekarang ini, mengingat saat penguburan atau perhentian Kristus dari segala karyaNya untuk menunggu penggenapannya dalam hari kebangkitanNya yang terjadi pada hari pertama (Hari Ahad atau Hari Minggu) tadi. Itulah sebabnya dalam Gereja Purba yang tetap dilakukan oleh Gereja Orthodoks sampai sekarang, Sabat itu tetap hari Sabtu, bukan Hari Minggu, namun makna Sabat itu berbeda dari makna yang diberikan dalam Perjanjian Lama. Bukan lagi itu tanda Perjanjian Pelepasan dari Mesir, namun sebagai peringatan akan perhentian karya Kristus di dalam kuburan, dengan demikian meskipun kita merayakan Hari Sabtu sebagai hari Sabat, namun kita tak terkait lagi pada ketentuan-ketentuan Sabat seperti yang digariskan oleh Perjanjian lama, tetapi ketentuan Sabat seperti yang digariskan oleh Kristus sendiri, yaitu bahwa pada hari Sabat boleh melakukan sesuatu pekerjaan yang baik. Dan hari Sabat itu sebagai peringatan hari perhentian (Penguburan) Kristus itu, dirayakan dengan cara menjalankan Ibadah Sembahyang Senja, yang lambang-lambang Ibadah itu secara detail menggambarkan keberadaan Kristus dalam kuburan tadi. Dengan demikian Hari Sabtu tidak dilanggar, ketentuan-ketentuan Tauratpun tak dilanggar, karena sekarang kita bebas dari ketentuan-ketentuan Sabat dalam Taurat, namun terikat erat dengan Kristus dalam peringatan deritaNya tadi. Namun karena hari Tuhan itu adalah hari pertama, perayaan kebangkitan Kristus tetap dirayakan pada hari pertama tadi, yaitu pada hari Minggu, dimana pada hari Tuhan ini kita diupersatukan dengan Tubuh Tuhan yang bangkit itu melalui perayaan Perjamuan kudus yang dirayakan setiap kali kita bertemu pada hari Tuhan ini. Jadi jelas Minggu itu bukan hari Sabat, namun Hari Tuhan. Ini bukan perayaan hari perhentian namun perayaan hari kebangkitan. Sedangkan Sabtu itulah Sabat, namun bukan sebagai tanda Perjanjian keluaran dari Mesir, justru sebagai peringatan Hari Perhentian Kristus dalam kuburan. Dengan demikin Sabtu itu bukan hari terpuncak, namun harus dimeteraikan oleh hari kebangkitan yaitu hari Ahad atau hari Pertama.
Dengan demikian kita melihat suatu ajaran Alkitab yang konsisten dan bersifat Kristosentris. Sabat tetap Sabtu, dan harus dirayakan sebagai peringatan perhentian Kristus dalam kuburan, namun itu bukan akhir pada dirinya sendiri, karena harus dimeteraikan oleh peringatan hari kebangkitan, yaitu hari Minggu. Dari sini kita diselamatkan terhadap main comot ayat-ayat Alkitab, tanpa melanggar yang ini atau itu, dan tanpa berjalan terpincang-pincang sebentar lari ke Taurat lalu sebentar lagi lari ke Injil.
Adalah suatu kekeliruan yang besar, jika kita mengatakan bahwa Sabat itu sudah diganti hari Minggu. Dalam kalender resmi Gereja Orthodoks yang juga kalender nasional Negara Yunani, hari Sabtu itu disebut “Sabbato”, jadi jelas Sabat itu tetap Sabtu. Dan juga suatu kekeliruan yang besar mengatakan bahwa Hari Minggu atau “Hari Tuhan” itu berasal dari perayaan kafir. Sabat tetap Sabtu, seperti telah kita katakan, namun itu harus dimeteraikan oleh perayaan hari kebangkitan yaitu hari Minggu. Bagaimana suatu peringatan dari peristiwa maha penting ini dianggap sebagai perayaan agama kafir, sungguh ini merupakan suatu teka teki dan tak dapat terpahami.
Dalam Perjanjian baru tak ada satupun perintah yang menyuruh orang Kristen untuk merayakan hari sabtu sebagai hari perhentian yang harus dirayakan. Jika dalam Injil disebutkan tentang hari persiapan, hari Sabat dan hari pertama dalam konteks kesengsaraan Yesus, itu hanya merupakan perhitungan saat sesuai dengan budaya Yahudi, namun bukan suatu perintah bagi orang Kristen, dan bukan pula merupakan bukti bahwa itu adalah perintah yang harus dijalankan. Ingat, bahwa waktu Yesus mati itu Gereja belum ada, orang Kristen dalam pengertian kita sekarang masih belum ada. Yang ada yaitu orang-orang Yahudi yang terikat dengan hukum-hukum agama Yahudi termasuk perintah Sabatnya, yang mempercayai bahwa Yesus itulah Sang Mesias. Namun mereka belum merasa sebagai suatu komunitas agama yang terpisah dari bangsa Yahudi. Gereja baru lahir pada saat Roh Kudus turun di hari Pantekosta. Itupun tak langsung membuat para rasul itu sadar akan missi mereka bagi orang-orang Non Yahudi (Kis 10:28-29)., sehingga Petruspun mula-mula merasa keberatan untuk datang ke rumah Kornelius. Beberapa tahun kemudian barulah orang-orang Kristen sadar akan keberbedaan mereka dari Umat Yahudi. Herankah kita kalau beberapa diantara mereka masih terikat hukum-hukum ketentuan Sabat dalam Perjanjian Lama, sehingga makna Kristus itu sendiri baru secara pelan-pelan terhayati secara paripurna. Melihat latar belakang ini, maka kita tak mungkin menganggap sebutan akan nama-nama hari secara Yahudi dalam masa-masa akhir hidup Yesus itu sebagai perintah bagi Gereja Kristen. Itulah cara budaya yahudi menghitung waktu, tak lebih dan tak kurang.
Sabat & Hari Pertama Dalam Perjanjian Baru
Alkitab tak pernah memerintahkan kita merayakan hari Minggu, demikian celoteh banyak orang. Namun Kitab Suci Kristen “Perjanjian Baru” pun tak pernah memerintahkan orang merayakan hari Sabtu, demikian sambut yang lain. Kedua pernyataan yang demikian ini menunjuk kesalah-pahaman yang besar mengenai makna Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Iman Kristen mengajarkan bahwa wahyu Illahi itu bersifat berkembang secara pelan-pelan, yang seluruh perkembangan itu akhirnya berpuncak pada Yesus Kristus. Itulah sebabnya penulis surat Ibrani mengatakan bahwa: ”Pada zaman dahulu” Allah berbicara melalui “Nabi-Nabi” sedangkan “pada zaman akhir ini” Allah berbicara didalam “AnakNya” (Ibrani 1:1). Hal yang sama dikatakan oleh Js.Paulus ketika Dia mengatakan: ”Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat” (Roma 10:4), dan ketika Dia mengatakan: ”karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman mengenai hari raya, bulan baru atau Sabat semuanya itu hanyalah bayangan….sedangkan wujudnya ialah Kristus” (Kol 2:16-17). Yang ini ditandaskan lagi oleh Kristus: ”Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakannya melainkan UNTUK MENGGENAPINYA” (Matius 5:17) . Kristuslah wujud dan kegenapan Hukum Taurat. Karena wujud dan kegenapan hukum Taurat itu bukan berwujud ajaran tertulis seperti Hukum Taurat itu sendiri namun berwujud “Firman .. menjadi manusia” (Yohanes 1:14), maka yang menjadi landasan beriman dan berbuat serta beribadah bagi umat Kristen bukanlah hanya sekedar apa yang pernah diperintahkan saja oleh Yesus, seperti perintah–perintah Taurat. Namun segala tingkah-laku, peristiwa, ajaran dan bahkan kepribadian Kristus itu sendiri menjadi landasan iman, ibadah, akhlak dan tingkah laku Kristen. Ringkasnya Yesus keutuhan pribadi dan keberadaanNya itulah Firman yang harus menjadi landasan hidup Kristen.
Sebagai Firman yang menjelma dalam sejarah, maka sejarah hidup Yesuslah sekarang menjadi hari peringatan yang harus dirayakan sebagai suatu tanggapan ucapan syukur kepada Allah, meskipun kalau bukan secara terang–terangan dikatakan harus dirayakan. Karena Injil yaitu Perjanjian Baru itu tak terdiri dari hukum tulis namun hidup Roh Kudus, sehingga Roh yang membangkitkan Kristus itu (Roma 8:11) akan mendorong orang Kristen untuk merayakan karya besar yang telah dilakukanNya pada hari Kristus dibangkitkan. Oleh dorongan hidup Roh inilah orang Kristen merayakan hari kebangkitan. Bukti bahwa hari kebangkitan ini sudah diperingati akan nampak dalam hal–hal berikut ini: “Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu berkumpulah murid murid Yesus di suatu tempat dengan pintu pintu terkunci karena mereka takut kepada orang – orang Yahudi” (Yohanes 20 : 19).Para murid jelas berkumpul pada hari Minggu, hari pertama. Namun para pembela Sabat Yahudi, bukan Sabat Kristen yaitu hari penguburan Kristus, menyanggah dengan mengakatan bahwa mereka berkumpul hari Minggu karena takut pada orang–orang Yahudi bukan karena merayakan kebangkitan. Namun dalam struktur bahasa aslinya menunjukkan bahwa takut terhadap orang Yahudi itu tidak menerangkan berkumpulnya pada hari pertama, namun menerangkan tertutupnya pintu. Artinya mereka berada di tempat tertutup karena takut pada orang Yahudi, jadi bukan takut terhadap orang Yahudi lalu berkumpul pada hari Minggu. Logika juga mengatakan jika orang takut akan masyarakat maka bertemu ditempat bersembunyi. Jadi Minggunya itu bukan sebagai akibat dari takut orang Yahudi namun tertutupnya pintu. Maka jelas hari pertama itu sudah merupakan pertemuan para murid. Pertemuan hari Minggu ini rupanya dilanjutkan lagi pada saat “Delapan hari kemudian murid murid Yesus berada kembali dalam rumah itu” (Yohanes 20:26), yang dalam kedua peristiwa ini Yesus selalu hadir ditengah tengah mereka bahwa pertemuan hari Minggu itu akhirnya menjadi kebiasaan orang Kristen, dapat kita lihat dari Kisah Rasul 20:7 ” Pada hari pertama pada dalam Minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecah mecahkan roti “ Juga dalam tulisan Paulus ”Pada hari pertama dari tiap tiap minggu hendaklah kamu masing–masing … meyisihkan sesuatu (1 Korintus 16:2). Para pembela Sabat Yahudi , akan mengatakan hanya suatu kebetulan saja , tak ada makna tertentu atas penyebutan hari pertama itu. Kalau hanya kebetulan saja, maka Alkitab berarti berisi sesuatu yang tak dapat dipakai sebagai landasan hidup dan hanya berasal dari omong kosong saja. Lagi pula jika itu suatu kebetulan mungkinkah yang kebetulan itu sampai beberapa kali, dan semuanya dalam kontek ibadah. Dua yang pertama berkumpul dimana Yesus hadir ditengah tengah mereka, dan yang satu dalam kontek Perjamuan Kudus, serta yang terakir dalam kontek memberikan persembahan persepuluhan. Lagi pula Alkitab mengatakan bahwa”.. dengan keterangan dua / tiga orang saksi suatu perkara sah” (II Korintus 13:2), padahal disini ada empat saksi mengenai hari pertama itu. Bukankah berdasarkan ketentuan Alkitab perkara itu sah dan bukan hanya sesuatu kebeteluan saja? Lagi pula tak ada bukti satupun dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa Kristus berada di tengah tengah pertemuan muridNya pada hari Sabtu. Padahal pertemuan Kristen adalah untuk mengundang hadirat Kristus, dan Alkitab menunjukkan bahwa Kristus hadir dalam pertemuan itu justru hari Minggu, hari peringatan kebangkitanNya sendiri. Jika dalam perjanjian baru ada bukti bahwa para murid terutama Paulus berbakti pada hari Sabtu, itu terjadinya didalam ibadah Yahudi yang memang merayakan hari Sabtu sebagai hari pertemuan (Kisah Rasul 13:13-49), dan itupun demi pemberitahuan injil. Namun tak ada bukti satupun yang menunjukkan hari Sabtu sebagai hari yang disanjung oleh umat Kristen dalam Perjanjian Baru.
Kemuliaan bagi Sang Bapa Sang Putra serta Sang Roh Kudus sekarang dan selalu serta sepanjang segala abad, Amin.
Sabat adalah hari perhentian yang diperintahkan oleh Allah kepada Bangsa Israel di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Dan sampai sekarang hari Sabat ini menjadi pusat terpenting dalam sistem ibadah Agama yahudi (Yudaisme). Hari Sabat itu sendiri sebanding dengan hari ketujuh, yaitu hari Sabtu (Sabt) kata yang berakar sama dengan bahasa Ibrani Sabat tersebut.
Namun oleh pengaruh dari hukum sepuluh yang memerintahkan agar umat Israel merayakan hari Sabat sebagai hari kudus, dimana orang dilarang melakukan pekerjaan apapun, ada sementara orang Kristen terutama dari kalangan tradisi Advent dan tradisi “World wide church of God” atau Armstrongisme yang menekankan bahwa setiap orang Kristen yang sejati, haruslah menguduskan hari Sabtu ini untuk membuktikan ketaatan mereka kepada Allah, sebab dengan tak menguduskan hari Sabat berarti murtad terhadap Allah. Sedangkan Tradisi Kristen yang lain mengatakan bahwa hari Sabat itu sudah diganti oleh hari Minggu, yang tentu saja kaum Sabbathisme ( Hari ketujuhisme) akan cepat menunjuk bahwa kata Sabat itu artinya Sabt (tujuh) atau Sabtu, dan bukan hari minggu (Dominggos) atau ahad. Sehingga terjadilah simpang siur mengenai masalah ini.
Ada yang mengatakan hari tertentu itu tidak perlu, semua hari itu sama saja, asal itu digunakan untuk menyembah Allah, semua hari adalah Sabat. Mana yang benar dari semua pendapat ini. Dan kalau memang semua hari adalah sama saja, mengapa Allah memerintahkan hari Sabat untuk dirayakan itu begitu jelas ditandaskan. Apakah betul merayakan hari Minggu itu telah menggantikan hari Sabtu dan Minggu itu sendirilah Sabat? Adakah hubungan hari Sabat (hari ketujuh) itu dengan hari Minggu? Atau mungkin memang betul bahwa kedua-duanya itu tidak penting. Untuk mengetahui hal ini secara rici baiklah kita lihat penjelasan dibawah ini.
Asal-Usul & Makna Sabat
Dalam Kitab Nehemia 9:13-14 ditandaskan : “Engkau telah turun ke atas gunung Sinai dan berbicara dengan mereka dari langit dan memberikan mereka peraturan-peraturan yang adil, hukum-hukum yang benar serta ketetapan-ketetapan dan perintah-perintah yang baik. Juga Kau beritahukan kepada mereka SabbatMu Yang Kudus…..”. Menurut ayat ini “Sabat kudus” itu diberikan oleh Allah kepada bangsa Israel itu pada saat pernyataan Allah di gunung Sinai, yaitu bersamaan diberikannya Hukum Sepuluh atau Dasa Titah, seperti yang tertulis dalam Kitab Keluaran 20 :8-11 yang berbunyi: ”Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat, enam hari lamanya engkau bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu, maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan….sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh, itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya”.
Berdasarkan pernyataan Allah di gunung Sinai ini, Musa ketika mulai menulis Kitab Taurat yang pertama yaitu : Kitab Kejadian terutama di pasal yang kedua menandaskan : ”Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuatNya, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuatNya itu. Lalu Allah memberkati hari ketujuh dan menguduskannya, karena pada hari Sabat itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatNya itu” (Kej 2:2-3). Ayat ini bukalah perintah Allah secara langsung kepada Adam dan Hawa di Taman Eden, namun ini hanyalah komentar dari sang Penulis (Musa) atas kisah penciptaan yang dikaitkan secara langsung dengan pengalaman pembaca yang dimaksud penulis yaitu “Bangsa Israel itu sendiri, yang telah menerima perintah di gunung Sinai untuk merayakan hari Sabat. Dan juga kata “Sabat” itu belum muncul dalam kejadian 2:2-3, yang muncul adalah “hari ketujuh” . Dengan demikian jelas bahwa Sabat itu memang baru diberitahukan oleh Allah kepada bangsa Israel pada saat pemberian Hukum Sepuluh di gunung Sinai seperti yang dikatakan oleh Nabi Nehemia 9:13-14. Sabat itu belum dikenal di Taman Eden, Tak dikenal oleh Adam, Abraham, Ishak, Yakub dan Bangsa Israel sebelum pernyataan Allah digunung Sinai itu. Oleh karena itu tidaklah heran jika kita tak pernah menjumpai satu perintahpun dalam kitab Kejadian sampai Keluaran 15 yang mengatakan bahwa “manusia harus merayakan hari Sabat. Memang kata “Sabat” itu pertama kali muncul dalam Kitab Keluaran 16:23-30, dan perintah untuk merayakannya itu juga diberikan dalam kontek “Pekerjaan” Israel mengumpulkan manna yang turun dari langit, namun sebagai perintah yang tertulis serta alasan-alasan merayakan dan menguduskan itu baru diberikan pada hukum sepuluh yang diberikan di atas Gunung Sinai kepada Musa.
Sebenarnya secara langsung perintah untuk merayakan dan menguduskan hari Sabat itu, ada kaitannya dengan peristiwa “lahirnya Bangsa Israel itu sendiri”, yaitu lepas dari penindasan Mesir dimana disitu mereka di “pekerja” kan dengan berat dan keras sebagai budak, menuju sebagai bangsa yang bebas bak layaknya “berhenti dari kerja” keras dan paksa yang dilakukan di Mesir oleh mereka. Oleh karena itulah perintah merayakan dan menguduskan Sabat itu ada kaitannya dengan “pekerjaan”. Kaitan ini dijelaskan dalam Kitab Ulangan 5:12-15 yang mengatakan: ”Tetaplah ingat dan kuduskanlah hari Sabat, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu. Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu, maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan….sebab haruslah kau ingat, bahwa sengkaupun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau dibawa keluar dari sana oleh Tuhan, Allahmu dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung, itulah sebabnya Tuhan, Allahmu memerintahkan engkau merayakan hari Sabat”. Sebagaimana Israel dahalu itu adalah budak orang Mesir yang harus bekerja keras, namun sekarang berhenti bekerja sebagai budak, dengan demikian Sabat itu hari perhentian, dan dapat dikatakan sebagai hari Tuhan, yaitu tanda pelepasan mereka dari kerja keras tersebut. Dengan selalu merayakan Sabat, Bangsa Israel selalu diingatkan terus-menerus kepada Allah yang telah melepaskan dan membebaskan mereka dari penindasan dan penganiayaan, sehingga itu menjadi sarana mereka bersyukur dan berbakti kepada Allah yang berbelas kasihan kepada orang yang tertindas, budak dan binatang dengan tak memperkejakan mereka tanpa batas dan istirahat. Jadi Sabat ini akhirnya menjadi gaya hidup Israel baik secara agamawi maupun sosial. Jika Sabat itu dikaitkan dengan kisah penciptaan, itu hanya menunjukkan prototype “kerja dan berhenti” dalam karya Allah itu sendiri, namun bukan langsung menunjuk eksistensi Israel sebagai bangsa yang telah “disabatkan” oleh Allah yaitu dibebaskan dari Mesir. Lagi pula karena hari ketujuh itu tak terjumpai dalam perintah merayakan Sabat dengan berhenti dari kerja dalam prototype kisah pembebasan dari Mesir itu sendiri, maka pemilihan hari ketujuh sebagai hari perhentian itu diambil dari kisah penciptaan.
Namun dalam Kisah penciptaan itu sendiri, ternyata hari ketujuh yang dimaksud itu, berbeda dengan hari ketujuh dari realita hari yang dimiliki manusia pada zaman hidup di dunia sesudah Adam keluar dari Eden itu. Hal ini terbukti dari fakta bahwa hari kita yang terdiri dari 24 jam itu tergantung dari berputarnya bumi disekitar matahari atau dari gelap atau terangnya alam oleh sinar matahari. Padahal dalam kejadian 1 itu matahari, bulan, dan binatang-binatang itu baru terjadi sesudah hari yang keempat ( Kejadia 1:14-19), yang berarti hari pertama ( Kej 1:5) yaitu hari minggu dan hari kedua ( Kej 1:8) yaitu hari Senin, dan hari ketiga ( Kej 1:13) yaitu hari Selasa, itu berbeda dengan hari-hari yang ada sekarang yaitu yang terdiri dari 24 jam, meskipun disebutkan disana petang dan pagi. Kitapun tak tahu pagi dan petang yang bagaimana yang dimaksud oleh ayat-ayat itu, karena jelas itu tak tergantung pada terang dan gelapnya sinar matahari seperti hari yang kita kenal sekarang. Itu sebabnya hari dalam Kitab Kejadian 1 itu bukan hari yang sama seperti hari kita sekarang, dengan demikian hari ketujuh itu bukan tepat hari Sabtu yang kita kenal. Namun itu lebih bersifat hari yang bermakna periode atau jangka waktu yang terdiri dari tujuh tahap. Bahwa hari Sabtulah yang akhirnya dinyatakan sebagai hari ketujuh karena perhitungan satu Minggu dalam kalender kita manusia, baik zaman itu maupun zaman sekarang, memang menyebutkan bahwa Sabtulah hari ketujuh itu. Tahapan proses penciptaan yang memakan 7 periode itulah yang yang akhirnya digunakan sebagai rujukan untuk menyebut hari Sabtu sebagai hari ketujuh.
Dengan melihat bukti-bukti Alkitab yang ada ini, maka jelas bahwa hari Sabat itu lebih terikat erat dengan peristiwa penciptaan Israel sebagai bangsa, yaitu pembebasan dari Mesir, daripada dengan penciptaan dunia itu sendiri. Karena penekanan Hari Sabat itu bukan pada hari ketujuhnya, yang dalam proses penciptaan ternyata bukan tepat pada hari Sabtu seperti yang telah kita kenal sekarang, namun pada makna “berhenti kerja”nya, yaitu tanda peringatan “berhenti kerja” budak-budak” mesir itu.
Jadi berhenti bekerja sebagai budak itu diperingati dengan larangan melakukan ”sesuatu” pekerjaan atau pekerjaan apapun, namun karena peringatan berhenti kerja itu harus diperingati oleh hari tertentu, maka dicari hari mana yang ada kaitannnya dengan “berhenti kerja” itu. Hal itu ditemukan dengan “Berhentinya Karya” Allah dalam penciptaan, yang terjadi pada hari ”ketujuh” yang kebetulan dalam kalender Israel dan bangsa-bangsa lain di jaman itu dan jaman sekarang bertepatan dengan hari sabtu, meskipun “hari ketujuh” yang dimaksud dalam proses penciptaan (Kej 2:2-3) itu tidak sama persis dengan hari Sabtu yang kita kenal. Jadi yang digaris bawahi sebenarnya adalah soal “berhenti kerja atau pembebasan” dan bukan hari Sabtunya. Sebab hari ketujuh dari kejadian 2:2-3 itu tak kita ketahui dari yang bagaimana. Allah memerintahkan hari ketujuh karena kaitan maknanya dengan pembebasan Israel dari perbudakan, bukan karena harinya itu sendiri.
Hari Sabat & Tanda Perjanjian
Alkitab secara keseluruhan dapat kita sebut sebagai Kitab Perjanjian, karena di dalamnya mengisahkan sejarah Perjanjian yang dilakukan Allah kepada manusia-manusia yang dipilihNya. Dan Perjanjian itu sendiri dibagi dalam : Perjanjian sebelum kedatangan Kristus yang disebut sebagai Perjanjian Lama, yang pada pokoknya dapat kita sebut Perjanjian utama: Perjanjian dengan Nuh dan alam semesta, Perjanjian dengan Abraham (Iskak dan Yakub) serta Perjanjian dengan Musa (dan Bangsa Israel). Sedangkan puncak dari semua Perjanjian tersebut adalah Perjanjian dengan Kristus yang disebut sebagai Perjanjian Baru. Dan ini jelas sekali dikatakan oleh Js. Paulus dalam suratnya bahwa: ”Sebab Kristus adalah ya bagi semua janji Allah” (II Kor 1:20).
Dalam Perjanjian-perjanjian ini, Allah memberikan tanda fisik yanmg sesuai dengan isi perjanjian tersebut. Dalam Perjanjian dengan Nuh, dan segala mahluk, isi perjanjian adalah keputusan Allah untuk tidak menghukum bumi lagi dengan air bah, karena perjanjian ini adalah Perjanjian dengan alam semesta agar sejarah manusia dapat berlangsung demi pemenuhannya nanti di dalam Kristus, maka tanda perjanjian yang ada haruslah sesuai dengan isi perjanjian yang ada di alam luas yaitu “pelangi” (bianglala, busur) – (Kej 9:12-16), dan dengan melihat busur Allah, maka kita ingat perjanjianNya, bahwa Allah tak menghukum bumi lagi dengan air bah.
Demikian juga dengan Perjanjian Allah dengan Abraham (Kej 17). Karena kepada Abraham ini, Allah menjanjikan keturunan dan melalui keturunan ini bangsa di muka bumi akan diberkati (Kej 12:2-3, 13:14, 15:12-16), maka “alat” yang melaluinya keturunan Abraham akan muncul itulah yang diberi tanda Perjanjian tadi. Kepada Abraham Allah menjanjikan banyak keturunan dan Abraham menjadi Bapa sejumlah besar bangsa (Kej 17:1-8), maka Abraham diperintah Allah atas alat tadi “haruslah dikerat kulit khatanmu dan itulah menjadi tanda Perjanjian antara Aku dan kamu…maka dalam dagingmulah PerjanjianKu itu menjadi perjanjian yang kekal. Dan orang yang tidak di sunat…, maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya, ia telah mengingkari perjanjianKu”. (Kej 17:11-14). Untuk menggenapi dan mentaati tanda Perjanjian Allah inilah Abraham dan keturunannya yaitu seluruh bangsa Israel harus disunat.
Kepada Musa dan Israel, Allah memberikan kebebasan dan pelepasan yaitu perhentian dari kerja paksa perbudakan di Mesir. Oleh oleh karena itu Israel akhirnya menjadi umat Allah. Untuk memelihara kasih-karunia Allah atas perhentian ini tak terlupakan, sama seperti kepada Abraham mengenai janji tentang keturunan itu, maka Israelpun diberi tanda perjanjian atas pelepasan dan perhentian dari perbudakan itu dengan Sabat yaitu : berhenti bekerja pada hari ketujuh. Sebagaimana yang dikatakan “…..hari-hari SabbathKu harus kau pelihara…Haruslah kamu pelihara hari Sabat, sebab itulah hari kudus bagimu, siapa yang melanggar kekudusan hari Sabat, pastilah ia dihukum mati, sebab setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, orang itu harus dilenyapkan dari antara bangsanya….Maka haruslah orang Israel memelihara hari Sabat, dengan merayakan hari Sabat, turun-tumurun, menjadi Perjanjian Kekal, antara Aku dan orang Israel maka inilah suatu peringatan untuk selama-lamanya…..” (Kel 31:12-17).
Beberapa hal yang patut kita catat dari ayat-ayat tersebut diatas : sama dengan janji sunat kepada Abraham, Sabatpun itu dikatakan sebagai Perjanjian kekal, sama dengan janji sunat, Sabatpun diberi syarat hukum mati bagi pelanggarnya. Sabat ini adalah peringatan antara Allah dan orang Israel (bukan bagi orang Kristen atau segenap manusia), memelihara Sabat artinya merayakan Sabat, dan cara merayakan itu sudah ditetapkan sendiri oleh Allah dalam Kitab Taurat itu sendiri, jadi bukan dengan cara tradisi lainnya suatu misal: ”TRADISI ADVENT”. Tidak mengikuti syarat merayakan ini berarti sama saja melanggar ketentuan Allah. Membuat cara merayakan sendiri yang tidak saesuai dengan yang sudah ditetapkan Allah dalam merayakan Sabat berarti tetap melanggar Sabat biarpun kalau hari Sabtunya itu dipelihara. Untuk mengerti cara-cara merayakan ini, kita akan bahas pada bagian dibawah ini. Dengan demikian jelas bahwa Sabat itu adalah tanda Perjanjian atau bahkan Perjanjian itu sendiri, sama dengan sunat dan busur pelangi. Dan Sabat itu menjadi Perjanjian dan Peringatan kekal antara Aku dan orang Israel.
Sabat & Ibadah Israel
Dalam Kitab Imamat ditandaskan: ”kamu harus memelihara hari-hari SabatKu dan menghormati tempat kudusKu, Akulah Tuhan” (Im 19:30, 26:2). Dalam ayat ini terpapar bahwa pemeliharaan Sabat dan penghormatan akan tempat kudus (kemah suci, tabernakel, Bait Allah) itu saling terkait. Itu menunjukkan pada kita bahwa perayaan Sabat itu bukanlah sesuatu yang vakum tanpa isi. Asalkan hari Sabtunya saja yang kita pelihara, lalu cara-cara melakukannnya kita buat sendiri, itu sudah cukup, jelas tidaklah demikian. Sabat itu terkait erat dengan tempat kudus atau “Locus Sanctuary” yaitu tata cara ibadah Israel di kemah kudus.
Untuk lebih jelasnya, kita akan lihat konteks Kitab Keluaran 31 dan Kel 34:18-26 serta Kel 35. Dalam Keluaran 31 itu, konteksnya adalah berbicara tentang persiapan pembangunan kemah suci, demikian juga dengan Keluaran 35, juga membicarakan tentang Pembangunan Kemah Suci yang sama tadi, namun di tengah-tengah membahas masalah kemah suci inilah Sabat dibicarakan. Bahkan dalam Keluaran 34:18-26 itu, Sabat itu dibahas dalam konteks membicara korban ibadah dan hari-hari raya Israel. Dengan demikian jelas bahwa bukan hanya kerangka harinya saja yang harus dipelihara, namun Allah juga telah memberikan hukum dan peraturan mengenai cara merayakan Sabat itu yaitu dalam konteks ibadah Kemah Suci ( Bait Allah) dan hari-hari raya serta korban ibadah Israel dengan peraturan serta cara-cara tertentu, jadi bukan seperti yang terdapat dalam Gereja Advent atau Gereja Protestan manapun. Sabtu dipelihara, namun jika hukum dan cara merayakan yang dilakukan pada hari Sabtu itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan Allah pada orang Israel dalam melakukan ibadah, maka hal tersebut tetap dikatakan sebagai suatu pelanggaran, dan menurut Hukum Taurat orang yang demikian itu, wajib dihukum dan dilenyapkan. JIka hendak merayakan Sabat sebagai hukum Allah yang kekal, maka haruslah konsisten dengan cara pelaksanaannnya, bukan comot sini dan buang sana seperti halnya yang dilakukan oleh sementara orang yang melakukan demikian itu. Artinya jika ingin secara utuh, konsisten dan lengkap serta Alkitabiah menjalankan Sabat, maka orang itu harus menjadi pengikut Agama Yahudi (Yudaisme) dan bukan pengikut Iman Kristen. Lalu bagaimanakah syarat hukum merayakan Sabbath yang sesuai dengan Alkitab itu? Untuk lebih jelasnya marilah kita lihat paparan dibawah ini.
Syarat Hukum Memelihara & Merayakan Sabbath
Dalam Kitab Keluaran ditandaskan: ”…maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atas hewanmu atau orang asing yang ditempat kediamanmu” ( Kel 20:10).
Dalam Kitab Ulangan juga disebutkan: ”…maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau lembumu atau keledaimu, atau hewanmu yang manapun, atau orang asing yang ditempat kediamanmu, supaya hambamu laki-laki atau hambamu perempuan berhenti seperti engkau juga” (Ul 5:14)
Dalam Kitab Imamat juga mengungkapkan: ”Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada Sabat, hari perhentian, yakni hari pertemuan kudus, janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan (you are not to do any work = kamu tak boleh melakukan pekerjaan apapun, NIV), itulah Sabat bagi Tuhan di segala tempat kediamanmu” (Im 23:3)
Dan kemudian dalam Kitab Keluaran dikatakan: ”janganlah kamu memasang api di manapun dalam tempat kediamanmu pada hari Sabat” (Kel 35:3).
Ayat-ayat tersebut diatas itu, menjelaskan kepada kita bahwa bahwa inti dan hakekat merayakan Sabat itu adalah “Berhenti” penuh dari segala pekerjaan. Karena yang dilarang dilakukan itu bukan hanya “Pekerjaan” atau “Perbuatan” yang buruk saja, namun “any work” atau “Pekerjaan apapun” tanpa peduli baik atau buruk, itu tak boleh dilakukan. Terbukti bahwa pekerjaan yang dilarang itu bukan hanya pekerjaan yang buruk saja lalu yang baik boleh dilakukan, adalah bahwa hewan manapun, termasuk lembu dan keledai juga harus berhenti bekerja, padahal binatang itu tak mengenal pekerjaan baik dan buruk. Jadi yang dilarang itu semua pekerjaan dan tanpa mengenal sifat pekerjaan, yang jelas itu pekerjaan harus berhenti penuh dan tak boleh dilakukan, bahkan yang paling kecilpun asal itu pekerjaan, maka hal tersebut dilarang untuk dilakukan pada hari Sabat ini, suatu misal “Memasang api”.
Pada dasarnya, kita tak dapat melakukan sesuatu apapun pada hari Sabat. Dengan demikian maka hal tersebut makin menegaskan bagi kita bahwa bukan hari Sabtunya sebagai hari yang menjadi fokus, karena orang asingpun diperintahkan untuk tidak bekerja jika mereka tinggal ditengah-tengah orang Israel, demikian juga budak-budak, padahal Alkitab juga melarang Israel untuk memperbudak sesama Israel namun hanya orang-orang kafir diantara bangsa-bangsa non-Israel saja (Im 25:39-45), yang berarti orang-orang kafir yang tak berada dibawah kuasa hukum Allah yaitu yang tak terikat pada ketentuan-ketentua hukum Sabat ini, berhenti dari pekerjaan bukan karena merayakan Sabat, namun hanya berhenti demi berhenti dari pekerjaan. Sebab jika mereka merayakan Sabat berarti mereka berhenti jadi kafir, dengan demikian tak boleh jadi budak lagi, namun sama dengan orang Israel. Artinya sebagai budak mereka itu bukanlah Israel, sehingga mereka tak melakukan ibadah Sabat yang ditetapkan Allah. Jadi mereka berhenti dari melakukan pekerjaan itu, bukanlah karena merayakan untuk beribadah, namun demi berhenti itu sendiri. Dengan demikian makin jelaslah bagi kita bahwa hakikat Sabat itu berkaitan erat dengan tak boleh melakukan pekerjaan apapun sebagai tanda langsung atas “berhentinya” orang Israel dari “Pekerjaan” sebagai budak di Mesir.
Karena inti dan hakekat Sabat itu terkait erat dengan tanda “berhenti” nya Israel dari pekerjaan sebagai budak, maka pelanggaran atas ketentuan yang telah ditetapkan itu, sama saja menyerang inti makna Sabat, karena itu akan mengingatkan kembali pada “pekerjaan” sebagai budak, dengan demikian melecehkan bahkan menghujat karya pembebasan dan “perhentian” yang dilakukan oleh Allah terhadap Israel. Itu sebabnya dalam kacamata orang yahudi, Yesus benar-benar betul-betul menghujat makna hari Sabat, karena penekanan Yesus justru pada melakukan atau berbuat sesuatu, hal itu nyata sekali ditandaskan oleh Js.Matius dalam injilnya bahwa: ”Lihatlah, murid-muridMu BERBUAT SESUATU yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat” (Mat 12:2), “karena itu boleh BERBUAT BAIK pada hari Sabbath” (Mat 12:2), “Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabbath, BERBUAT BAIK ATAU BERBUAT JAHAT…” (Mark 3:4). Tindakan Yesus ini tak dapat didamaikan dengan ketentuan hukum Sabat yang ada dalam Taurat diatas, karena jelas tak diberi syarat “hanya perbuatan/pekerjaan baik saja yang dilakukan” atau “hanya perbuatan/pekerjaan jahat saja yang dilarang”. Bahkan para murid Yesuspun “berbuat sesuatu” itu, merupakan kontradiksi secara langsung dengan hukum “jangan melakukan SESUATU PEKERJAAN” (Kel 20:10, Ul 5:14). Justru yang dilarang untuk melakukan “sesuatu”, namun malah “sesuatu” itu juga yang dilanggar murid-murid Yesus. Taurat tak memberi syarat “SESUATU” tadi : baik atau jahat, namun Yesus mengubah dan memporak-porandakan ketentuan itu dengan memberi syarat yang tak ada dalam Taurat yaitu : “Boleh berbuat baik”. Dalam kacamata Perjanjian Lama dan orang-orang yahudi yang tahu hukum Perjanjian Lama, jelas Yesus itu melanggar, dan menurut hukum Dia memang patut dihukum mati. Untuk itulah sebagai orang Kristen jelas tak mungkin Sabat diambil alih langsung begitu saja, kemudian diterapkan pada kehidupan Gereja. Sikap ajaran dan kehidupan serta pribadi Yesus Kristus itu harus diperhitungkan jika kita hendak mengerti bagaimana seharusnya sikap Kristen terhadap Sabat. Betulkah manusia Kristen itu terikat pada Perjanjian kekal Sabat yang merupakan Perjanjian Allah dengan Israel? Betulkah pengalaman sejarah Kristen itu didasari pada peristiwa pelepasan dari perbudakan dari Mesir, dimana Sabat itu sendiri menjadi tanda perjanjian secara langsung? kalau bukan, peristiwa apa yang mendasari Perjanjian Allah dengan komunitas Kristen? Inilah yang akan kita bahas lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya.
Masih berbicara tentang sikap Yesus, Thesis Taurat bahwa Sabat itu dilakukan karena Allah berhenti bekerja pada hari ketujuh (Kej 2:2-3, Kel 20:11) itu ditolak oleh Yesus dan dijungkir-balikan, melalui pernyataanNya yang mengatakan: ”BapaKu bekerja sampai sekarang” (Yoh 5:17), sebagai koreksi atas pernyataan “Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan” (Kej 2:2-3). Pernyataan Kejadian 2:2-3 itu hanya boleh dimengerti berdasarkan ajaran Yesus, bahwa bukanlah Allah yang berhenti bekerja, namun alam semesta ini telah selesai diciptakan, Allah sendiri tak henti-hentinya bekerja saampai sekarang: memelihara, menghidupi, menopang, membimbing, mencipta manusia baru yaitu bayi-bayi dan lain-lain. Jadi memang tak pernah ada saatnya Allah itu berhenti bekerja, dulupun tidak, sekarangpun tidak, pada hari ketujuhpun tidak. Dengan demikian jelas bahwa Sabat itu diperintahkan bukan karena memang betul ada perhentian pada Allah seolah-olah Dia itu manusia yang perlu istirahat. Maha Suci Allah dari sifat-sifat kelemahan seperti itu. Atas dasar inilah, jika para pengikut paham Sabbathisme atau hari Ketujuhisme ini hendak merujuk pada “perhentian” kerja Allah, maka harap diingat bahwa Allah tak pernah berhenti bekerja, yang berhenti itu adalah selesainya pekerjaan penciptaan.
Memang Sabath itu sebagai hari peringatan karya Allah atas terciptanya bangsa Israel melalui pembebasan dari Mesir, dan itu haruslah merupakan “hari kenikmatan”, “hari yang mulia” , bagi Israel dimana mereka dilarang untuk “melakukan urusan” dengan “tidak menginjak-injak hukum Sabat” serta menghormatinya” dengan tidak menjalankan segala acara”, “dengan tidak mengurusi urusan” atau “berkata omong kosong (Yes 58:13-14), namun bagi Gereja, permasahannya jadi lain. Karena terciptanya atau lahirnya Gereja itu, bukanlah dari peristiwa pembebasan dari tanah Mesir, dan bukan dari “pekerjaan” secara jasmani yang dipaksakan oleh siapapun. Gereja lahir dan tercipta karena kematian dan kebangkitan Kristus dari antara orang mati. Dengan demikian umat Kristen (yang bukan umat Israel secara fisik) harus mengingat peristiwa yang mendasar ini, bukan mencangkokkan sesuatu yang bukan merupakan pengalaman sejarah eksistensinya. Memang sungguh tak masuk akal jika kemerdekaan bangsa Indonesia harus dirayakan sesuai dengan tanggal perayaan kemerdekaan bangsa Jepang. Demikian halnya sama juga tidak masuk akal dan sesatnya kita, memaksakan tanda perjanjian pembebasan Israel dari Mesir kepada Gereja yang bukan dibebaskan dari perbudakan Mesir, bukan oleh peristiwa dibebaskannya dari Mesir, namun dibebaskannnya dari dosa dan maut oleh peristiwa penyaliban, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati pada hari ketiga.
Sabat & Sosial – Keagamaan Israel
Setelah pembebasannya dari Mesir dan terciptanya status dan eksistensi kebangsaannya, Israel masuk ketanah Kanaan dan disana mereka hidup sebagai “Bangsa yang bersifat agraris dengan hukum-hukum keagamaan sebagai pranata hidup sosial kemasyarakatan mereka”. Sabat adalah salah satu daripadanya, serta itu merupakan daur lingkaran gaya hidup Israel sebagai individu yang bermasyarakat dan juga sebagai komunitas bangsa yang terikat pada budaya yang berpusat pada agama.
Ikatan erat antara Sabat dengan sistem hidup Israel secara keseluruhan ini sangat jelas sekali, sehingga memisahkan konteks –sosial keagamaan Israel yang merupakan pranata Illahi dari Sabat, lalu menerapkannya pada Gereja Kristen modern yang tak membentuk suatu ikatan budaya kebangsaan dengan hidup sosial yang bersifat agamis adalah merupakan pemerkosaan atas fakta Alkitab. Dan yang lebih penting adalah bahwa hal tersebut telah memperkosa kebenaran wahyu itu sendiri.
Sabat itu terikat erat dengan sistem hidup sosial-keagamaan Israel dan itu dapat kita lihat dalam Kitab Keluaran 23:1-19. Dalam Perikop ini beberapa hukum sosial keagamaan Israel itu dijelaskan. Disana dijelaskan mengenai larangan menyebarkan kabar bohong, kerelaan menolong binatang milik musuh yang tersesat atau keberatan beban, keadilan, suap dan akhirnya Sabat dan hari-hari raya dan perayaan Israel. Dalam ayat 10-11 dalam Kitab Keluaran 23 itu dibicarakan tentang “Tahun Sabat” yaitu bekerja dan mengusahakan tanah selama enam tahun dan menghentikannya selama tahun ketujuh, ayat 12 berbicara tentang “HARI SABAT” yaitu bekerja selama enam hari dan berhenti pada hati yang ketujuh, sedangkan dari ayat 14-19 dijelaskan mengenai keharusan merayakan tiga hari raya Israel, roti tanpa ragi, hari raya buah bungaran, hari raya pengumpulan hasil, dan peraturan mempersembahkan korban binatang.
Perikop diatas merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dilepaskan, sehingga ketentuan tentang “Hari Sabat jelas merupakan satuan dengan ketentuan Tahun Sabat, tiga hari raya dan korban-korban yang menyertainya. Merayakan Sabat berarti bukan hanya “Hari Sabat”, namun juga “Tahun Sabat”, dan beserta itu merayakan perayaan-perayaan tiga lainnya yang disertai dengan pranata korban yang menyertainya. Dengan demikian mengambil hari Sabatnya saja dan melupakan konteks kesatuan perikop sebagai yang sama-sama diberikan oleh Allah, adalah merupakan pemerkosaan kebenaran. Penjelasan lebih rinci bagaimana seharusnya Sabat itu harus dirayakan dan dalam konteks apa Sabat itu dirayakan, itu dapat kita lihat dalam Kitab Imamat 23.
Dalam Kitab Imamat 23:2 disebutkan bahwa: ”…hari-hari Raya yang ditetapkan Tuhan yang harus kamu maklumkan….adalah yang berikut. Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada Sabbath…”. Selanjutnya dalam perikop pasal ini memberikan rincia dari hari-hari raya dengan tatacara pelaksanaannya, termasuk di dalamnya adalah apa yang sudah disebut dalam Kitab Imamat 23 diatas: paskah, hari raya roti tidak beragi, dimana syarat pelaksanaannya sama dengan Sabat yaitu: “janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat” (Im 23:8), dimana ini menunjukkan perluasan makna Sabat dalam kehidupan sosial-keagamaan Israel. Demikian juga hari raya pengumpulan hasil, dan hari raya buah bungaran itu, dihitung dalam kaitannya dengan Sabat (Imamat 23:11,15) dan juga dalam kaitannya untuk tidak melakukan pekerjaan berat (Im 23:25). Semua ini menunjukan bahwa Sabat itu menjadi dasar dari semua hari raya Israel dan sistem kehidupan bangsa itu. Serta Sabat itu tak dibatasi pada hari ketujuh secara terisolasi namun juga terkait dengan perayaan – perayaan Israel lainnya yang disertai syarat korban tyang harus dipenuhi, dimana setiap perayaan hari raya itu memiliki cirri Sabat: tahun Sabat, 7 Sabat (Minggu Sabat), serta Sabat tak memperbolehkan orang untuk bekerja.
Demikianlah Alkitab telah memberikan peraturannya sendiri bagaimana Sabat itu harus dilaksanakan dan dalam konteks yang bagaimana itu harus dilaksanakan. Jika dalam hukum sepuluh hanya disebut mengenai “Hari Sabat” saja, itu disebabkan hukum sepuluh hanya menunjuk garis pokok ketentuan hukum saja. Sedangkan rinciannnya disebut ditempat lain seperti yang telah kita bahas diatas, suatu misal: menghormati bapa – ibu itu diperluas dengan menghormati semua otoritas yang ada diatas kita: pemimpin, guru, tua-tua, pemerintah dan sebagainya. Jadi sungguh tak masuk akal jika kita hanya mengambil hukum menghormati bapa-ibu lalu menolak ketetapan mentaati pemerintah sebagai perluasan makna hukum dasar tadi. Demikian pula dengan Sabat ini. Mengambil Hari Sabat saja, lalu mengabaikan segenap rincian ketentuannya dengan segala konteks dan kaitannya seperti yang dijelaskan oleh Kitab Suci sendiri, adalah merupakan tindak sewenang-wenang terhadap nats Kitab Suci. Jika Sabat harus diikuti maka semua ketentuannya harus tidak boleh diabaikan. Melakukan ini berarti kita harus menjalankan seluruh hukum Perjanjian Lama tanpa pilih-pilih, yang berarti kita harus menjadi Yahudi. Itulah konsekwensinya jika kita mau taat terhadap ketentuan Sabat yang utuh, konsekwensi dan sempurna.
Lingkup Makna Sabat
Jika kita telah menyebutkan bahwa Kitab Suci bukan hanya mengajarkan mengenai “Hari Sabat” tetapi juga “Minggu Sabat” (hari raya tujuh minggu : Minggu 7 ke 14,21,28,35,42, 49), dan juga “Tahun Sabat” (Tahun 7, ke 14,21,28,35,42,49), dan semuanya ini ditetapkan oleh Allah sendiri sebagai “suatu ketetapan untuk selama-lamannya” ( Im 23:14), yang bermakna tak seorangpun boleh menghapuskan ketetapan-ketetapan yang menyangkut Sabbath dengan segala kaitan perluasan maknanya tadi.
Jadi telah kita sebutkan bahwa perayaan Hari Sabat itu ditentukan bagi “Israel” dalam kaitannya langsung dengan sejarah suci Israel yang dilepaskan dari perbudakan di Mesir menuju pada “Perhentian”, kemerdekaan, sehingga Sabat itu merupakan “Perjanjian kekal” buat Israel.
Oleh karena itu hakekat perayaan Sabat itu adalah “Berhenti Kerja” bagi individu-individu umat Israel. Pelanggaran terhadap ketentuan “berhenti kerja” ini dikritik dengan tegas oleh para nabi, bahkan diancam hukuman Tuhan (Yeremia 17:19-27, Yesaya 58:13-14). Hari Sabat adalah ketentuan dasar yang menyangkut perorangan yang harus “berhenti kerja”, artinya perhentian sebagai tanda pelepasan dari perbudakan ini bersangkutan dengan pelaku-pelakunya yaitu manusianya yang harus berhenti kerja. Namun ternyata kaitan Sabat itu begitu luasnya, sehingga bukan hanya manusianya saja yang dikeani ketetapan untuk berhenti kerja. Namun juga tempat kerja yaitu tanahpun punya harus punya hari perhentiannya atau lebih tepat “tahun perhentiannya” yaitu tahun Sabat (Im 25), karena bangsa Israel adalah bangsa petani dan peternak.
Menurut ketetapan Tuhan ini, bangsa Israel boleh mengerjakan tanah itu selama enam tahun, dan pada tahun ketujuh “tanah itu harus mendapat perhentian sebagai Sabat bagi Tuhan” (Im 25:2), segala sesuatu yang tumbuh di tanah selama tahun Sabat itu tak boleh diambil oleh Israel, dan yang boleh mengambil itu adalah orang asing atau orang miskin. Melalui sistem tahun Sabat ini, orang Israel diajar untuk memikirkan kebutuhan orang lain, disamping untuk menghormati lingkungan dengan tidak hanya mengeksploitasi lingkungan demi keuntungannya saja, namun juga lingkungan yaitu tanah diberi kesempatan untuk memulihkan kesuburannya kembali. Melalui tahun Sabat ini, Israel diajar menghargai kebutuhan orang lain dan juga diajar tanggung jawabnya pada pemeliharaan lingkungan dan bukan penghancuran karena manusia itu diciptakan untuk menjaga kelestarian alam yang dengan demikian akan menunjang lingkup hidupnya sendiri demi kebahagiaan manusia Israel itu. Karena demikian dalamnya jangkuan makna Sabat, dan karena alam itu diciptakan bagi manusia dan Allah menganggapnya sangat baik (Kej 1:31), maka pelanggaran atas ketentuan “Tahun Sabat” ini diancam dengan hukuman oleh Allah, sama seperti pelanggaran atas hari Sabat itu sendiri, yaitu hukuman pembuangan dan perang, sehingga kesucian tanah itu terjaga yaitu Sabatnya atau perhentiannya dapat terpelihara (Im 26:14-17, 34-35). Jika ada “Hari Sabat”, “Minggu Sabat” dan “Tahun Sabat”, maka ada juga “Abad Sabat” yang terjadi setiap setengah abad atau “7 x tahun Sabat” dan ini disebut sebagai “Tahun Yobel”. Pada saat ini ada pembebasan besar-besaran atas tanah yang digadaikan dan juga atas budak yang diperhamba. Saat ini orang harus mengembalikan secara cuma-cuma semua yang tergadai dan membebaskan secara tanpa syarat semua budak Israel yang dimiliki (Im 25:3-55). Yang jelas tahun Yobel atau “Ahad Sabat” yang terjadi setiap tahun kelima puluh ini merupakan penetrapan makna pembebasan dari Mesir secara budaya dan secara komunitas dari umat Israel, untuk mengajar mnereka bahwa segala sesuatu itu adalah pemberian dan milik Tuhan, bahwa bangsa Israel bukan pemilik mutlak atas tanah itu. Dengan demikian atas harta milik di dunia, mereka itu hanyalah menumpang pada Allah (Im 23:23-24), sehingga mengajar mereka untuk bersyukur pada Allah. Demikian juga pembebasan atas budak tanpa syarat ini untuk mengajar orang, bahwa pada akhirnya tuan manusia yang sebenarnya adalah Allah itu sendiri.
Sesama manusia itu adalah hanya sesama hamba Allah, oleh karena itu tak seorangpun berhak menjajah dan memperbudak manusia yang lain. Hal ini dikarenakan Israelpun telah dilepaskan dari perbudakan manusia di Mesir: “karena padaKulah orang Israel menjadi hamba, mereka adalah hamba-hambaKu yang Kubawa keluar dari tanah Mesir, Akulah Tuhan, AllahMu” (Im 25:55). Dengan demikian makin jelaslah bagi kita bahwa yang dipentingkan oleh Alkitab mengenai hari Sabat itu bagi Israel itu, bukanlah hanya sekedar masalah hari Sabtunya saja, namun lebih dari itu sebagai penterapan secara langsung makna pembebasan mereka dari Mesir dalam kehidupan individu, masyarakat, sosial, ekonomi, agama dan bangsa mereka yaitu menaruh hormat akan kebebasan dan kemerdekaan. Kebebasan dari perbudakan kerja dan waktu (Hari Sabat), kebebasan dari keterikatan benda jasmani dan harta dengan mempersembahkan buah-buah hasil pertanian (Minggu Sabat), kebebasan dari keserakahan dan eksploitasi atas alam dan lingkungan secara tak bertanggung jawab (Tahun Sabat) serta kebebasan dari keserakahan dan kekejaman manusia yang hanya ingin mengeksploitasi kaum lemah (perbudakan) dan mengakumulasi kekayaan tanpa memperdulikan pihak lain yang berada dalam posisi terjepit secara ekonomi (penggadaian) atas hak milik rumah dan tanah yang dinyatakan dalam perayaan tahun Yobel (Abad Sabat).
Dengan melihat akan keutuhan berita Alkitab mengenai makna Sabat ini, jelas suatu pemikiran yang amat kerdil dan sempit bila penekanan hari Sabat itu hanya pada penggunaan hari Sabtu sebagai hari berbakti orang Kristen demikian saja. Karena Alkitab mengatakan bahwa Sabat-Sabat yang bersifat “Minggu”, “Tahun” dan “Abad” itu, jelas tidak sama sekali menekankan pada Sabtunya. Lagi pula merayakan hari Sabat, tetapi mengabaikan “Minggu Sabat”, Tahun Sabat”, dan “Abad Sabat”, adalah merupakan pelanggaran ajaran Kitab suci karena segenap Sabat-Sabat tadi adalah merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Juga melihat hari Sabat hanya dengan penekanan hari Sabtunya saja, bagi umat Kristen adalah pendangkalan yang amat sangat atas pesan moral Sabat yang amat merangkum seperti halnya telah kita bahas diatas.
Makin tak dapat diragukan lagi bagi kita, bahwa Sabat itu adalah sistem ritual–moral-agamawi-sosial bagi bangsa Israel yang eksistensinya didasarkan pada pelepasan mereka dari perbudakan di tanah Mesir, sehingga semua jenis Sabat yang mempunyai implikasi yang merangkum itu, selalu mengingatkan dan menunjuk pada peristiwa penting dalam sejarah Israel itu. Maka Gereja Kristen sebagai yang bukan bagian dari “Bangsa Israel” yang dibebaskan dari Mesir, tentunya mempunyai dasar eksistensi yang berbeda, dalam dalam mengerti makna kebebasan yang merangkum, yang dalam Isreal dinyatakan dalam perayaan-perayaan “Hari”, “Minggu”, “Tahun” dan “Abad Sabat”. Inilah Sabat yang utuh, bukan hanya hari Sabtu yang lepas dari konteks makna dan syarat pelaksanaannya yang hendak dipaksakan oleh beberapa Gereja yang bersifat Sabbathisme semacam Gereja Advent itu.
Bagi Umat Yahudi menghayati makna pelepasan mereka dari Mesir yang dinyatakan dalam hukum praktis mengenai Sabat-sabat ini, adalah sesuatu yang dapat memperdalam iman mereka kepada Allah, serta makin memperdalam rasa syukur mereka pada nikmat dan karunia Allah yang membebaskan mereka dari perbudakan di tanah Mesir itu. Sehingga melalui pelaksanaan akan ketentuan dan syarat-syarat pengamalan secara individu atau secara komunitas akan makin disadarkan perlunya menyisihkan waktu bagi Tuhan bukan hanya sibuk mementingkan diri mencari kebutuhan jasmaninya saja (hari Sabat). Dengan demikian setiap hari Sabat mereka diperingatkan akan karya dahsyat Allah yang telah membebaskan mereka dari perbudakan di tanah Mesir. Demikian juga agar mereka tidak menjadi terlalu materialistik dan menganggap segala sesuatu itu akibat dari usaha dan kepandaiannya sendiri, mereka diingatkan akan ketidak boleh terikatan mereka pada harta benda namun mengembalikan semuanya pada Allah dalam merayakan “Minggu Sabat” dimana hasil kerja mereka dalam wujud panenan itu diserahkan pada Tuhan. Dan bahwa hubungan manusia dengan Allah yang diingatkan dalam peristiwa Hari dan Minggui Sabat itu, bukanlah hanya bersifat individualistik saja, namun juga mempunyai implikasi terhadap alam dan lingkungan jasmani yang tercipta ini, jelas diajarkan oleh Allah pada bangsa Yahudi ini melalui Perayaan Tahun Sabat, dan akhirnya kesadaran akan implikasi semestawi dari perayaan Sabat dalam Tahun Sabat itu harus juga berkaitan secara praktis dan langsung dengan sesamanya, yaitu pembebasan budak dan harta milik yang tergadai yang secara cuma-cuma harus dibebaskan pada “Abad Sabat” (Tahun Yobel) adalah mengajar bangsa Israel mengenai cinta kasih kepada sesama seperti kepada diri sendiri dalam wujud praktis yang langsung diterapkan.
Ini semua mengandung moral yang dalam bagi bangsa Israel, yang tema eksistensi kebneradaan dan agamnya adalah pembebasan dari perbudakan dari Mesir, sehingga dengan melaksanakan semua ketentuan dan syarat hukum pengamalan Sabat-Sabat itu, mereka akan diajar menuju pada kesucian hidup yang serba merangkum. Itulah sebabnya Sabat itu disebut sarana pengudusan bagi Israel, sebagaimana yang dikatakan: ”Akan tetapi hari-hari SabatKu harus kamu pelihara, sebab itulah peringatan antara Aku (Allah) dan kamu (Israel), turun-tumurun, sehingga kamu mengetahui bahwa Akulah Tuhan, yang menguduskan kamu” (Kel 3:23). Melalui pemeliharaan Sabat inilah Israel tahu bahwa Allah menguduskan mereka, yaitu melalui ajaran-ajaran iman dan moral yang disampaikan oleh perayaan-perayaan Sabat tadi yang disertai dengan segala ketentuan hukum dan syarat-syarat pelaksanaannya. Allahlah yang menguduskan Israel melalui pemeliharaan Sabat itu, dan perayaan Sabatlah yang menjadi sarana pengudusan, karena itu adalah tanda Perjanjian Allah yang kekal dengan Israel, sebagai yang telah dilepaskan dari perbudakan di tanah Mesir.
Sabat & Bangsa-Bangsa Bukan Yahudi
Kelompok aliran Sabbathisme mempercayai dan mengajarkan bahwa Sabat itu berlaku juga bagi orang orang yang bukan Yahudi, yaitu orang-orang Kristen, dimana data Alkitab diatas justru membuktikan yang sebaliknya. Alasan mereka ini bukannya tanpa dasar. Memang ada dasarnya tetapi ditafsirkan tanpa melihat konteks pewahyuan Perjanjian Lama maupun sejarah Bangsa Israel, apalagi tanpa memperhatikan makna terdalam dari wahyu Perjanjian Baru yaitu makna Inkanasi Sang Sabda, kematian dan kebangkitan Yesus yang adalah pondasi dari dari eksistensi keberadaan dan system keagamaan Gereja Kristen.
Dasar yang diambil adalah nubuat nabi Yesaya seperti yang tertulis dalam Kitab Yesaya 56:1-8. Dalam perikop ini, Yesaya menubuatkan keselamatan Israel yang akan merangkum juga orang-orang yang secara tradisional terbuang dari persekutuan Ibadah Israel, misalnya: orang-orang asing dan orang-orang kebiri. Namun dalam pasal ini nubuat Yesaya diatas justru mereka itu dihibur untuk tidak merasa kuatir dibedakan dan dipisahkan dari umatNya yaitu Israel (Yes 56:3). Mereka dijamin asal mereka hidup seperti “umatNya” (Israel) yaitu dengan memelihara hari-hari SabatKu, memilih apa yang Kukehendaki dan yang berpegang kepada perjanjianKu (Yes 56:4), maka mereka inipun akan diberi “tanda peringatan dan nama” di “dalam rumahKu dan di lingkungan tembok-tembok kediamanKu (ayat 5) yaitu di Bait Allah di Yerusalem, dengan itu mereka ini juga akan “Kubawa ke gunungKu yang kudus dan akan Kuberi kesukaan di rumah doaKu” (ayat 7) yang juga adalah bait Allah di gunung kudus Sion di Yerusalem. Dengan demikian Allah akan berkenan kepada “korban- korban bakaran dan korban-korban sembelihan mereka yang dipersembahkan di atas mezbahKu” (ayat 7). Dari sini jelas dapat kita lihat, bahwa disana tidak menunjukkan bahwa nubuat tersebut terkait erat dengan nubuat yang menunjuk pada Gereja Kristen yang akan memelihara Sabat. Namun ini justru menunjuk akan universalitas agama Yahudi itu sendiri, dimana Sabat, korban bakaran, korban sembelihan serta bait Allah itu adalah simbol jasmani yang nampak dari sistem keagamaan mereka. Jika pada Taurat Musa bahwa untuk menjadi Yahudi hanya dibatasi oleh orang-orang Israel secara jasmani saja dan orang-orang yang memiliki alat vitas yang lengkap, sekarang mereka tak dibatasi lagi. Mereka boleh juga menjadi umat Tuhan dengan umat Israel lainnya, asal mereka hidup seperti unmat Israel itu. Inilah yang dalam sejarah akhirnya disebut sebagai “Kaum Proselit” (penganut agama Yahudi, namun bukan Yahudi asli , Kisah 2:11). Dengan demikian jelas, bahwa perikop ini sama sekali tak menubuatkan tentang Sabat yang akan dipelihara orang-orang Kristen yang bukan Yahudi, namun membicarakan “kaum Proselit” yaitu orang-orang bukan yahudi yang memeluk agama Yahudi dengan ketentuan melaksanakan hukum keagamaan Yahudi, termasuk Sabat. Dari sini pembahasan kita sebelumnya makin diteguhkan bahwa Sabat itu terkait erat dengan Bait Allah, korban bakaran, korban sembelihan dan perjanjian dengan Israel. Artinya Sabat itu berkaitan dengan system ibadah dan kehidupan Israel sebagai bangsa dan bukan untuk hal yang lain.
Jika orang Kristen hendak memelihara Sabat atas dasar nubuatan yang tertera dalam Kitab Yesaya ini, karena mereka merasa dirinya sebagai orang asing dan bukan yahudi, maka harus diingat bahwa nubuat ini bukan hanya membicarakan Sabat saja, namun juga membicarakan tentang korban bakaran, korban sembelihan, mezbah dan Bait Allah, dimana semuanya itu harus dijalankan seiring dengan pemeliharaan dari Sabat tadi. Mengambil hari Sabatnya saja, kemudian mengabaikan hal-hal lain yang disebutkan dalam perikop nuibuat yang sama, berarti melanggar kebenaran pernyataan nats Kitab Suci, yaitu melanggar Firman Tuhan sendiri.
Dalam Kitab Yesaya 66:18-23 ditegaskan adanya nubuatan yang berbicara tentang bertobatnya bangsa-bangsa bukan Yahudi yang akan melihat kemuliaan Allah diantara orang-orang Israel dan dikembalikannya semua kaum Israel yang dalam pembuanmgan ke Yerusalem (ayat 20), sehingga mereka akan mempersembahkan korban dalam Bait Allah serta dipulihkannya imam-imam dan orang-orang Lewi dari antara mereka yang baru saja kembali itu. Dan bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi itu akan terus menerus datang sujud untuk menyembah Tuhan, yang dinyatakan dalam ayat 23: ”Bulan berganti bulan, dan Sabat berganti Sabat, maka seluruh manusia akan datang untuk sujud menyembah di hadapanku firman Tuhan”. Ayat ini digunakan oleh kaum Sabbathisme untuk menunjang dan membuktikan bahwa Sabat itu akan selalu dipelihara oleh bangsa-bangsa lain. Namun melihat konteks perikop ini, jelas kesimpulan yang demikian itu, tidak dapat dibenarkan. Mengapa? karena ayat 23 ini tak membicarakan tentang perintah bahwa bangsa-bangsa Non-Yahudi harus memelihara Sabat. Namun yang dibicarakan disana adalah bahwa selama ada waktu dibumi ini, maka menurut cara hitungan Yahudi disebut: ”bulan beganti bulan, dan Sabat berganti Sabat” dan bangsa-bangsa yang bertobat kepada Allah itu akan datang dan sujud menyembah Dia.
Selanjutnya harus diingat juga, bahwa bahasa yang digunakan Yesaya itu, sangat ketat dengan menggunakan simbol dan sistem keagamaan Yahudi: Bait Allah, korban, Yerusalem, Imam-imam dan orang-orang Lewi. Jika demikian halnya sukarlah bagi kita untuk mengerti mengapa dia juga menggunakan Sabat untuk menghitung waktu? karena satuan yang terkecil itu dalam sistem daur lingkaran hari peringatan keagamaan Yahudi adalah Sabat dan itu merupakan simbol keagamaan yang penting bagi kaum Yahudi, maka dengan menggunakan”Sabat berganti Sabat” ini, Yesaya hendak menjelaskan mengenai bergulirnya waktu yang terus menerus dan kelestarian penyembahan yang dilakukan oleh kaum Proselit ini. Dengan demikian jelas bahwa ekspresi diatas tidak menunjuk atau menubuatkan apapun tentang perintah memelihara Sabat bagi orang-orang bukan Yahudi yang bukan Proselit, apalagi gereja Kristen yang bukan bagian dari “bangsa Israel” secara fisik itu. Memang dari kacamata Kristen, semua nubuat Yesaya ini sudah digenapi dalam PRIBADI Kristus dan GerejaNya. Namun dalam fakta historisnya ternyata Gereja Kristen itu, ternyata bukan hanya sekedar tiruan tambal sulam dari sistem kehidupan keagamaan Israel. Sebaliknya itu mempunyai system Perjanjian yang sangat berbeda, yang pada saat dinubuatkannya itu, masih bersifat lambang dengan simbol-simbol fisik keagamaan Yahudi. Untuk itu marilah kita lihat bagaimana Gereja Kristen itu dinubuatkan oleh Kitab Suci bangsa Yahudi : Perjanjian Lama, menurut kacamata Iman Kristen, terutama yang terkait dengan Sabat.
Nubuat Tentang Datangnya Perjanjian Baru
Dalam Kitab Yeremia 31 :31-34, disana dinyatakan tentang rencana Allah bagi “kaum Israel dan kaum Yahudi” untuk mengadakan “Perjanjian Baru” dimana sifat dan keberadaan Perjanjian itu, “bukan seperti Perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir”. Artinya Perjanjian Baru itu akan berbeda sama sekali baik dalam wujud maupun hakekatnya dengan Perjanjian Lama, yaitu Perjanjian keluar dari tanah Mesir. Sabat adalah meterai dan tanda kekal bagi Perjanjian Lama yaitu perjanjian “dengan nenek moyang….pada waktu Aku…membawa mereka keluar dari tanah Mesir” seperti yang telah kita bahas diatas.
Namun Perjanjian Lama dengan nenek moyang itu, berdasarkan keluaran dari Mesir ini, pada saat Yeremia diilhami Allah yang hendak mengadakan Perjanjian itu, “telah mereka ingkari” artinya telah ditolak oleh Israel. Berarti Perjanjian yang berlandaskan pada pengalaman keluar dari Mesir dengan segala tatacara dan meterai kekalnya yaitu Sabat, itu tidak mampu untuk mengubah atau menguduskan Israel, meskipun tujuan Sabat itu adalah untuk menguduskan Israel. Artinya “Hukum ketetapan Allah yang berwujud undang-undang tertulis yaitu Taurat, itu harus diperbaharui bentuknya, yaitu dengan jalan “Aku akan menaruh TauratKu dalam batin mereka, dan menuliskannya dalam hati mereka…”. Dalam Perjanjian Baru yang bersifat batin dan hati dan bukan bersifat hukum tertulis inilah: ”Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umatKu”. Terlaksananya Perjanjian baru dimana Taurat atau hukum-hukum Allah itu akan diam dalam batin dan hati manusia, dan bukan lagi dalam lembaran lembaran hukum-legal yang tertulis itu diterangkan oleh Yehezkiel sebagai berikut: ”Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu…RohKu akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapanKu dan tetap berpegang pada peraturan peraturanKu dan melakukannya” (Yehezkiel 37:26-27). Kebenaran inilah yang dikatakan oleh Js. Paulus dalam suratnya II Kor 3:6 bahwa: “…Perjanjian baru, yang tidak terdiri dari hukum yang tertulis (yaitu: Taurat), tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan”.
Dengan demikian maka menurut nubuat kedua nabi ini, Perjanjian baru yang diadakan oleh Allah itu bukanlah Taurat tertulis, namun Roh Kudus yang berdiam dalam batin dan hati. Manusia tidak lagi ditiuntut oleh suatu hukum yang tertulis yang berada diluar dirinya tertera dalam sebuah buku, namun dari dalam dirinya timbul kemampuan bertindak oleh Roh Kudus, dimana buah tindakannya itu sesuai dengan tuntutan moral dari Hukum taurat yang tertulis. Dengan demikian dalam Perjanjian Baru yang dinubuatkan ini, jelas tak ada tempat bagi legalisme dan pemaksaan ketentuan yang bersifat hukum yang sangat legalistik dalam hakekatnya, semacam pemaksaan pelaksanaan hari Sabat. Lagi pula Perjanjian Baru yang akan diadakan Allah itu bukan seperti Perjanjian keluaran dari Mesir, dimana Sabat itu sebagai meterai dan tanda kekalnya. Perjanjian Baru itu bersifat batin dan hati oleh karya Roh Kudus. Roh kudus itu akan diberikan oleh Allah ke batin manusia. Padahal kita tahu bahwa datangnya Roh Kudus didalam batin manusia itu adalah sebagai akibat karya penjelmaan, kematian, kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus (Kis 2:32-33). Karena Perjanjian Baru itu bersifat Roh dan bukan bersifat hukum tertulis, dan juga datangnya Roh itu karena karya penjelmaan, kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus, dan bukan akibat keluarnya dari tanah Mesir yang melaluinya taurat itu datang dan dinyatakan Allah, maka jelas tanda dan meterai Perjanjian Baru yang pasti bukan Sabat, karena Perjanjian Baru yang dijanjikan itu “bukan seperti Perjanjian….keluar dari tanah Mesir”, seperti yang dikatakan oleh Nabi Yeremia diatas tadi. Dengan demikian sungguh suatu kekeliruan yang besar dan ketak–pahaman yang mendalam akan makna Kitab Suci jika orang menyatakan diri sebagai anggota Gereja Kristus berdasarkan Perjanjian Baru, kemudian menekankan meterai dan tanda Perjanjian Lama yaitu meterai keberadaan dan kebangsaan dan keagamaan Israel sebagai sesuatu yang mengikat dan diharuskan bagi orang Kristen.
Dasar Sejarah Perjanjian Baru
Telah kita bahas bahwa keluaran dari Mesir itulah dasar sejarah dan peristiwa yang didalamnya Perjanjian Lama itu dibuat oleh Allah dengan Israel, dengan Sabat sebagai tanda dan meterai Perjanjian tadi. Perjanjian Baru memiliki peristiwa Yesus (Penjelmaan, Penyaliban, Kematian, kebangkitan dan Kenaikan Yesus Kristus) sebagai dasar pemberitaan dan pengajarannya.
Js. Yohanes dalam Injilnya mengatakan: ”Firman itu telah menjadi manusia” (Yoh 1:14), artinya bukan lagi menjadi loh batu yang tertulis atau huruf-huruf Ibrani dari Kitab Taurat. Sekarang firman Allah itu bukan lagi berwujud hukum dan ketentuan-ketentuan legalistik Taurat, namun menjadi manusia dengan sebutan Yesus Kristus. Inilah yang diberitakan para rasul, seperti juga yang dijelaskan oleh Js. Yohanes dalam suratnya yang pertama: ”Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan, dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup- itulah yang kami tuliskan kepada kamu “ (1 Yoh 1:1). Karena telah di dengar, dilihat dengan mata, di saksikan, dan diraba dengan tangan, sebagai sesuatu makhluk jasmani yang hidup sebagai manusia itulah Kristus disebut “Firman Hidup”, berbeda dengan Kitab Taurat yang adalah benda mati yang tertulis. Itulah hukum tertulis yang mematikan kata Js. Paulus. Hanya Firman yang hidup itulah yang menghidupkan. Dengan kata lain peristiwa Yesus (Firman) sebagai manusia yang hidup itulah yang menjadi inti dan dasar berita para rasul yang diberitakan dengan lisan maupun dalam tulisan. Dan dari seluruh peristiwa Firman menjadi manusia “yang hidup” ini maka yang sangat sentral dan penting adalah peristiwa penyaliban, kematian, kebangkitanNya, sebagaimana yang dikatakan oleh Js. Paulus: ”Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu….ialah bahwa Kristus telah mati kerena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari ketiga…bahwa Ia telah menampakkan diri…” (1 Kor 15:3-5). Inilah Pondasi dari Iman Kristen, bukan Taurat, bukan Sinai dan jelas bukan Sabat, sebab: ”Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-silah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu” (Kor 15:17). Iman kita punya makna hanya karena Kristus telah bangkit, dan kita dilepaskan dari dosa juga dikarenakan peristiwa yang sama. Dengan demikian jelas, bahwa oleh kematian dan kebangkitan Kristus itulah, kita dilepaskan dan dikeluarkan dari dosa dan maut, dan ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh surat Ibrani: ”..oleh kematianNya Ia telah memusnahkan dia, yaitu Iblis,…dengan jalan demikian Ia telah membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada dalam perhambaan,…” (Ibr 2:14-15). Ayat ini menjelaskan bahwa manusia memang tidak bebas dan berada dalam perhambaan dan perbudakan, namun bukan perbudakan Mesir seperti Israel, tetapi perhambaan Iblis dan maut. Dan kematian Krisuslah yang membebaskan manusia ini dari perhambaan tadi. Jelas kalau begitu perhambaan dan perbudakan oleh manusia sebelum percaya Kristus tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan fisik seperti perbudakan dan perhambaan Israel di tanah Mesir, namun perbudakan pada maut, Iblis, kelapukan dan dosa. Serta pelepasan mereka bukanlah pelepasan untuk menjadi komunitas bangsa secara fisik dalam lokasi wilayah negara tertentu dengan ketentuan hukum sosial politik dan keagamaan tertentu, namun pelepasan untuk mendapatkan hidup kekal didalam Kristus. Dengan demikian jelas bahwa Sabat tak ada sangkut pautnya dengan peristiwa semacam ini. Sabat yang intinya “berhenti kerja” karena memang Sabat itu merupakan peringatan “berhenti kerja” nya Isreal dari perhambaan. Maka terlepasnya orang dari dosa, Iblis, kelapukan dan maut itu, haruslah bukan yang bersifat “berhenti kerja”, namun yang ada sangkut pautnya dengan hidup kekal atau Kristus itu sendiri. Karena makna Sabat itu dipaksakan, maka bagaimanapun juga tak akan dapat menyelaraskan diri dengan peristiwa mendasar dari sejarah kebebasan dan keluaran dari dosa, Iblis, kelapukan dan maut yang telah terjadi melalui kematian dan kebangkitan Kristus itu sendiri. Dengan demikian hubungan makna Sabat dengan kematian dan kebangkitan Kristus itu tidak ada secara hakiki. Akhirnya hanya akan menimbulkan tambal sulam yang tak konsisten dengan fakta kebenaran Iman Kristen itu sendiri. Jadi agar suapaya fokus kita terang mengenai makna keselamatan di dalam Kristus, seharusnya kita juga memahami tentang Perjanjian Baru dan Sabat sebagai tanda perjanjian antara Allah dan Israel dalam Perjanjian Lama.
Patut diperhatikan bahwa dalam Perjanjian baru secara keseluruhan, tak pernah memberitakan sedikitpun tentang sentralitas dan pentingya Sabbath ini. Jika Sabbath itu disinggung, itu hanya karena konflik yang muncul antara para Murid Yesus dengan orang-orang yahudi mengenai masalah perayaan hari Sabbath itu saja dan juga karena lingkup sejarah penulisan Perjanjian baru itu adalah diantara bangsa Yahudi sehingga dalam menghitung waktu dan hari, tak mungkin lepas begitu saja tanpa menyebut hari Sabbath. Tetapi Sabbath itu sendiri tak pernah menjadi inti dari berita Perjanjian Baru. Kristus dan karyanyalah itulah focus berita Perjanjian Baru. Jadi bukan Hukum Sepuluh dan bukan pula Sabbath.
Sabat dalam Hidup Kristus
Diatas telah kita bahas mengenai sikap Yesus dan ajaranNya tentang Sabat Yahudi, yang pada pokoknya Yesus mengubah dan memporak-porandakan makna Sabat sebagai hari untuk berhenti dari melakukan sesuatu pekerjaan menjadi hari “melakukan sesuatu pekerjaan yang baik”. Dengan demikian Yesus sudah memulai suatu perombakan makna dari Sabat sebagai tanda perjanjian yang berpusat pada pengalaman keluaran dari Mesir, menjadi suatu peristiwa yang berpusat pada diriNya. Hal ini dibuktikan pada saat Dia ditantang kaum ulama Yahudi, Dia mempertanggung-jawabkan perbuatanNya dengan mengatakan: ”Karena Anak manusia adalah Tuhan atas hari Sabat” (Mat 12:8). Sebagai Tuhan (Penguasa) “atas” hari Sabat, berarti Yesus berkuasa untuk melakukan apapun atas hari Sabat itu termasuk mengubah dan memberikan makna yang baru. Dengan demikian Yesus tidak tunduk pada ketentuan “berhenti dari pekerjaan apapun”, Sabatlah yang harus tunduk kepada Yesus, karena Yesus itu adalah Tuhan (Penguasa) “atas” hari “Sabat”.
Memang setiap hari Sabat “menurut kebiasaanNya….Ia masuk kerumah Ibadat (Lukas 4:16), namun Dia melakukanNya bukan karena Sabat dan segala ketentuannya itu berkuasa “atas” Dia, namun justru sebaliknya Dia masuk ke rumah Ibadat setiap hari Sabat itu, untuk menunjukkan bahwa sekarang bukan lagi Sabat yang harus menjadi tanda Perjanjian, namun justru diriNyalah itu penggenap Perjanjian (Lukas 4:21), dan dengan demikian Dia sekarang yang berkuasa atas segala sesuatu termasuk hari Sabat, sehingga manusia hidup bukan lagi untuk hari Sabat. Artinya tujuan hidup manusia itu bukan digunakan untuk mengabdi pada Sabat, namun sebaliknya “hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabbath” (Mark 2:27). Sabat mengabdi pada kepentingan manusia.
Itulah sebabnya tak petrnah sekalipun Yesus dalam pengajaranNya meninggikan atau menjunjung Sabat, Dia membicarakan tentang Sabat hanya dalam konteks konfrontasi perjumpaanNya dengan pemimpin agama Yahudi yang menentang sikapNya terhadap Sabat yang justru oleh mereka dilihat sebagai hujatan dan bertentangan dengan ketetapan dari Kitab Suci Perjanjian Lama.
Kita berjumpa lagi dengan masalah Sabat ini pada akhir kehidupan Kristus, yaitu pada saat penyaliban, kematian, penguburan dan kebangkitanNya. Namun bukan Kristus sendiri yang membahas Sabat dalam konfrontasi dengan orang-orang Yahudi, tetapi para murid yang menulis Injillah yang menyebutkannnya, bukan sebagai bukti bahwa para murid itu mengajarkan suapaya Sabat itu dipelihara sebagai perintah Kristus, namun hanya sebagai sarana perhitungan waktu untuk menjelaskan saat dan hari ketika mana Kristus disalibkan, mati dan bangkit itu, dengan menggunakan perhitungan hari menurut budaya Yahudi, karena Yesus memang orang Yahudi dan ditengah-tengah bangsa Yahudi itu Dia mengalami penyaliban, kematian – penguburan, dan kebangkitanNya itu.
Js.Matius menerangkan dalam Injilnya, saat dan hari ketika Yesus mengalami derita akhir dari hidupNya itu demikian “Sesudah membicarakan saat malam Yesus diolok dan dicemooh dan paginya (hari Jumat) dibawa menghadap Pilatis (Mat 27:1-2), dan disalibkan pada hari itu juga: ”keesokan harinya, yaitu sesudah hari persiapan, datanglah imam-imam kepala dan orang-orang farisi bersama-sama menghadap Pilatus” (Mat 27:62). Jadi menurut ayat ini hari ketika Yesus disalibkan dan dikuburkan dalam ayat-ayat sebelumnya dalam Matius 27 ini, disebut oleh Js. Matius (perhatikan: bukan oleh Yesus ) sebagai “hari Persiapan” (paraskevee), yaitu hari jumat sebagai “hari persiapan” bagi orang Yahudi untuk merayakan hari Sabat. Sedangkan dalam Matius 28:1, ketika para murid wanita mengunjungi kuburan pada saat kebanmgkitan Yesus disebutkan demikian: ”Setelah Hari Sabat lewat… pada hari pertama Minggu itu….”, yang menunjukkan bahwa Yesus tidak melakukan apapun secara fisik diantara hari persiapan sampai dengan hari pertama Minggu itu, yaitu selama Hari Sabbath itu Yesus berada di kuburan pasif tergeletak seolah-olah beristirahat dari semua karyaNya selama 6 hari bagi penciptaan baru atas dunia ini, sejak Minggu Palem (Mat 21:1-23), Senin Kudus (Mat 24:3-35), Selasa Kudus (Mat 24:36-26:2), Rabu Kudus (Mat 26:2-26 “dua hari lagi akan dirayakan paskah” ayat 2, menunjukkan saat itu hari Rabu, karena paskah terjadi hari Sabtu), Kamis Kudus (Mat 26: 17-75), dan Jumat Agung (Mat 27:1-61), dan pada hari Sabtu yaitu hari ketujuh Yesus berhenti atau istirahat dari segala karya penciptaan baru yang dilakukanNya selama enam hari, di dalam kubur menanti penggenapan yang dimeteraikanNya segala karya tadi oleh kebangkitan, pada hari sesudah Sabat lewat, yaitu hari pertama Minggu itu, hari pertama atau Hari Satu itulah hari Ahad dalam bahasa Arab. Dan karena hari Ahad (Satu) itu adalah hari kebangkitan Kristus sebagai puncak dari karyaNya selama enam hari dan beristirahat selama hari ketujuh dalam kuburan, maka hari pertama itu disebut sebagai “Hari Tuhan” (Kuriakee) yang sampai sekarang masih dikenal demikian dalam kalender Gereja Orthodox dan kalender nasional Negara Yunani, dimana kata Kuriakee (Kyriaki diambil dari kata Kyrios = Tuhan) itu disebut dalam bahasa Fortugis “Dominggos” dan itu akhirnya menjadi Minggu dalam bahasa Indonesia.
Demikianlah dalam penciptaan barupun Allah melalui SabdaNya yang menjelma, berkarya selama enam hari dan beristirahat pada hari ketujuh di dalam tergeletakNya Sang Sabda menjelma ini di dalam kuburan. Namun berbeda dengan penciptaan lama dimana pada hari ketujuh itu sudah lengkap selesai penciptaan itu, dalam penciptaan baru ini, selesai dan puncak karya selama enam hari bagi penebusan sejak minggu Palem itu, bukan pada hari terkuburNya atau beristirahatNya Kristus dalam kuburan, namun kebangkitanNya pada hari Ahad atau Hari pertama, karena jika “Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-silah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosa” (I Kor 15:7).
Itulah sebabnya jika hari ketujuh sebagai hari perhentian itu dirayakan, namun maknanya sudah berbeda dari Sabat dalam Perjanjian Lama. Ini harus berpusat pada karya penciptaan baru yang dilakukan Kristus selama seminggu kesengsaraanNya atau pekan sengsara itu. Dengan demikian hari Sabat sekarang ini, mengingat saat penguburan atau perhentian Kristus dari segala karyaNya untuk menunggu penggenapannya dalam hari kebangkitanNya yang terjadi pada hari pertama (Hari Ahad atau Hari Minggu) tadi. Itulah sebabnya dalam Gereja Purba yang tetap dilakukan oleh Gereja Orthodoks sampai sekarang, Sabat itu tetap hari Sabtu, bukan Hari Minggu, namun makna Sabat itu berbeda dari makna yang diberikan dalam Perjanjian Lama. Bukan lagi itu tanda Perjanjian Pelepasan dari Mesir, namun sebagai peringatan akan perhentian karya Kristus di dalam kuburan, dengan demikian meskipun kita merayakan Hari Sabtu sebagai hari Sabat, namun kita tak terkait lagi pada ketentuan-ketentuan Sabat seperti yang digariskan oleh Perjanjian lama, tetapi ketentuan Sabat seperti yang digariskan oleh Kristus sendiri, yaitu bahwa pada hari Sabat boleh melakukan sesuatu pekerjaan yang baik. Dan hari Sabat itu sebagai peringatan hari perhentian (Penguburan) Kristus itu, dirayakan dengan cara menjalankan Ibadah Sembahyang Senja, yang lambang-lambang Ibadah itu secara detail menggambarkan keberadaan Kristus dalam kuburan tadi. Dengan demikian Hari Sabtu tidak dilanggar, ketentuan-ketentuan Tauratpun tak dilanggar, karena sekarang kita bebas dari ketentuan-ketentuan Sabat dalam Taurat, namun terikat erat dengan Kristus dalam peringatan deritaNya tadi. Namun karena hari Tuhan itu adalah hari pertama, perayaan kebangkitan Kristus tetap dirayakan pada hari pertama tadi, yaitu pada hari Minggu, dimana pada hari Tuhan ini kita diupersatukan dengan Tubuh Tuhan yang bangkit itu melalui perayaan Perjamuan kudus yang dirayakan setiap kali kita bertemu pada hari Tuhan ini. Jadi jelas Minggu itu bukan hari Sabat, namun Hari Tuhan. Ini bukan perayaan hari perhentian namun perayaan hari kebangkitan. Sedangkan Sabtu itulah Sabat, namun bukan sebagai tanda Perjanjian keluaran dari Mesir, justru sebagai peringatan Hari Perhentian Kristus dalam kuburan. Dengan demikin Sabtu itu bukan hari terpuncak, namun harus dimeteraikan oleh hari kebangkitan yaitu hari Ahad atau hari Pertama.
Dengan demikian kita melihat suatu ajaran Alkitab yang konsisten dan bersifat Kristosentris. Sabat tetap Sabtu, dan harus dirayakan sebagai peringatan perhentian Kristus dalam kuburan, namun itu bukan akhir pada dirinya sendiri, karena harus dimeteraikan oleh peringatan hari kebangkitan, yaitu hari Minggu. Dari sini kita diselamatkan terhadap main comot ayat-ayat Alkitab, tanpa melanggar yang ini atau itu, dan tanpa berjalan terpincang-pincang sebentar lari ke Taurat lalu sebentar lagi lari ke Injil.
Adalah suatu kekeliruan yang besar, jika kita mengatakan bahwa Sabat itu sudah diganti hari Minggu. Dalam kalender resmi Gereja Orthodoks yang juga kalender nasional Negara Yunani, hari Sabtu itu disebut “Sabbato”, jadi jelas Sabat itu tetap Sabtu. Dan juga suatu kekeliruan yang besar mengatakan bahwa Hari Minggu atau “Hari Tuhan” itu berasal dari perayaan kafir. Sabat tetap Sabtu, seperti telah kita katakan, namun itu harus dimeteraikan oleh perayaan hari kebangkitan yaitu hari Minggu. Bagaimana suatu peringatan dari peristiwa maha penting ini dianggap sebagai perayaan agama kafir, sungguh ini merupakan suatu teka teki dan tak dapat terpahami.
Dalam Perjanjian baru tak ada satupun perintah yang menyuruh orang Kristen untuk merayakan hari sabtu sebagai hari perhentian yang harus dirayakan. Jika dalam Injil disebutkan tentang hari persiapan, hari Sabat dan hari pertama dalam konteks kesengsaraan Yesus, itu hanya merupakan perhitungan saat sesuai dengan budaya Yahudi, namun bukan suatu perintah bagi orang Kristen, dan bukan pula merupakan bukti bahwa itu adalah perintah yang harus dijalankan. Ingat, bahwa waktu Yesus mati itu Gereja belum ada, orang Kristen dalam pengertian kita sekarang masih belum ada. Yang ada yaitu orang-orang Yahudi yang terikat dengan hukum-hukum agama Yahudi termasuk perintah Sabatnya, yang mempercayai bahwa Yesus itulah Sang Mesias. Namun mereka belum merasa sebagai suatu komunitas agama yang terpisah dari bangsa Yahudi. Gereja baru lahir pada saat Roh Kudus turun di hari Pantekosta. Itupun tak langsung membuat para rasul itu sadar akan missi mereka bagi orang-orang Non Yahudi (Kis 10:28-29)., sehingga Petruspun mula-mula merasa keberatan untuk datang ke rumah Kornelius. Beberapa tahun kemudian barulah orang-orang Kristen sadar akan keberbedaan mereka dari Umat Yahudi. Herankah kita kalau beberapa diantara mereka masih terikat hukum-hukum ketentuan Sabat dalam Perjanjian Lama, sehingga makna Kristus itu sendiri baru secara pelan-pelan terhayati secara paripurna. Melihat latar belakang ini, maka kita tak mungkin menganggap sebutan akan nama-nama hari secara Yahudi dalam masa-masa akhir hidup Yesus itu sebagai perintah bagi Gereja Kristen. Itulah cara budaya yahudi menghitung waktu, tak lebih dan tak kurang.
Sabat & Hari Pertama Dalam Perjanjian Baru
Alkitab tak pernah memerintahkan kita merayakan hari Minggu, demikian celoteh banyak orang. Namun Kitab Suci Kristen “Perjanjian Baru” pun tak pernah memerintahkan orang merayakan hari Sabtu, demikian sambut yang lain. Kedua pernyataan yang demikian ini menunjuk kesalah-pahaman yang besar mengenai makna Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Iman Kristen mengajarkan bahwa wahyu Illahi itu bersifat berkembang secara pelan-pelan, yang seluruh perkembangan itu akhirnya berpuncak pada Yesus Kristus. Itulah sebabnya penulis surat Ibrani mengatakan bahwa: ”Pada zaman dahulu” Allah berbicara melalui “Nabi-Nabi” sedangkan “pada zaman akhir ini” Allah berbicara didalam “AnakNya” (Ibrani 1:1). Hal yang sama dikatakan oleh Js.Paulus ketika Dia mengatakan: ”Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat” (Roma 10:4), dan ketika Dia mengatakan: ”karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman mengenai hari raya, bulan baru atau Sabat semuanya itu hanyalah bayangan….sedangkan wujudnya ialah Kristus” (Kol 2:16-17). Yang ini ditandaskan lagi oleh Kristus: ”Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakannya melainkan UNTUK MENGGENAPINYA” (Matius 5:17) . Kristuslah wujud dan kegenapan Hukum Taurat. Karena wujud dan kegenapan hukum Taurat itu bukan berwujud ajaran tertulis seperti Hukum Taurat itu sendiri namun berwujud “Firman .. menjadi manusia” (Yohanes 1:14), maka yang menjadi landasan beriman dan berbuat serta beribadah bagi umat Kristen bukanlah hanya sekedar apa yang pernah diperintahkan saja oleh Yesus, seperti perintah–perintah Taurat. Namun segala tingkah-laku, peristiwa, ajaran dan bahkan kepribadian Kristus itu sendiri menjadi landasan iman, ibadah, akhlak dan tingkah laku Kristen. Ringkasnya Yesus keutuhan pribadi dan keberadaanNya itulah Firman yang harus menjadi landasan hidup Kristen.
Sebagai Firman yang menjelma dalam sejarah, maka sejarah hidup Yesuslah sekarang menjadi hari peringatan yang harus dirayakan sebagai suatu tanggapan ucapan syukur kepada Allah, meskipun kalau bukan secara terang–terangan dikatakan harus dirayakan. Karena Injil yaitu Perjanjian Baru itu tak terdiri dari hukum tulis namun hidup Roh Kudus, sehingga Roh yang membangkitkan Kristus itu (Roma 8:11) akan mendorong orang Kristen untuk merayakan karya besar yang telah dilakukanNya pada hari Kristus dibangkitkan. Oleh dorongan hidup Roh inilah orang Kristen merayakan hari kebangkitan. Bukti bahwa hari kebangkitan ini sudah diperingati akan nampak dalam hal–hal berikut ini: “Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu berkumpulah murid murid Yesus di suatu tempat dengan pintu pintu terkunci karena mereka takut kepada orang – orang Yahudi” (Yohanes 20 : 19).Para murid jelas berkumpul pada hari Minggu, hari pertama. Namun para pembela Sabat Yahudi, bukan Sabat Kristen yaitu hari penguburan Kristus, menyanggah dengan mengakatan bahwa mereka berkumpul hari Minggu karena takut pada orang–orang Yahudi bukan karena merayakan kebangkitan. Namun dalam struktur bahasa aslinya menunjukkan bahwa takut terhadap orang Yahudi itu tidak menerangkan berkumpulnya pada hari pertama, namun menerangkan tertutupnya pintu. Artinya mereka berada di tempat tertutup karena takut pada orang Yahudi, jadi bukan takut terhadap orang Yahudi lalu berkumpul pada hari Minggu. Logika juga mengatakan jika orang takut akan masyarakat maka bertemu ditempat bersembunyi. Jadi Minggunya itu bukan sebagai akibat dari takut orang Yahudi namun tertutupnya pintu. Maka jelas hari pertama itu sudah merupakan pertemuan para murid. Pertemuan hari Minggu ini rupanya dilanjutkan lagi pada saat “Delapan hari kemudian murid murid Yesus berada kembali dalam rumah itu” (Yohanes 20:26), yang dalam kedua peristiwa ini Yesus selalu hadir ditengah tengah mereka bahwa pertemuan hari Minggu itu akhirnya menjadi kebiasaan orang Kristen, dapat kita lihat dari Kisah Rasul 20:7 ” Pada hari pertama pada dalam Minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecah mecahkan roti “ Juga dalam tulisan Paulus ”Pada hari pertama dari tiap tiap minggu hendaklah kamu masing–masing … meyisihkan sesuatu (1 Korintus 16:2). Para pembela Sabat Yahudi , akan mengatakan hanya suatu kebetulan saja , tak ada makna tertentu atas penyebutan hari pertama itu. Kalau hanya kebetulan saja, maka Alkitab berarti berisi sesuatu yang tak dapat dipakai sebagai landasan hidup dan hanya berasal dari omong kosong saja. Lagi pula jika itu suatu kebetulan mungkinkah yang kebetulan itu sampai beberapa kali, dan semuanya dalam kontek ibadah. Dua yang pertama berkumpul dimana Yesus hadir ditengah tengah mereka, dan yang satu dalam kontek Perjamuan Kudus, serta yang terakir dalam kontek memberikan persembahan persepuluhan. Lagi pula Alkitab mengatakan bahwa”.. dengan keterangan dua / tiga orang saksi suatu perkara sah” (II Korintus 13:2), padahal disini ada empat saksi mengenai hari pertama itu. Bukankah berdasarkan ketentuan Alkitab perkara itu sah dan bukan hanya sesuatu kebeteluan saja? Lagi pula tak ada bukti satupun dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa Kristus berada di tengah tengah pertemuan muridNya pada hari Sabtu. Padahal pertemuan Kristen adalah untuk mengundang hadirat Kristus, dan Alkitab menunjukkan bahwa Kristus hadir dalam pertemuan itu justru hari Minggu, hari peringatan kebangkitanNya sendiri. Jika dalam perjanjian baru ada bukti bahwa para murid terutama Paulus berbakti pada hari Sabtu, itu terjadinya didalam ibadah Yahudi yang memang merayakan hari Sabtu sebagai hari pertemuan (Kisah Rasul 13:13-49), dan itupun demi pemberitahuan injil. Namun tak ada bukti satupun yang menunjukkan hari Sabtu sebagai hari yang disanjung oleh umat Kristen dalam Perjanjian Baru.
Kemuliaan bagi Sang Bapa Sang Putra serta Sang Roh Kudus sekarang dan selalu serta sepanjang segala abad, Amin.