Salib Sumber Keselamatan [by: Fr.Daniel Byantoro]
Date: 06 September 2008
Bismil Abi, wal Ibni, war Ruhul Qudus, al-Ilahu Wahid, Amin.
Shalom Alaikhem Be Shem Ha-Massiakh,
Saudara-Saudari yang terkasih dalam Sang Kristus,
Dalam renungan kita yang kedua ini, kita diperhadapkan dengan nubuat tentang Hamba TUHAN (“Ebed Yahweh”), yang amat taat dan dengar-dengaran kepada Yahweh. Ia juga memberi semngat baru kepada orang yang letih lesu. Ini adalah nubuat tentang ciri karya Kristus di dunia ini (Yesaya 50:4-5). Namun juga dikatakan bahwa Ia “memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi” (Yesaya 50:6).
Ini menunjukkan kepada nubuat penderitaan dan aniaya yang dialamiNya sebelum Dia disalibkan. Juga dinyatakan TUHAN Allah akan menolongNya serta Ia “tidak mendapat noda”, dan Allah “menyatakan aku benar”, sehingga tak ada orang yang berani membantah masalah kebenaran denganNya, dan tak satupun “berani menyatakan Aku bersalah” (Yesaya 50:7-9), yang semuanya ini menunjukkan tak seorangpun yang dapat menyatakan kesalahan dan dosa Yesus Kristus pada saat diadili secara tidak adil itu. Dan orang yang mau mendengar suara “Hamba TUHAN” ini akan lepas dari kegelapan, dan orang yang menolakNya akan mengalami api siksa (Yesaya 50:10-11). Nubuat ini ternyata digenapi secara tepat dalam peristiwa penderitaan Yesus Kristus seperti yang dinyatakan dalam bacaan Injil kita kali ini. Dalam bacaan kita ini Yesus Kristus dianiaya oleh para pasukan Romawi dengan diejek sebagai raja badut dan raja pelawak (Markus 15:16-20a), kemudian setelah olok-olok ini, langsung digiring ke tempat Tengkorak dan disalibkan (Markus 15:20b-22). Diatas Salib itu Dia diolok-olok, dihujat, diejek, dicela oleh para orang yang melihatNya (Markus 15: 23-32). Setelah semua aniaya dan derita diatas Salib akhirnya Yesus menyerukan doa tanda penyerahan kepada Allah, yang dibarengi dengan huru-hara yang terjadi di alam semesta, serta ejekan orang sekali lagi, namun disertai robeknya tirai Bait Suci dari atas kebawah, serta pengakuan kepala pasukan tentang kebenaran Yesus Kristus sebagai “Anak Allah” (Markus 15:33-39). Dimana penggenapan dari nubuat Yesaya melalui peristiwa Salib itu ini disaksikan oleh para murid Yesus yang mengikuti dari Galilea ke Yerusalem (Markus 15: 40-41). Karena peristiwa Salib ini adalah merupakan penggenapan dari nubuat Nabi yang adalah Wahyu Ilahi, maka jelas peristiwa Salib ini adalah suatu bentuk Wahyu Allah yang dinyatakan dalam sejarah. Karena ini adalah Wahyu Ilahi, maka jelas Peristiwa Salib ini mempunyai makna rohani yang dalam yang bukan hanya sekedar peristiwa sejarah saja.
Risalah Rasuliah kita adalah yang menjelaskan makna dari peristiwa Salib ini. Dalam bacaan Rasuliah kita dinyatakan bahwa kematian Kristus itu adalah “untuk kita orang-orang durhaka” (Roma 5:6), karena terbukti dari nubuat yang telah kita baca diatas pada diri-Nya sendiri Kristus tak memiliki dosa dan kesalahan apapun, sehingga seharusnya Ia tak layak dijatuhi hukuman seperti itu. Jika demikian halnya maka jelas kematian Kristus bukanlah untuk diriNya atau demi dosa-Nya sendiri namun untuk kita orang durhaka, yang secara jelas digambarkan dalam kasus mengenai “Barabas” orang durhaka yang dibebaskan demi kematian Kristus. Sama seperti Barabas yang tak memiliki kekuatan hukum untuk dapat melepaskan diri dari kematian yang sudah ditetapkan baginya, demikianlah “ Kristus telah mati” itupun “Karena waktu kita masih lemah” (Roma 5:6), yaitu dalam keadaan tidak mampu untuk melepaskan diri dari kuasa dosa , maut dan Iblis. Karena peristiwa Salib itu adalah manifestasi dari Wahyu Ilahi, maka pemunculannya dalam sejarah pada saat yang telah terjadi adalah sesuatu yang terjadi “pada waktu yang ditentukan oleh Allah” (Roma 5:6). Jika ini adalah sesuatu yang ditentukan Allah waktunya, berarti ini bukan karangan manusia, oleh karena itu adalah suatu hujat yang mengerikan mengatakan bahwa Yesus itu tak pernah disalibkan, karena Allah justru telah menentukan waktu kejadian itu di dalam ke-Maha-Tahuan-Nya.
Karena Allah tak pernah berdusta, maka penolakan atas fakta penyaliban itulah yang dusta, bukan kejadiannya yang sebenarnya itu yang dusta. Karena kematian Kristus itu adalah untuk orang-orang durhaka, maka jelas Ia tidak mati bagi orang yang benar, dan ini membuktikan bahwa semua manusia itu berdosa, sebab “tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar” (Roma 5:7). Orang benar adalah berarti orang yang tak memiliki kesalahan sedikitpun, berarti orang yang sama sekali tak memiliki dosa. Untuk orang yang demikian tak ada hukuman apapun yang dapat diterapkan, oleh karena itu tak ada kematian yang dituntut daripadanya, sehingga tak mudah seorang mati bagi orang yang benar. Namun “mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati” (Roma 5:7), karena orang baik belum tentu tanpa dosa, artinya orang baik belum tentu orang benar. Berarti orang baik dapat saja terkena hukuman, sehingga untuk orang yang baik demikian masih dimungkinkan orang lain untuk mati menggantikannya. Demikianlah Kristus tidak mempermasalahkan tentang “baik” saja, namun Ia mempermasalahkan tentang yang “benar”. Itulah sebabnya kita tak dapat membanggakan diri bahwa seseorang yang “baik” itu pasti selamat, namun apakah orang yang “baik” itu yakin bahwa ia juga orang “benar”, jika tidak berarti iapun masih dibawah kuasa dosa. Dan untuk orang yang menyadari keberadaannya seperti inilah kematian Kristus itu disediakan. Dan justru “karena Kristus telah mati untuk kita” (Roma 5:8) “ketika kita masih berdosa.” Itu menunjukkan bahwa kematianNya itu sebagai bukti pewahyuan dari belas kasihan Allah bagi manusia dimana oleh kematian Kristus sebagai Firman Allah yang diturunkan ke bumi sebagai manusia itu “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita” (Roma 5:8), berarti kematian Kristus adalah bukti kasih Allah yang tak dapat diukur itu kepada manusia, yang menghendaki agar manusia lepas dari dosa, dari Iblis dan dari maut oleh akibat kemenangan Kristus yang diperjuangkan oleh kematianNya itu.
Melalui kematian Kristus diatas Salib yang mencurahkan darah-Nya sebagai Korban itulah kita “sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya” (Roma 5:9). Diatas telah kita renungkan bahwa Kristus mati untuk kita orang durhaka, dan manusia itu paling tinggi hanya dapat mencapai tingkat “baik”, namun bukan tingkat “benar,” padahal tingkat ”benar” itulah yang dikehendaki Allah agar manusia dapat mencapai keselamatan, maka Kristuslah yang membuat kita yang "durhaka" ini mencapai tingkat “benar” itu melalui pencurahan darah-Nya diatas Kayu Salib itu. Logikanya adalah demikian: Kitab Suci mengatakan bahwa “Upah Dosa adalah Maut” (Roma 6:23), sehingga dalam Perjanjian Lama kebenaran ini dipraktekkan secara apa adanya, setiap kali orang berdosa maka ia dihukum “mati” (Imamat 20). Namun melalui korban binatang, kematian itu diwakilkan, dengan jalan si binatang itu yang mati dengan mencurahkan darahnya, sehingga darah binatang yang tercurah sebagai bentuk tuntutan kematian yang telah digenapi itu menjadikan si orang berdosa yang mempersembahkan korban itu tak mendapat “tuntutan kematian” lagi menurut hukum, maka ia hidup dan tidak mati. Secara hukum ia bebas, dan ia menjadi “benar”. Demikianlah Kristus adalah “Anak Domba” (Yohanes 1:29), yang telah mencurahkan darah-Nya diatas salib. Maka Darah Kristus yang telah tercurah itupun berfungsi sama seperti darah binatang korban .
Karena kemanusiaan Kristus adalah inti dari segenap kemanusiaan kita semua yang diambil dan dikenakan oleh Firman Allah itu sendiri, maka kematian Kristus yang hanya satu orang itu menjadi kematian semua orang: ”jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati” (II Korintus 5:14). Dengan Kristus mati mencurahkan darahNya diatas Salib itu maka kita yang menyatu dengan kemanusiaan Kristus oleh iman melalui baptisan (Galatia 3:26-27) itu kita juga ikut mati, dengan demikian ikut mencurahkan darah bersama Kristus, maka tuntutan hukum itupun telah kita genapi di dalam kematian yaitu tercurahnya darah Kristus yang didalamnya kita ikut manunggal itu. Maka Darah Kristus yang tercurah itu membuat kita bebas dari tuntutan maut, maka kita sekarang bebas dari tuntutan kematian dari Taurat itu, sehingga kita menjadi “benar”. Demikianlah oleh darah Kristus kita semua telah “dibenarkan”. Dengan sekarang telah dibenarkan oleh darah Kristus ini, maka “kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah” (Roma 5:9). Murka Allah artinya pernyataan “Api Ilahi” yang membakar akibat dosa, dan manusia berdosa yang tersentuh oleh Api yaitu Energi Ilahi itu akan terbakar dalam siksa, dan itu akan terjadi pada akhir jaman nanti (I Korintus 3:11-15). Jadi “murka Allah” bukan artinya Allah itu pemarah, namun itu berarti dosa memang tak dapat bersentuhan dengan Api Kesucian Ilahi ini sehingga menyebabkan orang berdosa itu tersiksa oleh Api itu, maka dalam kacamata manusia itu dilihat sebagai Allah sedang murka , sebagaimana dikatakan Kitab Suci: ”Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.” (Ibrani 12:29).
Melalui panunggalan kita dalam kematian dan kebangkitan Kristus yang terus-menerus maka kita dibebaskan dari tuntutan hukum Allah itu, maka pada saat zaman akhir dimana “Api Ilahi” itu dinyatakan kita tak lagi ikut “dihanguskan” olehnya, jika kita memang sekarang tetap bertumbuh dan berakar dalam panunggalan kita dengan Kristus, dengan kata lain kita pasti “diselamatkan dari murka Allah” ini. Karena “jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya” (Roma 5:10). Kepastian ini didasarkan pada fakta bahwa sebagai manusia yang berdosa kita adalah “masih seteru”, karena sebagai manusia berdosa tanpa Kristus kita hidup oleh keinginan daging kita padahal “keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya.” (Roma 8:7), serta itulah keadaan “hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat” (Kolose 1:21). Namun dalam keadaan masih seteru yang demikian ini, yaitu keadaan dimana manusia dinyatakan oleh hukum moral dan hukum Taurat Allah sebagai pelanggar yang “tidak mau takluk Allah” serta yang “memusuhiNya dalam hati dan pikiran” seperti ini, melalui panunggalan dengan ketaatan mutlak Yesus Kristus dalam mati-Nya di Kayu Salib (Filipi 2:6-8), dan yang melalui ketaatan mutlak itu dinyatakan sebagai yang menggenapi seluruh tuntutan hukum Allah. Karena inti tuntutan seluruh hukum Allah adalah “ketaatan” dan Yesus disalibkan sampai matu adalah karena “taat” (Filipi 2:6-8), sehingga Kristus secara mutlak menggenapi inti “tuntutan hukum Allah.”
Maka Kristus dan kita yang manunggal dengan ketaatanNya sampai mati di Kayu Salib itu, tak “dituntut” lagi oleh hukum Allah, sehingga “diperdamaikan” dengan Allah, melalui kematian Yesus Kristus diatas Salib. Karena kematian Yesus Kristus diatas Salib itu “memperdamaikan” kita dengan Allah ketika masih berdosa, “lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan” dengan beriman dan berada dalam panunggalan dalam kematian Yesus Kristus diatas salib ini, dan bukan hanya itu saja, kitapun juga ikut manunggal dalam “hidup-Nya” yaitu “kebangkitan-Nya”, dan dalam panunggalan dengan kebangkitan Yesus Kristus ini, maka kita “pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya” Artinya dalam panunggalan dengan hidup-Nya yaitu kebangkitan-Nya kita akan dibebaskan dari kematian, dari dosa dan Iblis, dan ikut manunggal dalam kekekalanNya, kemuliaanNya, keterangkatanNya ke Sorga, serta dudukNya di sebelah kanan Allah. Inilah inti “keselamatan” itu. Jadi ada kepastian ikut ambil bagian dalam keberadaan Kristus sesudah kebangkitan itu, bagi orang yang tetap bertahan untuk manunggal dengan Kristus Yesus. Dengan kata lain bukan hanya kita dibenarkan, dan pasti lepas dari murka Allah, namun juga kita telah diperdamaikan sehingga kita pasti diselamatkan, yaitu ikut ambil bagian dalam kodrat Kristus itu. Amin.
Bismil Abi, wal Ibni, war Ruhul Qudus, al-Ilahu Wahid, Amin.
Shalom Alaikhem Be Shem Ha-Massiakh,
Saudara-Saudari yang terkasih dalam Sang Kristus,
Dalam renungan kita yang kedua ini, kita diperhadapkan dengan nubuat tentang Hamba TUHAN (“Ebed Yahweh”), yang amat taat dan dengar-dengaran kepada Yahweh. Ia juga memberi semngat baru kepada orang yang letih lesu. Ini adalah nubuat tentang ciri karya Kristus di dunia ini (Yesaya 50:4-5). Namun juga dikatakan bahwa Ia “memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi” (Yesaya 50:6).
Ini menunjukkan kepada nubuat penderitaan dan aniaya yang dialamiNya sebelum Dia disalibkan. Juga dinyatakan TUHAN Allah akan menolongNya serta Ia “tidak mendapat noda”, dan Allah “menyatakan aku benar”, sehingga tak ada orang yang berani membantah masalah kebenaran denganNya, dan tak satupun “berani menyatakan Aku bersalah” (Yesaya 50:7-9), yang semuanya ini menunjukkan tak seorangpun yang dapat menyatakan kesalahan dan dosa Yesus Kristus pada saat diadili secara tidak adil itu. Dan orang yang mau mendengar suara “Hamba TUHAN” ini akan lepas dari kegelapan, dan orang yang menolakNya akan mengalami api siksa (Yesaya 50:10-11). Nubuat ini ternyata digenapi secara tepat dalam peristiwa penderitaan Yesus Kristus seperti yang dinyatakan dalam bacaan Injil kita kali ini. Dalam bacaan kita ini Yesus Kristus dianiaya oleh para pasukan Romawi dengan diejek sebagai raja badut dan raja pelawak (Markus 15:16-20a), kemudian setelah olok-olok ini, langsung digiring ke tempat Tengkorak dan disalibkan (Markus 15:20b-22). Diatas Salib itu Dia diolok-olok, dihujat, diejek, dicela oleh para orang yang melihatNya (Markus 15: 23-32). Setelah semua aniaya dan derita diatas Salib akhirnya Yesus menyerukan doa tanda penyerahan kepada Allah, yang dibarengi dengan huru-hara yang terjadi di alam semesta, serta ejekan orang sekali lagi, namun disertai robeknya tirai Bait Suci dari atas kebawah, serta pengakuan kepala pasukan tentang kebenaran Yesus Kristus sebagai “Anak Allah” (Markus 15:33-39). Dimana penggenapan dari nubuat Yesaya melalui peristiwa Salib itu ini disaksikan oleh para murid Yesus yang mengikuti dari Galilea ke Yerusalem (Markus 15: 40-41). Karena peristiwa Salib ini adalah merupakan penggenapan dari nubuat Nabi yang adalah Wahyu Ilahi, maka jelas peristiwa Salib ini adalah suatu bentuk Wahyu Allah yang dinyatakan dalam sejarah. Karena ini adalah Wahyu Ilahi, maka jelas Peristiwa Salib ini mempunyai makna rohani yang dalam yang bukan hanya sekedar peristiwa sejarah saja.
Risalah Rasuliah kita adalah yang menjelaskan makna dari peristiwa Salib ini. Dalam bacaan Rasuliah kita dinyatakan bahwa kematian Kristus itu adalah “untuk kita orang-orang durhaka” (Roma 5:6), karena terbukti dari nubuat yang telah kita baca diatas pada diri-Nya sendiri Kristus tak memiliki dosa dan kesalahan apapun, sehingga seharusnya Ia tak layak dijatuhi hukuman seperti itu. Jika demikian halnya maka jelas kematian Kristus bukanlah untuk diriNya atau demi dosa-Nya sendiri namun untuk kita orang durhaka, yang secara jelas digambarkan dalam kasus mengenai “Barabas” orang durhaka yang dibebaskan demi kematian Kristus. Sama seperti Barabas yang tak memiliki kekuatan hukum untuk dapat melepaskan diri dari kematian yang sudah ditetapkan baginya, demikianlah “ Kristus telah mati” itupun “Karena waktu kita masih lemah” (Roma 5:6), yaitu dalam keadaan tidak mampu untuk melepaskan diri dari kuasa dosa , maut dan Iblis. Karena peristiwa Salib itu adalah manifestasi dari Wahyu Ilahi, maka pemunculannya dalam sejarah pada saat yang telah terjadi adalah sesuatu yang terjadi “pada waktu yang ditentukan oleh Allah” (Roma 5:6). Jika ini adalah sesuatu yang ditentukan Allah waktunya, berarti ini bukan karangan manusia, oleh karena itu adalah suatu hujat yang mengerikan mengatakan bahwa Yesus itu tak pernah disalibkan, karena Allah justru telah menentukan waktu kejadian itu di dalam ke-Maha-Tahuan-Nya.
Karena Allah tak pernah berdusta, maka penolakan atas fakta penyaliban itulah yang dusta, bukan kejadiannya yang sebenarnya itu yang dusta. Karena kematian Kristus itu adalah untuk orang-orang durhaka, maka jelas Ia tidak mati bagi orang yang benar, dan ini membuktikan bahwa semua manusia itu berdosa, sebab “tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar” (Roma 5:7). Orang benar adalah berarti orang yang tak memiliki kesalahan sedikitpun, berarti orang yang sama sekali tak memiliki dosa. Untuk orang yang demikian tak ada hukuman apapun yang dapat diterapkan, oleh karena itu tak ada kematian yang dituntut daripadanya, sehingga tak mudah seorang mati bagi orang yang benar. Namun “mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati” (Roma 5:7), karena orang baik belum tentu tanpa dosa, artinya orang baik belum tentu orang benar. Berarti orang baik dapat saja terkena hukuman, sehingga untuk orang yang baik demikian masih dimungkinkan orang lain untuk mati menggantikannya. Demikianlah Kristus tidak mempermasalahkan tentang “baik” saja, namun Ia mempermasalahkan tentang yang “benar”. Itulah sebabnya kita tak dapat membanggakan diri bahwa seseorang yang “baik” itu pasti selamat, namun apakah orang yang “baik” itu yakin bahwa ia juga orang “benar”, jika tidak berarti iapun masih dibawah kuasa dosa. Dan untuk orang yang menyadari keberadaannya seperti inilah kematian Kristus itu disediakan. Dan justru “karena Kristus telah mati untuk kita” (Roma 5:8) “ketika kita masih berdosa.” Itu menunjukkan bahwa kematianNya itu sebagai bukti pewahyuan dari belas kasihan Allah bagi manusia dimana oleh kematian Kristus sebagai Firman Allah yang diturunkan ke bumi sebagai manusia itu “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita” (Roma 5:8), berarti kematian Kristus adalah bukti kasih Allah yang tak dapat diukur itu kepada manusia, yang menghendaki agar manusia lepas dari dosa, dari Iblis dan dari maut oleh akibat kemenangan Kristus yang diperjuangkan oleh kematianNya itu.
Melalui kematian Kristus diatas Salib yang mencurahkan darah-Nya sebagai Korban itulah kita “sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya” (Roma 5:9). Diatas telah kita renungkan bahwa Kristus mati untuk kita orang durhaka, dan manusia itu paling tinggi hanya dapat mencapai tingkat “baik”, namun bukan tingkat “benar,” padahal tingkat ”benar” itulah yang dikehendaki Allah agar manusia dapat mencapai keselamatan, maka Kristuslah yang membuat kita yang "durhaka" ini mencapai tingkat “benar” itu melalui pencurahan darah-Nya diatas Kayu Salib itu. Logikanya adalah demikian: Kitab Suci mengatakan bahwa “Upah Dosa adalah Maut” (Roma 6:23), sehingga dalam Perjanjian Lama kebenaran ini dipraktekkan secara apa adanya, setiap kali orang berdosa maka ia dihukum “mati” (Imamat 20). Namun melalui korban binatang, kematian itu diwakilkan, dengan jalan si binatang itu yang mati dengan mencurahkan darahnya, sehingga darah binatang yang tercurah sebagai bentuk tuntutan kematian yang telah digenapi itu menjadikan si orang berdosa yang mempersembahkan korban itu tak mendapat “tuntutan kematian” lagi menurut hukum, maka ia hidup dan tidak mati. Secara hukum ia bebas, dan ia menjadi “benar”. Demikianlah Kristus adalah “Anak Domba” (Yohanes 1:29), yang telah mencurahkan darah-Nya diatas salib. Maka Darah Kristus yang telah tercurah itupun berfungsi sama seperti darah binatang korban .
Karena kemanusiaan Kristus adalah inti dari segenap kemanusiaan kita semua yang diambil dan dikenakan oleh Firman Allah itu sendiri, maka kematian Kristus yang hanya satu orang itu menjadi kematian semua orang: ”jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati” (II Korintus 5:14). Dengan Kristus mati mencurahkan darahNya diatas Salib itu maka kita yang menyatu dengan kemanusiaan Kristus oleh iman melalui baptisan (Galatia 3:26-27) itu kita juga ikut mati, dengan demikian ikut mencurahkan darah bersama Kristus, maka tuntutan hukum itupun telah kita genapi di dalam kematian yaitu tercurahnya darah Kristus yang didalamnya kita ikut manunggal itu. Maka Darah Kristus yang tercurah itu membuat kita bebas dari tuntutan maut, maka kita sekarang bebas dari tuntutan kematian dari Taurat itu, sehingga kita menjadi “benar”. Demikianlah oleh darah Kristus kita semua telah “dibenarkan”. Dengan sekarang telah dibenarkan oleh darah Kristus ini, maka “kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah” (Roma 5:9). Murka Allah artinya pernyataan “Api Ilahi” yang membakar akibat dosa, dan manusia berdosa yang tersentuh oleh Api yaitu Energi Ilahi itu akan terbakar dalam siksa, dan itu akan terjadi pada akhir jaman nanti (I Korintus 3:11-15). Jadi “murka Allah” bukan artinya Allah itu pemarah, namun itu berarti dosa memang tak dapat bersentuhan dengan Api Kesucian Ilahi ini sehingga menyebabkan orang berdosa itu tersiksa oleh Api itu, maka dalam kacamata manusia itu dilihat sebagai Allah sedang murka , sebagaimana dikatakan Kitab Suci: ”Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.” (Ibrani 12:29).
Melalui panunggalan kita dalam kematian dan kebangkitan Kristus yang terus-menerus maka kita dibebaskan dari tuntutan hukum Allah itu, maka pada saat zaman akhir dimana “Api Ilahi” itu dinyatakan kita tak lagi ikut “dihanguskan” olehnya, jika kita memang sekarang tetap bertumbuh dan berakar dalam panunggalan kita dengan Kristus, dengan kata lain kita pasti “diselamatkan dari murka Allah” ini. Karena “jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya” (Roma 5:10). Kepastian ini didasarkan pada fakta bahwa sebagai manusia yang berdosa kita adalah “masih seteru”, karena sebagai manusia berdosa tanpa Kristus kita hidup oleh keinginan daging kita padahal “keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya.” (Roma 8:7), serta itulah keadaan “hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat” (Kolose 1:21). Namun dalam keadaan masih seteru yang demikian ini, yaitu keadaan dimana manusia dinyatakan oleh hukum moral dan hukum Taurat Allah sebagai pelanggar yang “tidak mau takluk Allah” serta yang “memusuhiNya dalam hati dan pikiran” seperti ini, melalui panunggalan dengan ketaatan mutlak Yesus Kristus dalam mati-Nya di Kayu Salib (Filipi 2:6-8), dan yang melalui ketaatan mutlak itu dinyatakan sebagai yang menggenapi seluruh tuntutan hukum Allah. Karena inti tuntutan seluruh hukum Allah adalah “ketaatan” dan Yesus disalibkan sampai matu adalah karena “taat” (Filipi 2:6-8), sehingga Kristus secara mutlak menggenapi inti “tuntutan hukum Allah.”
Maka Kristus dan kita yang manunggal dengan ketaatanNya sampai mati di Kayu Salib itu, tak “dituntut” lagi oleh hukum Allah, sehingga “diperdamaikan” dengan Allah, melalui kematian Yesus Kristus diatas Salib. Karena kematian Yesus Kristus diatas Salib itu “memperdamaikan” kita dengan Allah ketika masih berdosa, “lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan” dengan beriman dan berada dalam panunggalan dalam kematian Yesus Kristus diatas salib ini, dan bukan hanya itu saja, kitapun juga ikut manunggal dalam “hidup-Nya” yaitu “kebangkitan-Nya”, dan dalam panunggalan dengan kebangkitan Yesus Kristus ini, maka kita “pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya” Artinya dalam panunggalan dengan hidup-Nya yaitu kebangkitan-Nya kita akan dibebaskan dari kematian, dari dosa dan Iblis, dan ikut manunggal dalam kekekalanNya, kemuliaanNya, keterangkatanNya ke Sorga, serta dudukNya di sebelah kanan Allah. Inilah inti “keselamatan” itu. Jadi ada kepastian ikut ambil bagian dalam keberadaan Kristus sesudah kebangkitan itu, bagi orang yang tetap bertahan untuk manunggal dengan Kristus Yesus. Dengan kata lain bukan hanya kita dibenarkan, dan pasti lepas dari murka Allah, namun juga kita telah diperdamaikan sehingga kita pasti diselamatkan, yaitu ikut ambil bagian dalam kodrat Kristus itu. Amin.