Tongkat Kemurahan Yang Dipatahkan
[by: Fr.Daniel Byantoro]
Date: 06 September 2008
Bismil Abi, wal Ibni, war Ruhul Qudus, al -Ilahi Wahid, Amin.
Shalom Alaikhem Be Shem Ha-Massiakh,
Saudara-Saudari yang terkasih dalam Sang Kristus,
Keempat bacaan “Tugur Salib” kita kali ini diambil baik dari Perjanjian Lama sebagai sumber nubuatan dari Karya Sang Kristus, Epistel sebagai penjelasan makna dari Karya Kistus, serta dari Injil yang merupakan kisah bagaimana Karya itu sendiri terjadi. Dalam Zakharia 11:10 dikisahkan mengenai tongkat yang bernama “Kemurahan”, yang “dipatahkan” agar perjanjian dengan bangsa-bangsa dibatalkan. Ini merupakan lambang tentang Sang Kristus sebagai “kemurahan” dari yang “dipatahkan” yaitu “diremukkan” oleh penyaliban. Melalui Kristus diremukkan itulah maka perjanjian dengan kekafiran yaitu “bangsa-bangsa” yang dikuasai: Iblis, Dosa dan Maut itu diputuskan atau dibatalkan (Zakharia 11:11), dengan demikian Kristus yang dipatahkan itu menjadi sumber “kemurahan” dari keselamatan Allah.
Zakharia juga mengatakan tentang “upah” yang ditimbang untuk menghargai dirinya seharga tiga puluh keping perak (Zakharia 11: 12-13), yang ini merupakan nubuatan tentang pengkhianatan Yudas Iskariot sehingga Kristus dipatahkan atau diremukkan diatas Kayu Salib itu. Apa yang telah dinubuatkan itu ternyata tepat terjadi kepada Kristus sebagaimana yang kita baca dalam bacaan Injil kali ini. Sesuai dengan nubuat itu, maka bacaan Injil kita ini memulai kisahnya mengenai bagaimana pemimpin-pemmpimn agama Yahudi itu merencanakan untuk membunuh Yesus (Matius 27: 1-1-2), yaitu untuk “mematahkan” tongkat kemurahan Allah itu. Dan terjadinya pematahan atas tongkat kemurahan itu diakibatkan karena Yudas Yudas Iskariot telah menjual Yesus seharga tiga puluh keping perak, meskipun ia menyesal atas perbuatannya itu kemudian (Matius 27: 3-10), sehingga pada akhirnya ia bunuh diri.
Proses “permatahan” tongkat kemurahan Allah ini terjadi melalui pengadilanNya yang tidak adil dan sangat menyakitkan bagi Sang Kristus. Setelah semalam suntuk ia dianiaya dan diadili secara tidak sah oleh para pemimpin agama Yahudi, maka dalam pasal Injil yang kita baca ini, Sang Kristus diadili secara sipil oleh pemerintah dengan tuduhan-tuduhan yang tidak benar, yaitu tuduhan pemeberontakan kepada Kaisar karena mengaku sebagai Raja, meskipun tidak ada saksi akan hal itu, serta Kristuspun tak melakukan pembelaan sedikitpun (Matius 27:12-14), untuk menggenapi nubuat bahwa diriNya bisu seperti “tongkat” pada saat ia hendak dipatahkan ini. Karena Kristuslah “tongkat kemurahan”, maka kemurahan itu ditunjukkan oleh tongkat itu sebagai dalam hal Ia dipatahan ini, dengan dibebaskannya penjahat Barabas dari hukuman akibat Kristus yang dipatahkan ini. Demikianlah melalui penghukuman Kristus ini Barabas mendapatkan kemurahan (Matius 27:15-22). Dalam Kristus dipatahkan ini maka perjanjian dengan bangsa-bangsa yang dilambangkan dalam diri Pilatus sebagai wakil pemerintah Romawi itu dibatalkan, yang dilambangkan dengan Pilatus mencuci tanggannya didepan oang banyak tanda ia tidak ikut bertanggung jawab atas itu semua itu , dan ia menghukum bukan karena keputusan pengadilan Romawi, karena pengadilan Romawi yang dipimpinnya sendiri menyatakan Yesus tidak bersalah (Matius 27: 19-26) namun atas desakan para pemimpin agama, sehingga pematahan “tongkat kemurahan” itu membatalkan kekuasaan bangsa-bangsa itu atas peristiwa ini, artinya hukum dan kekuatan dari pengadilan Romawi yang menyatakan Yesus tak bersalah itu dibatalkan dan tidak diakui demi mengikuti kemauan para pemimpin agama yang penuh benci itu. Bukan kuasa hukum Romawi yang berjalan, namun “hukum biadab” dan "hukum rimba” yang didasarkan kehendak orang yang dipenuhi kebencian.
Ini bukan bangsa-bangsa yaitu kekuasaan kafir yang bertindak, namun kekuasaan penyalah-gunaan agama dan kekuasaan dosa yang dibiarkan liar sampai batas kemungkinan yang paling jauh. Demikianlah setelah diolok-olokkan dan dihina bagi merendahkan Yesus serendah-rendahnya (Matius 27: 27-31) untuk membuat Yesus hanya semacam barang yang tak berharga, seperti “tongkat” yang tak bermanfaat saja. Demikianlah akhirnya tongkat yang rendah itu lalu “dipatahkan” diatas Kayu Derita (Matius 27: 43-44) dengan penderitaan yang menyangkut Tubuh yang betul-betul kesakitan, lemah dan menderita. Serta juga menyangkut jiwa yang disakiti melalui “hujatan” para orang yang lewat di depan Salib itu, “olok-olokan” para Ahli Turat dan Tua-Tua, serta “celaan” dua penyamun yang disalibkan disebelah kiri dan kananNya. Sang Tongkat Kemurahan itu akhirnya betul-betul patah yaitu mengalami kematian. Dia mati dalam keadaan berdoa kepada Alah (Matius 27:25-29), yang berakibat kemurahan Allah nampak dengan robeknya Tirai Bait Allah lambang terbukanya jalan ke Sorga (Matius 27: 51), terjadinya huru-hara alam, yang melambangkan kemurahan Allah itu akan bersifat semestawi dimana bukan hanya manusia saja yang akan menerima kemurahan itu namun juga alam semesta, yang akan dijadikan langit baru dan bumi baru (Roma 8:18-23, II Petrus 3:13), serta bangkitnya orang-orang mati dan masuknya mereka ke kota kudus Sorgawi (Matius 27:52-53) yang melambangkan “kemurahan” akibat “patahNya Sang Tongkat” itu telah terjadi dimana orang-orang mati dibebaskan dari kuasa maut.
Demikianlah akibat semuanya Sang Kristus disaksikan oleh dunia bangsa-bangsa yang diwakili oleh pasukan-pasukan dan prajurit-prajurit Romawi, yang mengakui kebenaran Kristus sebagai”Anak Allah” (Matius 27:54) dan juga yang disaksikan oleh para murid-Nya yang melayani Dia dari Galilea (Matius 27: 55-56). Demikianlah Salib Kristus ini telah menjadi sumber hidup baru yang tidak didasarkan pada hukum Taurat tentang bersunat serta hukum-hukum yang lain. Karena Taurat itu bukan “kemurahan” tetapi hukum dan perintah yang berdasarkan amal perbuatan baik sendiri yang bukan berdasarkan kemurahan dan rahmat Allah. Salib menjadi garis pemisah antara dimana dunia yaitu Iblis, Dosa dan Maut dilenyapkan kekuatannya bagi manusia, dan juga menjadi sarana dimana manusia dilepaskan dari kungkungan kuasa dunia ini (Galatia 6:14), karena disitulah “ciptaan baru:” itu terjadi yang berdasarkan hukum tentang sunat dan hukum-hukum lainnya dalam Taurat namun berdasarkan rahmat Allah semata (Galatia 6:15). pemahaman semacam ini dan beerlandaskan pada Salib inilah yang harus menjadi “patokan” (Galatia 6:16) untuk hidup dalam “damai-sejahtera dan rahmat Allah. Melalui hidup berlandaskan Salib inilah kita memiliki “tanda-tanda milik” Kristus (Galatia 6:17), sehingga kita hidup dalam “kasih-karunia” yang berasal dari “Sang Tongkat Kemurahan” yang telah dipatahkan bagi kita itu (Galatia 6:18). Amin.
Bismil Abi, wal Ibni, war Ruhul Qudus, al -Ilahi Wahid, Amin.
Shalom Alaikhem Be Shem Ha-Massiakh,
Saudara-Saudari yang terkasih dalam Sang Kristus,
Keempat bacaan “Tugur Salib” kita kali ini diambil baik dari Perjanjian Lama sebagai sumber nubuatan dari Karya Sang Kristus, Epistel sebagai penjelasan makna dari Karya Kistus, serta dari Injil yang merupakan kisah bagaimana Karya itu sendiri terjadi. Dalam Zakharia 11:10 dikisahkan mengenai tongkat yang bernama “Kemurahan”, yang “dipatahkan” agar perjanjian dengan bangsa-bangsa dibatalkan. Ini merupakan lambang tentang Sang Kristus sebagai “kemurahan” dari yang “dipatahkan” yaitu “diremukkan” oleh penyaliban. Melalui Kristus diremukkan itulah maka perjanjian dengan kekafiran yaitu “bangsa-bangsa” yang dikuasai: Iblis, Dosa dan Maut itu diputuskan atau dibatalkan (Zakharia 11:11), dengan demikian Kristus yang dipatahkan itu menjadi sumber “kemurahan” dari keselamatan Allah.
Zakharia juga mengatakan tentang “upah” yang ditimbang untuk menghargai dirinya seharga tiga puluh keping perak (Zakharia 11: 12-13), yang ini merupakan nubuatan tentang pengkhianatan Yudas Iskariot sehingga Kristus dipatahkan atau diremukkan diatas Kayu Salib itu. Apa yang telah dinubuatkan itu ternyata tepat terjadi kepada Kristus sebagaimana yang kita baca dalam bacaan Injil kali ini. Sesuai dengan nubuat itu, maka bacaan Injil kita ini memulai kisahnya mengenai bagaimana pemimpin-pemmpimn agama Yahudi itu merencanakan untuk membunuh Yesus (Matius 27: 1-1-2), yaitu untuk “mematahkan” tongkat kemurahan Allah itu. Dan terjadinya pematahan atas tongkat kemurahan itu diakibatkan karena Yudas Yudas Iskariot telah menjual Yesus seharga tiga puluh keping perak, meskipun ia menyesal atas perbuatannya itu kemudian (Matius 27: 3-10), sehingga pada akhirnya ia bunuh diri.
Proses “permatahan” tongkat kemurahan Allah ini terjadi melalui pengadilanNya yang tidak adil dan sangat menyakitkan bagi Sang Kristus. Setelah semalam suntuk ia dianiaya dan diadili secara tidak sah oleh para pemimpin agama Yahudi, maka dalam pasal Injil yang kita baca ini, Sang Kristus diadili secara sipil oleh pemerintah dengan tuduhan-tuduhan yang tidak benar, yaitu tuduhan pemeberontakan kepada Kaisar karena mengaku sebagai Raja, meskipun tidak ada saksi akan hal itu, serta Kristuspun tak melakukan pembelaan sedikitpun (Matius 27:12-14), untuk menggenapi nubuat bahwa diriNya bisu seperti “tongkat” pada saat ia hendak dipatahkan ini. Karena Kristuslah “tongkat kemurahan”, maka kemurahan itu ditunjukkan oleh tongkat itu sebagai dalam hal Ia dipatahan ini, dengan dibebaskannya penjahat Barabas dari hukuman akibat Kristus yang dipatahkan ini. Demikianlah melalui penghukuman Kristus ini Barabas mendapatkan kemurahan (Matius 27:15-22). Dalam Kristus dipatahkan ini maka perjanjian dengan bangsa-bangsa yang dilambangkan dalam diri Pilatus sebagai wakil pemerintah Romawi itu dibatalkan, yang dilambangkan dengan Pilatus mencuci tanggannya didepan oang banyak tanda ia tidak ikut bertanggung jawab atas itu semua itu , dan ia menghukum bukan karena keputusan pengadilan Romawi, karena pengadilan Romawi yang dipimpinnya sendiri menyatakan Yesus tidak bersalah (Matius 27: 19-26) namun atas desakan para pemimpin agama, sehingga pematahan “tongkat kemurahan” itu membatalkan kekuasaan bangsa-bangsa itu atas peristiwa ini, artinya hukum dan kekuatan dari pengadilan Romawi yang menyatakan Yesus tak bersalah itu dibatalkan dan tidak diakui demi mengikuti kemauan para pemimpin agama yang penuh benci itu. Bukan kuasa hukum Romawi yang berjalan, namun “hukum biadab” dan "hukum rimba” yang didasarkan kehendak orang yang dipenuhi kebencian.
Ini bukan bangsa-bangsa yaitu kekuasaan kafir yang bertindak, namun kekuasaan penyalah-gunaan agama dan kekuasaan dosa yang dibiarkan liar sampai batas kemungkinan yang paling jauh. Demikianlah setelah diolok-olokkan dan dihina bagi merendahkan Yesus serendah-rendahnya (Matius 27: 27-31) untuk membuat Yesus hanya semacam barang yang tak berharga, seperti “tongkat” yang tak bermanfaat saja. Demikianlah akhirnya tongkat yang rendah itu lalu “dipatahkan” diatas Kayu Derita (Matius 27: 43-44) dengan penderitaan yang menyangkut Tubuh yang betul-betul kesakitan, lemah dan menderita. Serta juga menyangkut jiwa yang disakiti melalui “hujatan” para orang yang lewat di depan Salib itu, “olok-olokan” para Ahli Turat dan Tua-Tua, serta “celaan” dua penyamun yang disalibkan disebelah kiri dan kananNya. Sang Tongkat Kemurahan itu akhirnya betul-betul patah yaitu mengalami kematian. Dia mati dalam keadaan berdoa kepada Alah (Matius 27:25-29), yang berakibat kemurahan Allah nampak dengan robeknya Tirai Bait Allah lambang terbukanya jalan ke Sorga (Matius 27: 51), terjadinya huru-hara alam, yang melambangkan kemurahan Allah itu akan bersifat semestawi dimana bukan hanya manusia saja yang akan menerima kemurahan itu namun juga alam semesta, yang akan dijadikan langit baru dan bumi baru (Roma 8:18-23, II Petrus 3:13), serta bangkitnya orang-orang mati dan masuknya mereka ke kota kudus Sorgawi (Matius 27:52-53) yang melambangkan “kemurahan” akibat “patahNya Sang Tongkat” itu telah terjadi dimana orang-orang mati dibebaskan dari kuasa maut.
Demikianlah akibat semuanya Sang Kristus disaksikan oleh dunia bangsa-bangsa yang diwakili oleh pasukan-pasukan dan prajurit-prajurit Romawi, yang mengakui kebenaran Kristus sebagai”Anak Allah” (Matius 27:54) dan juga yang disaksikan oleh para murid-Nya yang melayani Dia dari Galilea (Matius 27: 55-56). Demikianlah Salib Kristus ini telah menjadi sumber hidup baru yang tidak didasarkan pada hukum Taurat tentang bersunat serta hukum-hukum yang lain. Karena Taurat itu bukan “kemurahan” tetapi hukum dan perintah yang berdasarkan amal perbuatan baik sendiri yang bukan berdasarkan kemurahan dan rahmat Allah. Salib menjadi garis pemisah antara dimana dunia yaitu Iblis, Dosa dan Maut dilenyapkan kekuatannya bagi manusia, dan juga menjadi sarana dimana manusia dilepaskan dari kungkungan kuasa dunia ini (Galatia 6:14), karena disitulah “ciptaan baru:” itu terjadi yang berdasarkan hukum tentang sunat dan hukum-hukum lainnya dalam Taurat namun berdasarkan rahmat Allah semata (Galatia 6:15). pemahaman semacam ini dan beerlandaskan pada Salib inilah yang harus menjadi “patokan” (Galatia 6:16) untuk hidup dalam “damai-sejahtera dan rahmat Allah. Melalui hidup berlandaskan Salib inilah kita memiliki “tanda-tanda milik” Kristus (Galatia 6:17), sehingga kita hidup dalam “kasih-karunia” yang berasal dari “Sang Tongkat Kemurahan” yang telah dipatahkan bagi kita itu (Galatia 6:18). Amin.