Maryam Selalu Perawan [by: Fr. Daniel Byantoro]
Date: 01 Desember 2011
Di dalam naskah-naskah Liturgis Gereja Orthodox Maryam disebut dengan sebutan:” Ibu kita Yang Tersuci, Murni, Terberkati, Dan Mulia, Sang Theotokos, dan Yang Selalu Perawan Maryam”. Dengan demikian Gereja Orthodox mengajarkan bahwa Maryam itu Selalu Perawan. Demikian pula dalam penggambaran Ikonografi Gereja, Maryam selalu ditandai dengan “bintang:” yang terletak dikening di depan kerudungnya, maupun diatas pundak kiri dan kanannya. Bintang di pundak kanan melambangkan Maryam adalah Perawan Sebelum Mengandung, bintang diatas kening melambangkan bahwa Maryam itu Perawan ketika mengandung, serta bintang di pundak kiri itu melambangkan bahwa Maryam itu Perawan Sesudah Melahirkan. Artinya Maryam itu “Selalu Perawan”. Demikian ajaran resmi Gereja Orthodox.
Kepercayaan akan Keperawanan Maryam yang terus menerus barangkali kelihatannya untuk pertama kali bertentangan dengan Alkitab, karena Markus 3:21 menyebutkan tentang “kaum keluarga Yesus” dan Markus 6:3 menyebutkan tentang “saudara-saudari” Kristus. Tetapi rujukan di sini bisa saja berarti saudara-saudara tiri, yang lahir dari perkawinan Yusuf dalam perkawinannya terdahulu dengan wanita lain; juga kata yang digunakan di sini dalam Bahasa Yunani dapat berarti saudara sepupu atau anggota keluarga dekat, maupun dalam arti saudara dalam makna saudara kandung, bahkan saudara seiman yang tak terkait secara darah dan keturunan, sebagaimana yang digunakan dalam Surat-Surat Rasul Paulus jika ia menyebut anggota Gereja atau orang beriman dalam Kristus sebagai “saudara-saudara”. Dengan demikian kita tidak bisa memastikan secara dogmatis bahwa yang disebut sebagai “saudara-saudara” dan “saudari-saudari” serta “kaum keluarga” Kristus itu harus saudara kandung. Namun Gereja Orthodox sejak jaman Purba menegaskan bahwa Maria itu adalah Perawan sebelum mengandung, Perawan ketika mengandung, dan Perawan sesudah melahirkan. Dengan demikian Maria tidak memiliki anak lain kecuali Yesus Kristus Anak satu-satunya itu. Keyakinan Gereja ini diserang oleh seseorang yang bernama Helvedius, dan argumentasi yang sama itu sekarang digunakan oleh saudara-saudara kita dari kalangan Protestan. Bahwa Helvedius menyerang keyakinan tersebut, menunjukkan itu memang sudah menjadi keyakinan dan ajaran yang meluas di seluruh Gereja. Dan ini menunjukkan bahwa itu memang ajaran Am/Universal/Katolik dari Gereja. Gereja telah memberikan pertanggung jawaban akan imannya itu dalam melawan Helvedius. Akan ada relevansinya kita bicarakan hal ini, karena di kalangan saudara-saudara umat Protestan di Indonesia sudah sedemikian diyakini bahwa Maria itu punya anak-anak lain selain Yesus Kristus, artinya Maria itu tidak “Selalu Perawan”. Beberapa Argumentasi yang diajukan melawan keyakinan akan “Maria Selalu Perawan” adalah:
a. Matius 1:25: “Sampai”
Mengenai kisah kelahiran Kristus dikatakan Kitab Suci: ” …Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya, tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus” (Matius 1:24-25) “Yusuf tidak bersetubuh dengan Maria sampai melahirkan anaknya”, ini bermakna sesudah Maria melahirkan anak, Yusuf bersetubuh dengannya. Dengan demikian Maria tidak “Selalu Perawan”. Karena itu yang disebut “saudara-saudari “ Yesus dalam Markus 6:3 itu pastilah anak Maria lainnya dengan Yusuf selain Yesus Kristus. Demikian argumentasi Helvedius, yang juga digunakan oleh saudara-saudara umat Protestan. Namun Gereja Orthodox tidak melihat hal itu sebagai argumen yang telak dan mematikan. Karena kata “sampai” di dalam Alkitab digunakan dalam beberapa makna yang berbeda-beda. Misalnya, Alkitab menggunakan kata “sampai” dalam makna kejadian atau situasi yang terus menerus, misalnya: I Samuel 15:35 :”sampai hari matinya Samuel tidak melihat Saul lagi...” Kata “sampai” disini tidak berarti bahwa sesudah mati, Samuel lalu melihat Saul. Konteksnya tidak membolehkan arti demikian dan akalpun tidak membenarkan. Tak mungkin sesudah berada dalam kuburan lalu Samuel menjenguk Saul. Maksud ayat ini tentu saja bukan demikian. Maksudnya, sejak Samuel bertemu dengan Saul yang terakhir itu, sampai dia meninggal tidak pernah Samuel bertemu lagi dengan Saul. Dalam makna ini, jika kata “sampai” itu kita terapkan pada Matius 1:25, maka artinya adalah :sejak Maria mengandung sampai melahirkan anak, Yusuf tidak bersetubuh dengan nya. Atau “sampai” melahirkan anakpun Yusuf tidak bersetubuh dengan Maria. Demikian pula dalam II Samuel 6:23 : “Mikhal binti Saul tidak mendapat anak sampai hari matinya.” Ini tidak berarti sesudah Mikhal mati dalam kubur, kemudian melahirkan, meskipun dikatakan Mikhal tak mendapat anak sampai hari matinya. Artinya adalah: Mikhal ini selama-lamanya tidak mempunyai anak bahkan sampai matinya. Jika makna ini diterapkan pada Matius 1:25, maka artinya sampai selama-lamanya Yusuf tidak bersetubuh dengan Maria. Dalam Kej 28:15 “Maka sesungguhnya Aku akan sertamu, dan Akulah hendak memelihara dikau barang kemanapun engkau pergi, dan Aku yang hendak memulangkan dikau kepada negeri ini juga, karena tiadalah Aku meninggalkan dikau sampai sudah Aku menyampaikan barang yang telah Kujanjikan padanya lalu Ia meninggalkan Yakub dan tak menyertainya.” Yang dimaksud disini adalah bahwa Tuhan menyertai Yakub selama-lamanya dan akan menggenapi janjiNya. Sampai kapanpun Ia menyertai dia, sampai janji-janji Allah itu genap terjadi. Hal yang sama dapat dikenakan kepada Matius 1:25. Demikian juga dalam Ulangan 34:6 ”Dan dikuburkanNyalah dia (Musa) disuatu lembah ditanah Moab, ditentangan Set-Peor, dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini.” Sampai hari ini tidak ada orang yang tahu kubur Musa, tidak berarti sesudah hari ini (artinya besok) lalu kubur Musa diketahui. Artinya sampai kapanpun, orang tidak akan mengetahui kubur Musa. Dari bukti-bukti yang digunakan oleh Kitab Suci ini, terbukti bahwa penggunaan kata“sampai”, itu tidak selalu diartikan : berakhirnya sesuatu dan mulainya yang baru, berakhirnya masa Yusuf bertarak, sesudah melahirkan, Yusuf melakukan persetubuhan dengan Maria.
Dalam penggunaan ayat-ayat diatas, kata “sampai” justru menunjukkan kelanggengan dan kelestarian Maria dalam hal tidak dikumpuli oleh Yusuf itu. Sama seperti dalam hal: kelanggengan tidak bertemunya Samuel dengan Saul, kelanggengan Mikhal tidak beranak bahkan sampai matinya, kelanggengan penyertaan Allah kepada Yakub bahkan sampai genap janjiNya, kelanggengan dari ketidak-dapat ditemukannya kuburan Musa bahkan sampai hari kapanpun. Demikian pula dengan Matius 1:25 : Yusuf tidak bersetubuh dengan Maria “Sampai” dia melahirkan anak, artinya : Bahwa Yusuf tidak bersetubuh bahkan sampai Maria itu melahirkan anaknya. Artinya untuk selamanya Yusuf tidak pernah menjamah Maria.
b. Markus 6:3 : “Saudara-saudara Yesus”
Ayat diatas mengatakan bahwa “Saudara-saudara Yesus” datang dengan ibu Yesus. Data itu disimpulkan bahwa itu berarti Maria punya anak-anak lain, jadi ia tidak “Selalu Perawan” demikian argumentasinya. Meskipun Alkitab menyebut mereka ini “saudara-saudara Yesus”, namun tak pernah sekalipun Alkitab menyebut mereka yang dinyatakan sebagai “ saudara-saudara Yesus” ini sebagai “anak-anak Maria”. Satu-satunya yang disebut sebagai anak Maria didalam Alkitab adalah Yesus sendiri. Dinyatakan dalam Markus 6:3 “Bukankah Ia (Yesus) ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus , Yoses, Yudas, Simon ? dan bukankah saudara-saudaraNya perempuan ada bersama kita?” Yakobus, Yoses , Yudas dan Simon. disebut saudara-saudara Yesus, dan juga disebutkan “saudari-saudari”Nya, tapi mereka semua itu dalam Alkitab tak pernah disebut sebagai anak-anak Maria. Artinya hubungan persaudaraan antara Yakobus, Yudas, Simon dan saudara-saudara perempuan mereka dengan Maria berbeda antara Yesus dan Maria. Yesus jelas disebut “anak Maria”, tetapi orang-orang ini tidak disebut anak-anak Maria, berarti mereka bukan anak-anak Maria. Bagaimana mungkin mereka disebut “saudara-saudara” dan “saudari-saudari” Yesus tetapi bukan anak-anak Maria? Kalau begitu siapakah mereka ini ? Yang dengan demikian menunjukkan Maria hanya memiliki “satu orang anak saja” : Yesus Sang Kristus.
Sebagaimana telah kita sebutkan diatas, kata ”saudara” itu tidak selalu berarti kakak-adik satu ibu. Hal ini dapat dibuktikan didalam Kejadian 13:8 “Maka kata Abram kepada Lut: Jangan kiranya terjadi perbantahan antara aku dengan dikau dan antara gembalaku dengan gembalamu karena kita ini bersaudara” (Terjemahan lama). Abraham mengatakan kepada Lot bahwa mereka bersaudara, tetapi jelas dari kisah Alkitab itu sendiri bahwa Lot adalah kemenakan Abraham (Kej 11:27) anak saudaranya (Haran). Jadi kata saudara ini tidak harus diartikan saudara kandung. Demikian juga dalam Kej 31:46 “ Maka kata Yakub kepada saudara-saudaranya : “Himpunkanlah batu. Maka diambil oleh mereka itu akan beberapa batu. Lalu dijadikan suatu timbunan , maka makanlah mereka itu disana diatas timbunan baru itu.” (Terjemahan lama). Kisahnya ialah ketika Yakub melarikan diri dari Laban bersama anak, istri dan hartanya. Yakub dikejar oleh Laban (mertuanya) ini. Kata “saudara” disini tidak menunjuk kepada saudara kandung (Kej 31:46) tetapi saudara sepupu dan mertua. Juga dalam Ulangan 18:18 ”Seorang Nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini....” Tuhan akan membangkitkan nabi di antara saudara orang Israel, yang dimaksud disini adalah saudara sebangsa, bukan kakak-adik. Jadi dalam Alkitab, kata saudara tidak harus diartikan sebagai kakak-adik. Demikian juga halnya yang terjadi didalam bahasa Indonesia. Dalam seminar-seminar orang sering menyebut peserta yang hadir dengan sapaan: ”saudara-saudara”. Pidato-pidato resmi selalu menggunakan istilah ”saudara-saudara” bagi para pendengarnya, namun itu tidak berarti para pendengar pidato atau para peserta seminar adalah saudara kandung dari si pembicara atau anak dari Ibu si pembicara. Penggunaan kata “saudara” dalam bahasa-bahasa timur, seperti bahasa-bahasa di Timur Tengah, dunia Laut Tengah maupun Asia lainnya, sama sekali tidak dibatasi arti sempit yang hanya memiliki satu makna: saudara kandung saja. Dengan demikian ekpresi “saudara-saudara Yesus” dalam Markus 6 atau Matius 13 itu belum secara pasti dan meyakinkan terbukti sebagai ”anak-anak Maria”.
Jika “saudara-saudara Yesus” ini bukan anak-anak Maria, anak-anak siapakah mereka? Markus 16:1 menyebutkan:”Setelah lewat hari Sabat, Maria Magdalena dan Maria Ibu Yakobus, serta Salome membeli rempah-rempah untuk pergi ke kubur dan meminyaki Yesus”. Juga dikatakan oleh Matius 27:61 “Tetapi Maria Magdalena dan Maria yang lain tinggal disitu duduk didepan kubur itu,” serta “Setelah hari Sabat lewat, menjelang menyingsingnya fajar pada hari pertama Minggu itu, Pergilah Maria Magdalena dan Maria yang lain, menengok kubur itu.” (Matius 28:1), dan lagi “Diantara mereka terdapat Maria Magdalena, dan Maria Ibu Yakobus dan Yusuf, dan ibu anak-anak Zebedeus” (Matius 27:56). Paralel dari ayat terakhir ini adalah Markus 15:47 ”Maria Magdalena dan Maria ibu Yoses melihat dimana Yesus dibaringkan”. Jika keempat ayat diatas disimpulkan maka kita dapati bahwa “Maria” yang selalu bersama dengan Maria Magdalena didalam peristiwa akhir hidup Yesus di dunia ini, disebut sebagai “ Maria yang lain” atau “Maria Ibu Yakobus” atau “Maria ibu Yoses” atau “Maria ibu Yakobus dan Yusuf”. Yoses adalah nama lain dari Yusuf. Padahal yang disebut saudara-saudara Yesus itu diantaranya adalah “Yakobus dan Yoses” (Markus 6:3) atau “Yakobus dan Yusuf” (Matius 13:55). Dengan demikian ibu dari “Yakobus dan Yoses (Yusuf)” yang disebut sebagai “saudara-saudara Yesus” ini namanya juga Maria. Ialah yang selalu bersama-sama dengan Maria Magdalena baik pada waktu melihat kematian maupun mengunjungi kuburan Yesus, yang disertai wanita lain: Salome. Selanjutnya Lukas mengatakan: ”Semua orang yang mengenal Yesus termasuk perempuan-perempuan yang mengikuti Dia dari Galilea, berdiri jauh-jauh dan melihat semuanya itu (penyaliban Yesus).”(Lukas 15:40,47), diterangkan lebuh lanjut dalam Lukas 24:10 :”Perempuan-perempuan itu adalah Maria dari Magdala, dan Yohana, dan Maria ibu Yakobus.”Jadi Maria ibu Yakobus inilah yang selalu bersama-sama dengan Maria Magdalena dan Salome, serta Yohana, sejak penyalibanNya sampai kepada kebangkitaanNya. Untuk mengetahui identitas Maria ibu dari Yakobus dan Yusuf/Yoses “saudara-saudara Yesus” itu maka kita baca dalam Yohanes 19:25 ”Dan dekat salib Yesus berdirilah ibu-Nya, dan saudara ibu-Nya, Maria istri Kleopas, dan Maria Magdalena.” Maria ibu Yakobus dan Yoses/Yusuf yang selalu bersama Maria Magdalena didalam peristiwa-peristiwa akhir penyaliban Yesus. Dan kedua Maria inilah yang datang kepada kuburan untuk menjenguk mayat Yesus. Tetapi Maria ibu Yesus tidak pernah disebut sebagai ikut kekuburan bersama Maria Magdalena dan Maria yang lain ini (Maria ibu Yakobus dan Yoses/Yusuf). Memang menurut Lukas pada waktu penyaliban ada banyak perempuan yang melihat peristiwa itu, dan mereka dari Galilea (Lukas 23:49) dan tentulah disitu terdapat Maria ibu Yesus. Karena terbukti dalam Yohanes 19:25 ia berada di bawah salib pada saat Yesus disalibkan. Namun pada saat mengunjungi kuburan, yang disebut hanyalah Maria Magdalena dan Maria yang lain (Maria ibu Yakobus dan Yoses /Yusuf), yang tentu saja disebut Salome dan Yohana. Dengan demikian “Maria yang lain” yang disebut sebagai “Ibu Yakobus dan Yusuf/Yoses” dan selalu bersama dengan Maria Magdalena ini bukanlah Maria Ibu Yesus, tetapi Maria istri Kleopas atau saudara perempuan dari ibu Yesus seperti yang dikatakan dalam Yohanes 19: 25 diatas. Maka Yakobus dan Yoses (Yusuf), itu adalah anak Maria istri Kleopas ini, berarti kemenakan dari Maria ibu Yesus. Jadi yang disebut saudara-saudara Yesus adalah saudara sepupu Yesus. Dengan demikian jelas, bahwa Maria tidak mempunyai anak lain selain Yesus Kristus. Itulah sebabnya Gereja menyatakan Maria “Selalu Perawan”. Oleh karena itu Alkitab tidak mengatakan Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon sebagai anak-anak Maria ibu Yesus, karena mereka hanyalah kemenakan Maria ibu Yesus , anak dari saudari ibu Yesus, yang adalah istri Kleopas. Bukti lagi bahwa Maria itu tidak mempunyai anak lagi selain Yesus, dapat kita jumpai dalam Yohanes 19:26-27 ”Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya disampingnya, berkatalah ia kepada ibu-Nya : Ibu, inilah anakmu ! Kemudian katanya kepada murid-Nya : Inilah ibumu ! dan sejak saat itu murid itu menerika dia didalam rumahnya.” Kalau memang Maria mempunyai anak yang lain , tak mungkin Yesus menyerahkan ibu-Nya kepada orang lain yang menjadi murid-Nya, sebab masih ada adik-adik-Nya yang memelihara Sang Ibu ini, meskipun kalau mereka belum percaya kepada Sang Abang sebagai Mesias. Namun bahkan ketika Yakobus “saudara Tuhan Yesus” itu telah percaya dan akhirnya menjadi “soko guru” Gereja (Galatia 2:9), yaitu Episkop (Uskup) yang pertama di Yerusalem, Maria tetap tidak pernah dipelihara Yakobus. Kalau memang Yakobus ini anak Maria (adik kandung Yesus) seharusnya Yakobus-lah yang bertanggung jawab untuk Maria, tetapi yang bertanggung jawab adalah Yohanes murid Yesus. Sampai hari matinya Maria hidup bersama Yohanes. Sebagai anak satu-satunya, maka Yesus harus bertanggung jawab pada ibu-Nya secara manusia dan tanggung jawab itu dilimpahkan kepada Yohanes, sebab Yesus akan disalibkan membuktikan bahwa Maria memang tidak mempunyai anak, selain Yesus dan ia tidak pernah bersetubuh dengan Yusuf. Karena itulah Gereja Orthodox menyebut Maria : “Tetap/Selalu Perawan”.
c. Lukas 2:7: “anak Sulung”
Argumentasi berikutnya untuk menyatakan bahwa Maria tidak “Selalu Perawan” adalah data Alkitab yang menyatakan Yesus sebagai “anak Sulung” Maria. Ini disimpulkan bahwa Maria punya anak-anak yang lain yang adalah adik-adik Yesus, karena Yesus adalah Anak Sulung Maria. Untuk memahami makna “Anak Sulung” ini marilah kita baca peristiwa dimana Yesus disebut sebagai Anak Sulung itu: “Dan ketika genap delapan hari dan Ia harus disunatkan, Ia diberi nama Yesus, Yaitu nama yang disebut oleh malaikat sebelum Ia dikandung ibu-NYa. Dan ketika genap waktu pentahiran, menurut hukum Taurat Musa, karena membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Tuhan, seperti ada tertulis dalam hukum Tuhan: Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah, dan untuk mempersembahkan korban menurut apa yang difirmankan dalam hukum Tuhan, yaitu sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati.” (Lukas 2:21-24). Yesus dibawa ke Bait Allah karena Dia adalah anak laki-laki sulung. Menurut bahasa Taurat ini: Anak Laki-laki Sulung tidak diartikan, bahwa sesudah anak yang sulung itu pasti ada adiknya yang menyusul. Hal itu dinyatakan demikian: ”Kuduskanlah bagi-Ku semua anak sulung, semua yang lahir dahulu dari pada kandungan orang Israel, baik pada manusia maupun pada hewan, Akulah yang empunya mereka. …maka haruslah engkau persembahkan bagi Tuhan segala yang lahir terdahulu dari kandungan, juga setiap kali ada hewan yang kaupunyai beranak pertama kali, - anak jantan yang sulung adalah bagi Tuhan.” (Keluaran 13:12). Itulah yang dikutip oleh Lukas, yang bermakna: anak sulung tidak harus menunjukkan urutan angka yang harus disusul dengan kelahiran adik-adik. Namun Anak Sulung adalah: Anak yang lahir terdahulu dari kandungan (Keluaran 13:12). Yang lahir terdahulu dari kandungan tidak harus bahwa si ibu itu melahirkan lagi. Bisa saja yang terdahulu itu anak tunggal. Yang menjadi penekanan disini adalah: bukan soal sulung yang kemudian ada adiknya, tetapi sulung sebagai yang membuka kandungan untuk pertama kalinya. Sulung sebagai pemula membuka kandungan itu. Jadi penggunaan kata-kata anak sulung ini menurut bahasa Taurat diatas tidak menunjukkan tentang adanya adik yang lahir sesudah si sulung. Boleh saja si ibu hanya memiliki anak tunggal. Yang penting adalah si bayi itu yang pertama kali membuka kandungan ibunya. Maria tidak punya anak yang lain, berarti anak sulung di dalam hal Yesus disini adalah : Dia anak satu-satunya dan yang pertama membuka kandungan Maria. Namun sesudah itu Maria tidak mempunyai anak lagi. Jadi kata-kata : Anak sulung (Yunani: “Prototokos”), sama sekali tidak menunjukkan bahwa Yesus mempunyai adik-adik kandung sesudah itu, akibat dari pernikahan Maria dengan Yusuf.
d. Yohanes 2:4: “Hai perempuan”
Yang terakhir adalah peristiwa pernikahan di Kana dimana ketika Maria memberitahu bahwa pesta itu kekurangan anggur dijawab Yesus - dalam terjemahan lama - demikian: “Maka kata Yesus kepadanya: Hai Perempuan, apakah yang kena-mengena diantara Aku dan Engkau? Saatku belum sampai.” Ayat ini disimpulkan sebagai bukti bahwa Yesus itu tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Maria. Memang ini tidak menunjukkan bantahan tentang “Maria Selalu Perawan”, namun ini dipakai untuk menunjukkan bahwa Yesus tidak menghormati Maria, karena itu kitapun tak usah menghormatinya. Gelar “Tetap/Selalu Perawan” adalah bentuk penghormatan yang disalah-artikan sebagai penyembahan. Yesus adalah Firman Allah yang menjadi manusia. Sebelum penjelmaan-Nya menjadi manusia pernah memberi hukum kepada Musa : “Hormatilah bapa dan ibumu.” Jika menghormati bapa dan ibu adalah perintah Kristus sebelum menjadi manusia, mungkinkah setelah menjadi manusia Dia sendiri tidak menghormati ibu-Nya, dengan demikian tidak memberi teladan ataupun meng-kontradiksi firman-Nya sendiri? Istilah “perempuan” ini dimengerti oleh Gereja sebagai menunjukkan bahwa Maria adalah Hawa yang kedua (terakhir), sebab Gereja adalah Pengantin Kristus, dan Kristus Adam terakhir atau Adam Kedua. Maria adalah anggota Gereja yang paling awal. Karena Marialah yang pertama percaya kepada Yesus sebagi Mesias ketika Malaikat Gabriel memberitakan kepadanya (Lukas 1:38). Maka sebagai Wakil dan Gambaran segenap Gereja Maria adalah Hawa kedua. Sebab kepada Hawa pertama, Adam pertama menyebutnya sebagai “perempuan” (Kejadian 2:23). Selanjutnya ungkapan Yesus “Apakah yang kena mengena diantara aku dan engkau?” Ini harus dilihat konteksnya. Konteksnya adalah: Yesus dan Maria bersama muridNya diundang untuk datang ke perjamuan ini. Mereka itu tamu, bukan yang punya hajat, mereka tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi di pesta itu. Ketika dia kehabisan anggur, Maria ini nampaknya orang yang selalu memikirkan kebutuhan orang lain, begitu kasihan melihat kesulitan orang lain sehingga tidak tega kalau Tuan Rumah dimana mereka bertamu mendapat malu karena kehabisan anggur. Secara diam-diam, ia datang kepada Yesus (Anaknya) karena dia punya iman, sementara orang-orang lain tidak punya iman, bahwa Yesus dapat melakukan mujizat. Maria berkata kepada Yesus: “Mereka itu tiada air anggur”, ini artinya ia minta: lakukanlah mujizat supaya mereka itu punya air anggur. Tetapi Yesus mengingatkan: “Perempuan, apakah yang kena mengena diantara aku dan engkau?” Hal kehabisan anggur itu tidak ada kena mengena antara Maria dan Yesus karena Yesus dan Maria dalam peristiwa ini adalah tamu, jadi tidak kena mengena masalah habisnya anggur itu, itu bukan tanggung jawab mereka berdua.
Selanjutnya peristiwa ini memiliki makna Soteriologis. Ketika diminta Maria untuk melakukan mukjizat Yesus menjawab: ”Saat-Ku belum sampai.” Artinya: Untuk menyatakan mujizat bagi menyakan ke-Mesias-anNya, Yesus tidak tergantung kepada kehendak Maria. Bukan karena didorong Maria, Yesus melakukan mujizat. Kalau sudah waktunya, Dia akan melakukan mujizat. Tidak ada urusannya dengan Maria dalam masalah karya keselamatan yang dilakukan Yesus. Jadi sama sekali nats ini bukan menunjukkan perendahan Yesus terhadap Maria. Sebaliknya ini menunjukkan keluasan hati Maria terhadap manusia yang menderita. Ia menyampaikan derita manusia ini kepada Anaknya (Yesus). Dengan imannya yang penuh, ia percaya bahwa Anaknya itu dapat melakukan mujizat. Dengan demikian Yesus menunjukkan mujizat. Peristiwa ini dilihat oleh Gereja Purba sebagai bukti bahwa sampai sekarangpun hubungan Maria dengan Yesus adalah seperti ini. Maria sebagai yang telah dibangkitkan oleh Yesus, sebagai ibu kita yang ada dihadapan Yesus, tidak henti-hentinya mendoakan kita. Disana dia memohonkan kepada Yesus bagi kebutuhan kita. Sebagai ibu, ia tida rela melihat anaknya yang menderita. Oleh karena itu dengan imannya yang penuh ia memohonkan kepada Yesus bagi kita. Maria membantu doa kita, sementara kita berdoa kepada Allah melalui Yesus. Didalam diri Maria kita menemukan seorang yang setia untuk mendoakan kita dihadapan Anaknya. Seorang yang setia memberi uluran tangannya dalam doa supaya Anaknya (Yesus) boleh melakukan mujizat bagi kita. Ini tidak menghalangi kita datang secara langsung kepada Yesus, sebab Maria itu bukan pengantara pengganti Yesus. Tetapi kita tidak sendirian dalam pergumulan hidup ini, ada orang yang dengan setia mendoakan kita: Maria, ibu kita, Hawa yang baru. Ayat-ayat diajukan dengan anggapan itu bukti Maria tidak seperti yang diajarkan Gereja Purba ternyata berbicara sebaliknya. Di dalam menghormati dan mengasihi Maria, kita menunjukkan kasih kita kepada Anaknya (Yesus). Maria tidak menghalangi bakti kita kepada Kristus, justru kita hormati Maria karena Dia yang telah lahir melalui Maria yaitu: Juruselamat kita, Pengantara kita dan penebus kita satu-satunya: Tuhan Yesus Kristus. Taruhlah seseorang tidak percaya bahwa Maryam “Tetap Perawan” karena tidak ada bukti medis yang membuktikan akan hal itu. Namun jika yang tidak percaya ini adalah seorang Kristen, maka suatu pertanyaan perlu diajukan:” Mana lebih mudah bagi Allah, menjadikan seorang perempuan mengandung bayi tanpa benih laki-laki, atau memulihkan kembali selaput dara dari Perawan Maryam yang hanya itu hanya sekedar semacam robekan luka saja? Mana yang lebih mudah bagi Allah yang dapat menyembuhkan banyak orang dan bahkan membangkitkan orang mati, untuk membuat orang mati hidup lagi, orang buta dapat melihat, orang lumpuh dapat berjalan, atau menyembuhkan luka kecil yang berwujud selaput dara yang robek milik Perawan Maryam itu?” Jikalau jawabannya lebih mudah memulihkan selaput dara dari Perawan Maryam, apa yang dijadikan alasan untuk menolak keyakinan Gereja sejak zaman purba ini? Padahal penolakannya itu sendiri justru dasar Alkitabnya tidak ada dan tidak jelas. Apa yang ditakutkan? Jika ajaran Maryam “Selalu Perawan” ini sulit diterima akal, apakah bayi Yesus yang lahir tanpa sperma laki-laki itu masuk akal? Mungkin jawabannya: “Ya, itu kan mukjizat?!!” Tetapi jawaban kita, Keperawanan Maryampun adalah mukjizat. Tujuan Gereja menegaskan Maryam “Selalu Perawan” itu sebenarnya bukanlah masalah medis, namun masalah theologis. Sudah kita lihat didepan Gereja melihat Maryam sebagai Hawa kedua. Oleh karena itu ajaran Maryam “Selalu Perawan” itu juga terkait dengan Hawa. Sesudah peristiwa kejatuhan di Taman Eden, Adam, Hawa dan Iblis masing-masing mendapat kutukan dari Allah. Kutuk Allah kepada Hawa berbunyi demikian: ”Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu ; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.” (Kejadian 3:16). Kutuk yang dijatuhkan Allah kepada wanita itu terkait dengan “anak”: ”Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu ; …” dan terkait dengan “suami” : namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.” Oleh kedatangan Kristus ke dalam dunia ini, bukan hanya manusia laki-laki saja yang dilepaskan dari kutuk dosa itu dan menerima penebusan, namun juga manusia wanita. Karena manusia perempuan itu menerima ciri derita dalam kaitannya dengan memiliki anak : ”susah payah waktu mengandung” serta “kesakitan waktu melahirkan anak”, maka bukti dari karya Kristus yang melepaskan manusia wanita itu juga dikaitkan dengan mukjizat yang terjadi dalam mengandung, yaitu ibuNya secara mujizat hamil tanpa benih pria, dan melahirkan, yaitu ibuNya setelah melahirkan tetap dijaga keperawannya. Jadi makna theologis yang ditegaskan dengan ajaran tentang Maryam “Selalu Perawan” adalah kesempurnaan karya Kristus, yang menebus dari dampak dosa asal, bukan saja manusia pria namun juga manusia wanita. Penebusan Kristus yang amat sempurna yang juga merangkul wanita ini, ditegaskan bahwa Maryam tidak pernah nikah karena “Selalu Perawan”, maka ia juga dibebaskan dari dampak dosa asal dalam bentuk “berahi terhadap suami” serta “dikuasai oleh suami”. Demikianlah melalui pengajaran Maryam “Selalu Perawan” ini yang hendak ditekankan oleh Gereja adalah kesempurnaan Penebusan Kristus baik bagi pria maupun wanita. Maryam adalah bukti dari Penebusan Kristus yang telah membebaskan wanita dari dampak kutuk dosa asal. Kristuslah yang ditinggikan dalam ajaran ini, bukan pada Maryamnya sendiri.
Keheranan Maryam atas Pemberitaan Malaikat
Dalam Kitab Suci ada indikasi bahwa memang Maryam telah berniat tidak menikah, dan oleh Gereja itu diperkokoh oleh Tradisi yang menyatakan bahwa Maryam memang telah berkaul untuk mendedikasikan dirinya menjadi semacam Orang Nazir (Bilangan 6), sejak muda, ketika ia diserahkan di Bait Allah untuk dipelihara Imam Zakharia, ayah Nabi Yohanes Pembaptis. Karena orang tua kandungnya yaitu Eli (Lukas 3:23) atau Yoakhim dan ibunya: Hannah atau Anna telah meninggal, karena mereka memiliki anak Maryam itu telah berumur sangat tua sekali.
Kitab Suci mengatakan demikian: ”Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, ibuNya bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus…” (Matius 1:18), juga :”…Yusuf…..mengambil Maria sebagai isterinya….” (Matius 1:24-25). Ayat-ayat diatas itu menegaskan bahwa ketika terjadinya mujizat kehamilan tanpa pria itu Maryam telah bertunangan dengan Yusuf, dan akhirnya oleh perintah Malaikat maka Yusufpun mengambil Maryam sebagai isterinya. Jika seseorang telah bertunangan pastilah akan merencanakan pernikahan, dan memang pernikahan itu ternyata terjadi atas perintah Allah melalui malaikat, meskipun sesudah terjadi mukjizat kehamilan. Ini menunjukkan bahwa kehamilan itu bukan berasal dari Yusuf sumbernya. Jika pernikahan itu direncanakan terbukti adanya suatu pertunangan, maka kehamilan oleh calon suami itupun harus sudah diharapkan sebelumnya. Namun yang terjadi adalah sesuatu yang aneh, yaitu ketika Malaikat Gabriel diutus Allah kepada Maryam dan memberitahu kehendak Allah bahwa ia akan mengandung dan melahirkan Anak laki-laki, tanggapan Maryam adalah :” Kata Maria kepada malaikat itu: ”Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami” (Lukas 1:32). Bahasa aslinya:”” (“Pos estai touto, epei andra ou ginooskoo”). Arti “” = andra ou ginooskoo, bukanlah “aku belum bersuami”, namun: ”..aku tidak mengenal pria”. Artinya tidak mengenal pria secara dekat dan intim, apalagi bersentuhan secara jasmani layaknya suami isteri. Jawaban ini menjadi semakin aneh jika kita mengingat bahwa pada saat pertemuan dengan malaikat itu terjadi “waktu Maria, ibuNya bertunangan dengan Yusuf”. Jika ia bertunangan pasti rencana untuk nikah, jika rencana untuk menikah pasti rencana untuk “mengenal pria”, dan jika mengenal pria pasti punya anak. Bagaimana dalam kondisi dan situasi seperti itu ia menanyakan “Bagaimana hal itu mungkin terjadi” dan “aku tidak mengenal pria” semacam itu? Kalau memang betul ia sungguh menikah , pasti “mungkin” terjadi karena ada suaminya! Kalau ia sungguh-sungguh mau menikah pasti ia “mengenal pria” yaitu akan berhubungan intim dengan pria yaitu suaminya! Bukankah seharusnya begitu logikanya? Pertanyaan Maryam yang menunjukkan keraguan dan keheranannya itu memperkuat apa yang selama itu diyakini oleh Tradisi Gereja selama berabad-abad bahwa Maryam memang tidak sungguh-sungguh menikah dengan Yusuf. Yusuf menikahi Maryam hanya untuk tujuan melindunginya saja. Dan bahwa Maryam sejak ia diserahkan di Bait Allah memang telah bernadzar untuk menjadi Nazir selamanya dengan tidak bersentuh dengan pria, yaitu “tidak mengenal” pria. Itulah sebabnya pertanyaan semacam itu muncul dari Maryam. Dengan Maryam telah bernadzar menjadi Nadzir, jadi memang tidak menyentuh dan tak disentuh pria. Yusufpun hanya melindungi Maryam saja karena seorang gadis yang telah yatim piatu, dan ia tak pernah bersetubuh dengan Maryam, serta Maryam tidak punya anak lain diluar Yesus. Jadi Maryam memang “Selalu Perawan”.
Maryam Dan Beberapa Keberatan Protestan Atasnya
Memang posisi Alkitabiah Gereja Orthodox mengenai Maryam itu begitu jelas dan gamblangnya, namun pada umumnya saudara-saudara umat Protestan mempunyai keberatan-keberatan mengenai pemahaman tentang Perawan Maryam ini, terutama sebagai reaksi terhadap Mariologi Gereja Roma Katolik. Sehingga saudara-saudara umat Protestan enggan dan bahkan menolak untuk memberikan salam hormat kepada Sang Perawan Suci ini, dan bahkan Maryam tak termasuk dalam pembahasan sistem theologia Protestan. Barangkali ini disebabkan reaksi terhadap pemujaan yang berlebih-lebihan yang diberikan kepadanya oleh saudara- saudara Umat Roma Katolik; sehingga mereka membesar-besarkan kasus ini dengan berbuat sebaliknya yaitu sama sekali tidak memberikan tempat bagi hormat atas Maryam bahkan ada yang menganggap bahwa Maryam hanya sekedar kulit telur yang tak memiliki nilai sama sekali sesudah anak-ayam menetas, atau seperti pipa kran air yang tak dibutuhkan jika airnya telah di dapat, atau seperti botol kecap yang dibuang setelah kecapnya habis terpakai. Dan tentu saja saudara-sudara umat Protestan sama sekali tak merayakan pesta-pesta apapun baginya.
Untuk memahami sikap ini, serta mendudukan masalahnya dalam proporsi yang sebenarnya secara Orthodox, maka hal-hal berikut ini perlu kita bicarakan. Sebagaimana yang telah berulang-ulang kita tegaskan bahwa landasan aqidah Iman Kristen adalah Wahyu Ilahi yang terpuncak dan paripurna yaitu peristiwa “Kalam Ilahi” (“Kalimatullah” atau “Firman Allah”) yang “Turun ke bumi” (“turun”) ke dunia sebagai daging jasad jasmani manusia: Yesus Kristus (Yohanes 1:14), mati disalibkan, bangkit dan naik ke sorga, serta duduk di sebelah kanan Allah Sang Bapa. Sebagai Kalimatullah ( Firman, Sabda), Yesus Kristus yang manusia itu, dalam keberadaan asliNya adalah ghaib, tak terbayangkan dan tak tergambarkan, karena berada satu dan melekat dalam Dzat (Hakekat, Essensi) Allah yang serba Esa, yang disebut: ”Bapa” ( I Kor. 8:6) dan ghaib itu pula. Dengan demikian dalam wujud atau keberadaan asliNya yang kekal Kalimatullah ( Firman Allah) itu tak berjisim, tak berjasad dan tak berupa. Namun ketika “Kalimatullah” yang sama itu “Turun ke bumi” (“turun”) dari sorga ke dunia sebagai daging jasad jasmani manusia: Yesus Kristus, Isa Almasih, dalam keadaan “Turun ke bumiNya” sebagai manusia inilah Kalimatullah itu memiliki bentuk, rupa, jisim, dan jasad yang bersifat daging-kemanusiaan. Sifat jasmani kemanusiaan ini adalah sifat baru yang tadinya tak dimiliki oleh Kalimatullah dan ini bukan sifat azaliNya yang kekal tanpa awal dan tanpa akhir itu. Karena sifat daging-jasad –jasmani ini adalah sifat makhluk yang didapatnya dari Ibu Manusia yang memberikan kelahiran kepadaNya secara manusia dalam proses “Turun ke bumiNya” tadi.
Demikianlah kemanusiaan dari Turun ke bumiNya Kalimatullah itu terikat erat dengan sumber asalnya, yaitu ovum (“buah telur”) dari rahim wanita yang menjadi IbuNya dalam Turun ke bumiNya sebagai manusia itu: Maryam, Theotokos (Al-Walidatul Ilah). Itulah sebabnya Almasih disebut sebagai “buah rahim” dari Maryam ( Lukas 1:41-43 ). Ini berarti bahwa kemanusiaan Almasih adalah berasal tumbuh dari sifat rahim itu sendiri, yaitu berasal dari buah telur yang ada dalam rahim itu. Berbicara tentang sifat kemanusiaan Firman yang menjadi manusia berarti harus berbicara mengenai yang menjadi asal-usul kemanusiaan Kalimatullah yang Turun ke bumi itu, yaitu diri Maryam yang melahirkanNya dalam wujud manusia tadi. Maryamologi (Mariologi) tak lain adalah perpanjangan dari Kristologi, tak kurang dan tak lebih. Oleh karena itu dalam Gereja Orthodox tidak ada dogma tentang Mariologi secara tersendiri, seperti halnya Gereja Roma Katolik yang memiliki dua dogma tentang Maria:” Dogma Maria Terkandung Tanpa Dosa Asal”, “Dogma Pengangkatan Maria Ke sorga”. Sebagai “Dogma” kedua ajaran Roma Katolik ini ditolak oleh Gereja Orthodox. Meskipun Gereja Orthodox menegaskan ke-Amat Suci-an Maria, namun bukan karena sejak dalam kandungan sudah bebas dari dosa asal; Maryam seperti manusia lainnya dikandung dalam dosa dan lahir dalam dosa asal yaitu keberadaan tunduk pada maut itu, jadi kesucian Maria adalah karena pengudusan Roh Allah, ketika Maria rela akan panggilannya menjadi Ibu Kalimatullah yang Menjelma, dan Roh Allah turun atasnya, dan bukan sejak dalam kandungan, sehingga dengan kekudusan itu dia layak ditempati Yang Maha Kudus : Kalimatullah sendiri, yang adalah Allah dalam hakekatNya (Yohanes 1:1). Sedangkan pengangkatannya ke sorga meskipun merupakan keyakinan saleh dan ada kidung-kidung yang membicarakan masalah itu dalam Gereja Orthodox, namun bukan dogma, sebab pemuliaan Maria itu tak ada sangkut-pautnya secara langsung dengan keselamatan kita. Peristiwa itu hanya merupakan bukti bahwa orang yang percaya Kristus akan mengalami pemuliaan seperti halnya Maria, dan Maria mendapat rahmat khusus untuk mengalaminya lebih dulu, karena secara langsung buah rahimnya itu yang menjadi sumber keselamatan tadi. Menolak membahas Maryam (Maria) berarti menolak membahas lebih dalam makna ke – Dwi Kodrat-an dari Yesus Kristus yang hanya memiliki Satu Pribadi azali, yaitu Pribadi Firman Allah yang sejak kekal berada satu di dalam diri Allah (Bapa) itu, juga berarti menolak membahas tak pernah berubahnya ke-Allah-anNya meskipun telah Turun ke bumi dengan mengenakan raga-jasmani dan kodrat kemanusiaan itu. Pembacaraan kita tentang Maria adalah merupakan dampak langsung dari “Inkarnasi” (‘KeTurun ke bumian sebagai Daging”, “Penjelmaan sebagai manusia”) dari Kalimatullah yang kekal itu.
Karena diantara pengkhotbah dari antara saudara-saudara umat Protestan tidak pernah melihat dalam kacamata Inkarnasi seperti yang dilakukan oleh Gereja Orthodox mengenai Maryam itu, maka sebagian dari suadara-saudara tadi sangat keras menekankan bahwa Maria itu tak lebih dari kita semuanya ini. Untuk menjelaskan apakah Maryam itu memiliki keistimewaan tertentu atau tidak, dan memang tak memiliki kelebihan apapun dibanding dengan kita semuanya ini, perlu juga kita bahas sebagai berikut:
Keistimewaan dan Pemuliaan Maryam
Untuk mengerti peranan Maryam secara benar kita perlu mengingatkan diri kita, dan mengingatkannya dengan tandas bahwa tak seorangpun pernah didiami “Allah” secara fisik dalam dirinya, dan tak pernah seorangpun yang kemanusiaannya dikenakan oleh “Allah” yaitu Kalimatullah, dan akhirnya dimuliakan dalam kekekalan, kecuali Maria. Mari kita pelajari bagaimana data Kitab Suci mengenai pengalaman-pengalaman orang-orang yang sempat mendapat penglihatan dan perlawatan Allah secara khusus:
A. Adam
“Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah…..Ia menjawab:’ Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam, taman ini, aku menjadi takut….” (Kejadian 3:8-10). Ayat-ayat diatas menunjukkan bahwa kehadiran Tuhan di dalam taman itu menimbulkan rasa takut bagi manusia berdosa, sehingga manusia itu bersembunyi dari hadirat Tuhan tersebut. Jika hadirat Tuhan dalam taman saja, menimbulkan ketakutan, karena kedahsyatan dan kekudusanNya, mungkinkan kehadiran Tuhan yang sama ini di dalam rahim Maryam itu tidak menimbulkan dampak dan effek apapun pada Maryam yang disemayamiNya serta “buah kemanusiannya” diambil dan dikenakan oleh Tuhan yang sama dalam PenjelmaanNya itu? Betulkah setelah disemayami oleh Allah yang Maha Kudus dan Maha Dahsyat dalam rahimnya itu secara literal dan bukan secara kias atau secara rohani itu, Maryam tak sedikitpun dipengaruhi oleh hadirat Ilahi tersebut? Betulkah tak ada keistimewaan apapun terhadap Maryam setelah pengalaman 9 bulan disemayami Allah dalam rahimnya itu? Kalau tidak ada effeknya berarti kita tak betul-betul percaya bahwa Kristus adalah Firman yang memiliki kodrat Ilahi yang Maha Dahsyat. Jadi keistimewaan itu bukan terletak pada Maryamnya, namun pada Tuhan yang bersemayam pada Maryam, dan dampak yang diakibatkan karena oleh sebab bersemayamNya itu.
B. Abraham
“Menjelang matahari terbenam, tertidurlah Abram dengan nyenyak. Lalu turunlah meliputinya gelap-gulita yang mengerikan. Firman TUHAN kepada Abram:….” (Kejadian 15:12-13)
“ …..TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman kepadanya:…..Lalu sujudlah Abram, dan Allah berfirman kepadaNya….” (Kejadian 17:1,3)
Kedua kutipan ayat diatas menjelaskan kepada kita bahwa ketika Allah dalam penampakanNya menyatakan diri kepada Abram yang terjadi adalah “meliputinya gelap-gulita yang mengerikan”. Pastilah sesuatu yang mengerikan ini dialami langsung oleh Abraham. Dan kengerian yang berwujud gelap-gulita ini tak lain adalah hadirat Allah yang Maha Dahsyat untuk menunjukkan bahwa jikalau Allah menyatakan diriNya pada manusia tak mungkin tak ada keluar-biasaan terjadi. Takut dan gentar itulah yang terjadi pada manusia karena pengalaman itu. Itulah sebabnya ketika Allah menyatakan diri kembali kepada Abram kita membaca dalam Kitab Suci “sujudlah Abram, dan Allah berfirman kepadanya”. Ia sujud karena ia merasa dirinya kecil, tak berarti, dan Allah itu Maha Besar, Maha Agung dan Maha Dahsyat.
Jika kita memang percaya bahwa yang dikandung oleh Maryam Sang Perawan itu adalah “Firman Allah” yang “Firman itu adalah Allah” ( Yohanes 1:1). Mungkinkah tidak ada sesuatu yang dahsyat dan istimewa terjadi kepada Maryam ini dengan disemayami secara jasmani oleh Allah yang Maha Besar, Maha Agung dan Maha Dahsyat itu? Dengan merenungkan ke-Maha Dahsyat-an Allah saja kita dapat mengerti effek dan dampak Maha Dahsyat pula yang hartus terjadi pada Maryam Sang Perawan. Ketika Allah menyentuh seseorang, tak mungkin orang atau ciptaan itu tetap tinggal sama. Maryam bukan hanya disentuh, namun didiami, diambil “ovumnya” dan disusuinya selama keberadaanNya sebagai manusia yang menjelma dalam bentuk janin, ketika lahir dalam bentuk bayi dan ketika dalam masa anak-anak.
C. Musa
Nabi Musa ketika berada di Gunung Sinai, dipanggil menghadap Allah selama empat puluh hari dan empat puluh malam, serta berhadap-hadapan dan berbicara dengan Allah. Akibat dari berhadap-hadapan dengan Allah ini, kemuliaan Allah telah merembesi dirinya. Sehingga tubuh jasdmaninya diubah, wajahnya bersinar-sinar penuh kemuliaan. Seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci : ” Ketika musa turun dari gunung Sinai - kedua loh hukum ada di tangan Musa ketika ia turun dari gunung itu – tidaklah ia tahu, bahwa KULIT MUKANYA BERCAHAYA OLEH KARENA IA TELAH BERBICARA DENGAN TUHAN. Ketika Harun dan segala orang Israel melihat Musa, TAMPAK KULIT MUKANYA BERCAHAYA, maka takutlah mereka mendekati (Keluaran 34:29-3o).
Jika hanya dengan melihat atau memandang kemuliaan Allah saja membuat Musa menjadi mulia seperti Allah itu. Jadi alangkah luar-biasanya kemuliaan Maria ini yang bukan saja hanya melihat, namun didiami, diambil ovumnya, menyusui, menggendong, memelihara Allah yang sama itu di dalam wujud InkarnasiNya atau “Turun ke bumiNya sebagai daging “itu. Orang yang tak dapat melihat kemuliaan yang diberikan Allah kepada Maryam itu hanyalah orang yang tidak mengerti benar makna Inkarnasi atau orang yang tak benar-benar yakin akan ke-Ilahi-an Kristus saja. Jika Inkarnasi itu benar maka semuanya yang telah kita bicarakan inilah dampak yang harus terjadi pada Maryam. Jika Yesus itu memang Allah yang sama yang telah menyatakan diri kepada para Nabi itu, maka hal-hal yang dahsyat dan istimewa itulah yang harus terjadi pada Maryam. Jika setelah Kristus terlahir dari Maryamm, tak sesuatupun terjadi pada Maryam, berarti Kristus bukan Allah yang berbuat ke-Dahsyatan setiap kali menyentuh manusia, dan Inkarnasi itu hanya dongeng bohong belaka.
Dampak Inkarnasi Pada Manusia
Untuk memahami dampak Inkarnasi pada Maryam itu, perlu juga direnungkan dampak Inkarnasi pada manusia. Menurut Kitab Suci manusia milik Kristus nanti akibat “memandang kemuliaanKu (Kemuliaan Kristus)” (Yohanes 17:24), “akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia” (I Yohanes 3:2). Dan “menjadi sama seperti Dia” itu artinya “kamupun akan menyatakan diri bersama Dia dalamn kemuliaan” (Kolose 3:4), ketika Kristus datang yang kedua kali. Inilah keberadaan dimana Kritus akan ”mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuhNya yang mulia” (Filipi 3:21), dimana “ orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka” (Matius 13:43).
Menurut ayat-ayat ini, kemuliaan yang akan diterima oleh umat beriman adalah akibat memandang Kristus dan manunggal denganNya. Dan pemuliaan itu terdiri dari pengubahan “tubuh kita yang hina”yaitu yang dapat lapuk, rusak dan mati ini, sesudah dibangkitkan nanti. Dan pengubahan tubuh kita nanti itu “serupa dengan tubuhNya yang mulia”. Padahal kita tahu, sebagai “Firman Allah” yang adalah “Allah”, Kristus itu tak berbadan-jasmani. TubuhNya atau badan jasmaniNya itu diambil dari “ovum Maryam” ketika Inkarnasi dimana Ia menjadi “buah rahim” Maryam. Dan tubuh jasmani yang diambil dari Maryam itu telah dimuliakan sesudah kebangkitanNya. Dampak dari Tubuh InkarnasiNya yang dibangkitkan dan dimuliakan itu adalah kita akan diubah menjadi “serupa dengan tubuhNya yang mulia”. Jika kita tak terkait sama sekali dalam peristiwa Inkarnasi akan mendapatkan dampak yang demikian luar biasanya. Mungkinkah Maryam yang secara langsung menjadi sarana Inkarnasi itu tidak mengalami pemuliaan sama sekali dan tak tersentuh oleh kuasa pemuliaan yang ada pada Diri Firman yang menjelma itu? Kita mengagung-agungkan pemuliaan diri kita akibat keselamatan diri kita dalam Kristus, mengapa kita menolak jika pemuliaan dan pengagungan itu yang sama itu terjadi pada Maryam? Logika dan dasar Alkitabiah mana yang kita gunakan ini?
Maria sebagai satu-satunya manusia yang pernah ditempat-tinggali Allah secara literal dan secara jasmani, dan kemanusiaannya dikenakan serta dimuliakan Allah, atau Firman Allah itu, dalam hal ini juga Maria itu sama saja dengan kita semuanya ini dalam kemuliaan?
Ayat-ayat yang Menyangkal Ke-Istimewaan Maryam?
Untuk makin memperkuat keberatannya tentang Maryam ini, beberapa saudara umat Protestan guna menunjukkan keengganannya memberi penghormatan klepada Sang Theotokos ini, menunjukkan beberapa ayat Perjanjian Baru untuk membuktikan bahwa Sang Kristus tidak menghormati Bunda Maria.
Ayat-ayat itu adalah Matius 12:46-50, dimana konteksnya menceritakan ketika ibu-Nya dan saudara-saudaraNya, yaitu para sepupuNya, datang untuk melihat Dia, Dia mengatakan bahwa semua orang yang melakukan kehendak Allah/Bapa itulah saudara-saudara dan ibu Yesus. Demikian juga hal yang sama kita jumpai dalam Markus 3:31-35. Juga kita jumpai dalam Lukas 8:19-21, dimana Sang Kristus mengatakan:
”Ibu-Ku dan saudara-saudaraKu ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya”.
Dan satu ayat lagi kita jumpai dalam Lukas 11: 27-28, dimana ada dikatakan demikian:
”Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau.’ Tetapi ia berkata:” Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan memeliharanya.”
Ayat-ayat itu jika tidak dimengerti secara hati-hati seolah-olah membenarkan tafsiran yang menunjukkan bahwa Yesus tak menghormati IbuNya sendiri. Untuk mengerti hal ini pertama kita harus mengerti bagaimana ajaran Yesus mengenai sikap manusia terhadap orang tuanya. Di dalam Matius 15:3-6, Yesus mengecam orang Farisi secara habis-habisan karena firman Allah tentang menghormati bapa-ibu itu dilanggar karena suatu tradisi Yahudi yang bertentangan dengan firman Allah untuk menghormati mereka itu:
”Tetapi jawab Yesus kepada mereka:” Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat-istiadat nenek-moyangmu? Sebab Allah berfirman:Hormatilah ayah dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya dan ibunya pasti dihukum mati….”
Yesus mengajarkan agar manusia sangat menghormati orang tua-bapa dan ibunya, mungkinkah Dia sendiri akan melanggar apa yang diajarkan? Mungkinkah Ia tak menghormati IbuNya sendiri, dengan demikian kontradiksi dengan ajaranNya sendiri? Jelas tidak mungkin. Oleh karena itu ayat-ayat diatas bukan sebagai bukti bahwa Yesus tidak menghormati Maryam, IbundaNya sendiri. Namun ayat-ayat itu justru menunjukkan letak kehormatan keibuan Maryam yang sebenarnya dalam hubungannya dengan Mesias.
Menurut Sang Kristus yang layak menjadi ibuNya adalah mereka yang “ melakukan kehendak Allah/Bapa” atau “mereka yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya” serta “ mereka yang mendengarkan firman Allah dan memeliharanya”. Marilah kita lihat sekarang apakah Maryam memenuhi syarat-syarat moral dan rohani yang ditetapkan Yesus ini untuk menjadi IbuNya, meskipun secara fakta jasmani Maryam memang IbuNya? Pada saat Maryam diberitahu oleh Malaikat Gabriel akan kehendak Allah/Bapa bahwa dia akan menjadi Ibu Mesias, dia tidak menolak ataupun memberontak sama-sekali, malah yang dikatakan kepada Malaikat itu adalah :
”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lukas 1:38).
Dia taat dan melaksanakan dan melakukan kehendak Allah tanpa banyak keraguan, pemberontakan, maupun ketidak-taatan. Meskipun dia tahu bahwa akibat ketaatan menjalankan kehendak Allah untuk mengandung bayi tanpa laki-laki itu hukumannya adalah mati dilempari batu. Wanita manakah yang melebihi Maryam dalam kerelaan menjalankan kehendak Allah seperti ini? Karena Maryam tekah memenuhi syarat sebagai orang yang melakukan kehendak Allah, berarti memang Maryampun Ibu Yesus yang memenuhi persyaratan rohani itu. Berarti disitulah letak kehormatan pribadi Maryam yang sebenarnya. Berbicara tentang Maryam, Elisabet yang tua itu mengatakan:
”Dan berbahagialah ia (Maryam), yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan (berarti Maryam mendengarkan firman Allah), akan terlaksana” (Lukas 1:45).
Terlaksana, karena Maryam rela melakukan “firman Tuhan” yang didengarnya seperti yang dikatakan dalam Lukas 1:38 diatas. Dengan demikian Maryam memang orang yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya. Dalam Lukas 2:19 dikatakan:
“Tetapi Maria menyimpan segala perkara ini di dalam hatinya dan merenungkannya”,
demikian juga dalam Lukas 2:51 dikatakan:
”Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.”
Kedua ayat ini menunjukkan pribadi Maryam yang sebenarnya, yaitu bahwa ia adalah sosok pribadi yang suka mendengarkan “firman Allah” dan merenungkan atau menyimpannya dalam hati, yaitu memelihara firman tadi. Dengan demikian secara sempurna segala persyaratan rohani yang ditetapkan Yesus agar seorang menjadi ibuNya itu digenapi dalam sosok pribadi Maryam.
Dengan demikian Maryam memang satu-satunya Ibu Yesus yang benar baik secara jasmani maupun secara persyaratan rohani , bukan karena semata mengandung dan menyusuiNya saja, tetapi terutama karena dia adalah sosok yang taat kepada kehendak Allah untuk melakukannya. Dia adalah sosok yang mendengarkan firman Allah, memeliharanya dan melaksanakan. Karena sifat-sifat pribadi yang sangat mulia inilah Maria layak menjadi Ibu Sang Mesias. Apa yang kelihatannya penolakan terhadap Maria itu justru menunjukkan sifat Maria yang sebenarnya. Dengan demikian kata-kata Yesus itu bukan ketiadaan hormat terhadap IbuNya, sebab itu mustahil dilakukan olehnya yang menekankan pentingnya orang menghormati ayah dan ibunya, namun itu untuk menegaskan makna keibuan Maria sebagai Walidatul Ilah, Bunda Almasih, Bunda Mesias. Maka tak ada tanda sedikitpun dalam Alkitab yang mengajarkan bahwa Yesus tidak menghormati IbuNya, karena Ibunya terbukti manusia yang amat terhormat dan mulia.
Di dalam naskah-naskah Liturgis Gereja Orthodox Maryam disebut dengan sebutan:” Ibu kita Yang Tersuci, Murni, Terberkati, Dan Mulia, Sang Theotokos, dan Yang Selalu Perawan Maryam”. Dengan demikian Gereja Orthodox mengajarkan bahwa Maryam itu Selalu Perawan. Demikian pula dalam penggambaran Ikonografi Gereja, Maryam selalu ditandai dengan “bintang:” yang terletak dikening di depan kerudungnya, maupun diatas pundak kiri dan kanannya. Bintang di pundak kanan melambangkan Maryam adalah Perawan Sebelum Mengandung, bintang diatas kening melambangkan bahwa Maryam itu Perawan ketika mengandung, serta bintang di pundak kiri itu melambangkan bahwa Maryam itu Perawan Sesudah Melahirkan. Artinya Maryam itu “Selalu Perawan”. Demikian ajaran resmi Gereja Orthodox.
Kepercayaan akan Keperawanan Maryam yang terus menerus barangkali kelihatannya untuk pertama kali bertentangan dengan Alkitab, karena Markus 3:21 menyebutkan tentang “kaum keluarga Yesus” dan Markus 6:3 menyebutkan tentang “saudara-saudari” Kristus. Tetapi rujukan di sini bisa saja berarti saudara-saudara tiri, yang lahir dari perkawinan Yusuf dalam perkawinannya terdahulu dengan wanita lain; juga kata yang digunakan di sini dalam Bahasa Yunani dapat berarti saudara sepupu atau anggota keluarga dekat, maupun dalam arti saudara dalam makna saudara kandung, bahkan saudara seiman yang tak terkait secara darah dan keturunan, sebagaimana yang digunakan dalam Surat-Surat Rasul Paulus jika ia menyebut anggota Gereja atau orang beriman dalam Kristus sebagai “saudara-saudara”. Dengan demikian kita tidak bisa memastikan secara dogmatis bahwa yang disebut sebagai “saudara-saudara” dan “saudari-saudari” serta “kaum keluarga” Kristus itu harus saudara kandung. Namun Gereja Orthodox sejak jaman Purba menegaskan bahwa Maria itu adalah Perawan sebelum mengandung, Perawan ketika mengandung, dan Perawan sesudah melahirkan. Dengan demikian Maria tidak memiliki anak lain kecuali Yesus Kristus Anak satu-satunya itu. Keyakinan Gereja ini diserang oleh seseorang yang bernama Helvedius, dan argumentasi yang sama itu sekarang digunakan oleh saudara-saudara kita dari kalangan Protestan. Bahwa Helvedius menyerang keyakinan tersebut, menunjukkan itu memang sudah menjadi keyakinan dan ajaran yang meluas di seluruh Gereja. Dan ini menunjukkan bahwa itu memang ajaran Am/Universal/Katolik dari Gereja. Gereja telah memberikan pertanggung jawaban akan imannya itu dalam melawan Helvedius. Akan ada relevansinya kita bicarakan hal ini, karena di kalangan saudara-saudara umat Protestan di Indonesia sudah sedemikian diyakini bahwa Maria itu punya anak-anak lain selain Yesus Kristus, artinya Maria itu tidak “Selalu Perawan”. Beberapa Argumentasi yang diajukan melawan keyakinan akan “Maria Selalu Perawan” adalah:
a. Matius 1:25: “Sampai”
Mengenai kisah kelahiran Kristus dikatakan Kitab Suci: ” …Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya, tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus” (Matius 1:24-25) “Yusuf tidak bersetubuh dengan Maria sampai melahirkan anaknya”, ini bermakna sesudah Maria melahirkan anak, Yusuf bersetubuh dengannya. Dengan demikian Maria tidak “Selalu Perawan”. Karena itu yang disebut “saudara-saudari “ Yesus dalam Markus 6:3 itu pastilah anak Maria lainnya dengan Yusuf selain Yesus Kristus. Demikian argumentasi Helvedius, yang juga digunakan oleh saudara-saudara umat Protestan. Namun Gereja Orthodox tidak melihat hal itu sebagai argumen yang telak dan mematikan. Karena kata “sampai” di dalam Alkitab digunakan dalam beberapa makna yang berbeda-beda. Misalnya, Alkitab menggunakan kata “sampai” dalam makna kejadian atau situasi yang terus menerus, misalnya: I Samuel 15:35 :”sampai hari matinya Samuel tidak melihat Saul lagi...” Kata “sampai” disini tidak berarti bahwa sesudah mati, Samuel lalu melihat Saul. Konteksnya tidak membolehkan arti demikian dan akalpun tidak membenarkan. Tak mungkin sesudah berada dalam kuburan lalu Samuel menjenguk Saul. Maksud ayat ini tentu saja bukan demikian. Maksudnya, sejak Samuel bertemu dengan Saul yang terakhir itu, sampai dia meninggal tidak pernah Samuel bertemu lagi dengan Saul. Dalam makna ini, jika kata “sampai” itu kita terapkan pada Matius 1:25, maka artinya adalah :sejak Maria mengandung sampai melahirkan anak, Yusuf tidak bersetubuh dengan nya. Atau “sampai” melahirkan anakpun Yusuf tidak bersetubuh dengan Maria. Demikian pula dalam II Samuel 6:23 : “Mikhal binti Saul tidak mendapat anak sampai hari matinya.” Ini tidak berarti sesudah Mikhal mati dalam kubur, kemudian melahirkan, meskipun dikatakan Mikhal tak mendapat anak sampai hari matinya. Artinya adalah: Mikhal ini selama-lamanya tidak mempunyai anak bahkan sampai matinya. Jika makna ini diterapkan pada Matius 1:25, maka artinya sampai selama-lamanya Yusuf tidak bersetubuh dengan Maria. Dalam Kej 28:15 “Maka sesungguhnya Aku akan sertamu, dan Akulah hendak memelihara dikau barang kemanapun engkau pergi, dan Aku yang hendak memulangkan dikau kepada negeri ini juga, karena tiadalah Aku meninggalkan dikau sampai sudah Aku menyampaikan barang yang telah Kujanjikan padanya lalu Ia meninggalkan Yakub dan tak menyertainya.” Yang dimaksud disini adalah bahwa Tuhan menyertai Yakub selama-lamanya dan akan menggenapi janjiNya. Sampai kapanpun Ia menyertai dia, sampai janji-janji Allah itu genap terjadi. Hal yang sama dapat dikenakan kepada Matius 1:25. Demikian juga dalam Ulangan 34:6 ”Dan dikuburkanNyalah dia (Musa) disuatu lembah ditanah Moab, ditentangan Set-Peor, dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini.” Sampai hari ini tidak ada orang yang tahu kubur Musa, tidak berarti sesudah hari ini (artinya besok) lalu kubur Musa diketahui. Artinya sampai kapanpun, orang tidak akan mengetahui kubur Musa. Dari bukti-bukti yang digunakan oleh Kitab Suci ini, terbukti bahwa penggunaan kata“sampai”, itu tidak selalu diartikan : berakhirnya sesuatu dan mulainya yang baru, berakhirnya masa Yusuf bertarak, sesudah melahirkan, Yusuf melakukan persetubuhan dengan Maria.
Dalam penggunaan ayat-ayat diatas, kata “sampai” justru menunjukkan kelanggengan dan kelestarian Maria dalam hal tidak dikumpuli oleh Yusuf itu. Sama seperti dalam hal: kelanggengan tidak bertemunya Samuel dengan Saul, kelanggengan Mikhal tidak beranak bahkan sampai matinya, kelanggengan penyertaan Allah kepada Yakub bahkan sampai genap janjiNya, kelanggengan dari ketidak-dapat ditemukannya kuburan Musa bahkan sampai hari kapanpun. Demikian pula dengan Matius 1:25 : Yusuf tidak bersetubuh dengan Maria “Sampai” dia melahirkan anak, artinya : Bahwa Yusuf tidak bersetubuh bahkan sampai Maria itu melahirkan anaknya. Artinya untuk selamanya Yusuf tidak pernah menjamah Maria.
b. Markus 6:3 : “Saudara-saudara Yesus”
Ayat diatas mengatakan bahwa “Saudara-saudara Yesus” datang dengan ibu Yesus. Data itu disimpulkan bahwa itu berarti Maria punya anak-anak lain, jadi ia tidak “Selalu Perawan” demikian argumentasinya. Meskipun Alkitab menyebut mereka ini “saudara-saudara Yesus”, namun tak pernah sekalipun Alkitab menyebut mereka yang dinyatakan sebagai “ saudara-saudara Yesus” ini sebagai “anak-anak Maria”. Satu-satunya yang disebut sebagai anak Maria didalam Alkitab adalah Yesus sendiri. Dinyatakan dalam Markus 6:3 “Bukankah Ia (Yesus) ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus , Yoses, Yudas, Simon ? dan bukankah saudara-saudaraNya perempuan ada bersama kita?” Yakobus, Yoses , Yudas dan Simon. disebut saudara-saudara Yesus, dan juga disebutkan “saudari-saudari”Nya, tapi mereka semua itu dalam Alkitab tak pernah disebut sebagai anak-anak Maria. Artinya hubungan persaudaraan antara Yakobus, Yudas, Simon dan saudara-saudara perempuan mereka dengan Maria berbeda antara Yesus dan Maria. Yesus jelas disebut “anak Maria”, tetapi orang-orang ini tidak disebut anak-anak Maria, berarti mereka bukan anak-anak Maria. Bagaimana mungkin mereka disebut “saudara-saudara” dan “saudari-saudari” Yesus tetapi bukan anak-anak Maria? Kalau begitu siapakah mereka ini ? Yang dengan demikian menunjukkan Maria hanya memiliki “satu orang anak saja” : Yesus Sang Kristus.
Sebagaimana telah kita sebutkan diatas, kata ”saudara” itu tidak selalu berarti kakak-adik satu ibu. Hal ini dapat dibuktikan didalam Kejadian 13:8 “Maka kata Abram kepada Lut: Jangan kiranya terjadi perbantahan antara aku dengan dikau dan antara gembalaku dengan gembalamu karena kita ini bersaudara” (Terjemahan lama). Abraham mengatakan kepada Lot bahwa mereka bersaudara, tetapi jelas dari kisah Alkitab itu sendiri bahwa Lot adalah kemenakan Abraham (Kej 11:27) anak saudaranya (Haran). Jadi kata saudara ini tidak harus diartikan saudara kandung. Demikian juga dalam Kej 31:46 “ Maka kata Yakub kepada saudara-saudaranya : “Himpunkanlah batu. Maka diambil oleh mereka itu akan beberapa batu. Lalu dijadikan suatu timbunan , maka makanlah mereka itu disana diatas timbunan baru itu.” (Terjemahan lama). Kisahnya ialah ketika Yakub melarikan diri dari Laban bersama anak, istri dan hartanya. Yakub dikejar oleh Laban (mertuanya) ini. Kata “saudara” disini tidak menunjuk kepada saudara kandung (Kej 31:46) tetapi saudara sepupu dan mertua. Juga dalam Ulangan 18:18 ”Seorang Nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini....” Tuhan akan membangkitkan nabi di antara saudara orang Israel, yang dimaksud disini adalah saudara sebangsa, bukan kakak-adik. Jadi dalam Alkitab, kata saudara tidak harus diartikan sebagai kakak-adik. Demikian juga halnya yang terjadi didalam bahasa Indonesia. Dalam seminar-seminar orang sering menyebut peserta yang hadir dengan sapaan: ”saudara-saudara”. Pidato-pidato resmi selalu menggunakan istilah ”saudara-saudara” bagi para pendengarnya, namun itu tidak berarti para pendengar pidato atau para peserta seminar adalah saudara kandung dari si pembicara atau anak dari Ibu si pembicara. Penggunaan kata “saudara” dalam bahasa-bahasa timur, seperti bahasa-bahasa di Timur Tengah, dunia Laut Tengah maupun Asia lainnya, sama sekali tidak dibatasi arti sempit yang hanya memiliki satu makna: saudara kandung saja. Dengan demikian ekpresi “saudara-saudara Yesus” dalam Markus 6 atau Matius 13 itu belum secara pasti dan meyakinkan terbukti sebagai ”anak-anak Maria”.
Jika “saudara-saudara Yesus” ini bukan anak-anak Maria, anak-anak siapakah mereka? Markus 16:1 menyebutkan:”Setelah lewat hari Sabat, Maria Magdalena dan Maria Ibu Yakobus, serta Salome membeli rempah-rempah untuk pergi ke kubur dan meminyaki Yesus”. Juga dikatakan oleh Matius 27:61 “Tetapi Maria Magdalena dan Maria yang lain tinggal disitu duduk didepan kubur itu,” serta “Setelah hari Sabat lewat, menjelang menyingsingnya fajar pada hari pertama Minggu itu, Pergilah Maria Magdalena dan Maria yang lain, menengok kubur itu.” (Matius 28:1), dan lagi “Diantara mereka terdapat Maria Magdalena, dan Maria Ibu Yakobus dan Yusuf, dan ibu anak-anak Zebedeus” (Matius 27:56). Paralel dari ayat terakhir ini adalah Markus 15:47 ”Maria Magdalena dan Maria ibu Yoses melihat dimana Yesus dibaringkan”. Jika keempat ayat diatas disimpulkan maka kita dapati bahwa “Maria” yang selalu bersama dengan Maria Magdalena didalam peristiwa akhir hidup Yesus di dunia ini, disebut sebagai “ Maria yang lain” atau “Maria Ibu Yakobus” atau “Maria ibu Yoses” atau “Maria ibu Yakobus dan Yusuf”. Yoses adalah nama lain dari Yusuf. Padahal yang disebut saudara-saudara Yesus itu diantaranya adalah “Yakobus dan Yoses” (Markus 6:3) atau “Yakobus dan Yusuf” (Matius 13:55). Dengan demikian ibu dari “Yakobus dan Yoses (Yusuf)” yang disebut sebagai “saudara-saudara Yesus” ini namanya juga Maria. Ialah yang selalu bersama-sama dengan Maria Magdalena baik pada waktu melihat kematian maupun mengunjungi kuburan Yesus, yang disertai wanita lain: Salome. Selanjutnya Lukas mengatakan: ”Semua orang yang mengenal Yesus termasuk perempuan-perempuan yang mengikuti Dia dari Galilea, berdiri jauh-jauh dan melihat semuanya itu (penyaliban Yesus).”(Lukas 15:40,47), diterangkan lebuh lanjut dalam Lukas 24:10 :”Perempuan-perempuan itu adalah Maria dari Magdala, dan Yohana, dan Maria ibu Yakobus.”Jadi Maria ibu Yakobus inilah yang selalu bersama-sama dengan Maria Magdalena dan Salome, serta Yohana, sejak penyalibanNya sampai kepada kebangkitaanNya. Untuk mengetahui identitas Maria ibu dari Yakobus dan Yusuf/Yoses “saudara-saudara Yesus” itu maka kita baca dalam Yohanes 19:25 ”Dan dekat salib Yesus berdirilah ibu-Nya, dan saudara ibu-Nya, Maria istri Kleopas, dan Maria Magdalena.” Maria ibu Yakobus dan Yoses/Yusuf yang selalu bersama Maria Magdalena didalam peristiwa-peristiwa akhir penyaliban Yesus. Dan kedua Maria inilah yang datang kepada kuburan untuk menjenguk mayat Yesus. Tetapi Maria ibu Yesus tidak pernah disebut sebagai ikut kekuburan bersama Maria Magdalena dan Maria yang lain ini (Maria ibu Yakobus dan Yoses/Yusuf). Memang menurut Lukas pada waktu penyaliban ada banyak perempuan yang melihat peristiwa itu, dan mereka dari Galilea (Lukas 23:49) dan tentulah disitu terdapat Maria ibu Yesus. Karena terbukti dalam Yohanes 19:25 ia berada di bawah salib pada saat Yesus disalibkan. Namun pada saat mengunjungi kuburan, yang disebut hanyalah Maria Magdalena dan Maria yang lain (Maria ibu Yakobus dan Yoses /Yusuf), yang tentu saja disebut Salome dan Yohana. Dengan demikian “Maria yang lain” yang disebut sebagai “Ibu Yakobus dan Yusuf/Yoses” dan selalu bersama dengan Maria Magdalena ini bukanlah Maria Ibu Yesus, tetapi Maria istri Kleopas atau saudara perempuan dari ibu Yesus seperti yang dikatakan dalam Yohanes 19: 25 diatas. Maka Yakobus dan Yoses (Yusuf), itu adalah anak Maria istri Kleopas ini, berarti kemenakan dari Maria ibu Yesus. Jadi yang disebut saudara-saudara Yesus adalah saudara sepupu Yesus. Dengan demikian jelas, bahwa Maria tidak mempunyai anak lain selain Yesus Kristus. Itulah sebabnya Gereja menyatakan Maria “Selalu Perawan”. Oleh karena itu Alkitab tidak mengatakan Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon sebagai anak-anak Maria ibu Yesus, karena mereka hanyalah kemenakan Maria ibu Yesus , anak dari saudari ibu Yesus, yang adalah istri Kleopas. Bukti lagi bahwa Maria itu tidak mempunyai anak lagi selain Yesus, dapat kita jumpai dalam Yohanes 19:26-27 ”Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya disampingnya, berkatalah ia kepada ibu-Nya : Ibu, inilah anakmu ! Kemudian katanya kepada murid-Nya : Inilah ibumu ! dan sejak saat itu murid itu menerika dia didalam rumahnya.” Kalau memang Maria mempunyai anak yang lain , tak mungkin Yesus menyerahkan ibu-Nya kepada orang lain yang menjadi murid-Nya, sebab masih ada adik-adik-Nya yang memelihara Sang Ibu ini, meskipun kalau mereka belum percaya kepada Sang Abang sebagai Mesias. Namun bahkan ketika Yakobus “saudara Tuhan Yesus” itu telah percaya dan akhirnya menjadi “soko guru” Gereja (Galatia 2:9), yaitu Episkop (Uskup) yang pertama di Yerusalem, Maria tetap tidak pernah dipelihara Yakobus. Kalau memang Yakobus ini anak Maria (adik kandung Yesus) seharusnya Yakobus-lah yang bertanggung jawab untuk Maria, tetapi yang bertanggung jawab adalah Yohanes murid Yesus. Sampai hari matinya Maria hidup bersama Yohanes. Sebagai anak satu-satunya, maka Yesus harus bertanggung jawab pada ibu-Nya secara manusia dan tanggung jawab itu dilimpahkan kepada Yohanes, sebab Yesus akan disalibkan membuktikan bahwa Maria memang tidak mempunyai anak, selain Yesus dan ia tidak pernah bersetubuh dengan Yusuf. Karena itulah Gereja Orthodox menyebut Maria : “Tetap/Selalu Perawan”.
c. Lukas 2:7: “anak Sulung”
Argumentasi berikutnya untuk menyatakan bahwa Maria tidak “Selalu Perawan” adalah data Alkitab yang menyatakan Yesus sebagai “anak Sulung” Maria. Ini disimpulkan bahwa Maria punya anak-anak yang lain yang adalah adik-adik Yesus, karena Yesus adalah Anak Sulung Maria. Untuk memahami makna “Anak Sulung” ini marilah kita baca peristiwa dimana Yesus disebut sebagai Anak Sulung itu: “Dan ketika genap delapan hari dan Ia harus disunatkan, Ia diberi nama Yesus, Yaitu nama yang disebut oleh malaikat sebelum Ia dikandung ibu-NYa. Dan ketika genap waktu pentahiran, menurut hukum Taurat Musa, karena membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Tuhan, seperti ada tertulis dalam hukum Tuhan: Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah, dan untuk mempersembahkan korban menurut apa yang difirmankan dalam hukum Tuhan, yaitu sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati.” (Lukas 2:21-24). Yesus dibawa ke Bait Allah karena Dia adalah anak laki-laki sulung. Menurut bahasa Taurat ini: Anak Laki-laki Sulung tidak diartikan, bahwa sesudah anak yang sulung itu pasti ada adiknya yang menyusul. Hal itu dinyatakan demikian: ”Kuduskanlah bagi-Ku semua anak sulung, semua yang lahir dahulu dari pada kandungan orang Israel, baik pada manusia maupun pada hewan, Akulah yang empunya mereka. …maka haruslah engkau persembahkan bagi Tuhan segala yang lahir terdahulu dari kandungan, juga setiap kali ada hewan yang kaupunyai beranak pertama kali, - anak jantan yang sulung adalah bagi Tuhan.” (Keluaran 13:12). Itulah yang dikutip oleh Lukas, yang bermakna: anak sulung tidak harus menunjukkan urutan angka yang harus disusul dengan kelahiran adik-adik. Namun Anak Sulung adalah: Anak yang lahir terdahulu dari kandungan (Keluaran 13:12). Yang lahir terdahulu dari kandungan tidak harus bahwa si ibu itu melahirkan lagi. Bisa saja yang terdahulu itu anak tunggal. Yang menjadi penekanan disini adalah: bukan soal sulung yang kemudian ada adiknya, tetapi sulung sebagai yang membuka kandungan untuk pertama kalinya. Sulung sebagai pemula membuka kandungan itu. Jadi penggunaan kata-kata anak sulung ini menurut bahasa Taurat diatas tidak menunjukkan tentang adanya adik yang lahir sesudah si sulung. Boleh saja si ibu hanya memiliki anak tunggal. Yang penting adalah si bayi itu yang pertama kali membuka kandungan ibunya. Maria tidak punya anak yang lain, berarti anak sulung di dalam hal Yesus disini adalah : Dia anak satu-satunya dan yang pertama membuka kandungan Maria. Namun sesudah itu Maria tidak mempunyai anak lagi. Jadi kata-kata : Anak sulung (Yunani: “Prototokos”), sama sekali tidak menunjukkan bahwa Yesus mempunyai adik-adik kandung sesudah itu, akibat dari pernikahan Maria dengan Yusuf.
d. Yohanes 2:4: “Hai perempuan”
Yang terakhir adalah peristiwa pernikahan di Kana dimana ketika Maria memberitahu bahwa pesta itu kekurangan anggur dijawab Yesus - dalam terjemahan lama - demikian: “Maka kata Yesus kepadanya: Hai Perempuan, apakah yang kena-mengena diantara Aku dan Engkau? Saatku belum sampai.” Ayat ini disimpulkan sebagai bukti bahwa Yesus itu tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Maria. Memang ini tidak menunjukkan bantahan tentang “Maria Selalu Perawan”, namun ini dipakai untuk menunjukkan bahwa Yesus tidak menghormati Maria, karena itu kitapun tak usah menghormatinya. Gelar “Tetap/Selalu Perawan” adalah bentuk penghormatan yang disalah-artikan sebagai penyembahan. Yesus adalah Firman Allah yang menjadi manusia. Sebelum penjelmaan-Nya menjadi manusia pernah memberi hukum kepada Musa : “Hormatilah bapa dan ibumu.” Jika menghormati bapa dan ibu adalah perintah Kristus sebelum menjadi manusia, mungkinkah setelah menjadi manusia Dia sendiri tidak menghormati ibu-Nya, dengan demikian tidak memberi teladan ataupun meng-kontradiksi firman-Nya sendiri? Istilah “perempuan” ini dimengerti oleh Gereja sebagai menunjukkan bahwa Maria adalah Hawa yang kedua (terakhir), sebab Gereja adalah Pengantin Kristus, dan Kristus Adam terakhir atau Adam Kedua. Maria adalah anggota Gereja yang paling awal. Karena Marialah yang pertama percaya kepada Yesus sebagi Mesias ketika Malaikat Gabriel memberitakan kepadanya (Lukas 1:38). Maka sebagai Wakil dan Gambaran segenap Gereja Maria adalah Hawa kedua. Sebab kepada Hawa pertama, Adam pertama menyebutnya sebagai “perempuan” (Kejadian 2:23). Selanjutnya ungkapan Yesus “Apakah yang kena mengena diantara aku dan engkau?” Ini harus dilihat konteksnya. Konteksnya adalah: Yesus dan Maria bersama muridNya diundang untuk datang ke perjamuan ini. Mereka itu tamu, bukan yang punya hajat, mereka tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi di pesta itu. Ketika dia kehabisan anggur, Maria ini nampaknya orang yang selalu memikirkan kebutuhan orang lain, begitu kasihan melihat kesulitan orang lain sehingga tidak tega kalau Tuan Rumah dimana mereka bertamu mendapat malu karena kehabisan anggur. Secara diam-diam, ia datang kepada Yesus (Anaknya) karena dia punya iman, sementara orang-orang lain tidak punya iman, bahwa Yesus dapat melakukan mujizat. Maria berkata kepada Yesus: “Mereka itu tiada air anggur”, ini artinya ia minta: lakukanlah mujizat supaya mereka itu punya air anggur. Tetapi Yesus mengingatkan: “Perempuan, apakah yang kena mengena diantara aku dan engkau?” Hal kehabisan anggur itu tidak ada kena mengena antara Maria dan Yesus karena Yesus dan Maria dalam peristiwa ini adalah tamu, jadi tidak kena mengena masalah habisnya anggur itu, itu bukan tanggung jawab mereka berdua.
Selanjutnya peristiwa ini memiliki makna Soteriologis. Ketika diminta Maria untuk melakukan mukjizat Yesus menjawab: ”Saat-Ku belum sampai.” Artinya: Untuk menyatakan mujizat bagi menyakan ke-Mesias-anNya, Yesus tidak tergantung kepada kehendak Maria. Bukan karena didorong Maria, Yesus melakukan mujizat. Kalau sudah waktunya, Dia akan melakukan mujizat. Tidak ada urusannya dengan Maria dalam masalah karya keselamatan yang dilakukan Yesus. Jadi sama sekali nats ini bukan menunjukkan perendahan Yesus terhadap Maria. Sebaliknya ini menunjukkan keluasan hati Maria terhadap manusia yang menderita. Ia menyampaikan derita manusia ini kepada Anaknya (Yesus). Dengan imannya yang penuh, ia percaya bahwa Anaknya itu dapat melakukan mujizat. Dengan demikian Yesus menunjukkan mujizat. Peristiwa ini dilihat oleh Gereja Purba sebagai bukti bahwa sampai sekarangpun hubungan Maria dengan Yesus adalah seperti ini. Maria sebagai yang telah dibangkitkan oleh Yesus, sebagai ibu kita yang ada dihadapan Yesus, tidak henti-hentinya mendoakan kita. Disana dia memohonkan kepada Yesus bagi kebutuhan kita. Sebagai ibu, ia tida rela melihat anaknya yang menderita. Oleh karena itu dengan imannya yang penuh ia memohonkan kepada Yesus bagi kita. Maria membantu doa kita, sementara kita berdoa kepada Allah melalui Yesus. Didalam diri Maria kita menemukan seorang yang setia untuk mendoakan kita dihadapan Anaknya. Seorang yang setia memberi uluran tangannya dalam doa supaya Anaknya (Yesus) boleh melakukan mujizat bagi kita. Ini tidak menghalangi kita datang secara langsung kepada Yesus, sebab Maria itu bukan pengantara pengganti Yesus. Tetapi kita tidak sendirian dalam pergumulan hidup ini, ada orang yang dengan setia mendoakan kita: Maria, ibu kita, Hawa yang baru. Ayat-ayat diajukan dengan anggapan itu bukti Maria tidak seperti yang diajarkan Gereja Purba ternyata berbicara sebaliknya. Di dalam menghormati dan mengasihi Maria, kita menunjukkan kasih kita kepada Anaknya (Yesus). Maria tidak menghalangi bakti kita kepada Kristus, justru kita hormati Maria karena Dia yang telah lahir melalui Maria yaitu: Juruselamat kita, Pengantara kita dan penebus kita satu-satunya: Tuhan Yesus Kristus. Taruhlah seseorang tidak percaya bahwa Maryam “Tetap Perawan” karena tidak ada bukti medis yang membuktikan akan hal itu. Namun jika yang tidak percaya ini adalah seorang Kristen, maka suatu pertanyaan perlu diajukan:” Mana lebih mudah bagi Allah, menjadikan seorang perempuan mengandung bayi tanpa benih laki-laki, atau memulihkan kembali selaput dara dari Perawan Maryam yang hanya itu hanya sekedar semacam robekan luka saja? Mana yang lebih mudah bagi Allah yang dapat menyembuhkan banyak orang dan bahkan membangkitkan orang mati, untuk membuat orang mati hidup lagi, orang buta dapat melihat, orang lumpuh dapat berjalan, atau menyembuhkan luka kecil yang berwujud selaput dara yang robek milik Perawan Maryam itu?” Jikalau jawabannya lebih mudah memulihkan selaput dara dari Perawan Maryam, apa yang dijadikan alasan untuk menolak keyakinan Gereja sejak zaman purba ini? Padahal penolakannya itu sendiri justru dasar Alkitabnya tidak ada dan tidak jelas. Apa yang ditakutkan? Jika ajaran Maryam “Selalu Perawan” ini sulit diterima akal, apakah bayi Yesus yang lahir tanpa sperma laki-laki itu masuk akal? Mungkin jawabannya: “Ya, itu kan mukjizat?!!” Tetapi jawaban kita, Keperawanan Maryampun adalah mukjizat. Tujuan Gereja menegaskan Maryam “Selalu Perawan” itu sebenarnya bukanlah masalah medis, namun masalah theologis. Sudah kita lihat didepan Gereja melihat Maryam sebagai Hawa kedua. Oleh karena itu ajaran Maryam “Selalu Perawan” itu juga terkait dengan Hawa. Sesudah peristiwa kejatuhan di Taman Eden, Adam, Hawa dan Iblis masing-masing mendapat kutukan dari Allah. Kutuk Allah kepada Hawa berbunyi demikian: ”Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu ; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.” (Kejadian 3:16). Kutuk yang dijatuhkan Allah kepada wanita itu terkait dengan “anak”: ”Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu ; …” dan terkait dengan “suami” : namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.” Oleh kedatangan Kristus ke dalam dunia ini, bukan hanya manusia laki-laki saja yang dilepaskan dari kutuk dosa itu dan menerima penebusan, namun juga manusia wanita. Karena manusia perempuan itu menerima ciri derita dalam kaitannya dengan memiliki anak : ”susah payah waktu mengandung” serta “kesakitan waktu melahirkan anak”, maka bukti dari karya Kristus yang melepaskan manusia wanita itu juga dikaitkan dengan mukjizat yang terjadi dalam mengandung, yaitu ibuNya secara mujizat hamil tanpa benih pria, dan melahirkan, yaitu ibuNya setelah melahirkan tetap dijaga keperawannya. Jadi makna theologis yang ditegaskan dengan ajaran tentang Maryam “Selalu Perawan” adalah kesempurnaan karya Kristus, yang menebus dari dampak dosa asal, bukan saja manusia pria namun juga manusia wanita. Penebusan Kristus yang amat sempurna yang juga merangkul wanita ini, ditegaskan bahwa Maryam tidak pernah nikah karena “Selalu Perawan”, maka ia juga dibebaskan dari dampak dosa asal dalam bentuk “berahi terhadap suami” serta “dikuasai oleh suami”. Demikianlah melalui pengajaran Maryam “Selalu Perawan” ini yang hendak ditekankan oleh Gereja adalah kesempurnaan Penebusan Kristus baik bagi pria maupun wanita. Maryam adalah bukti dari Penebusan Kristus yang telah membebaskan wanita dari dampak kutuk dosa asal. Kristuslah yang ditinggikan dalam ajaran ini, bukan pada Maryamnya sendiri.
Keheranan Maryam atas Pemberitaan Malaikat
Dalam Kitab Suci ada indikasi bahwa memang Maryam telah berniat tidak menikah, dan oleh Gereja itu diperkokoh oleh Tradisi yang menyatakan bahwa Maryam memang telah berkaul untuk mendedikasikan dirinya menjadi semacam Orang Nazir (Bilangan 6), sejak muda, ketika ia diserahkan di Bait Allah untuk dipelihara Imam Zakharia, ayah Nabi Yohanes Pembaptis. Karena orang tua kandungnya yaitu Eli (Lukas 3:23) atau Yoakhim dan ibunya: Hannah atau Anna telah meninggal, karena mereka memiliki anak Maryam itu telah berumur sangat tua sekali.
Kitab Suci mengatakan demikian: ”Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, ibuNya bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus…” (Matius 1:18), juga :”…Yusuf…..mengambil Maria sebagai isterinya….” (Matius 1:24-25). Ayat-ayat diatas itu menegaskan bahwa ketika terjadinya mujizat kehamilan tanpa pria itu Maryam telah bertunangan dengan Yusuf, dan akhirnya oleh perintah Malaikat maka Yusufpun mengambil Maryam sebagai isterinya. Jika seseorang telah bertunangan pastilah akan merencanakan pernikahan, dan memang pernikahan itu ternyata terjadi atas perintah Allah melalui malaikat, meskipun sesudah terjadi mukjizat kehamilan. Ini menunjukkan bahwa kehamilan itu bukan berasal dari Yusuf sumbernya. Jika pernikahan itu direncanakan terbukti adanya suatu pertunangan, maka kehamilan oleh calon suami itupun harus sudah diharapkan sebelumnya. Namun yang terjadi adalah sesuatu yang aneh, yaitu ketika Malaikat Gabriel diutus Allah kepada Maryam dan memberitahu kehendak Allah bahwa ia akan mengandung dan melahirkan Anak laki-laki, tanggapan Maryam adalah :” Kata Maria kepada malaikat itu: ”Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami” (Lukas 1:32). Bahasa aslinya:”” (“Pos estai touto, epei andra ou ginooskoo”). Arti “” = andra ou ginooskoo, bukanlah “aku belum bersuami”, namun: ”..aku tidak mengenal pria”. Artinya tidak mengenal pria secara dekat dan intim, apalagi bersentuhan secara jasmani layaknya suami isteri. Jawaban ini menjadi semakin aneh jika kita mengingat bahwa pada saat pertemuan dengan malaikat itu terjadi “waktu Maria, ibuNya bertunangan dengan Yusuf”. Jika ia bertunangan pasti rencana untuk nikah, jika rencana untuk menikah pasti rencana untuk “mengenal pria”, dan jika mengenal pria pasti punya anak. Bagaimana dalam kondisi dan situasi seperti itu ia menanyakan “Bagaimana hal itu mungkin terjadi” dan “aku tidak mengenal pria” semacam itu? Kalau memang betul ia sungguh menikah , pasti “mungkin” terjadi karena ada suaminya! Kalau ia sungguh-sungguh mau menikah pasti ia “mengenal pria” yaitu akan berhubungan intim dengan pria yaitu suaminya! Bukankah seharusnya begitu logikanya? Pertanyaan Maryam yang menunjukkan keraguan dan keheranannya itu memperkuat apa yang selama itu diyakini oleh Tradisi Gereja selama berabad-abad bahwa Maryam memang tidak sungguh-sungguh menikah dengan Yusuf. Yusuf menikahi Maryam hanya untuk tujuan melindunginya saja. Dan bahwa Maryam sejak ia diserahkan di Bait Allah memang telah bernadzar untuk menjadi Nazir selamanya dengan tidak bersentuh dengan pria, yaitu “tidak mengenal” pria. Itulah sebabnya pertanyaan semacam itu muncul dari Maryam. Dengan Maryam telah bernadzar menjadi Nadzir, jadi memang tidak menyentuh dan tak disentuh pria. Yusufpun hanya melindungi Maryam saja karena seorang gadis yang telah yatim piatu, dan ia tak pernah bersetubuh dengan Maryam, serta Maryam tidak punya anak lain diluar Yesus. Jadi Maryam memang “Selalu Perawan”.
Maryam Dan Beberapa Keberatan Protestan Atasnya
Memang posisi Alkitabiah Gereja Orthodox mengenai Maryam itu begitu jelas dan gamblangnya, namun pada umumnya saudara-saudara umat Protestan mempunyai keberatan-keberatan mengenai pemahaman tentang Perawan Maryam ini, terutama sebagai reaksi terhadap Mariologi Gereja Roma Katolik. Sehingga saudara-saudara umat Protestan enggan dan bahkan menolak untuk memberikan salam hormat kepada Sang Perawan Suci ini, dan bahkan Maryam tak termasuk dalam pembahasan sistem theologia Protestan. Barangkali ini disebabkan reaksi terhadap pemujaan yang berlebih-lebihan yang diberikan kepadanya oleh saudara- saudara Umat Roma Katolik; sehingga mereka membesar-besarkan kasus ini dengan berbuat sebaliknya yaitu sama sekali tidak memberikan tempat bagi hormat atas Maryam bahkan ada yang menganggap bahwa Maryam hanya sekedar kulit telur yang tak memiliki nilai sama sekali sesudah anak-ayam menetas, atau seperti pipa kran air yang tak dibutuhkan jika airnya telah di dapat, atau seperti botol kecap yang dibuang setelah kecapnya habis terpakai. Dan tentu saja saudara-sudara umat Protestan sama sekali tak merayakan pesta-pesta apapun baginya.
Untuk memahami sikap ini, serta mendudukan masalahnya dalam proporsi yang sebenarnya secara Orthodox, maka hal-hal berikut ini perlu kita bicarakan. Sebagaimana yang telah berulang-ulang kita tegaskan bahwa landasan aqidah Iman Kristen adalah Wahyu Ilahi yang terpuncak dan paripurna yaitu peristiwa “Kalam Ilahi” (“Kalimatullah” atau “Firman Allah”) yang “Turun ke bumi” (“turun”) ke dunia sebagai daging jasad jasmani manusia: Yesus Kristus (Yohanes 1:14), mati disalibkan, bangkit dan naik ke sorga, serta duduk di sebelah kanan Allah Sang Bapa. Sebagai Kalimatullah ( Firman, Sabda), Yesus Kristus yang manusia itu, dalam keberadaan asliNya adalah ghaib, tak terbayangkan dan tak tergambarkan, karena berada satu dan melekat dalam Dzat (Hakekat, Essensi) Allah yang serba Esa, yang disebut: ”Bapa” ( I Kor. 8:6) dan ghaib itu pula. Dengan demikian dalam wujud atau keberadaan asliNya yang kekal Kalimatullah ( Firman Allah) itu tak berjisim, tak berjasad dan tak berupa. Namun ketika “Kalimatullah” yang sama itu “Turun ke bumi” (“turun”) dari sorga ke dunia sebagai daging jasad jasmani manusia: Yesus Kristus, Isa Almasih, dalam keadaan “Turun ke bumiNya” sebagai manusia inilah Kalimatullah itu memiliki bentuk, rupa, jisim, dan jasad yang bersifat daging-kemanusiaan. Sifat jasmani kemanusiaan ini adalah sifat baru yang tadinya tak dimiliki oleh Kalimatullah dan ini bukan sifat azaliNya yang kekal tanpa awal dan tanpa akhir itu. Karena sifat daging-jasad –jasmani ini adalah sifat makhluk yang didapatnya dari Ibu Manusia yang memberikan kelahiran kepadaNya secara manusia dalam proses “Turun ke bumiNya” tadi.
Demikianlah kemanusiaan dari Turun ke bumiNya Kalimatullah itu terikat erat dengan sumber asalnya, yaitu ovum (“buah telur”) dari rahim wanita yang menjadi IbuNya dalam Turun ke bumiNya sebagai manusia itu: Maryam, Theotokos (Al-Walidatul Ilah). Itulah sebabnya Almasih disebut sebagai “buah rahim” dari Maryam ( Lukas 1:41-43 ). Ini berarti bahwa kemanusiaan Almasih adalah berasal tumbuh dari sifat rahim itu sendiri, yaitu berasal dari buah telur yang ada dalam rahim itu. Berbicara tentang sifat kemanusiaan Firman yang menjadi manusia berarti harus berbicara mengenai yang menjadi asal-usul kemanusiaan Kalimatullah yang Turun ke bumi itu, yaitu diri Maryam yang melahirkanNya dalam wujud manusia tadi. Maryamologi (Mariologi) tak lain adalah perpanjangan dari Kristologi, tak kurang dan tak lebih. Oleh karena itu dalam Gereja Orthodox tidak ada dogma tentang Mariologi secara tersendiri, seperti halnya Gereja Roma Katolik yang memiliki dua dogma tentang Maria:” Dogma Maria Terkandung Tanpa Dosa Asal”, “Dogma Pengangkatan Maria Ke sorga”. Sebagai “Dogma” kedua ajaran Roma Katolik ini ditolak oleh Gereja Orthodox. Meskipun Gereja Orthodox menegaskan ke-Amat Suci-an Maria, namun bukan karena sejak dalam kandungan sudah bebas dari dosa asal; Maryam seperti manusia lainnya dikandung dalam dosa dan lahir dalam dosa asal yaitu keberadaan tunduk pada maut itu, jadi kesucian Maria adalah karena pengudusan Roh Allah, ketika Maria rela akan panggilannya menjadi Ibu Kalimatullah yang Menjelma, dan Roh Allah turun atasnya, dan bukan sejak dalam kandungan, sehingga dengan kekudusan itu dia layak ditempati Yang Maha Kudus : Kalimatullah sendiri, yang adalah Allah dalam hakekatNya (Yohanes 1:1). Sedangkan pengangkatannya ke sorga meskipun merupakan keyakinan saleh dan ada kidung-kidung yang membicarakan masalah itu dalam Gereja Orthodox, namun bukan dogma, sebab pemuliaan Maria itu tak ada sangkut-pautnya secara langsung dengan keselamatan kita. Peristiwa itu hanya merupakan bukti bahwa orang yang percaya Kristus akan mengalami pemuliaan seperti halnya Maria, dan Maria mendapat rahmat khusus untuk mengalaminya lebih dulu, karena secara langsung buah rahimnya itu yang menjadi sumber keselamatan tadi. Menolak membahas Maryam (Maria) berarti menolak membahas lebih dalam makna ke – Dwi Kodrat-an dari Yesus Kristus yang hanya memiliki Satu Pribadi azali, yaitu Pribadi Firman Allah yang sejak kekal berada satu di dalam diri Allah (Bapa) itu, juga berarti menolak membahas tak pernah berubahnya ke-Allah-anNya meskipun telah Turun ke bumi dengan mengenakan raga-jasmani dan kodrat kemanusiaan itu. Pembacaraan kita tentang Maria adalah merupakan dampak langsung dari “Inkarnasi” (‘KeTurun ke bumian sebagai Daging”, “Penjelmaan sebagai manusia”) dari Kalimatullah yang kekal itu.
Karena diantara pengkhotbah dari antara saudara-saudara umat Protestan tidak pernah melihat dalam kacamata Inkarnasi seperti yang dilakukan oleh Gereja Orthodox mengenai Maryam itu, maka sebagian dari suadara-saudara tadi sangat keras menekankan bahwa Maria itu tak lebih dari kita semuanya ini. Untuk menjelaskan apakah Maryam itu memiliki keistimewaan tertentu atau tidak, dan memang tak memiliki kelebihan apapun dibanding dengan kita semuanya ini, perlu juga kita bahas sebagai berikut:
Keistimewaan dan Pemuliaan Maryam
Untuk mengerti peranan Maryam secara benar kita perlu mengingatkan diri kita, dan mengingatkannya dengan tandas bahwa tak seorangpun pernah didiami “Allah” secara fisik dalam dirinya, dan tak pernah seorangpun yang kemanusiaannya dikenakan oleh “Allah” yaitu Kalimatullah, dan akhirnya dimuliakan dalam kekekalan, kecuali Maria. Mari kita pelajari bagaimana data Kitab Suci mengenai pengalaman-pengalaman orang-orang yang sempat mendapat penglihatan dan perlawatan Allah secara khusus:
A. Adam
“Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah…..Ia menjawab:’ Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam, taman ini, aku menjadi takut….” (Kejadian 3:8-10). Ayat-ayat diatas menunjukkan bahwa kehadiran Tuhan di dalam taman itu menimbulkan rasa takut bagi manusia berdosa, sehingga manusia itu bersembunyi dari hadirat Tuhan tersebut. Jika hadirat Tuhan dalam taman saja, menimbulkan ketakutan, karena kedahsyatan dan kekudusanNya, mungkinkan kehadiran Tuhan yang sama ini di dalam rahim Maryam itu tidak menimbulkan dampak dan effek apapun pada Maryam yang disemayamiNya serta “buah kemanusiannya” diambil dan dikenakan oleh Tuhan yang sama dalam PenjelmaanNya itu? Betulkah setelah disemayami oleh Allah yang Maha Kudus dan Maha Dahsyat dalam rahimnya itu secara literal dan bukan secara kias atau secara rohani itu, Maryam tak sedikitpun dipengaruhi oleh hadirat Ilahi tersebut? Betulkah tak ada keistimewaan apapun terhadap Maryam setelah pengalaman 9 bulan disemayami Allah dalam rahimnya itu? Kalau tidak ada effeknya berarti kita tak betul-betul percaya bahwa Kristus adalah Firman yang memiliki kodrat Ilahi yang Maha Dahsyat. Jadi keistimewaan itu bukan terletak pada Maryamnya, namun pada Tuhan yang bersemayam pada Maryam, dan dampak yang diakibatkan karena oleh sebab bersemayamNya itu.
B. Abraham
“Menjelang matahari terbenam, tertidurlah Abram dengan nyenyak. Lalu turunlah meliputinya gelap-gulita yang mengerikan. Firman TUHAN kepada Abram:….” (Kejadian 15:12-13)
“ …..TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman kepadanya:…..Lalu sujudlah Abram, dan Allah berfirman kepadaNya….” (Kejadian 17:1,3)
Kedua kutipan ayat diatas menjelaskan kepada kita bahwa ketika Allah dalam penampakanNya menyatakan diri kepada Abram yang terjadi adalah “meliputinya gelap-gulita yang mengerikan”. Pastilah sesuatu yang mengerikan ini dialami langsung oleh Abraham. Dan kengerian yang berwujud gelap-gulita ini tak lain adalah hadirat Allah yang Maha Dahsyat untuk menunjukkan bahwa jikalau Allah menyatakan diriNya pada manusia tak mungkin tak ada keluar-biasaan terjadi. Takut dan gentar itulah yang terjadi pada manusia karena pengalaman itu. Itulah sebabnya ketika Allah menyatakan diri kembali kepada Abram kita membaca dalam Kitab Suci “sujudlah Abram, dan Allah berfirman kepadanya”. Ia sujud karena ia merasa dirinya kecil, tak berarti, dan Allah itu Maha Besar, Maha Agung dan Maha Dahsyat.
Jika kita memang percaya bahwa yang dikandung oleh Maryam Sang Perawan itu adalah “Firman Allah” yang “Firman itu adalah Allah” ( Yohanes 1:1). Mungkinkah tidak ada sesuatu yang dahsyat dan istimewa terjadi kepada Maryam ini dengan disemayami secara jasmani oleh Allah yang Maha Besar, Maha Agung dan Maha Dahsyat itu? Dengan merenungkan ke-Maha Dahsyat-an Allah saja kita dapat mengerti effek dan dampak Maha Dahsyat pula yang hartus terjadi pada Maryam Sang Perawan. Ketika Allah menyentuh seseorang, tak mungkin orang atau ciptaan itu tetap tinggal sama. Maryam bukan hanya disentuh, namun didiami, diambil “ovumnya” dan disusuinya selama keberadaanNya sebagai manusia yang menjelma dalam bentuk janin, ketika lahir dalam bentuk bayi dan ketika dalam masa anak-anak.
C. Musa
Nabi Musa ketika berada di Gunung Sinai, dipanggil menghadap Allah selama empat puluh hari dan empat puluh malam, serta berhadap-hadapan dan berbicara dengan Allah. Akibat dari berhadap-hadapan dengan Allah ini, kemuliaan Allah telah merembesi dirinya. Sehingga tubuh jasdmaninya diubah, wajahnya bersinar-sinar penuh kemuliaan. Seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci : ” Ketika musa turun dari gunung Sinai - kedua loh hukum ada di tangan Musa ketika ia turun dari gunung itu – tidaklah ia tahu, bahwa KULIT MUKANYA BERCAHAYA OLEH KARENA IA TELAH BERBICARA DENGAN TUHAN. Ketika Harun dan segala orang Israel melihat Musa, TAMPAK KULIT MUKANYA BERCAHAYA, maka takutlah mereka mendekati (Keluaran 34:29-3o).
Jika hanya dengan melihat atau memandang kemuliaan Allah saja membuat Musa menjadi mulia seperti Allah itu. Jadi alangkah luar-biasanya kemuliaan Maria ini yang bukan saja hanya melihat, namun didiami, diambil ovumnya, menyusui, menggendong, memelihara Allah yang sama itu di dalam wujud InkarnasiNya atau “Turun ke bumiNya sebagai daging “itu. Orang yang tak dapat melihat kemuliaan yang diberikan Allah kepada Maryam itu hanyalah orang yang tidak mengerti benar makna Inkarnasi atau orang yang tak benar-benar yakin akan ke-Ilahi-an Kristus saja. Jika Inkarnasi itu benar maka semuanya yang telah kita bicarakan inilah dampak yang harus terjadi pada Maryam. Jika Yesus itu memang Allah yang sama yang telah menyatakan diri kepada para Nabi itu, maka hal-hal yang dahsyat dan istimewa itulah yang harus terjadi pada Maryam. Jika setelah Kristus terlahir dari Maryamm, tak sesuatupun terjadi pada Maryam, berarti Kristus bukan Allah yang berbuat ke-Dahsyatan setiap kali menyentuh manusia, dan Inkarnasi itu hanya dongeng bohong belaka.
Dampak Inkarnasi Pada Manusia
Untuk memahami dampak Inkarnasi pada Maryam itu, perlu juga direnungkan dampak Inkarnasi pada manusia. Menurut Kitab Suci manusia milik Kristus nanti akibat “memandang kemuliaanKu (Kemuliaan Kristus)” (Yohanes 17:24), “akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia” (I Yohanes 3:2). Dan “menjadi sama seperti Dia” itu artinya “kamupun akan menyatakan diri bersama Dia dalamn kemuliaan” (Kolose 3:4), ketika Kristus datang yang kedua kali. Inilah keberadaan dimana Kritus akan ”mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuhNya yang mulia” (Filipi 3:21), dimana “ orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka” (Matius 13:43).
Menurut ayat-ayat ini, kemuliaan yang akan diterima oleh umat beriman adalah akibat memandang Kristus dan manunggal denganNya. Dan pemuliaan itu terdiri dari pengubahan “tubuh kita yang hina”yaitu yang dapat lapuk, rusak dan mati ini, sesudah dibangkitkan nanti. Dan pengubahan tubuh kita nanti itu “serupa dengan tubuhNya yang mulia”. Padahal kita tahu, sebagai “Firman Allah” yang adalah “Allah”, Kristus itu tak berbadan-jasmani. TubuhNya atau badan jasmaniNya itu diambil dari “ovum Maryam” ketika Inkarnasi dimana Ia menjadi “buah rahim” Maryam. Dan tubuh jasmani yang diambil dari Maryam itu telah dimuliakan sesudah kebangkitanNya. Dampak dari Tubuh InkarnasiNya yang dibangkitkan dan dimuliakan itu adalah kita akan diubah menjadi “serupa dengan tubuhNya yang mulia”. Jika kita tak terkait sama sekali dalam peristiwa Inkarnasi akan mendapatkan dampak yang demikian luar biasanya. Mungkinkah Maryam yang secara langsung menjadi sarana Inkarnasi itu tidak mengalami pemuliaan sama sekali dan tak tersentuh oleh kuasa pemuliaan yang ada pada Diri Firman yang menjelma itu? Kita mengagung-agungkan pemuliaan diri kita akibat keselamatan diri kita dalam Kristus, mengapa kita menolak jika pemuliaan dan pengagungan itu yang sama itu terjadi pada Maryam? Logika dan dasar Alkitabiah mana yang kita gunakan ini?
Maria sebagai satu-satunya manusia yang pernah ditempat-tinggali Allah secara literal dan secara jasmani, dan kemanusiaannya dikenakan serta dimuliakan Allah, atau Firman Allah itu, dalam hal ini juga Maria itu sama saja dengan kita semuanya ini dalam kemuliaan?
Ayat-ayat yang Menyangkal Ke-Istimewaan Maryam?
Untuk makin memperkuat keberatannya tentang Maryam ini, beberapa saudara umat Protestan guna menunjukkan keengganannya memberi penghormatan klepada Sang Theotokos ini, menunjukkan beberapa ayat Perjanjian Baru untuk membuktikan bahwa Sang Kristus tidak menghormati Bunda Maria.
Ayat-ayat itu adalah Matius 12:46-50, dimana konteksnya menceritakan ketika ibu-Nya dan saudara-saudaraNya, yaitu para sepupuNya, datang untuk melihat Dia, Dia mengatakan bahwa semua orang yang melakukan kehendak Allah/Bapa itulah saudara-saudara dan ibu Yesus. Demikian juga hal yang sama kita jumpai dalam Markus 3:31-35. Juga kita jumpai dalam Lukas 8:19-21, dimana Sang Kristus mengatakan:
”Ibu-Ku dan saudara-saudaraKu ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya”.
Dan satu ayat lagi kita jumpai dalam Lukas 11: 27-28, dimana ada dikatakan demikian:
”Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau.’ Tetapi ia berkata:” Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan memeliharanya.”
Ayat-ayat itu jika tidak dimengerti secara hati-hati seolah-olah membenarkan tafsiran yang menunjukkan bahwa Yesus tak menghormati IbuNya sendiri. Untuk mengerti hal ini pertama kita harus mengerti bagaimana ajaran Yesus mengenai sikap manusia terhadap orang tuanya. Di dalam Matius 15:3-6, Yesus mengecam orang Farisi secara habis-habisan karena firman Allah tentang menghormati bapa-ibu itu dilanggar karena suatu tradisi Yahudi yang bertentangan dengan firman Allah untuk menghormati mereka itu:
”Tetapi jawab Yesus kepada mereka:” Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat-istiadat nenek-moyangmu? Sebab Allah berfirman:Hormatilah ayah dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya dan ibunya pasti dihukum mati….”
Yesus mengajarkan agar manusia sangat menghormati orang tua-bapa dan ibunya, mungkinkah Dia sendiri akan melanggar apa yang diajarkan? Mungkinkah Ia tak menghormati IbuNya sendiri, dengan demikian kontradiksi dengan ajaranNya sendiri? Jelas tidak mungkin. Oleh karena itu ayat-ayat diatas bukan sebagai bukti bahwa Yesus tidak menghormati Maryam, IbundaNya sendiri. Namun ayat-ayat itu justru menunjukkan letak kehormatan keibuan Maryam yang sebenarnya dalam hubungannya dengan Mesias.
Menurut Sang Kristus yang layak menjadi ibuNya adalah mereka yang “ melakukan kehendak Allah/Bapa” atau “mereka yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya” serta “ mereka yang mendengarkan firman Allah dan memeliharanya”. Marilah kita lihat sekarang apakah Maryam memenuhi syarat-syarat moral dan rohani yang ditetapkan Yesus ini untuk menjadi IbuNya, meskipun secara fakta jasmani Maryam memang IbuNya? Pada saat Maryam diberitahu oleh Malaikat Gabriel akan kehendak Allah/Bapa bahwa dia akan menjadi Ibu Mesias, dia tidak menolak ataupun memberontak sama-sekali, malah yang dikatakan kepada Malaikat itu adalah :
”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lukas 1:38).
Dia taat dan melaksanakan dan melakukan kehendak Allah tanpa banyak keraguan, pemberontakan, maupun ketidak-taatan. Meskipun dia tahu bahwa akibat ketaatan menjalankan kehendak Allah untuk mengandung bayi tanpa laki-laki itu hukumannya adalah mati dilempari batu. Wanita manakah yang melebihi Maryam dalam kerelaan menjalankan kehendak Allah seperti ini? Karena Maryam tekah memenuhi syarat sebagai orang yang melakukan kehendak Allah, berarti memang Maryampun Ibu Yesus yang memenuhi persyaratan rohani itu. Berarti disitulah letak kehormatan pribadi Maryam yang sebenarnya. Berbicara tentang Maryam, Elisabet yang tua itu mengatakan:
”Dan berbahagialah ia (Maryam), yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan (berarti Maryam mendengarkan firman Allah), akan terlaksana” (Lukas 1:45).
Terlaksana, karena Maryam rela melakukan “firman Tuhan” yang didengarnya seperti yang dikatakan dalam Lukas 1:38 diatas. Dengan demikian Maryam memang orang yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya. Dalam Lukas 2:19 dikatakan:
“Tetapi Maria menyimpan segala perkara ini di dalam hatinya dan merenungkannya”,
demikian juga dalam Lukas 2:51 dikatakan:
”Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.”
Kedua ayat ini menunjukkan pribadi Maryam yang sebenarnya, yaitu bahwa ia adalah sosok pribadi yang suka mendengarkan “firman Allah” dan merenungkan atau menyimpannya dalam hati, yaitu memelihara firman tadi. Dengan demikian secara sempurna segala persyaratan rohani yang ditetapkan Yesus agar seorang menjadi ibuNya itu digenapi dalam sosok pribadi Maryam.
Dengan demikian Maryam memang satu-satunya Ibu Yesus yang benar baik secara jasmani maupun secara persyaratan rohani , bukan karena semata mengandung dan menyusuiNya saja, tetapi terutama karena dia adalah sosok yang taat kepada kehendak Allah untuk melakukannya. Dia adalah sosok yang mendengarkan firman Allah, memeliharanya dan melaksanakan. Karena sifat-sifat pribadi yang sangat mulia inilah Maria layak menjadi Ibu Sang Mesias. Apa yang kelihatannya penolakan terhadap Maria itu justru menunjukkan sifat Maria yang sebenarnya. Dengan demikian kata-kata Yesus itu bukan ketiadaan hormat terhadap IbuNya, sebab itu mustahil dilakukan olehnya yang menekankan pentingnya orang menghormati ayah dan ibunya, namun itu untuk menegaskan makna keibuan Maria sebagai Walidatul Ilah, Bunda Almasih, Bunda Mesias. Maka tak ada tanda sedikitpun dalam Alkitab yang mengajarkan bahwa Yesus tidak menghormati IbuNya, karena Ibunya terbukti manusia yang amat terhormat dan mulia.