Salib Sebagai Hikmat & Kuasa Allah
[by: Fr. Daniel Byantoro]
Date: 06 September 2008
Bismil Abi, wal Ibni, war Ruhul Qudus, al -Ilahu Wahid, Amin.
Shalom Alaikhem Be Shem Ha-Massiakh,
Saudara- saudari Yang terkasih di dalam Sang Kristus,
Pagi tadi kita telah merenungkan beberapa segi dari makna penyaliban Kristus bagi keselamatan dan kehidupan iman kita. Siang ini sementara kita akan mendramakan apa yang kemudian terjadi sesudah jam tiga siang di hari Jumat kala Kristus disalibkan itu, kita juga akan merenungkan lagi makna peristiwa penyaliban Kristus itu dalam pendramaan liturgis yang sedang kita lakukan ini.
Dalam bacaan Perjanjian Lama untuk siang ini kita diperhadapkan dengan peristiwa dimana Musa berhadapan muka dengan muka dengan Allah (Keluaran 33:11), dimana Musa memohon kasih-karunia Allah agar ditunjukkan jalan Allah kepadanya, agar ia mengenal dan dengan demikian tetap dalam kasih-karunia itu (Keluaran 33:12-13). Dengan demikian iman yang diyakini oleh Nabi Musa adalah Iman yang berdasarkan pada kasih-karunia Allah berdasarkan pengenalan akan Allah dan akan jalan-jalan Allah yaitu mentaati perintah-perintah dan kehendakNya sebagai respons terhadap kasih-karunia Allah itu.
Sedangkan dalam Ayub 42:12-17 kita diperhadapkan dengan kisah Ayub yang tadinya menderita dan sudah tak mungkin bangkit dari kesengsaraannya namun dipulihkan lagi oleh Allah dan semua harta serta keluarganya dikembalikan lagi kepadanya dan ia hidup sampai berumur lanjut. Ini adalah lambang Kristus yang kelihatannya sudah mati dan dikuburkan dan tak mungkin bangkit hidup lagi, namun Allah membangkitkan Dia serta mengangkatNya dalam kemuliaan kekal. Tipologi kisah Ayub ini diteguhkan dengan nubuat dalam Yesaya 52:13-54:1 mengenai “Hamba TUHAN” yang menderita, dimana penderitaanNya dan makna penderitaanNya itu bagi manusia digambarkan secara jelas (Yesaya 52:13-15, 53:1-7) demikian juga kematian dan penguburanNya (Yesaya 53:8-10), serta kebangkitan dan pemuliaanNya di Sorga (Yesaya 53: 11-12), dan terciptanya Gereja akibat dari peristiwa Hamba TUHAN yang menderita itu (Yesaya 54:1). Apa yang dinubuatkan dalam pasal-pasal Perjanjian Lama ini semua menemui penggenapannya dalam peristiwa Sengsara, Derita, Penyaliban, Kematian dan penguburan Kristus. Dimana menurut penggenapannya dalam Injil sesudah malamnya Kristus diadili secara semena-mena oleh para pemimpin agama Yahudi, maka mereka memutuskan Yesus untuk dihukum mati serta membawa Dia ke Pontius Pilatus untuk diadili secara hukum pemerintah (Matius 27:1-2).
Dan mengetahui akan keputusan yang diambil para pemimpin agama itu Yudas Iskariot yang menjual Yesus menyesal atas perbuatannya, membuang uangnya dan mati gantung diri (Matius 27:3-10). Sesampai di hadapan Pilatus Yesus dituduh dengan tuduhan-tuduhan palsu bahwa Ia ingin memberontak kepada pemerintah Romawi dengan ingin menjadi Raja (Matius 27:11-14). Meskipun Pilatus mendapat peringatan isterinya bahwa Yesus tidak bersalah, namun karena desakan orang banyak oleh hasutan para imam Ia menyerahkan Yesus untuk disalibkan dan Barabas seorang penyamun yang dipenjarakan dilepaskan (Matius 27: 15-22). Pilatus tahu Yesus tidak bersalah, maka ia berusaha melepaskan tanggung-jawab atas darah orang yang tak bersalah dengan mencuci tangannya di depan orang banyak yang berkerumun itu (Matius 27:23-26), Oleh para pasukan Yesus diperolok-olokkan sebagai “raja badut” (Matius 27:27-31). Lalu Ia digiring keluar sampai ke Bukit Tengkorak (Golgota), disalibkan dengan dua orang penyamun disebelah kanan dan kirinya, dengan tuduhan atasNya dituliskan diatas kepalaNya yaitu “Raja Orang Yahudi “ (Matius 27: 32-38). Dalam semua peristiwa ini Yesus menggenapi nubuat Yesaya 52:13-53:7. Selanjutnya dalam keadaan tergantung diantara dua penyamun itu salah seorang penyamun itu menghujat Yesus, namun yang satunya percaya kepadaNya dan diberi janji tentang Firdaus oleh Kristus (Lukas 23: 39-43), sehingga hal itu menggenapi nubuat Yesaya 53:9-11.
Bukan hanya itu saja orang-orang yang lewatpun menghujat Kristus, demikian juga imam-imam kepala (Matius 27: 39-43), bahkan penyamun-penyamun yang telah kita bicarakan tadi (Matius 27: 44). Kejadian ini menggenapi nubuat Yesaya 53:3 yang menyatkan bahwa Ia itu dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh sengsara, ia sangat dihina sehingga orang menutup mukanya terhadap dia, karena dia tak temasuk hitungan. Mulai jam dua belas huru-hara alam timbul, Yesus berdoa dan menyerahkan nyawa kemanusiaanNya kepada Allah (Matius 27:45-49). Dan dampak dari kematianNya amat luar biasa sekali: Tabir Bait Suci terbelah dua. sebagai lambang jalan ke Sorga sudah terbuka, gempa bumi yang dahsyat sampai bukit-bukit batu terbelah sebagai lambang alam semesta berduka dan ikut murka atas dosa manusia yang berlaku jahat terhadap Firman Allah yang menciptakan mereka itu dan juga lambang ikut beperangnya balatentara Sorga melawan balatentara Iblis, kuburan-kuburan terbuka, sebagai lambang Iblis telah dikalahkan sehingga manusia yang ditawannya dilepaskan dan banyak orang meninggal yang bangkit lalu masuk ke tempat kudus, sebagai bukti keselamatan yang ditimbulkan akibat dari kematian Kristus diatas salib itu (Matius 27:45-53), Sehingga semua peristiwa dahsyat ini memaksa kepala pasukan dan prajurit-prjuritnya yang ada dibawah Salib itu mengakui bahwa Yesus memang “Anak Allah” (Matius 27:54). Setelah Yesus wafat orang-orang Yahudi minta supaya mayat-mayat yang tergantung di Salib itu dipatahkan kakinya bagi yang masih hidup dan segera diturunkan dari Salib (Yohanes 19:31). Para prajurit mematahkan kaki orang-orang yang tergantung itu, namun kaki Yesus tidak, sehingga dengan demikian Yesus menggenapi nubuat tentang Anak Domba Paskah yang tak ada tulangnya satupun yang dipatahkan (Yohanes 19: 32-33, 36), namun lambungYesus ditusuk dengan tombak oleh salah seorang prajurit itu, sehingga mengeluarkan darah dan air (Yohanes 19: 34-35), lambang lahirnya Gereja, sebagai Hawa yang baru, namun juga lambang penyatuan gereja dengan Kristus oleh darah dan air dalam perjamuan Kudus. Oleh karena itu anggur dalam Perjamuan Kudus itu selalu dicampur dengan air hangat sebelum itu didoakan untuk mengingatkan peristiwa diatas salib ini. Dan penikaman ini juga merupakan penggenapan nubuat Nabi Zakaria (Yohanes 19: 37, Zakaria 4:12:10). Karena peristiwa penyaliban itu bukan peristiwa yang dibuat-buat namun sebagai penggenapan dan penyataan ilahi, maka perituiwa itu disaksikan oleh banyak perempuan dan para pengikut Yesus yang lain (Matius 27:55-46).
Menjelang senja baru mayat Yesus diambil oleh Yusuf dari Arimatea yang memintanya dari Pontius Pilatus, serta dikafani dengan lenan halus, dan dikuburkan dalam bukit batu serta kubur itu ditutup dengan batu, sambil kemudian Maria Magdalena dan Mari ayang lain tinggal duduk didepan kubur itu, untuk menyatakan bahwa Yesus memang mati, dan Yesus memang dikuburkan (Matius 27:57-61). Demikianlah semua nubuat Nabi digenapi dalam peristiwa penderitaan, kematian dan penyaliban Yesus Kristus itu. Dari semua yang diderita Yesus ini makna apalagi yang dapat kita mengerti sebagai penyataan dan pewahyuan Allah dalam sejarah sehingga kita dapat menghayatinya lebih dalam lagi. Bacaan rasuliah kita menjelaskan demikian. Peristiwa Salib ini menjadi isi pemberitaan Injil yang paling penting dalam sejarah Gereja sepanjang segala abad. Karena dalam peristiwa salib yang dimeteraikan oleh Kebangkitan itulah rencana Allah untuk menyelamatkan dunia ini tercapai dan terjadi. Namun demikian tidak semua orang rela untuk menerima kebenaran ini. Sehingga dunia dibagi menjadi dua, yaitu dunia kaum yang akan binasa yaitu dunia yang memberontak terhadap Allah dan dunia yang akan diselamatkan yaitu dunia yang menerima pemberitaan dan wahyu Allah tentang Salib itu.
Bagi dunia yang akan binasa itu “pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan” (I Korintus 1:18), bagaimana tidak bodoh, seorang penjahat yang mati digantung secara hina dianggap alat penggantungannya itu sumber keselamatan dan didalamnya terkandung hikmat Allah yang terdalam? Ini pasti orang-orang tak memiliki akal saja yang percaya seperti itu. Bodoh sekali ajaran yang demikian itu. Karena dianggap bodoh lalu ditertwakan, kemudian diejek, selanjutnya diserang dan akhirnya dianiaya. Namun “bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” (I Korintus 1:18). Pemberitaan Salib itu adalah “kekuatan Allah” karena melalui peristiwa salib ini suatu kebenaran yang agung dinyatakan yang menunjukkan kekuatan Allah yang menyelamatkan itu dinyatakan melalui peristiwa itu. Dalam peristiwa Salib ini suatu Mezbah semesta dibentangkan dan suatu korban Ilahi dipersembahkan, dengan demikian suatu pendamaian dan pengampunan ditawarkan. Dalam peristiwa Salib ini kutukan yang dijatuhkan pada Adam karena ketidak-taatannya (Kejadian 3:17), telah dicabut (Galatia 3:13) melalui ketaatan Kristus (Filipi 2:8). Ini terjadi karena orang yang mati disalib itu adalah orang terkutuk akibat tidak taat pada hukum (Galatia 3:13), padahal Kristus disalibkan justru karena ketaatan bukan karena pelanggaran, maka hukum kutuk atas orang yang disalibkan itu tak berlaku atas Kristus, sehingga hukum kutuk atas orang yang disalibkan itu menjadi musnah oleh ketaatan Kristus, dengan demikian Kristus melenyapkan kutuk atas manusia. Dalam peristiwa Salib ini Kristus telah memakukan “hutang-hutang dosa” kita akibat ketak-mampuan kita menggenapi seluruh perintah Allah, Kristus dalam ketaatanNya telah menggenapi inti seluruh Perintah Allah: ketaatan, melalui taat diatas Salib (Filipi 2:8) sehingga Ia telah membayar dan makukan surat-surat hutang kita, karena kita manunggal dalam penyaliban Krisatus itu melalui baptisan (Kolose 2:14), namun juga melalui peristiwa Salib ini Kristus mengalahkan kuasa Iblis dan roh-roh jahat (Ibrani 2:14, Kolose 2:15), sehingga dengan demikian Ia telah mengalahkan kematian, dengan begitu mengalahkan kuasa dosa dan maut, sehingga mengaruniakan hidup kekal kepada manusia.
Semuanya itu hanya mungkin terjadi jika kuasa Allah ada dibalik peristiwa Salib ini, oleh karena itu pemberitaan Salib dengan segala maknanya ini adalah “kekuatan Allah” bagi kita yang diselamatkan artinya yang percaya dan yakin akan apa yang terjadi dibalik peristiwa Salib itu. Dan kebenaran ini diluar jangakaun para “orang berhikmat” serta “para arif”, sehingga kebijakan dan kearifan mereka didepan Salib ini menjadi lenyap (I Korintus 1:19), karena hikmat dan kebijakan mereka ini hanya “hikmat dunia” saja, dan didepan Salib hikmat itu menjadi “bodoh” tak berlaku lagi, karena Salib mempunyai hikmatnya sendiri yang berbeda dari hikmat dunia (I Korintus 1:20). Sebab makna Salib dan pemberitaannya itu adalah “hikmat Allah” yang luput dari “hikmat dunia”, hikmat dunia ini “tidak mengenal Allah” karena hanya berkutat sekitar pendapat dan spekulasi angan-angan saja. Bagi hikmat dunia, berita Salib sebagai “hikmat Allah” yaitu pemberitaan Injil tentang Salib ini justru dianggap sebagai kebodohan, namun sebagaimana yang telah kita bahas tadi, justru apa yang dianggap bodoh ini ternyata itulah yang menyelamatkan (I Korintus 1:21). Karena dalam dunia ini hanya dua kelompok manusia yaitu orang yang menginginkan “tanda-tanda” dan “mukjizat-mukjizat” atau “kesaktian-kesaktian” dan “ilmu-ilmu kanuragan” seperti halnya orang-orang Yahudi, dan orang-orang yang menghendaki teori filsafat dan pembahasan mistik kebatinan yang njlimet-njlimet seperti halnya orang-orang Yunani yang “mencari hikmat” (I Korintus 1:22), namun Injil berbeda dari itu semua.
Injil justru memberitakan apa yang menjadi sandungan bagi orang Yahudi, karena mereka tak percaya bahwa Mesias dapat disalibkan, atau bagi orang Islam, karena mereka tak percaya bahwa Nabi Allah yang suci dapat disalibkan, dan menjadi kebodohan bagi orang-orang Yunani atau bagi pemikiran filsafat dan kebatinan lainnya, karena mereka mempertanyakan bagaimana orang yang mati dihukum dapat menjadi sumber hikmat dan filsafat yang mendalam, dan pemberitaan Injil itu adalah “Kristus yang disalibkan” (I Korintus 1:23). Dan bagi orang yang dipanggil, yaitu kita yang percaya justru Kristus dan SalibNya itu adalah “hikmat Allah” yaitu suatu peristiwa yang asalnya berasal dari rencana Allah yang terkandung dari pikiran Allah sebelum dunia ini dijadikan, dan juga “kekuatan Allah”: sebagaimana yang telah kita bahas di depan tadi (I Korintus 1:24). Karena otak manusia tak dapat menjangkau apa yang ada di dalam pikiran Allah itulah mereka menganggap Kristus dan SalibNya itu adalah sesuatu yang bodoh dan yang lemah, padahal yang bodoh dari Allah, dan yang lemah dari Allah itu justru “lebih besar hikmatnya” dan “lebih kuat” daripada apa yang diangan-angan manusia itu (I Korintus 1:25), sama seperti kebanyakan orang yang dipanggil Allah untuk percaya itu adalah orang-orang yang sederhana dan tak memikliki kedudukan tinggi (I Korintus 1:26), namun apa “yang bodoh” dan apa “yang lemah” bagi dunia ini, justru dipilih Allah untuk mempermalukan yang “berhikmat” dan yang “kuat” bagi dunia (I Korintus 1:27). Demikian juga apa “yang tidak terpandang”, karena Kristus datang bukan sebagai raja yang berkuasa dan berkedudukan namun sebagai tukang kayu yang miskin, serta apa yang “tidak berarti”, karena seseorang yang mati dibawah hukuman pemerintah Romawi itu adalah orang buangan, bagi dunia ini, justru cara itu yang dipilih Allah untuk mengatasi dan mempermalukan apa yang dianggap terpandang dan berarti bagi dunia ini (I Korintus 1:28). Tujuannya adalah agar “jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah.” (I Korintus 1:29). Artinya mengajar manusia untuk merasa dirinya kecil dihadapan Allah, dan untuk menganggap dirinya tak meiliki apa-apa. Dengan demikian hanya Allah yang dibesarkan dan si manusia itu hanya dapat merendahkan diri di hadapan Allah, karena ternyata hikmat dan kekuatan Allah itu didalam penyataannya melampaui hikmat dan kekuatan manusia. Dan kita sebagai orang percaya “oleh Dia” yaitu karena kasih-karunia Allah, sebagaimana yang dimohonkan Nabi Musa kepada Allah didepan tadi, kita “berada dalam Kristus Yesus” (I Korintus 1:30) artinya kita sekarang manunggal dengan Kristus Yesus, dan dalam panunggalan ini kita dapat memahami bahwa Yesus Kristus ini “oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita” Bagaimana Yesus Kristus itu bagi kita menjadi “hikmat” bagi kita? Hanya kalau kita melihat bahwa dalam peristiwa Yesus Kristus itulah Allah sedang berkarya. Ia menjadi “hikmat” artinya Ia menjadi cara pandang kita tentang kebenaran, Ia menjadi cara pandang kita tentang kehidupan, Ia menjadi cara hidup kita, Ia menjadi cara pandang kita tentang agama, Ia menjadi cara kita bertheologia, ber-ilmu dan berfilsafat.
Pendek kata Yesus Kristus menjadi “harta karun kebenaran” bagi kita. Dan jika kita sudah dapat menjadikan Yesus Kristus segala-galanya dalam cara kita bertindak, berpikir dan berpandangan maka Ia telah menjadi “hikmat” bagi kita. Dan dengan demikian kita dapat menyadari bahwa Yesus Kristus itu “membenarkan” kita, artinya tadinya kita adalah orang-orang durhaka yang tidak benar secara hukum Taurat, karena pemberontakan kita, namun karena Yesus “taat” sampai mati di Kayu Salib maka pemberontakan manusia sudah dimusnahkan, dengan demikian kemanusiaan yang dikenakan Yesus Kristus dalam penyaliban itu menjadi benar dan sudah dibenarkan. Kitapun kalau ikut manunggal dalam kemanusiaan Yesus Kristus yang telah disalibkan itu juga ikut dibenarkan. Demikian juga karena kita telah dibenarkan maka kita sekarang diikut-sertakan dalam kebangkitan kemanusiaan Yesus Kristus itu, dan dalam kebangkitanNya kemanusiaan Yesus Kristus itu menyatakan kekudusan dan kemuliaan Ilahi, sehingga kita yang manunggal dalam kemanusiaan Kristus itu juga ikut dikuduskan oleh kuasa kekuddusan dari hidup kebangkitan tadi. Selanjutnya kematian Yesus Kristus itu juga tekah mengalahkan dia yang berkuasa atas maut, yaitu Iblis (Ibrani 2:14). Kita oleh dosa dibawah cengkraman maut itu, namun karena oleh kematianNya Yesus Kristus telah merebut kita dari cengkraman maut, maka kita telah “ditebus” dari cengkraman Iblis itu. Demikianlah Yesus Kristus itu telah “membenarkan dan menguduskan dan menebus kita”. Dan inilah “hikmat tertinggi” yang hanya dapat diberikan oleh Yesus Kristus saja dan bukan oleh yang lain.
Dengan menyadari akan hal ini, jelas kita tahu bahwa kemegahan itu bukan dari kemampuan atau hikmat manusia namun dari Tuhan, sehingga kita harus ingat selalu akan peringatan ini: "Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan.” (I Korintus 1:31). Jadi Injil atau kesaksian Allah yang disampaikan kepada kita itu bukan terdiri dari “kata-kata yang indah atau dengan hikmat” (I Korintus 2:1), karena kata-kata indah, atau kepandaian dan kefasihan berpidato dan berkotbah, maupun “hikmat” yaitu filsafat atau keilmuan manusia itu tak dapat memberikan penebusan, pengudusan maupun pembenaran. Dan kita sebagai umat percaya harus “memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa” dari teori-teori tentang kebenaran yang ada dalam dunia ini, karena bagi kita hanya satu saja yang harus menjadi inti kebenaran dan tidak ada selain itu yaitu “Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan.” (I Korintus 2:2). Pengetahuan akan Yesus Kristus itu harus dikaitkan dengan kata “disalibkan”, karena Agama Islam juga mengakui Yesus Kristus sebagai Isa Almasih namun tidak percaya Ia disalibkan. Yesus Kristus yang demikian itu bukan “hikmat Allah” yang diberitakan oleh Injil, berarti itu termasuk hikmat dunia, karena Salib masih menjadi sandungan baginya. Oleh karena itu Yesus Kristus itu haruslah yang disalibkan agar kita menemukan hikmat dan kuasa Allah, sehingga melaluiNya kita menerima pembenaran, pengudusan dan penebusan. Jika tanpa Salib maka pembenaran, pengudusan dan penebusan itu tidak akan terjadi, dengan demikian kita tetap tidak menerima hikmat dan kuasa Allah di dalam Yesus Kristus. Itulah pentingnya Salib Kristus itu. Amin.
Bismil Abi, wal Ibni, war Ruhul Qudus, al -Ilahu Wahid, Amin.
Shalom Alaikhem Be Shem Ha-Massiakh,
Saudara- saudari Yang terkasih di dalam Sang Kristus,
Pagi tadi kita telah merenungkan beberapa segi dari makna penyaliban Kristus bagi keselamatan dan kehidupan iman kita. Siang ini sementara kita akan mendramakan apa yang kemudian terjadi sesudah jam tiga siang di hari Jumat kala Kristus disalibkan itu, kita juga akan merenungkan lagi makna peristiwa penyaliban Kristus itu dalam pendramaan liturgis yang sedang kita lakukan ini.
Dalam bacaan Perjanjian Lama untuk siang ini kita diperhadapkan dengan peristiwa dimana Musa berhadapan muka dengan muka dengan Allah (Keluaran 33:11), dimana Musa memohon kasih-karunia Allah agar ditunjukkan jalan Allah kepadanya, agar ia mengenal dan dengan demikian tetap dalam kasih-karunia itu (Keluaran 33:12-13). Dengan demikian iman yang diyakini oleh Nabi Musa adalah Iman yang berdasarkan pada kasih-karunia Allah berdasarkan pengenalan akan Allah dan akan jalan-jalan Allah yaitu mentaati perintah-perintah dan kehendakNya sebagai respons terhadap kasih-karunia Allah itu.
Sedangkan dalam Ayub 42:12-17 kita diperhadapkan dengan kisah Ayub yang tadinya menderita dan sudah tak mungkin bangkit dari kesengsaraannya namun dipulihkan lagi oleh Allah dan semua harta serta keluarganya dikembalikan lagi kepadanya dan ia hidup sampai berumur lanjut. Ini adalah lambang Kristus yang kelihatannya sudah mati dan dikuburkan dan tak mungkin bangkit hidup lagi, namun Allah membangkitkan Dia serta mengangkatNya dalam kemuliaan kekal. Tipologi kisah Ayub ini diteguhkan dengan nubuat dalam Yesaya 52:13-54:1 mengenai “Hamba TUHAN” yang menderita, dimana penderitaanNya dan makna penderitaanNya itu bagi manusia digambarkan secara jelas (Yesaya 52:13-15, 53:1-7) demikian juga kematian dan penguburanNya (Yesaya 53:8-10), serta kebangkitan dan pemuliaanNya di Sorga (Yesaya 53: 11-12), dan terciptanya Gereja akibat dari peristiwa Hamba TUHAN yang menderita itu (Yesaya 54:1). Apa yang dinubuatkan dalam pasal-pasal Perjanjian Lama ini semua menemui penggenapannya dalam peristiwa Sengsara, Derita, Penyaliban, Kematian dan penguburan Kristus. Dimana menurut penggenapannya dalam Injil sesudah malamnya Kristus diadili secara semena-mena oleh para pemimpin agama Yahudi, maka mereka memutuskan Yesus untuk dihukum mati serta membawa Dia ke Pontius Pilatus untuk diadili secara hukum pemerintah (Matius 27:1-2).
Dan mengetahui akan keputusan yang diambil para pemimpin agama itu Yudas Iskariot yang menjual Yesus menyesal atas perbuatannya, membuang uangnya dan mati gantung diri (Matius 27:3-10). Sesampai di hadapan Pilatus Yesus dituduh dengan tuduhan-tuduhan palsu bahwa Ia ingin memberontak kepada pemerintah Romawi dengan ingin menjadi Raja (Matius 27:11-14). Meskipun Pilatus mendapat peringatan isterinya bahwa Yesus tidak bersalah, namun karena desakan orang banyak oleh hasutan para imam Ia menyerahkan Yesus untuk disalibkan dan Barabas seorang penyamun yang dipenjarakan dilepaskan (Matius 27: 15-22). Pilatus tahu Yesus tidak bersalah, maka ia berusaha melepaskan tanggung-jawab atas darah orang yang tak bersalah dengan mencuci tangannya di depan orang banyak yang berkerumun itu (Matius 27:23-26), Oleh para pasukan Yesus diperolok-olokkan sebagai “raja badut” (Matius 27:27-31). Lalu Ia digiring keluar sampai ke Bukit Tengkorak (Golgota), disalibkan dengan dua orang penyamun disebelah kanan dan kirinya, dengan tuduhan atasNya dituliskan diatas kepalaNya yaitu “Raja Orang Yahudi “ (Matius 27: 32-38). Dalam semua peristiwa ini Yesus menggenapi nubuat Yesaya 52:13-53:7. Selanjutnya dalam keadaan tergantung diantara dua penyamun itu salah seorang penyamun itu menghujat Yesus, namun yang satunya percaya kepadaNya dan diberi janji tentang Firdaus oleh Kristus (Lukas 23: 39-43), sehingga hal itu menggenapi nubuat Yesaya 53:9-11.
Bukan hanya itu saja orang-orang yang lewatpun menghujat Kristus, demikian juga imam-imam kepala (Matius 27: 39-43), bahkan penyamun-penyamun yang telah kita bicarakan tadi (Matius 27: 44). Kejadian ini menggenapi nubuat Yesaya 53:3 yang menyatkan bahwa Ia itu dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh sengsara, ia sangat dihina sehingga orang menutup mukanya terhadap dia, karena dia tak temasuk hitungan. Mulai jam dua belas huru-hara alam timbul, Yesus berdoa dan menyerahkan nyawa kemanusiaanNya kepada Allah (Matius 27:45-49). Dan dampak dari kematianNya amat luar biasa sekali: Tabir Bait Suci terbelah dua. sebagai lambang jalan ke Sorga sudah terbuka, gempa bumi yang dahsyat sampai bukit-bukit batu terbelah sebagai lambang alam semesta berduka dan ikut murka atas dosa manusia yang berlaku jahat terhadap Firman Allah yang menciptakan mereka itu dan juga lambang ikut beperangnya balatentara Sorga melawan balatentara Iblis, kuburan-kuburan terbuka, sebagai lambang Iblis telah dikalahkan sehingga manusia yang ditawannya dilepaskan dan banyak orang meninggal yang bangkit lalu masuk ke tempat kudus, sebagai bukti keselamatan yang ditimbulkan akibat dari kematian Kristus diatas salib itu (Matius 27:45-53), Sehingga semua peristiwa dahsyat ini memaksa kepala pasukan dan prajurit-prjuritnya yang ada dibawah Salib itu mengakui bahwa Yesus memang “Anak Allah” (Matius 27:54). Setelah Yesus wafat orang-orang Yahudi minta supaya mayat-mayat yang tergantung di Salib itu dipatahkan kakinya bagi yang masih hidup dan segera diturunkan dari Salib (Yohanes 19:31). Para prajurit mematahkan kaki orang-orang yang tergantung itu, namun kaki Yesus tidak, sehingga dengan demikian Yesus menggenapi nubuat tentang Anak Domba Paskah yang tak ada tulangnya satupun yang dipatahkan (Yohanes 19: 32-33, 36), namun lambungYesus ditusuk dengan tombak oleh salah seorang prajurit itu, sehingga mengeluarkan darah dan air (Yohanes 19: 34-35), lambang lahirnya Gereja, sebagai Hawa yang baru, namun juga lambang penyatuan gereja dengan Kristus oleh darah dan air dalam perjamuan Kudus. Oleh karena itu anggur dalam Perjamuan Kudus itu selalu dicampur dengan air hangat sebelum itu didoakan untuk mengingatkan peristiwa diatas salib ini. Dan penikaman ini juga merupakan penggenapan nubuat Nabi Zakaria (Yohanes 19: 37, Zakaria 4:12:10). Karena peristiwa penyaliban itu bukan peristiwa yang dibuat-buat namun sebagai penggenapan dan penyataan ilahi, maka perituiwa itu disaksikan oleh banyak perempuan dan para pengikut Yesus yang lain (Matius 27:55-46).
Menjelang senja baru mayat Yesus diambil oleh Yusuf dari Arimatea yang memintanya dari Pontius Pilatus, serta dikafani dengan lenan halus, dan dikuburkan dalam bukit batu serta kubur itu ditutup dengan batu, sambil kemudian Maria Magdalena dan Mari ayang lain tinggal duduk didepan kubur itu, untuk menyatakan bahwa Yesus memang mati, dan Yesus memang dikuburkan (Matius 27:57-61). Demikianlah semua nubuat Nabi digenapi dalam peristiwa penderitaan, kematian dan penyaliban Yesus Kristus itu. Dari semua yang diderita Yesus ini makna apalagi yang dapat kita mengerti sebagai penyataan dan pewahyuan Allah dalam sejarah sehingga kita dapat menghayatinya lebih dalam lagi. Bacaan rasuliah kita menjelaskan demikian. Peristiwa Salib ini menjadi isi pemberitaan Injil yang paling penting dalam sejarah Gereja sepanjang segala abad. Karena dalam peristiwa salib yang dimeteraikan oleh Kebangkitan itulah rencana Allah untuk menyelamatkan dunia ini tercapai dan terjadi. Namun demikian tidak semua orang rela untuk menerima kebenaran ini. Sehingga dunia dibagi menjadi dua, yaitu dunia kaum yang akan binasa yaitu dunia yang memberontak terhadap Allah dan dunia yang akan diselamatkan yaitu dunia yang menerima pemberitaan dan wahyu Allah tentang Salib itu.
Bagi dunia yang akan binasa itu “pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan” (I Korintus 1:18), bagaimana tidak bodoh, seorang penjahat yang mati digantung secara hina dianggap alat penggantungannya itu sumber keselamatan dan didalamnya terkandung hikmat Allah yang terdalam? Ini pasti orang-orang tak memiliki akal saja yang percaya seperti itu. Bodoh sekali ajaran yang demikian itu. Karena dianggap bodoh lalu ditertwakan, kemudian diejek, selanjutnya diserang dan akhirnya dianiaya. Namun “bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” (I Korintus 1:18). Pemberitaan Salib itu adalah “kekuatan Allah” karena melalui peristiwa salib ini suatu kebenaran yang agung dinyatakan yang menunjukkan kekuatan Allah yang menyelamatkan itu dinyatakan melalui peristiwa itu. Dalam peristiwa Salib ini suatu Mezbah semesta dibentangkan dan suatu korban Ilahi dipersembahkan, dengan demikian suatu pendamaian dan pengampunan ditawarkan. Dalam peristiwa Salib ini kutukan yang dijatuhkan pada Adam karena ketidak-taatannya (Kejadian 3:17), telah dicabut (Galatia 3:13) melalui ketaatan Kristus (Filipi 2:8). Ini terjadi karena orang yang mati disalib itu adalah orang terkutuk akibat tidak taat pada hukum (Galatia 3:13), padahal Kristus disalibkan justru karena ketaatan bukan karena pelanggaran, maka hukum kutuk atas orang yang disalibkan itu tak berlaku atas Kristus, sehingga hukum kutuk atas orang yang disalibkan itu menjadi musnah oleh ketaatan Kristus, dengan demikian Kristus melenyapkan kutuk atas manusia. Dalam peristiwa Salib ini Kristus telah memakukan “hutang-hutang dosa” kita akibat ketak-mampuan kita menggenapi seluruh perintah Allah, Kristus dalam ketaatanNya telah menggenapi inti seluruh Perintah Allah: ketaatan, melalui taat diatas Salib (Filipi 2:8) sehingga Ia telah membayar dan makukan surat-surat hutang kita, karena kita manunggal dalam penyaliban Krisatus itu melalui baptisan (Kolose 2:14), namun juga melalui peristiwa Salib ini Kristus mengalahkan kuasa Iblis dan roh-roh jahat (Ibrani 2:14, Kolose 2:15), sehingga dengan demikian Ia telah mengalahkan kematian, dengan begitu mengalahkan kuasa dosa dan maut, sehingga mengaruniakan hidup kekal kepada manusia.
Semuanya itu hanya mungkin terjadi jika kuasa Allah ada dibalik peristiwa Salib ini, oleh karena itu pemberitaan Salib dengan segala maknanya ini adalah “kekuatan Allah” bagi kita yang diselamatkan artinya yang percaya dan yakin akan apa yang terjadi dibalik peristiwa Salib itu. Dan kebenaran ini diluar jangakaun para “orang berhikmat” serta “para arif”, sehingga kebijakan dan kearifan mereka didepan Salib ini menjadi lenyap (I Korintus 1:19), karena hikmat dan kebijakan mereka ini hanya “hikmat dunia” saja, dan didepan Salib hikmat itu menjadi “bodoh” tak berlaku lagi, karena Salib mempunyai hikmatnya sendiri yang berbeda dari hikmat dunia (I Korintus 1:20). Sebab makna Salib dan pemberitaannya itu adalah “hikmat Allah” yang luput dari “hikmat dunia”, hikmat dunia ini “tidak mengenal Allah” karena hanya berkutat sekitar pendapat dan spekulasi angan-angan saja. Bagi hikmat dunia, berita Salib sebagai “hikmat Allah” yaitu pemberitaan Injil tentang Salib ini justru dianggap sebagai kebodohan, namun sebagaimana yang telah kita bahas tadi, justru apa yang dianggap bodoh ini ternyata itulah yang menyelamatkan (I Korintus 1:21). Karena dalam dunia ini hanya dua kelompok manusia yaitu orang yang menginginkan “tanda-tanda” dan “mukjizat-mukjizat” atau “kesaktian-kesaktian” dan “ilmu-ilmu kanuragan” seperti halnya orang-orang Yahudi, dan orang-orang yang menghendaki teori filsafat dan pembahasan mistik kebatinan yang njlimet-njlimet seperti halnya orang-orang Yunani yang “mencari hikmat” (I Korintus 1:22), namun Injil berbeda dari itu semua.
Injil justru memberitakan apa yang menjadi sandungan bagi orang Yahudi, karena mereka tak percaya bahwa Mesias dapat disalibkan, atau bagi orang Islam, karena mereka tak percaya bahwa Nabi Allah yang suci dapat disalibkan, dan menjadi kebodohan bagi orang-orang Yunani atau bagi pemikiran filsafat dan kebatinan lainnya, karena mereka mempertanyakan bagaimana orang yang mati dihukum dapat menjadi sumber hikmat dan filsafat yang mendalam, dan pemberitaan Injil itu adalah “Kristus yang disalibkan” (I Korintus 1:23). Dan bagi orang yang dipanggil, yaitu kita yang percaya justru Kristus dan SalibNya itu adalah “hikmat Allah” yaitu suatu peristiwa yang asalnya berasal dari rencana Allah yang terkandung dari pikiran Allah sebelum dunia ini dijadikan, dan juga “kekuatan Allah”: sebagaimana yang telah kita bahas di depan tadi (I Korintus 1:24). Karena otak manusia tak dapat menjangkau apa yang ada di dalam pikiran Allah itulah mereka menganggap Kristus dan SalibNya itu adalah sesuatu yang bodoh dan yang lemah, padahal yang bodoh dari Allah, dan yang lemah dari Allah itu justru “lebih besar hikmatnya” dan “lebih kuat” daripada apa yang diangan-angan manusia itu (I Korintus 1:25), sama seperti kebanyakan orang yang dipanggil Allah untuk percaya itu adalah orang-orang yang sederhana dan tak memikliki kedudukan tinggi (I Korintus 1:26), namun apa “yang bodoh” dan apa “yang lemah” bagi dunia ini, justru dipilih Allah untuk mempermalukan yang “berhikmat” dan yang “kuat” bagi dunia (I Korintus 1:27). Demikian juga apa “yang tidak terpandang”, karena Kristus datang bukan sebagai raja yang berkuasa dan berkedudukan namun sebagai tukang kayu yang miskin, serta apa yang “tidak berarti”, karena seseorang yang mati dibawah hukuman pemerintah Romawi itu adalah orang buangan, bagi dunia ini, justru cara itu yang dipilih Allah untuk mengatasi dan mempermalukan apa yang dianggap terpandang dan berarti bagi dunia ini (I Korintus 1:28). Tujuannya adalah agar “jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah.” (I Korintus 1:29). Artinya mengajar manusia untuk merasa dirinya kecil dihadapan Allah, dan untuk menganggap dirinya tak meiliki apa-apa. Dengan demikian hanya Allah yang dibesarkan dan si manusia itu hanya dapat merendahkan diri di hadapan Allah, karena ternyata hikmat dan kekuatan Allah itu didalam penyataannya melampaui hikmat dan kekuatan manusia. Dan kita sebagai orang percaya “oleh Dia” yaitu karena kasih-karunia Allah, sebagaimana yang dimohonkan Nabi Musa kepada Allah didepan tadi, kita “berada dalam Kristus Yesus” (I Korintus 1:30) artinya kita sekarang manunggal dengan Kristus Yesus, dan dalam panunggalan ini kita dapat memahami bahwa Yesus Kristus ini “oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita” Bagaimana Yesus Kristus itu bagi kita menjadi “hikmat” bagi kita? Hanya kalau kita melihat bahwa dalam peristiwa Yesus Kristus itulah Allah sedang berkarya. Ia menjadi “hikmat” artinya Ia menjadi cara pandang kita tentang kebenaran, Ia menjadi cara pandang kita tentang kehidupan, Ia menjadi cara hidup kita, Ia menjadi cara pandang kita tentang agama, Ia menjadi cara kita bertheologia, ber-ilmu dan berfilsafat.
Pendek kata Yesus Kristus menjadi “harta karun kebenaran” bagi kita. Dan jika kita sudah dapat menjadikan Yesus Kristus segala-galanya dalam cara kita bertindak, berpikir dan berpandangan maka Ia telah menjadi “hikmat” bagi kita. Dan dengan demikian kita dapat menyadari bahwa Yesus Kristus itu “membenarkan” kita, artinya tadinya kita adalah orang-orang durhaka yang tidak benar secara hukum Taurat, karena pemberontakan kita, namun karena Yesus “taat” sampai mati di Kayu Salib maka pemberontakan manusia sudah dimusnahkan, dengan demikian kemanusiaan yang dikenakan Yesus Kristus dalam penyaliban itu menjadi benar dan sudah dibenarkan. Kitapun kalau ikut manunggal dalam kemanusiaan Yesus Kristus yang telah disalibkan itu juga ikut dibenarkan. Demikian juga karena kita telah dibenarkan maka kita sekarang diikut-sertakan dalam kebangkitan kemanusiaan Yesus Kristus itu, dan dalam kebangkitanNya kemanusiaan Yesus Kristus itu menyatakan kekudusan dan kemuliaan Ilahi, sehingga kita yang manunggal dalam kemanusiaan Kristus itu juga ikut dikuduskan oleh kuasa kekuddusan dari hidup kebangkitan tadi. Selanjutnya kematian Yesus Kristus itu juga tekah mengalahkan dia yang berkuasa atas maut, yaitu Iblis (Ibrani 2:14). Kita oleh dosa dibawah cengkraman maut itu, namun karena oleh kematianNya Yesus Kristus telah merebut kita dari cengkraman maut, maka kita telah “ditebus” dari cengkraman Iblis itu. Demikianlah Yesus Kristus itu telah “membenarkan dan menguduskan dan menebus kita”. Dan inilah “hikmat tertinggi” yang hanya dapat diberikan oleh Yesus Kristus saja dan bukan oleh yang lain.
Dengan menyadari akan hal ini, jelas kita tahu bahwa kemegahan itu bukan dari kemampuan atau hikmat manusia namun dari Tuhan, sehingga kita harus ingat selalu akan peringatan ini: "Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan.” (I Korintus 1:31). Jadi Injil atau kesaksian Allah yang disampaikan kepada kita itu bukan terdiri dari “kata-kata yang indah atau dengan hikmat” (I Korintus 2:1), karena kata-kata indah, atau kepandaian dan kefasihan berpidato dan berkotbah, maupun “hikmat” yaitu filsafat atau keilmuan manusia itu tak dapat memberikan penebusan, pengudusan maupun pembenaran. Dan kita sebagai umat percaya harus “memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa” dari teori-teori tentang kebenaran yang ada dalam dunia ini, karena bagi kita hanya satu saja yang harus menjadi inti kebenaran dan tidak ada selain itu yaitu “Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan.” (I Korintus 2:2). Pengetahuan akan Yesus Kristus itu harus dikaitkan dengan kata “disalibkan”, karena Agama Islam juga mengakui Yesus Kristus sebagai Isa Almasih namun tidak percaya Ia disalibkan. Yesus Kristus yang demikian itu bukan “hikmat Allah” yang diberitakan oleh Injil, berarti itu termasuk hikmat dunia, karena Salib masih menjadi sandungan baginya. Oleh karena itu Yesus Kristus itu haruslah yang disalibkan agar kita menemukan hikmat dan kuasa Allah, sehingga melaluiNya kita menerima pembenaran, pengudusan dan penebusan. Jika tanpa Salib maka pembenaran, pengudusan dan penebusan itu tidak akan terjadi, dengan demikian kita tetap tidak menerima hikmat dan kuasa Allah di dalam Yesus Kristus. Itulah pentingnya Salib Kristus itu. Amin.