Keterbukaan Batin Akan Bimbingan Allah
[by: Fr. Daniel Byantoro]
Date: 01 Mei 2002
Bismil Abi, wal Ibni, war Ruhul Quddus, Al-Ilahu Wahid. Amin.
Shaloom Aleikhem Be-Shem Ha-Massiakh,
Saudara-saudari yang Terkasih dalam Kristus, Hari ini dalam sejarah yang sebenarnya adalah Hari Rabu pagi, dan pada pagi hari Rabu itu Yesus diurapi dengan minyak Narwastu murni oleh seorang wanita tuna susila, dirumah Simon si Kusta (Matius 26: 6-13), sementara itu sore harinya Yudas Iskariot mulai berunding dengan para pemimpin Yahudi untuk mengkhianati Sang Kristus (Matius 26:14-15).
Saat itu adalah sibuk-sibuknya semua orang sedang mempersiapkan Hari Raya Paskah yang akan terjadi pada hari Sabtunya. Dalam kidung-kidung untuk memperingati dua peristiwa yang kontras ini dijelaskan bagaimana Yudas Iskariot yang menjadi murid Kristus, karena cintanya akan uang rela menjual gurunya sehingga ia kehialangan nyawanya sendiri dan terhukum masuk neraka, Namun sebaliknya wanita tuna susila sebagai pendosa yang jauh dari Tuhan karena cintanya akan Tuhan, rela membuang miliknya yang berharga untuk dipersembahkan kepada Tuhan bagi mengurapi Sang Kristus, sehingga ia mendapatkan pengampunan dan keselamatan.
Dengan demikian bukan semua orang yang secara lahiriah dekat dengan Kristus itu pasti hatinya dan batinnya sudah murni, banyak yang masih dikotori oleh ketamakan dan cinta akan uang sehingga rela mengorbankan apa yang suci dan mengkhianati kebenaran hanya demi mencapai tujuan-tujuan materi, bendawi, dan duniawi itu saja. Sebaliknya orang yang kelihatan jauh dari Tuham dianggap pendosa, manusia terbuang dan manusia pinggiran justru memiliki hati yang tulus, murni, dan cinta yang mendalam akan Kristus. Yudas adalah contoh manusia yang batinnya masih berpenyakit meskipun kelihatan dekat dengan Sang Penyembuh Batin, namun Wanita Tuna Susila adalah contoh manusia yang menerima kesembuhan batin dan kodrat kemanusiaannya karena ia telah rela memberikan apa yang paling berharga demi Tuhan. Ia telah dibangkitkan dari kematian rohnya untuk mengalami kehidupan baru di dalam Kristus. Mengingat kesembuhan batin yang dialamui oleh Wanita Tuna Susila inilah maka setiap Rabu Kudus itu diperingati dengan Ibadah Pengolesan Minyak Bagi Kesembuhan. Dalam Gereja Barat Roma Katolik, hari Rabu Kudus ini disebut sebagai Hari Rabu Abu, dimana umat akan dioles abu pada keningnya, untuk mengingat bahwa manusia itu berasal dari debu namun kembali menjadi debu. Namun kontras dengan pemahaman Gereja Barat itu, Gereja Timur Orthodox menekankan justru sembuhnya manusia dari kematian, karena meskipun ia berasal dari debu, namun manusia juga dihembusi nafas hidup ilahi (Kejadian 2:7) pada saat penciptaannya, Jadi debu itu dimaksudkan untuk menyatu dengan hidup dan sembuh dari kematian. Apalagi Kristus mati bukan hanya berhenti tergantung di atas Salib, namun bangkit lagi pada hari ketiga, sehingga melalui kebangkitan-Nya kitapun dibangkitkan, Dengan demikian kita disembuhkan dalam kodrat kemanusiaan dan batin kita. Sedangkan ciri khas dari Ibadah Perminyakan Bagi Kesembuhan ini adalah terdapatnya tujuh bacaan dari Injil dan Epistel, untuk melambangkan tujuh Roh Allah, yaitu kesempurnaan dari Karunia Roh Allah yang menyembuhkan itu, karena tujuh adalah lambang kesempurnaan. Untuk itu marilah kita bahas ketujuh bacaan itu.
Bacaan 1: Makna Karunia Kesembuhan (Lukas 10:25-37, Yakobus, 5:10-16)
Dalam bacaan Injil kita yang pertama ini dikisahkan tentang seorang Ahli Taurat yang menanyakan tentang cara memperoleh hidup kekal, yang oleh Yesus diarahkan kepada Taurat yang berbicara tentang hidup kasih kepada Allah dan kepada sesama, yang kasih itu diperintahkan Kristus untuk dijalankan sehingga memperoleh hidup tadi (Lukas 10:25-28). Kasih adalah kodrat hakiki Allah (I Yohanes 4:8), karena sejak kekal Sang Bapa mengasihi Firman-Nya sendiri yang berada dalam hakekat-Nya yang satu itu (Yohanes 17:24), dan kasih yang kekal itu dicurahkan oleh Roh Allah (Roma 5:5), yang kekal itu juga (Ibrani 9:14). Dengan demikian sejak kekal dalam diri Allah yang satu itu ada gerak hidup kasih yang kekal dari Bapa kepada Firman melalui Roh Allah, dan dari Firman kepada Bapa melalui Roh Allah yang sama tadi. Sehingga dalam hakekat Allah yang satu itu ada lingkaran gerak hidup kasih yang kekal, oleh karena itu barangsiapa dalam Kristus menghidupi kasih ini, ia menyatu dalam gerak hidup kekal yang ada di dalam Allah itu, sehingga ia berada dalam hidup kekal Allah itu. Dan hidup dalam kasih itulah jalan dan proses kesembuhan batin dan kodrat kemanusiaan kita. Mengenai siapa sesama manusia yang harus dikasihi itu (Lukas 10:29), Sang Kristus menjawabnya dengan perumpamaan tentang orang yang turun dari Yerusalem karena Yerusalem terletak diatas bukit, lambang Sorga dan tempat tinggi dimana Bait Allah, yaitu kota Allah sendiri berada, menuju ke Yerikho karena itu terletak dilembah yang landai, lambang dunia dibawah ini tempat kehancuran dan kelapukan serta kematian, karena kota Yerikho itu ditetapkan untuk dihancurkan (Yosua 6:1-16), dan jatuh ke tangan penyamun, dirampok, dipukul dan ditinggalkan setengah mati (Lukas 10:30) lambang manusia yang jatuh ke dalam dosa itu telah dirampok iblis dari kesucian dan kehidupannya yang kekal.
Kebetulan ada imam, lambang agama, karena imam adalah yang mengajar tentang Allah kepada umat, dan orang Lewi, lambang filsafat dan ideologi, karena orang Lewi pembantu imam, sebagaimana filsafat sering digunakan untuk membantu agama dan theologi menjelaskan ajarannya. Namun keduanya membiarkan orang yang setengah mati itu (Lukas 10:31-32), lambang agama dan filsafat tak dapat menyembuhkan masalah batin manusia yang terdalam dan tak dapat memulihkan kodrat manusia. Namun orang Samaria, lambang Kristus sebagai yang dianggap orang asing dan tak diterima umat serta berasal dari luar dunia, sebagaimana orang Samaria berasal dari luar komunitas Israel, menuju ke tempat itu, lambang Kristus datang memang untuk manusia, yang tergerak hatinya oleh belas-kasihan (Lukas 10:33), sebagaimana Kristus datang karena kasih Allah (Yohanes 3:16). Orang Samaria itu membalut luka-luka, orang yang setengah mati, lambang Kristus yang oleh kematian dan kebangkitan-Nya telah membalut yaitu memulihkan luka-luka kodrat kemanusiaan kita. Menyiraminya dengan minyak dan anggur, lambang dikaruniakannya Roh Allah dan karunia Pengampunan Dosa akibat Korban Darah Kristus sebagai obat yang menyembuhkan luka-luka kodrat kemanusiaan kita. Lalu menaikkannya ke atas keledai tunggangannya, lambang panunggalan kita dengan kemanusiaan Kristus sendiri, karena Kristus sebagai Firman Allah yang berasal dari sorga menampakkan diri dalam turun-Nya itu dengan “menunggang” atau “mengenakan” kemanusiaan”, dan orang Samaria itu membawanya ke tempat penginapan untuk merawatnya, lambang Gereja sebagai tempat merawat orang yang sakit dalam roh, “Gereja sebagai Rumah Sakit bagi orang-orang berdosa” (Lukas 10:34). Kepada pemilik penginapan, yaitu para pelayan Gereja Kristus, diserahkan dua dinar, yaitu dua jenis karunia: Kitab Suci dan Tradisi, atau Sabda dan Sakramen, atau Ajaran dan Kehidupan Gereja. Melalui dua karunia inilah Gereja merawat umat, dan para pelayan Gereja itu yang harus membelanjakan karunia itu bagi keperluan perawatan orang-orang berdosa itu, sehingga kalau Kristus datang lagi mereka akan menerima upahnya (Lukas 10:35). Demikianlah Gereja, artinya kita semua, harus menjadi sesama manusia bagi orang lain yang membutuhkan, dengan jalan menunjukkan belas-kasihan seperti Kristuspun telah menunjukkan belas-kasihan (Lukas 10:36-37).
Dalam menyatakan belas-kasihan Kristus itulah, Gereja, dengan karunia yang diberikan kepadanya melalui Roh Kudus,melaksanakan kuasa kesembuhan Kristus yang tetap berlaku sampai kapanpun itu melalui Penumpangan Tangan, Perminyakan Kudus dan Doa, karena Kristus menjanjikan: ”Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, ……….mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh." (Markus 16:17-18), serta para murid Kristus juga melaksanakan kesembuhan itu dengan pernyataan Kitab Suci sebagai berikut: ”dan mereka mengusir banyak setan, dan mengoles banyak orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka.” (Markus 6:13).Janji Kristus dan praktek Rasuliah inilah yang tetap dilaksanakan dalam Gereja Orthodox, untuk membuktikan bahwa Gereja memang tetap memiliki kuasa Kristus untuk menyembuhkan bukan saja tubuh namun yang lebih dalam lagi adalah kodrat kemanusiaan dan batin kita yang terdalam. Sebagaimana diajarkan oleh bacaan Rasuliah kita saat ini “Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.” (Yakobus 5:14-16). Karena ayat-ayat diatas itu menunjukkan bahwa melalui pengolesan minyak dalam iman itu bukan saja, tubuh yang sakit itu disembuhkan dan dibangunkan, namun juga dosanya akan diampuni. Padahal dosa itu adalah masalah rohani, berarti kesembuhan tubuh itu bukanlah tujuan utamanya, namun kesembuhan roh dan batin. Dengan demikian dalam Gerejalah proses pembaharuan kodrat dan penyembuhan batin itu terjadi. Itulah sebabnya ketika orang beriman itu mengalami derita dan sakit, ia harus meneladani penderitaan dan kesabaran para nabi, serta bertekun seperti Ayub (Yakub 5:10-11), sambil tetap memiliki kejujuran dalam hati, dan dalam derita selalu berdoa dan pasrah kepada Allah (Yakobus 5:12-13). Marilah kita lanjutkan dengan bahasan kita lebih dalam lagi dalam bacaan kedua.
Bacaan 2: Gereja Sebagai Lingkup Kesembuhan Roh-Manusia (Lukas 19:1-10, Roma 15:1-7)
Bacaan kita yang kedua ini menceritakan tentang masuknya Yesus ke Yerikho, dan bertemu dengan Zakheus seorang pemungut cukai kaya yang berbadan pendek (Lukas 19:1-3). Yerikho adalah lambang dunia dimana manusia berdosa (Zakheus) yang memiliki segala harta duniawi (kaya), tetapi tak mampu melihat yang ilahi (tak mampu melihat Firman Allah yang Menjadi Manusia: Yesus, karena pendek) itu berada. Namun ia berusaha dengan segala cara untuk mendahului orang-orang lain, sehingga Yesus melihatnya dan menyapanya serta ingin tinggal dirumahnya, dan ia menerima Yesus dengan sukacita (Lukas 19:4-6) . Tadi kita sudah melihat bahwa dosa dan penyakit itu saling berkait, dan orang yang berdosa adalah orang yang sakit dalam roh, batin dan kodrat kemanusiaannya. Zakheus adalah seorang berdosa. Ia menjadi perampok atas harta milik teman sebangsanya, karena sebagai pemungut cukai pekerjaannya adalah memeras dan merampas milik orang lain secara tidak sah, Makin banyak ia merampas, makin banyak upeti yang ia berikan pada pemerintah Romawi, maka makin banyak ia mendapatkan bagian uang dari pemerintah penjajah. Ia tidak memiliki rasa belas-kasihan karena batinnya memang berpenyakitan. Ia menyadari bahwa dirinya dibenci banyak orang, Ia menjadi orang pinggiran yang terbuang, meskipun ia mempunyai segala kekayaan. Ia sadar akan keadaan dirinya itu dan ia merasa tidak puas dengan keadaannya, oleh karena itu ia berusaha mencari kesembuhan bagi rohnya itu dengan segala upaya dan daya, sampai akhirnya Yesus mengenali dia secara pribadi, bukan sekedar sejumlah angka dari banyaknya orang yang berbondong-bondong itu, dengan menyebut namanya ”Zakheus!!!!!”.
Di luar Yesus Zakheus hanya mendapatkan penolakan dan marjinalisasi, namun di dalam Yesus ia menerima pengakuan dan penerimaan secara pribadi. Didalam Yesus inilah Zakheus mulai mendapatkan penyembuhannya. Karena dengan diterima dalam rangkulan cinta dan belas-kasihan ilahi, batinnya yang kosong, dingin, gelap dan kaku mulai mencair. Batinnya yang mati mulai menjadi hidup. Manusia biasa tak dapat menerima bahwa Yang Ilahi dalam wujud Sabda-Nya yang menjadi manusia: Yesus, dapat menerima orang berdosa apa adanya, mereka bersungut akan penerimaan Yang Ilahi atas manusia berdosa itu (Lukas 19:7). Namun justru untuk maksud menerima manusia yang secara batin berpenyakitan dan secara roh menderita sakit dan mati kaku seperti inilah tujuan Sabda Allah diturunkan ke dalam dunia menjadi manusia itu. Lihatlah bagaimana batin itu mulai sembuh dan mencair hangat dengan cinta, ketika mulai disentuh oleh Sang Kristus itu: “Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat." (Lukas 19:8). Alangkah radikalnya perubahan itu, dari merampas, merampok dan mencuri sekarang hendak memberi setengah dari miliknya, dari memeras dan menekan orang miskin sekarang hendak mengembalikan empat kali lipat. Inilah tandanya batin yang mulai sembuh, roh yang mulai mencair dari kekakuan mati dalam dosa. Roh yang dingin dan kaku mati itu sekarang mencair hangat penuh dengan cinta kepada sesama. Itulah awal “keselamatan”. Dan disitulah Zakheus mulai diakui sebagai “anak Abraham”, karena batinnya mulai tersentuh oleh realita ilahi dan kebenaran rohani (Lukas 19:9). Karena memang ”Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Lukas 19:10).
Gereja sebagai tubuh Kristus adalah merupakan perpanjangan hadirat dan karya Kristus di dalam dunia ini. Ibadah pengolesan minyak, ini jangan hanya sekedar dijadikan sebagai sarana magis dan takhayul, dan jangan disamakan dengan upacara perdukunan. Bukan demikian. Tidak ada Sakramen bersifat magis dalam Gereja Orthodox. Karena kesembuhan yang diajarkan bukanlah hanya untuk mencari kesembuhan jasmani saja. Biarpun kita sembuh sementara, toh sesudah itu kita juga akan sakit lagi dan suatu saat nanti bahkan akan mati. Lihatlah Zakheus itu, ia tidak sakit secara fisik, namun rohnya sakit, batinnya sakit. Oleh karena itu ia datang kepada Yesus, dan disembuhkan melalui “penerimaan”. Kitapun yang setiap Rabu Kudus merayakan Ibadah Pengolesan Minyak ini, harus melihat makna yang lebih dalam dari kesembuhan, yaitu kesembuhan dalam roh dan dalam batin. Karena “penerimaan” dan “pengakuan” adalah sudah merupakan proses kesembuhan roh dan batin, kitapun sebagai Gereja diperintahkan untuk “wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat” seperti Yesus yang kuat itu menanggung kelemahan Zakheus yang secara batin dan moral itu tidak kuat dan lemah. Dan dengan demikian kita diperintahkan untuk “jangan kita mencari kesenangan kita sendiri “(Roma 15:1), serta “harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya.” (Roma 15:2), ini disebabkan “Karena Kristus juga tidak mencari kesenangan-Nya sendiri” (Roma 15:3). Sehingga Ia tidak perduli orang banyak bersungut-sungut karena penerimaan-Nya atas Zakheus, karena memang Ia tidak mencari kesenangan-Nya sendiri agar disenangi orang, namun Ia mencari yang hilang dan kesenangan Zakheus bagi perubahan hidupnya.
Gereja adalah “Rumah Sakit Bagi Orang Berdosa”, maka agar Gereja sesuai dengan hakekat dan tugasnya, maka Gereja harus mau dan wajib untuk menerima orang-orang yang sakit dalam roh ini, dan mencari mereka, dan mau untuk saling meanggung kelemahan satu dengan yang lain, agar terdapat kesembuhan ilahi disitu dalam batin dan roh dari setiap orang yang datang dalam komunitas bersama tadi. Dengan selalu berpegang pada ajaran Kitab Suci, Gereja harus melakukan tugas kewajiban untuk saling menerima dan saling menyenangkan satu sama lain ini dengan “teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci.” (Roma 15:4), karena “segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita” (Roma 15:4). Dengan selalu bertekad menjalankan kewajiban saling menanggung dan saling menerima, serta saling memperhatikan dan mempedulikan sebagai bentuk proses kesembuhan batin itu, maka rahmat Allah akan diturunkan dalam wujud “kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus” (Roma 15:5), akibatnya kita memiliki komunitas yang sehat, bebas dari segala kebencian, saling menyalahkan, saling mengiri, saling gosip, saling menyenangkan diri sendiri, sebaliknya kita menjadi komunitas yang sembuh dari itu semua dalam wujud sikap “satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus” (Roma 15:6),tidak mau dipecah-belah dan dikocar-kacirkan orang dalam maupun orang luar dalam bentuk apapun. Kita menjadi satu keluarga yang meneladani Kristus menerima orang berdosa, sehingga dengan taat kita mengaminkan perintah: ”terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (Roma 15:7). Mari kita terima setiap orang yang datang ke kumpulan kita, dan mari kita tetap dengan giat mencari semua orang yang terhilang diluar sana untuk kita bawa masuk dalam kekeluargaan Gereja kita untuk kita terima, dan kita tanggung dalam kasih. Semua curiga harus dimusnahkan, semua gosip harus dihentikan, semua kepentingan diri sendiri harus dilenyapkan, semua untuk Kristus, dari Kristus. melalui Kristus, oleh Kristus, demi Kristus bagi kepentingan sesama, bagi kemuliaan Allah. Mengapa Gereja sebagai paguyuban atau komunitas orang beriman wajib saling menanggung dan saling menerima dalam keramahan atas kelemahan satu sama lain itu? marilah kita lanjutkan dengan bacaan kita yang ketiga, agar makin mendalam pemahaman kita tentang makna Ibadah Pengolesan Minyak Rabu Kudus ini.
Bacaan 3: Karunia-Karunia Roh Kudus dalam Gereja (Matius 10:1, 5-8, I Korintus 12:27-31 dan 13:1-8)
Oleh Baptisan kita semua telah dimanunggalkan dalam kematian dan kebangkitan Kristus (Roma 6:3-4), sehingga kita semua menyatu dalam “Tubuh Kemuliaan” Kristus yang hanya satu dan berada di Sorga itu, dan dengan demikian karena kita masing-masing ini berjumlah banyak, padahal baptisan membuat kita manunggal kepada Tubuh Kristus yang hanya satu itu, maka kita sekarang menjadi Satu Tubuh, dang masing-masing kita menjadi salah satu anggota dari Tubuh Kristus yang satu itu. Jadi kita semua secara bersama adalah “Tubuh Kristus”, namun kita masing-masing pribadi per pribadi adalah “Anggota’ dari Tubuh Kristus yang satu tadi (I Korintus 12:27). Dengan demikian kita secara bersama sebagai Tubuh Krisytus, yaitu Gereja, menjadi manifestasi kehadiran Kristus di bumi ini. Itulah sebabnya Gereja mempunyai kewajiban untuk menyatakan Kristus, Pribadi-Nya melalui Ibadah yang kita haturkan pada-Nya, Ajaran-Nya melalui pengajaran, khotbah, dan penginjilan bagi Nama-Nya. Karya-Nya melalui karya cinta-kasih yang kita lakukan bagi Nama-Nya, Kuasa-Nya melalui karunia-karunia yang berkarya ditengah-tengah kita oleh kuasa Roh Kudus. Namun kewajiban dan tugas dari Tubuh yang Satu itu, harus dilaksanakan oleh orang per orang, pribadi per pribadi, yaitu oleh masing-masing anggotanya.
Itulah sebabnya dalam Gereja tak mungkin semua pekerjaan dilakukan oleh satu orang, dua orang, atau beberapa orang yang aktif saja. Tidak demikian, namun harus dilakukan secara serentak bersama, dengan masing-masing memiliki tugas, tanggung jawab, karunia, dan kewajiban, dalam kesatuan dengan rohaniwan sebagai “Bapak/Romo”. atau “Pemimpin sebagai Wakil dari Umat” yang ditunjuknya. Itulah sebabnya dalam Tubuh Kristus yang satu, yaitu Gereja/Jemaat itu, “Allah telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani, untuk memimpin, dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh” (I Korintus 12:28). Ayat ini menunjukkan bahwa tidak semua orang mempunyai tugas dan karunia yang sama. Karena hanya “beberapa orang” saja yang menerima karunia “rasul”, yaitu sebagai pemberita dan pengajar Injil sekaligus penanam komunitas Gereja-Gereja Baru, “nabi” yaitu mereka yang menyampaikan kehendak Allah sesuai dengan ilham yang tegas dari Roh Kudus, “pengajar” yaitu mereka yang memberi pertumbuhan dalam komunitas Gereja melalui pengajaran-pengajaran Firman Allah, baik Presbiter maupun orang awam yang mampu telah dilatih dengan sungguh, memiliki hidup yang benar serta rendah hati, serta membawa dampak yang baik bagi segenap umat, dan yang telah ditunjuk oleh Presbiter untuk membantunya. Ini semua termasuk karunia pertumbuhan kehidupan komunitas Gereja. Namun juga ada gerak karya keluar dari Gereja yang dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk umat yang mendapatkan karunia ini: “mengadakan mukjizat”, “menyembuhkan”, “melayani”, “memimpin”, yaitu memimpin kelompok-kelompok yang ada dalam komunitas Gereja, serta “berkata-kata dalam bahasa roh”. Karunia-karunia semacam ini menunjukkan bahwa segenap anggota Tubuh Kristus tidak diizinkan untuk malas dan menyerahkan kehidupan Gereja hanya pada orang-orang tertentu yang hanya “itu-itu saja”, semuanya harus berkarya dan bergerak. Hanya memang tidak semua dapat mendapatkan karunia semuanya sekaligus, dan tak pula satu karunia tertentu, misalnya “bahasa roh” itu ditekankan harus dimiliki oleh semua orang (I Korintus 12: 29-30).
Karunia-karunia Roh Kudus ini diberikan kepada Gereja, karena Gereja adalah Sakramen Kehadiran Kristus di dunia sehingga ia harus memiliki kuasa-kuasa seperti Kepala-nya yang duduk di sebelah kanan Allah di Sorga, waktu Ia berkarya di bumi ini, serta Gereja adalah sebagai kesinambungan karya para Rasul, yang kepada para Rasul itu Sang Kristus “memberi kuasa kepada mereka untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan” (Matius 10:1). Namun para Rasul dikala menerima perintah ini dibatasi karya-Nya hanya untuk Israel saja, tidak boleh untuk yang lain (Matius 10:5-6), karena harus menunggu selesainya karya Kristus, melalui kebangkitan, dimana sesudah itu mereka diperintahkan untuk menjadikan semua bangsa murid-murid Kristus (Matius 28: 19-20). Dan kita sebagai pelanjut para Rasul yang hidup sesudah Kebangkitan Kristus tak memiliki batasan itu lagi, sehingga kita harus melanjutkan tugas mereka secara tanpa batas, yaitu “pergi dan memberitakan Kerajaan sorga” (Matius 10:7), dan dalam “pemberitaan” itu kita harus menggunakan kuasa-kuasa Kristus yaitu “sembuhkan orang sakit”, dan kalau dikehendaki Allah dan ada tujuan khusus untuk itu juga “bangkitkan orang mati”, serta tahirkan orang kusta”, serta “ mengusir setan-setan”, tanpa meminta bayaran dan tanpa mengharapkan upah, karena itu semua adalah demi pemberitaan Nama Kristus saja (Matius 10:7-8). Kita semua mempunyai potensi untuk menerima karunia-karunia ini. Untuk mengetahui bahwa kita menerima karunia itu atau tidak, kita harus praktekkan. Mulai saja mengunjungi orang sakit dan tumpangkan tangan dengan pada mereka dengan iman yang sungguh, kalau karunia itu ada pada saudara pasti orang itu akan sembuh.
Jadi tidak usah tanya-tanya apakah Anda punya karunia atau tidak, bertindaklah dahulu, maka buktinya akan kelihatan. Kontaklah Romo atau “Pemimpin sebagai dari Wakil Umat” yang ditunjuk Romo untuk mengelola komunitas setempat apa yang akan saudara lakukan, atau sesudah selesai pelayanan saudara itu, karena mereka yang saudara layani itu pada akhirnya harus dibawa ke dalam komunitas Gereja, untuk pelayanan dan perkembangan dan pertumbuhan lebih lanjut. Namun agar karunia-karunia tadi tidak liar dan tetap dalam jalur yang seharusnya, serta seimbang dengan makna hakiki dari tujuan karunia-karunia itu diberikan kepada Gereja, maka kita harus berusaha “untuk memperoleh karunia-karunia yang paling utama” serta mengikuti “jalan yang lebih utama” (I Korintus 12:31), yaitu “jalan kasih”, seperti yang telah diajarkan Yesus sendiri dalam bacaan pertama kita tadi. Karena kasih keluar dari “hati” dan “batin” yang terdalam. Dan barangsiapa mengasihi berarti telah menerima kesembuhan batin yang terdalam itu. Jadi semua karunia-karunia itu hanya langkah awal untuk menuju kepada pembaharuan roh dan kesembuhan kodrat kemanusiaan kita. Sebab tanpa kasih semua karunia-karunia roh (berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, bernubuat, mengetahui segala rahasia, memiliki seluruh pengetahuan, memiliki iman yang daopat memindah gunung) itu sama kumandang gong dan gemerincing canang, artinya “sama sekali tidak berguna” (I Korintus 13:1-2), Bahkan karunia “membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku” dan karunia menjadi martir dengan “menyerahkan tubuhku untuk dibakar” itupun tidak ada faedahnya jika tanpa kasih dan tidak menuntun pada kasih ( I Korintus 13:3). Jadi karunia-karunia Roh Kudus itu bukan akhir pada dirinya sendiri dalam Gereja, itu tidak mempunyai nilai kekal, sebab “nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.” ( I Korintus 13:8), hanya “Kasih tidak berkesudahan” (I Korintus 13:8), karunia kasih itu adalah hakikat hidup kekal yang ada dalam Allah sendiri, sebagaiman yang telah kita bahas pada bacaan kita pertama tadi. Jadi kehidupan akhlak, dan moral sebagai wujud manifestasi kasih itulah yang harus muncul dan keluar dari kita semua sebagai Gereja.
Karunia-karunia Roh yang harus kita praktekkan itu haruslah diimbangi dengan kasih serta harus membuahkan kasih, serta menuntun kepada kasih yang bentuk kongkritnya adalah “sabar”, “murah hati”, “tidak cemburu”, “tidak memegahkan diri”, “tidak sombong”, “tidak melakukan yang tidak sopan”, “tidak mencari keuntungan diri sendiri”, “tidak pemarah”, “tidak menyimpan kesalahan orang lain”, “tidak bersukacita karena ketidak adilan, tetapi karena kebenaran”, “menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (I Korintus 13:4-7). Semua sifat-sifat dan tindakan akhlak yang muncul sebagai manifestasi kasih ini keluar dari batin dan hati, dan hanya batin dan hati yang telah mengalami kesembuhan saja dapat memunculkan semua sifat-sifat ini. Karena hati yang pemarah, pencemburu, yang memegahkan diri dan sombong serta sifat-sifat yang lain yang negatif, itu adalah penyakit hati dan batin, dan mereka yang tetrap dalam keadaan yang demikian pertanda ia masih sakit dan belum sembuh. Jadi adanya karunia-karunia Roh Kudus dalam Gereja harus diimbangi dengan pemahaman yang benar mengenai tujuan dari karunia-karunia tadi diberikan, dan harus selalu mengingatkan kita tentang pentingnya “jalan utama” yang harus kita tempuh, bagi kesembuhan kemanusiaan dan roh kita itu. Orthodoxia bukanlah sistem dogma ataupun ideologi, namun therapi atau jalan kesembuhan bagi kodrat kemanusiaan kita. Marilah kita dalami lebih lanjut makna daripada Ibadah Pengolesan Minyak ini dalam bacaan kita yang keempat.
Bacaan 4: Makna Penyakit dan Kelemahan Tubuh bagi Iman (Matius 8:14-23, II Korintus 1:8-11)
Memahami makna karunia-karunia Roh Kudus sebagai sarana mencapai tugas Gereja sebagai “Rumah Sakit bagi Orang Berdosa”, akhirnya kita disadarkan bahwa kesembuhan tubuh jasmani itu meskipun penting, namun bukan akhir puncak yang kita harapkan. Kesembuhan puncak dari tubuh jasmani adalah ketika tubuh jasmani ini dilepaskan dari kelapukan dan kematian pada saat kebangkitan. Semua kesembuhan yang kita alami sekarang, baik secara kedokteran, secara obat-obatan tradisional maupun secara mukjizat oleh karena doa, sifatnya semuanya sementara. Itulah sebabnya kita harus mengerti bahwa tidak ada obat atau mukjizat yang dapat menyembuhkan secara mutlak semua penyakit, dan penyakit itu akan selalau mendatangi kita, termasuk juga kelemahan-kelemahan tubuh. Oleh karena itu kita harus mengerti secara jelas bagaimana cara kita menyikapi penyakit dan kelemahan tubuh itu pada saat hal itu mendatangi kita, sehingga kita dapat mengambil sikap spiritual atasnya, dan kelemahan serta penyakit tubuh itu juga jadi sarana pengembangan batin sebagai salah satu bentuk dari proses kesembuhan batin. Dengan demikian pada saat sakit kita dapat menambil sikap tabah, dan tawakal, dan tidak jatuh dari iman menuju kepada perdukunan atau penghujatan akan kebenaran, dan mencari pembenaran akan kesesatan yang kita pilih.
Dalam bacaan Injil kita yang keempat ini, dikisahkan tentang kunjungan Sang Kristus di rumah Petrus yang bertemu dengan ibu-mertua Petrus yang sakit demam (Matius 8:14) yang oleh jamahan Kristus demamnya hilang dan langsung bangkit untuk melayani (Matius 8:15). Akibat dari peristiwa ini, menjelang malam banyak orang yang kerasukan setan dan yang menderita sakit disembuhkan oleh Yesus hanya dengan ucapan sabda-Nya saja yang penuh kuasa itu (Matius 8:16). Karya kesembuhan yang dilakukan Yesus ini dinyatakan sebagai penggenapan dari nubuat Nabi Yesaya mengenai tugas Mesias bahwa Ia yang “memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita” (Matius 8:17). Ini menunjukkan bahwa kesembuhan yang dilakukan Kristus itu pertama untuk membuktikan bahwa kedatangan-Nya adalah untuk menghancurkan kuasa Setan, dan kedua adalah untuk melepaskan manusia dari kungkungan gejala kematian sebagai akibat dosa yaitu sakit. Dalam tubuh kemanusiaan yang dikenakan-Nya terutama dalam penyaliban-Nya Ia telah memikul kelemahan kita baik secara jasmani maupun secara rohani serta menanggung penyakit kita dengan derita kesakitan yang dirasakan dalam sengsara penyaliban itu. Sehingga sakit kita dan kelemahan tubuh kita itu sudah dimanunggalkan dalam karya penebusan-Nya sendiri. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa penyakit itu dan kelemahan tubuh itu bukan suatu kekuatan menyakitkan yang tanpa makna, namun sebagai sarana untuk manunggal dengan Allah melalui Sabda-Nya yang menjelma itu, karena Sabda yang menjelma itu sendiri itu telah menyatukan derita dan sakit kita dengan diri-Nya sndiri. Sehingga derita dan kelemahan tubuh serta penyakit yang kita sandang bila diterima dengan iman dapat menjadi sarana peningkatan batin ini kepada Allah, karena ternyata kesengsaraan, derita Kristen, sakit yang dialami orang Kristen, kelemahan tubuh yang diderita orang Kristen, itu tidak berada diluar perhatian Allah.
Orang banyak di kala itu memang belum dapat melihat makna yang lebih dalam dari karya Kristus mengusir setan dan menyembuhkan penyakit ini, mereka hanya mengelilingi Kristus karena rasa ingin tahu saja, itulah sebabnya Kristus meninggalkan mereka bertolak ke seberang (Matius 8:18). Di dalam Yesus Kristus kesengsaraan dan penderitaan jasmaniah itu justru bukan tanda kutukan ataupun tanda ditinggalkan Allah, namun itu tanda penyatuan juga dengan derita Kristus sendiri. Sehingga pada waktu kita sakit dan disembuhkan kita dapat mengucapkan syukur karena karunia kesembuhan itu, namun juga jika kita tidak disembuhkan kita juga tetap dapat bersyukur karena justru dalam kelemahan itu kekuatan batin dimunculkan, ketabahan dikaruniakan, dan tawakal ditambahkan. Sehingga sebagai manusia kadang-kadang menghadapi penyakit dan kelemahan tubuh itu kita mungkin juga merasa bahwa “penderitaan yang kami” itu sebagai “Beban yang ditanggungkan” dan rasanya “begitu besar dan begitu berat” sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. (II Korintus 1:18). Sebagai manusia, perasaan yang demikian itu memang wajar dan normal. Namun di dalam Kristus perasaan yang normal dan wajar dapat diangkat menjadi sarana meningkatkan kekuatan batin, dengan mengaitkan semua derita, sakit dan kelemahan tubuh itu dengan derita, sakit, dan kelemahan tubuh yang diderita Kristus ketika Ia harus menanggung kesengsaraan dan penderitaan Kristus diatas Salib itu, sehingga Salib memberikan makna baru dalam setiap penyakit dan kesakitan yang kita derita. Itu memberikan makna yang adi kodrati yang bukan hanya sekedar wajar dan normal saja, namun itu menjadikan kesakitan sebagai penegalaman luar biasa dalam pengenalan kita akan kasih-karunia Allah. Itulah sebabnya ketika seorang ahli-Taurat ingin mengikut Yesus “kemana saja Engkau pergi” (Matius 8:19), langsung Kristus memberitahu harga yang harus dibayar dalam pemuridan kepada Yesus seperti itu, yang si ahli Taurat itu sendiri belum mengertinya. Dan harga yang harus dibayar itu adalah kerelaan untuk hidup sederhana dan menderita secara materi dan secara jasmani, karena mengikut Yesus itu masih untung seekor serigala yang masih mempunyai liang”, dan masih untuk burung yang “mempunyai sarang”, namun Sang Kristus sendiri “tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (Matius 8:20), artinya Ia tidak menjanjikan apapun secara materi yang mengenakkan. Itulah harga yang harus dibayar kalau memang mau mengikut Yesus Kristus.
Bahkan bagimereka yang sungguh-sungguh total menjalankan kehendak Kristus sering “merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati” (II Korintus 1:9), tentu saja tujuannya bukan membuat supaya kita putus, tertekan, bingung dan ketakutan, namun dengan diizinkan secara materi kita tidak diuntungkan agar kita dapat melihat bahwa benda materi itu tak bersifat kekal, serta hal-hal materi itu semuanya sementara, dan segala sesuatu yang berasal dari materi ini akan lenyap, hanya Allah saja yang kekal dan konstan, akibatnya “supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati” (II Korintus 1:9). Pikiran dan keyakinan kita diangkat ke atas, kepada Allah, ketika kita diizinkan untuk mengalami beban berat yang membuat putus, kesakitan yang mungkin hampir membuat kematian, jika kita melihat Kristus yang telah mati dan bangkit. Karena itu berarti Allah yang kita imani dalam Kristus itu adalah “Allah yang membangkitkan orang mati”. Artinya jika kematian sebagai tujuan akhir dan puncak akibat sakit saja Allah dapat melenyapkan melalui kuasa-Nya membangkitkan orang mati, yang sudah terbukti dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, maka apakah sukarnya bagi Dia, untuk melenyapkan penyakit, kelemahan dan derita tubuh yang sedang aku hadapi ini. Sehingga jikalaupun deritaku tidak pernah lenyap, serta penyakit tak pernah sembuh itu bukan berarti Allah tidak mampu untuk menyembuhkan, namun Allah menghormati kita dengan jalan membiarkan kita untuk ikut merasakan derita dan kesakitan Yesus Kristus, sehingga pada saat yang demikian, kita tak melihat derita dan sakit itu pada dirinya sendiri, namun kita melihatnya dalam kacamata derita dan kesakitan Yesus Kristus diatas kayu Salib. Sehingga dalam sakit dan derita kita diberi kesempatan merenungkan kebenaran dan kasih Allah dan manunggal kepada Kristus dalam Derita dan sakit-Nya. Sehingga derita kesakitan manusia yang percaya kepada Kristus menjadi derita yang menyatukan dengan rencana ilahi sendiri.
Derita Kristen menjadi jembatan untuk meraih panungggalan dengan Allah. Dengan kesadaran seperti inilah maka suatu kekuatan harapan yang luar biasa akan meledak dari dalam dada kita ini. Untuk itulah ketika “salah seorang murid-Nya” memohon “izin pergi dahulu menguburkan ayahnya” (Matius 8:21), Kristus tidak mengijinkan. Ini tak berarti Kristus mengajar orang tak boleh memberi hormat terakhir kepada orangtuanya, tak pula ini berarti Kristus mengajar anak untuk tidak berbakti kepada orangtua. Itu bukan demikian. Namun menunjukkan kedaruratan panggilan untuk hidup dengan Kristus, yang harus rela untuk menganggap bukan hanya yang mati itu memang sudah mati, namun bahkan yang hidup di luar Kristus itu adalah juga orang mati, artinya “orang-orang mati” yaitu orang-orang di kampung halaman sang murid yang berada diluar Kristus, itu biarkan mereka saja yang menguburkan orang-orang mereka mati (Matius 8:22). Jadi fokusnya bukan pada tak diizinkannya untuk menguburkan bapaknya yang mati itu, namun bagaimana harus menganggap bahwa satu-satunya yang mendesak untuk dilakukan adalah mendengar panggilan Kristus “Ikutlah aku”, dan rela menganggap segala sesuatu yang tak ada kaitannya dengan panggilan mengikut Dia itu adalah hal yang mati, dan hal yang membawa kematian, dan bukan kehidupan. Dengan demikian arah pusat dari perhatian adalah memenuhi panggilan Kristus itu tanpa menoleh ke kanan dan kiri ataupun berbalik kemanapun, hanya ada satu jalan maju terus ke depan. Ini berarti bahwa biarpun hati itu sakit, sedih dan berduka secara mendalam, namun dukacita mendalam akibat kehilangan bapak itu harus dilihat dalam kacamata panggilan mengikut Kristus itu. Bahwa ia harus rela menganggap dukacita itu adalah sesuatu yang harus dipahami sebagai sesuatu yang mati, karena hanya Kristus saja yang hidup, Dengan demikian hal-hal yang mati, dukacita duniawi karena kematian orang tua, atau dukacita duniawi karena masalah duniawi lainnya, dukacita dan kesulitan duniawi baik secara fisik maupun secara mental dan secara emosi itu, harus dapat ditanggung dan dianggap sebagai hal-hal yang mati, serta ditafsirkan serta dipahami dalam makna derita sebagai dampak dalam mengikut Yesus Kristus. Dengan demikian kita dibebaskan dari kengerian maut. Ketika melihat bahwa segala sesuatu yang bukan Kristus jika itu dijadikan sebagai sesuatu yang mutlak adalah merupakan kematian yang ngeri. Sehingga kita dapat dibebaskan dan diselamatkan dari kekuatan kematian yang ngeri itu, dengan demikian harapan kita tak lagi pada dunia ini karena dunia ini hanya menyebarkan bau kematian, namun hanya pada Allah saja, sebagaimana dikatakan: ”Dari kematian yang begitu ngeri Ia telah dan akan menyelamatkan kami: kepada-Nya kami menaruh pengharapan kami, bahwa Ia akan menyelamatkan kami lagi” (II Korintus 1:10). Disitulah kita dibebaskan dari rasa ngeri, takut, dan khawatir akan bau kematian yang tersebar di sekeliling kita ini, dan mengubahnya sebagai bau keharuman Kristus yang mendatangkan kehidupan melalui kematian, mendatangkan kebangkitan melalui penguburan. Sehingga kita tak lagi menaruh harapan pada apapun yanh dijanjikan dunia, karena semuanya itu menuntun kepada kematian, namun hanya menaruh harapan kepada Allah, dimana bahkan kelemahan, kesakitan, derita, kesakitan, bahkan kematian itu sendiri diubah menjadi sarana kehidupan dan keselamatan. Dan inilah sebenarnya proses pengobatan dan kesembuhan yang sebenarnya dan menjadikan kita tabah menghadapi serangan detrita dan kesakitan. Itulah sebabnya apapun yang dikehendaki Allah dalam hidup kita, biarpun sulit kita akan selalu mengikuti-Nya, sama juga seperti para murid dikala itu kemanapun Yesus pergi mereka selalu mengikuti-Nya, bahkan ketika “Yesus naik ke dalam perahu” itu juga “murid-murid-Nya pun mengikuti-Nya” (Matius 8:23). Karena derita dan sakit serta kesulitan ini adalah merupakan panggilan dalam peningkatan batin kita dalam kemanusiaan kita yang baru itu, bagi kesembuhan dari kodrat kemanusiaan yang lama, padahal Gereja adalah lingkup dari proses kesembuhan itu, maka kekuatan untuk dapat melihat segala derita yang kita hadapi harus kita hadapi dengan dukungan dari persekutuan dengan segenap saudara lainnya dalam doa, sebagaimana yang dinyatakan:”karena kamu juga turut membantu mendoakan kami” , dan ini adalah tanda penerimaan dan tanda keperduliaan kita satu sama lain, sama halnya seperti yang telah kita bahas mengenai kasus Zakheus dalam bacaan kita yang kedua tadi.
Itulah sebabnya mengapa dalam komunitas Gereja itu perlu adanya kelompok-kelompok doa yang serius, agar dengan demikian proses kesembuhan batin itu akan menjadi suatu realita . Dan itu akan berakibat “banyak orang mengucap syukur atas karunia yang kami peroleh berkat banyaknya doa mereka untuk kami.” (II Korintus 1:11), dengan demikian yang menerima karunia pertolongan dari Tuhan dari derita dan kesulitannya akibat doa saudara-saudara yang lain mengucap syukur, dan yang mendoakan juga ikut bersyukur karena menyadari bahwa doa mereka dijawab. Disitulah satu saling mengisi yang lain, sehingga dalam Gereja itulah kasih karunia Allah nampak berlimpah-limpah melalui persekutuan kasih dan doa antara anggota yang satu dengan yang lain. Sehingga harapan kepada Allah makin diperkuat, dan kuasa kehidupan makin nampak, dan kuasa kematian justru menjadi sarana proses kesembuhan menuju kepada hidup yang sejati. Demikianlah Ibadah Pengolesan Minyak itu mempunyai makna yang jauh lebih mendalam lagi ketika itu kita lihat dalam makna yang sebenarnya, bukan hanya dari kebutuhan insan agar sembuh dari penyakit jasmani saja. Itulah sebabnya mengapa dalam Ibadah Pengolesan Minyak ini, bukan hanya orang-orang yang secara terang-terangan memang sakit, namun juga yang tidak sakitpun maju, karena kesembuhan yang dimaksud adalah jauh lebih dalam daripada hanya sekedar sakit secara fisik saja. Untuk itu marilah kita lanjutkan mendalami lebih jauh makna Ibadah Pengolesan Minyak ini dalam bacaan berikutnya.
Bacaan 5: Kesiap-siagaan & Kewaspadaan Batin sebagai jalan Kesembuhan Roh-Manusia (Matius 25:1-13, Galatia 5:22-6:3)
Dalam bacaan kita selanjutnya ini Sang Kristus mengajarkan tentang perumpamaan “Kerajaan Sorga” yaitu proses berkembangnya rencana keselamatan Allah yang sudah dimulai dengan Kematian dan Kebangkitan Kristus dan yang tetap berlangsung dalam kehidupan Gereja-Nya. Dan proses bertumbuh dan berkembangnya serta penerapan dari prinsip Kerajaan Sorga itu diumpamakan sebagai “sepuluh gadis”, lambang dari kegenapan jiwa manusia, karena sepuluh itu angka genap dan “gadis” itu lambang jiwa manusia dan Gereja secara keseluruhan dalam hubungannya dengan Kristus (Efesus 5:31), yang sedang “ menyongsong mempelai laki-laki” (Matius 25:1), dan mempelai laki-laki itu adalah Kristus (II Korintus 11:1-2). Masing-masing lima orang dari sepuluh gadis itu ternyata “bodoh: dan “bijaksana” (Matius 25:2). Ini menunjukkan dalam kegenapan kemanusiaan batiniah kita ternyata kita mempunyai sisi gelap, yaitu sisi “bodoh”, namun juga sisi “bijaksana” yaitu sisi terang yang sama kuatnya, dan sama besarnya, dalam mempengaruhi diri kita. Karena separuh dari kegenapan kemanusiaan kita itu berada dalam “kebodohan” dan separuhnya lagi berada dalam sisi “kebijaksanaan”. Sisi kebodohan kita itu memang membawa “pelita” yaitu membawa terang yang menuntun bagi bertemu dengan Sang Pengantin Laki-Laki, sampai pada titik tertentu, artinya ia memiliki “wadah” bagi terang yaitu agama, namun tidak memiliki “bahan” untuk membuat terang itu tetap menyala. Artinya agama itu jika hanya bersifat pegangan syarat hidup bermasyarakat saja, tidak akan dapat menuntun masuk menerabas kedalam pertemuan hakiki dengan Sang Mempelai Laki-laki. Hanya kewaspadaan batin yang menyelam jauh ke dalam karya Kasih-Karunia, Energi Ilahi, di dalam batin yang dilandasi oleh iman, harap, dan kasih yaitu minyak dalam buli-buli itu saja yang akan secara terus-menerus memampukan kita bertahan sampai akhirnya. Hingga kita dapat bertemu Sang Mempelai Laki-Laki yang sedang kita songsong dalam kehidupan beriman kita ini. Kebodohan batin ini hanya senang mempunyai “bentuk”, namun tidak perduli untuk mempunyai “isi”. Dalam Surat Wedatama, karangan Raja Mangkunegara disebut mengenai “Agama Ageming Aji” ( “Agama itu Jubah Sang Raja”, “Agama itu Pakaian Sang Raja” atau “Agama itu Pegangan Sang Raja”), namun sayang kalau agama itu hanya jubah, hanya pakaian, dan hanya pegangan namun bukan prinsip penyembuhan kodrat yang menyembuhkan kemanusiaan dari kematian dan dosa.
Agama sebagai jubah itu hanya menjadi suatu syarat lahiriah yang tidak menembus batin kita yang terdalam. Dan inilah suatu “kebodohan”. Ia hanya melengkapi syarat-syarat luar tetapi tetapi tidak memiliki persediaan batin yang terdalam, agar syarat luar tadi merupakan pancaran dari apa yang di dalam. Adalah suatu kebodohan jika kita hanya memiliki baju saja, tanpa memiliki isi. Banyak orang memang senang dengan bajunya, namun justru dalam kebodohannya ia tidak memikirkan bahwa isi itu yang membuat manusia dapat bertahan untuk sampai akhirnya bertemu dengan Sang Mempelai Laki-Laki. Dipegangnya erat-erat “pelita’ itu namun karena isinya tidak ada maka pelan-pelan terangpun memudar, dan akhirnya cahaya pelita itupun lenyap dan padam. Beragama dan memiliki bentuk-bentuk luar keagamaan tetapi tanpa memiliki kewaspadaan batiniah itu adalah hidup dalam “kebodohan” batin. Kita harus dibebaskan dari kekuatan “kebodohan” itu agar mencapai kebijaksanaan yaitu menjadi “gadis bijaksana” yang bukan hanya “membawa pelitanya” tetapi juga “ minyak dalam buli-buli mereka” (Matius 25:4). Buli-buli adalah wadah batiniah, tempat “minyak” yaitu bahan yang menimbulkan terang atau cahaya terus menerus itu ditempatkan. Dan minyak itulah kasih-karunia Allah yang menimbulkan iman, harap dan kasih yang melandasi sikap kewaspadaan batin tadi. Perjuangan untuk menyongsong Mempelai Laki-Laki itu “lama tidak datang-datang juga” artinya tidak begitu gampang dan langsung mencapai hasil, itu membutuhkan ketekunan, kesabaran, melatih dan mengendalikan diri. Dimaksudkan agar sampai pada titik pertemuan dengan Sang Mempelai Laki-Laki dengan segala macam perjuangan untuk mengalahkan hawa-nafsu kita. Namun justru disinilah letak kesulitannya, karena kita ini manusia lemah. Sehingga ketika usaha kita untuk mencapai “panunggalan” atau “perjumpaan” dengan Kristus itu “lama tidak datang-datang juga”, kita jadi mengendorkan sikap kita sehingga “mengantuklah” kita “semua lalu tertidur” (Matius 25:5). Ini disebabkan kita tidak siaga, sehingga kita membiarkan kewaspadaan batin kita jadi berkurang. Dan jika kita ijinkan hal itu terus menerus demikian, maka akhirnya kita tertidur lelap. Iman kita tidak bergerak maju, kesadaran batiniah kita jadi kabur. Untuk itulah mengapa Ibadah Pengolesan Minyak ini diadakan. Pertama supaya kita menyadari lambang “Minyak” yang digunakan dalam Ibadah Pengolesan ini sebagai peringatan agar kita mengisi “minyak” yaitu kasih-karunia atau Energi Ilahi melalui kewaspadaan batin yang berlandaskan iman yang hidup, harapan yang kokoh, dan kasih yang mendalam, juga karena “kebodohan” dan “rasa mengantuk”nya batin itu adalah sejenis penyakit roh yang kita mohon untuk disembuhkan Allah melalui Ibadah Pengolesan Minyak ini. Sehingga kita tetap siaga dan waspada di dalam batin, dan dalam ketekunan dan kesabaran serta dengan usaha yang tanpa mengenal lelah kita akan sampai pada titik perjumpaan dan panunggalan dengan Allah. Dan itulah kesembuhan kodrat kita secara hakiki yang sedang kita songsong, kita jelang dan kita nanti-nati. Karena kita tak akan pernah tahu bila Sang mempelai itu menampakkan diri kepada kita secara pribadi, atau kepada dunia seluruhnya ini pada akhir zaman ini.
Itulah sebabnya dikatakan bahwa pada “Waktu tengah malam” (Matius 25:6), pada saat semua tertidur, yaitu pada saat yang tak dapat diduga itulah Sang Mempelai Laki-Laki itu datang menampakkan diri dengan teriakan kegembiraan batin yang berseru “Mempelai datang! Songsonglah dia”. Baik penampakan itu dimengerti sebagai pengalaman dalam batin kita pada pengalaman panunggalan kita saat ini ketika masih hidup ini, ataupun itu dimengerti sebagai penampakan diri kepada seluruh jagad raya ini pada akhir zaman nanti. Jika Pengantin Pria datang, maka disitulah terjadi pernikahan dengan Pengantin Wanita. Dan ternyata Pengantin Wanita itu tak lain adalah sepuluh gadis itu sendiri, karena sepuluh adalah lambang “kegenapan”, berarti itu menunjuk kepada panunggalan secara utuh antara Kristus dengan kegenapan kemanusiaan kita ini. Dalam panunggalan dengan Kristus itulah kita manunggal dengan kehidupan kekal, yaitu hidup yang tak dapat binasa, dan itulah kesembuhan sejati itu. Jikalau panunggalan ini terjadi maka perubahanpun akan nampak bertumbuh sebagai buah dari karya Energi Ilahi oleh Roh Kudus di dalam kita, sebagaimana yang dikatakan: ”Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.” (Galatia 5:22 - 23). Itulah pula sebabnya lagi, mengapa kita adakan Ibadah Pengolesan Minyak ini, karena Minyak adalah lambang Roh Kudus, sebagaimana dikatakan: ”Samuel mengambil tabung tanduk yang berisi minyak itu dan mengurapi Daud di tengah-tengah saudara-saudaranya. Sejak hari itu dan seterusnya berkuasalah Roh TUHAN atas Daud.” (I Samuel 16:13) . Demikianlah melalui Pengolesan dengan Minyak ini kita juga memohon supaya hal yang sama terjadi kepada kita seperti itu terjadi pada Daud, sehingga kuasa Roh Kudus makin ditambahkan pada kita, sehingga kita mampu menghasilkan “buah-buah Roh “ itu dalam hidup kita. Jelaslah kalau begitu Ibadah Pengolesan Minyak ini, jauh menembus ke dalam batin bagi penyembuhan roh kita, bukan hanya masalah kesembuhan jasmani saja, dan itulah sebabnya kita semua diolesi dengan minyak, biarpun kita secara fisik sakit atau tidak. Namun yang jelas secara roh kita semua mempunyai penyakit, yaitu hawa nafsu dan segala keinginannya. Jika kasih-karunia Allah melawat kita, maka seluruh perangkat batiniah kitapun akan “bangun semuanya” artinya kita akan dibangkitkan dari dari kemalasan dan kelambanan rohani kita, baru disitu kita betul-betul “membereskan pelita” artinya membereskan dan menata ulang kehidupan batin dan keagamaan yang porak-poranda yang kita biarkan mengantuk sampai tertidur itu (Matius 25:7). Namun jika dalam keadaan lawatan ilahi inipun kita masih berada dalam sisi “kebodohan” kita, maka biarpun kita mencoba menjadi “bijaksana” dengan meminta diberi “minyak” dari kebijaksanaan itu (Matius 25:8), namun kita tidak akan mendapatkannya. Karena kebijaksaan itu tidak muncul secara tiba-tiba namun melalui ketekunan dan latihan yang lama, sebagaimana dikatakan: ”menghasilkan buah ……….kepada mereka yang dilatih” (Ibrani 12:11). Buah itulah buah kebijaksanaan sebagai buah Roh yang manifestasinya adalah “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,kelemahlembutan, penguasaan diri“ yang kita baca didepan tadi. Gadis bijaksana itu mempunyai minyak karena mereka memang menyediakan, kebijaksanaan kita itu akan bertahan dan tak akan padam karena kita memiliki simpanan dalam bentuk latihan kesabaran dan ketekunan.
Dalam latihan inilah “pelita” kita tak akan mengalami “hampir padam” itu. Tanpa latihan kita tak dapat menerima apapun dari kebijaksanaan, karena kita diam dalam kebodohan, dan kalaupun kita “pergi kepada penjual minyak dan beli di situ” (Matius 25:9), semuanya sudah terlambat. Tidak ada kerohanian dan hidup batiniah yang dalam dan murni serta yang dalam, yang dapat datang secara instan, atau kerohanian yang mendadak dan langsung jadi, Ingin mendapatkan kerohanian secara mendadak, instan dan langsung jadi inilah yang diumpamakan sebagai “ pergi kepada penjual minyak dan membelinya” karena membeli berarti langsung mendapatkan tanpa mengolah, inilah lambang kerohanian langsung jadi, bukan karena “latihan” dalam ketekunan dan kesabaran. Kerohanian yang demikian ini bukan hasil kewaspadaan batin, maka ini bersifat dangkal, dan tidak memiliki ke”waspada”an dan ketajaman batin yang menembus. Bagaimanakah “latihan” itu harus dilakukan? Itu seperti yang dikatakan oleh bacaan kita selanjutnya ini:” Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. (Galatia 5:24). Jadi latihan yang harus kita lakukan adalah secara negatif dengan “menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya”, sedangkan secara positif “hidup oleh Roh”, dan “dipimpin oleh Roh” (Galatia 5:25). Artinya dengan tekad yang bulat dan kemauan yang kokoh kita secara aktif melawan keinginan-keinginan yang rendah yang berasal dari kemauan daging, serta melawan setiap dorongan dan bujukan hawa-nafsu yang ingin menyelewengkan kita dari jalan kesucian. Dan dengan tekad bulat serta kemauan kokoh yang sama kita secara aktif menghidupi kehendak Roh Kudus, yang memunculkan segala macam kebajikan dan kesucian yang dilandasi oleh hidup doa, pertobatan, puasa, sembahyang secar teratur, samadhi khusyuk dalam doa puja Yesus, mengambil bagian dalam kegenapan kehidupan Gereja, serta mempelajari Kitab Suci dan ajaran-ajaran iman yang lain serta menterapkannya dalam kehidupan. Juga selalu mendengar bisikan suci Roh Kudus di dalam batin kita, dan hidup dengan pimpinan Roh Kudus mengikuti secara semua hukum tata susila dan akhlak Kitab Suci yang menuntun kepada kesucian. Ini adalah “latihan” selama hidup. Dan hanya dengan ini saja maka “minyak” itu tetap ada di dalam “bul-buli” sehingga kita tidak terjebak dan kebingungan ketika lawatan Tuhan datang kepada kita.
Karena kalau hanya waktu ada gebrakan saja kita baru bersemangat untuk mencari-cari minyak rohani ini, maka akibatnya waktu kita “sedang pergi untuk membelinya” artinya sedang bingung mencari-cari dan mempersiapkan diri, maka “datanglah mempelai itu” dan hanya “mereka yang telah siap sedia masuk bersama-sama dengan dia ke ruang perjamuan kawin” sedangkan mereka yang tidak siap dan baru kelabakan mencari persiapan akan mengalami tertinggal di luar karena “pintu ditutup” (Matius 25:10). Itulah sebabnya ke “siap-sedia”an atau “kewaspadaaan’ dan ke siagaan batin itu sangat penting dalam menghidupi kehidupan iman ini. Kita tidak perlu ada “kebangunan rohanI” untuk selalu siap sedia. Namun kita terus berjaga-jaga dan bersiap sedia dengan tetap mengendalikan gejolak hawa-nafsu serta selalu mengusahakan agar buah-buah Roh berkembang dalam diri kita. Sebab jika hidup rohani kita tambal sulam, dan baru mencari-cari ketika waktu sudah mendesak sekali, maka ketika pintu sudah tertutup bagi batin kita maka ketika kita kembali dan mengatakan: ”Tuan, tuan, bukakanlah kami pintu!” (Matius 25:11), artinya ketika kita ingin sekali mengubah segala-galanya hati ini sudah begitu tertutupnya, sehingga pertobatan itu menjadi begitu sulit bagi kita, karena akar pahit yang terlalu melilit batin itu sudah tak memungkinkan kita untuk mencairkan kebekuan batin kita sendiri itu, sebagaimana dikatakan: ”Janganlah ada orang yang menjadi cabul atau yang mempunyai nafsu yang rendah seperti Esau, yang menjual hak kesulungannya untuk sepiring makanan. Sebab kamu tahu, bahwa kemudian, ketika ia hendak menerima berkat itu, ia ditolak, sebab ia tidak beroleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, sekalipun ia mencarinya dengan mencucurkan air mata.” (Ibrani 12:16-17).
Esau ini adalah jenis orang yang ingin mencapai kerohanian secara mendadak. Baru ketika saatnya menerima lawatan berkat ia ingin memperbaiki kesalahannya, namun ia ditolak, sekalipun mencarinya dengan cucuran air mata dan tangisan penyesalan. Inilah jenis orang yang berada dalam “kebodohan” itu. Namun bagaimanapun ia berusaha dalam waktu yang singkat itu untuk menjadi berbeda dan berubah, ia gagal, pintu tertutup dan Sang pengantin telah menolaknya dan tidak mengakui jiwa yang bodoh demikian ini (Matius 25:12). Pertobatan dan merendahkan diri itu menjadi gaya hidup orang bijaksana, sehingga ia menolak gaya hidup “gila hormat”, atau gaya hidup gagah-gagahan “saling menantang dan saling mendengki” (Galatia 5: 26). Inilah gaya hidup orang bodoh, orang dungu, yang hanya ingin meninggikan diri, dan ingin dianggap hebat, dan dianggap berani. Semua sikap ini menjauhkan batin dari kebijaksanaan, karena itu bertentangan dengan kasih sebagai wujud puncak kebijaksanaan dan kerendahan hati sebagai sumber dari munculnya kebijaksanaan. Orang yang bijaksana adalah orang “yang rohani” dan kerohaniannya itu akan kelihatan kalau “seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran” maka orang itu akan “memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.” (Galatia 6:1), artinya ia menjadi orang yang selalu waspada dan siap siaga secara rohani, karena ia bukan hanya “memimpin orang lain ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut” namun juga ia “menjaga diri sendiri, agar jangan kena pencobaan”, dengan demikian mentaati perintah Kristus “berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya." (Matius 25:13). Dengan selalu berjaga-jaga dengan batin selalu siap-siaga dan waspada inilah maka buah-buah Roh yang puncaknya adalah Kasih itu akan menampakkan diri dalam wujud “Bertolong-tolongan menanggung beban” sebagai pemenuhan hukum Kristus (Galatia 6:2), dan juga kerendahan hati yang menampakkan diri dalam tidak “menyangka, bahwa ia berarti, padahal ia sama sekali tidak berarti” dengan demikian ia tidak menjadi orang yang bodoh dan tinggal dalam kebodohan dimana dengan merasa yang demikian itu “ia menipu dirinya sendiri” (Galatia 6:3). Demikianlah melalui kesiap-siagaan dan kewaspadaan batin itu, ia mengalami proses penyembuhan dalam batin dan rohnya. Marilah kita lanjutkan pembahasan kita lebih lanjut mengenai makna Ibadah Pengolesan Minyak ini.
Bacaan 6 Kesembuhan Batin Sebagai Pembersihan Dari Pengaruh-Pengaruh Iblisiah Matius 15:21-28, II Korintus 6:16-18,7:1
Jika bacaan kita didepan tadi membahas kesembuhan batin sebagai pembersihan dari kebodohan batin akibat kehendak dan keinginan hawa-nafsu daging bagi mencapai kebijaksanaan yang menampakkan diri dalam buah-buah Roh, maka bacaan kita sekarang membahas kesembuhan sebagai pembasuhan batin dari pengaruh-pengaruh Iblis dan roh-roh jahat. Dalam bacaan kita yang keenam ini, disebutkan bahwa Sang Kristus “menyingkir ke daerah Tirus dan Sidon” (Matius 15:21). Ini adalah wilayah yang mayoritas penduduknya adalah umat non-Yahudi yang menyembah berhala. Tindakan Kristus mendatangi wilayah non-Yahudi penyembah berhala ini adalah untuk menunjukkan bahwa karya Kristus itu bagi semua manusia yang tidak dibatasi oleh kebangsaan, suku, bahasa, dan kebudayaan. Ia datang untuk semua manusia. Dan terutama ia datang untuk melepaskan manusia dari kungkungan kuasa Iblis dan roh-roh jahat bawahannya. Penyembahan Berhala adalah merupakan pekerjaan Iblis dan roh-roh jahat pengikutnya, sebagaimana dikatakan: ”Apakah yang kumaksudkan dengan perkataan itu? Bahwa persembahan berhala adalah sesuatu? Atau bahwa berhala adalah sesuatu? Bukan! Apa yang kumaksudkan ialah, bahwa persembahan mereka adalah persembahan kepada roh-roh jahat, bukan kepada Allah. Dan aku tidak mau, bahwa kamu bersekutu dengan roh-roh jahat” (I Korintus 10:19-20). Karena “persembahan kepada berhala” dan “berhala” itu sendiri bukan sesuatu, berarti “persembahan kepada berhala” itu jelas bukan kepada makhluk yang tak pernah ada, dan karena itu kepada makhluk maka jelas itu bukan kepada Allah. Padahal dalam dunia ini hanya ada satu makhluk yang menyatakan dirinya sebagai Allah, yaitu Iblis (II Korintus 4:4). Maka jikalau manusia menyangka menyembah ilah-ilah atau Allah, padahal yang disembah itu “bukan sesuatu”. Pastilah Iblis dan roh-roh jahat yang mengambil alih penyembahan seperti itu. Jadi penyembahan berhala itu identik dengan penyembahan iblis dan roh-roh jahatnya.
Oleh karena itu kedatangan Yesus di Tirus dan Sidon tempat penyembahan berhala ini adalah simbol yang menjelaskan bahwa Ia datang kepada manusia yuntuk menyembuhkan manusia dari penyakit penyembahan berhala, yaitu penyakit batin dan roh yang ditimpakan Iblis dan roh-roh jahat kepadanya. Disebutkan selanjutnya ketika Ia berada di wilayah penyembahan berhala ini bahwa “datanglah seorang perempuan Kanaan dari daerah itu” (Matius 15:22). Ini menunjukkan bahwa Yesus telah merombak pekerjaan Iblis yang mengungkung kaum wanita dan mengangkat derajat mereka. Karena wanita sering dijadikan mangsa Iblis dengan jalan hak-haknya tidak diakui seperti di zamanNya Yesus, atau sering dieksploitasi dan mengeksploitasi dirinya sendiri untuk kepentingan kaum lelaki. Di zaman itu laki-laki Yahudi menganggap perempuan itu lebih rendah dari laki-laki meskipun lebih tinggi dari binatang, dan perempuan itu tak punya roh. Oleh karena itu para Rabbi dilarang berbicara dengan perempuan di tengah jalan.
Namun Yesus merombak kungkungan pekerjaan setan atas perempuan itu dengan menerima “perempuan Kanaan” ini. Selanjutnya wanita ini adalah orang “Kanaan” yang dalam agama Yahudi adalah bangsa yang harus dilenyapkan dan tidak boleh menjadi bagian umat Allah. Adalah pekerjaan Iblis menganggap satu suku lebih tinggi dari suku lain, satu etnik lebih rendah dibanding etnik lainnya. Dalam Yesus “Kanaan” atau “Yahudi”, “Israel” atau “Yunani”, “Eropa”atau “Asia, “pribumi” atau “non-pribumi” semuanya mempunyai kedudukan sama dan semuanya diterima oleh Allah, karena semua itu adalah ciptaan Allah, dan Allah tak pernah membedakan mereka, serta tak pernah salah dalam mencipta itu. Pekerjaan Iblislah yang mengkotak-kotak manusia, apalagi sampai menganiaya sesama manusia hanya kerena perbedaan suku, budaya, bahasa, warna kulit dan agama. Yesus merombak itu semua itu karena orang “Kanaan”pun datang kepada-Nya. Perempuan Kanaan itu berasal “dari daerah itu” artinya dari daerah “Tirus dan Sidon” yaitu dari wilayah penyembahan berhala. Bahwa ia berasal “dari” dan sekarang datang ”kepada” Yesus menunjukkan wanita ini telah meninggalkan apa yang dibelakangnya, yaitu kegelapan penyembahan berhala dan kungkungan setan untuk menemukan terang yang benar melalui Firman Allah yang menjadi manusia.
Semua kungkungan setan ini adalah “penyakit” yang merusak dan melemahkan kesucian roh manusia. Oleh karena itu Yesus datang untuk mengeluarkan manusia dari kungkungan seperti ini, dan menyembuhkan roh manusia dari luka-luka batin yang diakibatkan oleh kuasa Iblis dan roh-roh jahatnya. Itulah sebabnya bacaan epistel kita mengatakan: ”Apakah hubungan bait Allah dengan berhala? Karena kita adalah bait dari Allah yang hidup menurut firman Allah ini: "Aku akan diam bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah-tengah mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku” (II Korintus 6:16). Artinya antara “Bait Allah” yaitu kebenaran Allah dan kuasa-Nya serta “berhala” artinya pekerjaan Iblis dan kegelapannya itu saling kontras dan saling tak ada kaitannya. Orang yang datang kepada Allah melalui Firman-Nya yang Menjelma: Yesus Kristus, ia menjadi “Bait Allah yang hidup” bukan menjadi sarang gua “berhala yang mati”. Sehingga dengan demikian mereka yang manunggal dengan Allah melalui FirmanNya yang menjelma menjadi Manusia: Yesus Kristus, ia akan menjadi Bait Allah dimana “Allah akan diam bersama-sama dengan mereka” serta “hidup di tengah-tengah mereka” sehingga manusia bebas dari kungkungan Iblis “allah/ilah dari dunia yang gelap ini” karena sekarang Aku “akan menjadi Allah mereka” sehingga ia memiliki perlindungan yang jauh lebih berkuasa dari kungkungan dan kekuatan kejahatan Iblis dan roh-roh jahatnya itu, serta “mereka akan menjadi umat-Ku” artinya ia bukan milik Iblis lagi dan Iblis serta roh-roh jahatnya tidak mempunyai hak atau “klaim” apapun atas dirinya. Artinya dia sekarang menerima pembebasan dan penyembuhan dari luka-luka kemanusiaan yang diakibatkan oleh pekerjaan Iblis dan roh-roh jahat itu. Karena berhala itu mati, maka berhala memang tidak dapat menolong, dan karena dibelakang berhala itu ada Iblis dan roh-roh jahatnya, dan iblis itu hanya kegelapan maka Iblis itu pekerjaanya hanya menyiksa dan membinasakan manusia saja. Itulah sebabnya si perempuan Kanaan itu lari dari berhala yang lemah dan menyiksanya itu serta mencari jalan pertolongan kepada Yesus Kristus “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan Setan dan sangat menderita” (Matius 15:22).
Dalam budaya penyembahan berhala, dimana dibelakang semua kegiatan upacara seperti itu selalu roh-roh jahat yang melatar-belakanginya, sangat mudah pada masyarakat seperti itu untuk orang kerasukan roh-roh jahat. Malahan sering roh-roh jahat itu dipanggil untuk merasuk seseorang karena dianggap sebagai dewa-dewi atau roh-roh nenek moyang yang akan menolong mereka. Namun jikalau orang sadar betul. sebenarnya kerasukan roh jahat itu bukan sesuatu yang membawa kepada kesembuhan jiwa, namun itu adalah suatu keberadaan “kerasukan setan dan sangat menderita” seperti yang dialami oleh anak perempuan wanita Kanaan itu. Orang yang berhubungan dengan roh jahat dalam penyembahan berhala adalah orang yang diikat oleh kuasa-kuasa gelap. Perempuan Kanaan itu sadar akan hal ini, maka ia memerlukan belas-kasihan Allah, dan itulah kata pertama yang muncul “Kasihanilah aku”. Karena memang pada intinya semua karunia Allah yang menyembuhkan itu datangnya dari “belas-kasihan” Allah, melalui Mesias-Kristus yaitu “Anak Daud” yang diangkat Allah sebagai “Tuhan” (Kisah Rasul 2:36), artinya “Penguasa” yang dianugerahi Allah “segala kuasa dilangit dan di bumi” (Matius 28:18). Memang proses pelepasan secara tuntas dari pengaruh roh-roh jahat memerlukan ketabahan dan ujian yang tidak mudah, sebagaimana yang dialami wanita Kanaan yang ingin lepas dari berhala Kanaan dan ingin anaknya lepas dari kerasukan roh jahat itupun mengalami proses yang tidak mudah.
Pertama “Yesus sama sekali tidak menjawabnya” untuk menguji keteguhan imannya. Kedua,”murid-murid-Nya datang dan meminta kepada-Nya: "Suruhlah ia pergi, ia mengikuti kita dengan berteriak-teriak." (Matius 15:23), artinya ia hendak diusir, untuk menguji keteguhan tekadnya untuk tidak takut pada ancaman kesulitan. Ketiga, “Jawab Yesus: "Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel." (Matius 15:24), seolah-olah sebagai orang non-Israel ia direndahkan oleh Sang Kristus, untuk menguji agar ia tidak mudah putus asa ketika kelihatannya ia diabaikan oleh situasi dan lingkup kehidupan tak bersahabat pada dirinya dan tidak berpihak padanya. Dan ternyata kekokohan niatnya itu teruji benar, karena dalam keadaan demikian dikatakan: ”Tetapi perempuan itu mendekat dan menyembah Dia sambil berkata: "Tuhan, tolonglah aku." (Matius 15:25), ia tidak lari, ia tidak sakit hati, ia tidak tersinggung, ia tetap yakin Sang Kristus mau dan mampu untuk menolong. Tetapi kekokohan niatnya yang seperti baja ini belum cukup, ia perlu diuji lagi melalui ujian Keempat melalui apa yang kelihatannya seperti penolakan dan penghinaan: ”Tetapi Yesus menjawab: "Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." (Matius 15:26). Yesus memang tidak menganggap wanita Kanaan ini anjing, namun ia menggunakan ungkapan yang berlaku di masyarakat Yahudi waktu itu dalam merendahkan orang-orang non-Yahudi, serta hal itu dimengerti oleh orang-orang non-Yahudi juga. Sama seperti kalau suku Tionghoa menyebut suku lain “hwana” dan suku lain misalnya, di Jawa Timur, menyebut suku Tionghoa sebagai “singkek.” Namun dalam semua ujian yang sulit itu, ia tetap beriman dan tidak putus asa, malah ia menerima semua itu dengan segala pasrah dan kerendahan hati katanya: ” Kata perempuan itu: "Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya." (Matius 15:27).
Melalui proses semuanya itu wanita ini lepas dari kungkungan kegelapan berhala dan kuasa setan yang mengungkung dia dan anaknya, karena Kristus langsung menyambut perjuangan dan pergumulannya itu dengan sabda pembebasan dan sabda penyembuhan-Nya: ”Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki." Dan seketika itu juga anaknya sembuh” (Matius 15:28). Dengan demikian si wanita yang terkungkung itu lepas kegelapan iblis yang berwujud penyembahan dari berhala dan sekaligus terlepas dari kekuatan iblis yang mengikat yang berwujud anaknya yang kerasukan setan itu. Ini dikarenakan kekokohan imannya, yang tidak mudah menyerah dan tetap dalam beriman ketika kesulitan bertubi-tubi melanda. Lebih daripada semuanya itu, ia tetap rendah hati dihadapan semua gejolak hidup yang dihadapinya. Inilah jalan cara bagaimana, si wanita ini dan kita semua mentaati perintah: ”Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu” (II Korintus 6:17). Demikianlah kitapun dalam mencapai proses mencapai penyembuhan kodrat kemanusiaan kita agar terlepas yaitu “keluar dari antara mereka”, yaitu keluar dari lingkungan berhala kita juga memerlukan sikap seperti wanita Kanaan ini, sehingga “belas-kasihan” Allah yaitu rahmat-Allah, Energi Ilahi yang tak tercipta itu betul-betul berkarya untuk melepaskan kita dari kekuatan berhala, yang dapat berwujud ajaran sesat, menyembah Allah secara sesat, mengikuti hawa-nafsu atau perdukunan dan ilmu-ilmu klenik. Ini semua adalah penyakit bagi roh, dan karena itu roh menjadi sakit. Kita harus mendengar perintah “pisahkanlah dirimu dari mereka” itu, yaitu memisahkan dirI dari segala bentuk lingkup dan cara-cara keberhalaan untuk hanya semata-mata meninggikan Allah dalam hidup kita.
Dan ini kita lakukan dengan cara hidup secara benar dan berusaha mengerjakan yang benar dan mengikuti larangan: ”janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu”, yaitu segala apa yang najis bagi roh dan bagi tubuh secara moral maupun secara rohani jangan sampai menjamah diri kita, dan jangan kita berusaha menjamahnya. Karena dengan demikian kita menapak dalam jalan kesucian, seperti yang diperintahkan “hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu,sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” (I Petrus 1:15-16), dan dengan demikian kita pantas menerima pengakuan “Aku akan menjadi Bapamu, dan kamu akan menjadi anak-anak-Ku laki-laki dan anak-anak-Ku perempuan“ (II Korintus 6:18), seperti yang dinyatakan dalam bacaan kita ini selanjutnya. Jikalau kita berada dalam lingkup berhala dalam segala bentuknya dan dalam kenajisan jelas Allah yang maha Kudus itu bukan Bapa kita, sebaliknya: ”Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu.” (Yohanes 8:44). Jika kita ingin diakui sebagai anak bagi Allah, maka kita harus berada dalam lingkup kehidupan yang menapak jalan Allah, yaitu jalan kesucian, Dan jikalau tidak demikian, maka kita akan memiliki bapa yang lain, yaitu Iblis. Itulah sebabnya bagi kesembuhan roh kita secara sungguh-sungguh, maka secara sungguh-sungguh pula kita berusaha menerapkan prinsip-prinsip dan perintah-perintah Allah yang harus kita lakukan.
Dan untuk menjadi sungguh-sungguh kita harus melaksanakan sesegera mungkin perintah dari bacaan kita yang terakhir ini: ”Saudara-saudaraku yang kekasih, karena kita sekarang memiliki janji-janji itu, marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah.” (II Korintus 7:1). Dengan jalan kita berusaha menyucikan diri dan menyempurnakan kekudusan lepas dari semua pencemaran jasmani, yaitu dosa-dosa yang mencemarkan yang kita lakukan dengan tubuh jasmani, serta pencemaran rohani, yaitu dosa-dosa yang kita lakukan dengan angan-angan, pikiran, perasaan, kehendak dan niat batin kita. Dan semua ini harus kita lakukan demi rasa takut akan Allah. Disitulah kita dijamin mengalami kesembuhan roh, tak lagi “Iblis menjadi bapa kita”, tetapi “Allah itu Bapa kita”. Semoga kita rela menerima penyembuhan diri kita dari pengaruh Iblis dan roh-roh jahatnya ini. Amin.
Bacaan 7 Kesembuhan Batin Sebagai Hidup Mengikut Kristus . Matius 9:9-13 I Tesalonika 5: 14-23
Sampailah kita pada bacaan kita yang ketujuh dan terakhir. Secara bertahap kita telah belajar apa yang diajarkan oleh Gereja mengenai makna Ibadah Pengolesan Minyak atau Sakramen Penyembuhan ini. Mulai dari penyembuhan bentuk fisiknya sampai pelan-pelan kita diajak untuk mengerti makna terdalam sampai menuju kepada kesembuhan hakiki, yaitu kesembuhan kodrat kemanusiaan dan batin, yang terjadi oleh Kuasa Roh Kudus di dalam lingkup Gereja Kristus. Kita sudah mengerti dalam penyelaman kita akan makna ketujuh bacaan ini, bahwa karunia kesembuhan itu tak pernah berhenti pada dirinya sendiri. Namun itu menunjuk kepada makna rohani yang terdalam yaitu kesembuhan kodrat kemanusiaan kita, kesembuhan batin dan roh kita. Untuk itu sebagai kesimpulan dari semuanya itu, mari kita melihat lebih lanjut untuk kali yang terakhir dalam Ibadah kita ini apa makna yang tersimpul dari semuanya yang telah kita baca mengenai karya kesembuhan Kristus itu. Dalam bacaan kita yang ketujuh ini dikatakan, mengenai pertemuan Kristus dengan seorang pemungut cukai yang bernama Matius, yang sedang ”duduk di rumah cukai” yang oleh panggilan Kristus "Ikutlah Aku," langsung saja ia berdiri “lalu mengikut Dia” (Matius 9:9), Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa Sang Kristus memanggil manusia bukan karena ia itu suci, namun dalam situasi dan keberadaan apa adanya dimana dia ada dalam tempat kehidupan ini. Sama seperti seperti Matius itu dipanggil bukan sedang berdoa, dan bukan sedang berada di Bait Allah, namun dia sedang “duduk di rumah cukai”, padahal rumah cukai di saat itu dianggap tempat berdosa, karena disitu terjadi pemerasan, perampokan, pencurian, korupsi dan pemilikan harta secara tidak jujur. Matius berada dalam keadaan batin yang sedang sakit. Namun justru dalam keadaan sakit dan ditempat sakit itulah Yesus memanggil Matius “Ikutlah aku”. Matius tidak menunggu-nunggu lama untuk mendengar dan taat pada panggilan itu, ia langsung “mengikut dia”. Kitapun demikian. Dari semua bacaan yang telah kita bahas selama enam kali bacaan itu, kita mendengar suara Allah memanggil kita dan mengajak kita untuk jangan hanya duduk-duduk saja di “rumah cukai” kehidupan kita masing-masing. Kita telah mendengar bahwa kita ini pada hakikatnya adalah roh-roh yang sedang sakit, “Matius-Matius yang sedang duduk di rumah cukai”. Namun tawaran kesembuhan itu juga diberikan kpeda “Matius-Matius” yang seperti kita ini dengan suara “Ikutlah Aku” itu. Suara itu telah kita dengar melalui enam bacaan yang telah lewat. Sekarang tinggal kita sendiri mau langsung berdiri dan “mengikut Dia” ataukah kita tetap bermalasan-malasan dalam “rumah cukai” kita yang lama. Kasih-karunia Allah itu tidak bekerja secara “magis” seperti ilmu-sihir, dimana asal sudah diucapkan mantranya pasti mukjizat terjadi. Tidak demikian. Yesus memanggil namun Matius harus berdiri untuk mengikuti Dia. Demikianlah Allah memanggil kita dalam Ibadah Pekan Kudus ini tetapi kita harus bertindak mengikuti Dia dengan menterapkan ajaran-ajaran yang merupakan panggilan itu.
Demikianlah maka kesembuhan roh dan batin itu akan terjadi, seperti itu terjadi pada Matius. Dan bukti kesembuhan itu adalah “Yesus makan di rumah Matius” (Matius 9:10), karena makan dengan masuk ke dalam rumah seseorang itu berarti panunggalan dengan orang itu, dan jika Yesus yang masuk kerumah dan makan, maka terjadi panunggalan antara jiwa orang yang bersangkutran dengan Sang Kristus sendiri, dan itu berarti proses kesembuhan batin sudah dimulai, sebagaimana dikatakan: “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku.” (Wahyu 3:20). Dan jika orang mengalami kesembuhan roh, maka dampaknya akan dirasakan oleh orang banyak sehingga ia menjadi berkat dan sarana bagi orang lain juga mengalami penyembuhan dari Kristus, sebagaimana dikatakan ketika Yesus makan di rumah Matius itu “datanglah banyak pemungut cukai dan orang berdosa dan makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya” (Matius 9:10). Pemungut cukai dan orang-orang berdosa itu adalah orang-orang yang sedang sakit dalam rohnya. Namun karena Matius yang sakit dalam roh itu telah mengalami penyembuhan terlebih dahulu maka ia membawa dampak kepada pemungut cukai dan orang berdosa yang lain, sehingga merekapun dapat “makan bersama-sama dengan Yesus” yaitu mengalami panunggalan dengan Yesus akibat pelayanan Matius, namun juga bersama dengan “murid-muridNya” yaitu persekutuan dalam Gereja-Nya. Orang yang rohnya belum mengalami kesembuhan seperti halnya para petinggi agama Yahudi, yaitu orang Farisi itu, tidak akan pernah dapat mengerti arti panunggalan dengan Kristus itu, mereka melihat tetapi mereka tidak dapat menangkap makna pengalaman yang amat dalam ini, sehingga dikatakan: “orang Farisi melihat hal itu, berkatalah mereka kepada murid-murid Yesus: "Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?" (Matius 9:11). Kaum Farisi yang masih sakit batin dan rohnya ini tak dapat melihat bahwa manusia berdosa itu dapat bertobat. Mereka tak dapat mengerti bahwa cinta-kasih itu jauh lebih penting daripada memegang teguh bentuk-bentuk luar aturan Agama. Itulah sebabnya demi memelihara bentuk luar aturan Agama dimana menurut aturan Agama yang mereka ciptakan itu, orang yang dianggap berdosa dan kaum pemungut cukai itu tidak layak untuk dijadikan sebagai mitra dalam persekutuan hidup.
Mereka membuat garis antara kaum Agamawan sebagai “kaum suci” disebelah garis sebelah sini, dan kaum berdosa dan para pemungut cukai sebagai “kaum najis” sebelah sana. Mereka membuat tembok antara “kami” dan “mereka”. Itulah sebabnya mereka hanya mampu mengecam dan mengkritik tindakan cinta kasih yang dilakukan Yesus. Yesus melakukan itu semua karena ia mengasihi semua manusia yang berdosa, karena mereka yang berdosa ini adalah orang-orang sakit. Orang Farisi karena mereka juga orang yang sakit, maka tak dapat menyembuhkan orang lain yang sakit juga. Karena mereka tak mampu melakukan dan tak mampu menyembuhkan itulah maka mereka tak mampu mengerti apa yang dilakukan Yesus ini. Yesus bersekutu dan mendatangi kehidupan orang-orang berdosa ini dan makan bersama mereka sebagai tanda Ia menerima mereka. Yesus tidak mendirikan Agama namun Ia memberikan cinta-kasih dan itulah landasan penyembuhan batin dan roh manusia. Matius sebagai yang telah mengalami kesembuhan roh akibat mengikut Yesus, akhirnya mengikuti teladan Yesus dalam segala yang ia lakukan. Ia undang orang-orang berdosa di rumahnya untuk makan, Ini berarti Matius menerima dan membuka hati bagi manusia berdosa dan bagi orang lain, karena ia ingin juga orang lain itu menerima jamahan kesembuhan roh yang dilakukan oleh cinta kasih Sang Kristus itu pada mereka. Kesembuhan batin dari Matius itu adalah akibat jamahan cinta-kasih Sang Kristus, dan mengikuti teladan dan cara-cara penerimaan Sang Kristus atas manusia-manusia berdosa dalam cinta-kasih-Nya. Sang Kristus menerima orang-orang berdosa, dan Matius mengikuti teladanNya karena menyadari semua manusia tanpa Kristus itu adalah pasien dan orang-orang yang sakit semua. Dan tabib itu hanya satu saja yaitu Yesus Kristus, karena Yesus Kristus “tidak mengenal dosa” (II Korintus 5:21), jadi Yesus tidak memiliki penyakit dalam roh, dan roh-Nya memang betul-betul sehat, karena Ia bukan termasuk orang berdosa, sebab Ia adalah “Firman Allah” yang Maha Kudus itu sendiri yang menjelma menjadi manusia. Itulah sebabnya Ia menjadi tabib bagi kodrat kemanusiaan kita, sebab Ia adalah yang melalui-Nya Allah menciptakan dan menjadikan kita semua (Yohanes 1:3, Ibrani 1:2), sebab Ia adalah Firman-Nya Allah sendiri.
Menghadapai kaum Farisi yang sakit tetapi yang tidak mengingini orang-orang lain yang sakit juga disembuhkan serta menganggap dirinya sehat itu Sang Kristus mengatakan: ”Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit.” (Matius 9:12). Dengan Sabda ini Sang Kristus hendak menempatkan permasalahan yang hakiki pada orang Farisi itu. Beliau seolah-olah mengatakan: ”Kalau kamu menganggap bahwa hanya orang yang beragama dan memegang kesalehan luar saja sebagai ukuran manusia yang tidak najis, dan demikian menganggap dirimu sehat secara rohani, seharusnya kamu datang pada orang-orang yang kamu anggap berdosa dan berpenyakitan ini. Mereka orang yang tidak sehat, maka mereka justru perlu tabib. Mengapa kalian yang menganggap diri sehat malah tidak dapat menyembuhkan, Justru kalian menjauh serta mengkritik yang mau menyembuhkan. Aku justru datanmg kepada mereka yang sadar dirinya tidak sehat dan sakit. Karena kamu menganggap dirimu sehat, maka aku tidak perlu mengobati dan menyembuhkan kamu. Aku diantara orang berdosa ini karena mereka memerlukan aku sebagai tabib bagi roh mereka.” Dengan demikian Sang Kristus sekaligus membalikkan meja kearah orang Farisi itu kembali untuk menyadarkan bahwa kesembuhan batin itu bukan perhiasaan luar keagamaan, bukan jubah, bukan kerudung, bukan atribut-atribut lainnya, namun cinta-kasih yang tulus dan kesalehan batin yang murni, yang dari situ baru menampakkan bentuk-bentuk luar keagamaan dan bukan sebaliknya. Memang mungkin dimata orang Farisi Beliau adalah seorang Rabbi (“Kyahi Yahudi”) yang tidak konvensionil. Mungkin Beliau dianggap semacam “Kyahi Mbeling”, “Kyahi Mbalelo”, “Kyahi Memberontak” atau “Kyahi Revolusioner” yang tidak mau dikungkung aturan yang berlaku.
Sebab Beliau datang bukan untuk melayani agama, bukan untuk melayani kekuasaan, bukan untuk melayani kemauan pemimpin agama, bukan untuk untuk melayani lembaga, bukan untuk melayani institusi, dan bukan untuk melayani “kebutuhan untuk mendapat gaji” atau “pengakuan” resmi dari lembaga keagamaan manapun, namun untuk melayani Allah dan melayani kemanusiaan. Itulah sebabnya Sang Kristus langsung menunjuk kepada permasalahan yang seharusnya, yaitu manusia, bukan upacara-upacara lahiriah keagamaan, dalam sabda-Nya: ”Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” (Matius 9:13). Jika “belas-kasihan” itu yang dikehendaki Allah, berarti manusia dalam kebutuhannya itu yang harus diutamakan untuk dilayani dan diperhatikan, bukan upacara atau birokrasi keagamaan, yaitu “persembahan” yang melupakan tanggung jawab kemanusiaan, dan cenderung menghakimi orang lain yang tidak tahu melaksanakan bentuk kenvensionil yang diakui itu. Karena orang berdosa sebagai orang sakit yang membutuhkan pertolongan itulah yang menjadi fokus dan perhatian Yesus, dan itu pula yang menjadi perhatian Matius, untuk segera dirangkul dan diterima, bukan malah dihina, disisihkan dan ditolak seperti yang dilakukan kaum Farisi itu.
Agama telah banyak sekali menjadi alat untuk mengendalikan dan menakut-nakuti orang. Agama telah sering kali menjadi alat menghancurkan dan membunuh orang lain. Agama telah sering kali menjadi alat penekanan oleh pihak penguasa. Agama telah seringkali menjadi alat tembok pemisah antara manusia satu dengan lainnya. Agama telah sering kali menjadi alat kebencian terhadap orang lain dan kelompok lain. Semuanya ini "PENYAKIT" saudara-saudari sekalian. Hindari penyakit menular ini. Lepaskan dirimu dari agama yang demikian. Marilah kita meneladani Sang Kristus, yang perduli pada Allah dan pada kemanusiaan secara tulus. Ia perduli pada orang-orang pinggiran, orang-orang yang disisihkan, orang-orang marjinal, orang-orang papa, orang-orang miskin, orang-orang hina, orang-orang yang tak dipedulikan. Barangsiapa beragama hanya untuk menyenangkan pihak penguasa dan petinggi agama yang dirinya sendiri masih sakit dalam roh dan belum sembuh semacam orang Farisi itu, maka ia tidak dan belum memiliki semangat Sang Kristus. Ia bukan tipe manusia yang sembuh namun manusia sakit yang terkungkung berhala dalam wujud petinggi yang masih sakit dalam roh itu. Adalah amat aneh, bahwa orang Farisi yang setiap harinya bergumul dengan Kitab Suci, bergumul dengan segala macam hukum agama, harus diberitahu Yesus: ”Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini” , ini berarti banyak orang yang pandai Theologia dan pandai bersilat kata, serta rajin dalam menjalankan upacara agama, namun ternyata hatinya mati bagi kemanusiaan. Ia tidak memiliki cinta-kasih karena hatinya masih penuh penyakit. Namun justru ia menuduh orang lain yang sakit, sedang ia sendiri merasa sebagai manusia sehat dalam roh.
Sebaliknya Matius yang mungkin tidak tahu banyak mengenai aturan-aturan agama dan hukum ritual serta Theologia, namun ia langsung mempraktekkan Theologia itu dalam hidup. Ia meneladani Yesus, dan tidak terlalu banyak berteori. Ia bertindak spontan dari dalam hati, karena hatinya memang sudah mulai sembuh sehingga ia mempunyai semangat dan kerinduan untuk menularkan kesembuhan itu kepada orang lain. Kesembuhan memang berarti hidup mengikuti Yesus, dan menjadi seperti Yesus, serta meneladani kehidupan Yesus Kristus itu sendiri. Aturan mainnya sekarang bukan pada hukum ritual keagamaan. Meskipun itu penting sebagai sarana kita mendalami makna karya Allah dalam Kristus Yesus. Namun dalam praktek kehidupan yang nyata sebagaimana Yesus Sang Kristus telah memberikan perintah dan teladan kepada kita. Sebagaimana itu juga dihidupi oleh Rasul Paulus. Dimana dalam menghimbau umat ia tak bertindak sebagai petinggi atau penguasa, namun sebagai saudara yang menasihati dengan cinta-kasih: ”Kami juga menasihati kamu, saudara-saudara” dan isi nasihatnyapun langsung kepada kehidupan nyata yang menyangkut batin dan kehidupan bersama dalam cinta kasih itu: ”tegorlah mereka yang hidup dengan tidak tertib”. Tegoran ini penting sebab itu menunjukkan kepedulian kita dan cinta kasih kita pada orang yang kita tegor, namun harus tetap dalam kerendahan hati, kelembutan, kesabaran dan cinta kasih. Dan hidup yang tidak tertib berarti hidup yang mengikuti hawa-nafsu, itu berarti kembali kepada penyakit lagi, oleh karena itu orang semacam ini harus diingatkan supaya sakit rohnya tidak kambuh, dan kita harus ingatkan gejala sakit kambuhan yang mulai muncul ini, supaya orang itu kembali kepada jalan kesembuhannya. Selanjutnya “hiburlah mereka yang tawar hati” karena penghiburan adalah jalan kesembuhan bagi mereka yang terluka oleh kesedihan, dan Gereja harus mengikuti Kristus dalam karya kepeduliannya untuk ikut serta menyembuhkan luka-luka hati dengan kerelaan untuk menghibur yang “tawar hati", yang tak punya harapan, yang tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam hidup sehingga menghidupkan kembali orang yang sudah patah semangat.
Kepedulian kita kepada orang lain juga ditunjukkan dalam sikap kita terhadap orang yang lemah secara ekonomi, secara kemampuan menghadap yang kuat, dengan perintah “belalah mereka yang lemah“. Membela yang lemah berarti menegakkan keadilan, berarti kesembuhan kemanusiaan juga mempunyai dampak dalam proses keadilan sosial. Berarti jalan hidup mengikut Kristus itu tidak hanya menyangkut masalah akhirat saja. Dan yang juga penting adalah toleransi yang tinggi atas kelemahan dan kekurangan orang lain yang ada di sekitar dengan menjalankan perintah “sabarlah terhadap semua orang”, seperti Kristus juga sabar terhadap kekurangan dan kelemahan dan pelanggaran-pelanggaran kita. Daln dalam toleransi yang tinggi, maka dendam harus dihilangkan sehingga kita mentaati perintah "supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat” (I Tesalonika 5:15), karena kejahatan berasal dari batin yang masih sakit dan roh yang belum tersembuhkan. Oleh karena itu barangsiapa saling menimpakan luka dengan membalas yang jahat dengan yang jahat berarti masih hidup dalam kesakitan roh yang parah. Maka bagi menyembuhkan sakitnya roh ini, kebalikan dari membalas kejahatan dengan kejahatan adalah menterapkan perintah ”tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang” (I Tesalonika 5:15).
Jadi kebaikan sebagai bukti batin yang telah sembuh itu bukan hanya diterapkan kepada sesama umat beriman saja yaitu “kamu masing-masing” namun kepada segenap manusia yaitu “terhadap semua orang”. Batin yang telah sembuh tidak membiarkan dirinya jatuh dalam putus-asa, hilang harapan, dalam kesusahan karena ketiadaan iman, namun ia harus hidup dalam sukacita, sebagai bukti bahwa ia memiliki iman yang kokoh, dan harapan yang mendalam kepada Allah dalam segala sesuatu sehingga selalu hidup dalam kuasa Roh Kudus, karena salah satu buah Roh Kudus adalah sukacita, sehingga ia menggenapi perintah: ”Bersukacitalah senantiasa,” (I Tesalonika 5:16). Dan cara menjaga bukti-bukti hidup mengikut Yesus sebagai bukti batin yang telah sembuh ini adalah “Tetaplah berdoa” (I Tesalonika 5:17), serta “Mengucap syukurlah dalam segala hal” (I Tesalonika 5:19). Ini harus menjadi gaya hidup yang berkesinambungan, bukan hanya sewaktu-waktu kalau ingat atau kalau sedang mau saja. Ini harus menjadi bentuk kehidupan yang konstan, karena “Doa” “Sembahyang” dan “Mengucapkan Syukur” adalah bentuk kepasrahan dan hubungan yang terus menerus dengan Allah , dan dengan demikian kesembuhan batin itu makin mengalami proses yang menuju kepada panunggalan dan kekudusan yang sempurna.
Dalam gaya hidup seperti inilah roh kita betul-betul mengalami sehat. Itulah sebabnya Sembahyang tetap dan Mengucap syukur dalam segala hal ini adalah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu” (I Tesalonika 5:18). Namun kesembuhan batin yang nampak dalam kehidupan nyata ini juga nampak dalam kehidupan ibadah komunitas. Ini bukan lagi komunitas yang hanya mementingkan bentuk-bentuk-bentuk luar yang mati, namun ibadah yang mehamami hakikat dari bentuk dengan menyadari bahwa bentuk itu bukan akhir pada dirinya, namun kehidupan yang terkandung dalam bentuk yaitu karya Roh Kudus itu yang harus diutamakan. Oleh karena itu diperintahkan:” Janganlah padamkan Roh” (I Tesalonika 5:19), karena Roh itulah obat penyembuhan batin manusia, maka barangsiapa memadamkan Roh hanya karena bentuk, dan aturan yang mematikan, justru ia jatuh sakit lagi. Itulah sebabnya kita harus memberikan tempat yang luas bagi karya Roh Kudus yang digambarkan dalam perintah ”janganlah anggap rendah nubuat-nubuat”. (I Tesalonika 5:20) jangan kesampingkan atau jangan pinggirkan pekerjaan-pekerjaan nyata dari Roh Kudus hanya demi suatu kebiasaan yang secara rohani tidak membawa kehidupan yaitu berada dalam keadaan sakit. Namun sikap yang sehat juga diperlukan, karena sikap ekstrim kanan atau ekstrim kiri dalam masalah apapun itu adalah tanda roh yang sakit dan berasal dari roh yang sakit pula . Sikap sehat dan sikap orang sembuh adalah sikap seimbang, sehingga dalam masalah karunia-karunia roh inipun kita diingatkan: ”Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” (I Tesalonika 5:21). Pada pokoknya kita harus hidup dalam gaya hidup orang yang sudah dan sedang mengalami kesembuhan total dalam Kristus, sehingga dalam hal apapun, kita diingatkan “Jauhkanlah dirimu dari segala jenis kejahatan.” (I Tesalonika 5:22). Dan jika kita hidup mengikuti jalan Kristus seperti ini maka kesembuhan itu akan mencapai puncaknya dalam karya Allah yang memberi damai sejahtera untuk “menguduskan kamu seluruhnya dan…..roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita.” (I Tesalonika 5:23). Dan itulah puncak kesembuhan sejati yang akan terima pada Kedatangan Yesus Kristus nanti. Pada saat itulah kita akan tahu bahwa kesembuhan jasmani yang kita alami sekarang ini hanyalah merupakan tanda dan cicipan awal dari sesuatu yang jauh lebih dalam maknanya, yang menerabas sampai kepada kehidupan kekal. Semoga kita selalu memberikan diri kita hidup dalam makna kesembuhan kodrat kemanusiaan kita dalam setiap hal yang kita lakukan. Amin
Bismil Abi, wal Ibni, war Ruhul Quddus, Al-Ilahu Wahid. Amin.
Shaloom Aleikhem Be-Shem Ha-Massiakh,
Saudara-saudari yang Terkasih dalam Kristus, Hari ini dalam sejarah yang sebenarnya adalah Hari Rabu pagi, dan pada pagi hari Rabu itu Yesus diurapi dengan minyak Narwastu murni oleh seorang wanita tuna susila, dirumah Simon si Kusta (Matius 26: 6-13), sementara itu sore harinya Yudas Iskariot mulai berunding dengan para pemimpin Yahudi untuk mengkhianati Sang Kristus (Matius 26:14-15).
Saat itu adalah sibuk-sibuknya semua orang sedang mempersiapkan Hari Raya Paskah yang akan terjadi pada hari Sabtunya. Dalam kidung-kidung untuk memperingati dua peristiwa yang kontras ini dijelaskan bagaimana Yudas Iskariot yang menjadi murid Kristus, karena cintanya akan uang rela menjual gurunya sehingga ia kehialangan nyawanya sendiri dan terhukum masuk neraka, Namun sebaliknya wanita tuna susila sebagai pendosa yang jauh dari Tuhan karena cintanya akan Tuhan, rela membuang miliknya yang berharga untuk dipersembahkan kepada Tuhan bagi mengurapi Sang Kristus, sehingga ia mendapatkan pengampunan dan keselamatan.
Dengan demikian bukan semua orang yang secara lahiriah dekat dengan Kristus itu pasti hatinya dan batinnya sudah murni, banyak yang masih dikotori oleh ketamakan dan cinta akan uang sehingga rela mengorbankan apa yang suci dan mengkhianati kebenaran hanya demi mencapai tujuan-tujuan materi, bendawi, dan duniawi itu saja. Sebaliknya orang yang kelihatan jauh dari Tuham dianggap pendosa, manusia terbuang dan manusia pinggiran justru memiliki hati yang tulus, murni, dan cinta yang mendalam akan Kristus. Yudas adalah contoh manusia yang batinnya masih berpenyakit meskipun kelihatan dekat dengan Sang Penyembuh Batin, namun Wanita Tuna Susila adalah contoh manusia yang menerima kesembuhan batin dan kodrat kemanusiaannya karena ia telah rela memberikan apa yang paling berharga demi Tuhan. Ia telah dibangkitkan dari kematian rohnya untuk mengalami kehidupan baru di dalam Kristus. Mengingat kesembuhan batin yang dialamui oleh Wanita Tuna Susila inilah maka setiap Rabu Kudus itu diperingati dengan Ibadah Pengolesan Minyak Bagi Kesembuhan. Dalam Gereja Barat Roma Katolik, hari Rabu Kudus ini disebut sebagai Hari Rabu Abu, dimana umat akan dioles abu pada keningnya, untuk mengingat bahwa manusia itu berasal dari debu namun kembali menjadi debu. Namun kontras dengan pemahaman Gereja Barat itu, Gereja Timur Orthodox menekankan justru sembuhnya manusia dari kematian, karena meskipun ia berasal dari debu, namun manusia juga dihembusi nafas hidup ilahi (Kejadian 2:7) pada saat penciptaannya, Jadi debu itu dimaksudkan untuk menyatu dengan hidup dan sembuh dari kematian. Apalagi Kristus mati bukan hanya berhenti tergantung di atas Salib, namun bangkit lagi pada hari ketiga, sehingga melalui kebangkitan-Nya kitapun dibangkitkan, Dengan demikian kita disembuhkan dalam kodrat kemanusiaan dan batin kita. Sedangkan ciri khas dari Ibadah Perminyakan Bagi Kesembuhan ini adalah terdapatnya tujuh bacaan dari Injil dan Epistel, untuk melambangkan tujuh Roh Allah, yaitu kesempurnaan dari Karunia Roh Allah yang menyembuhkan itu, karena tujuh adalah lambang kesempurnaan. Untuk itu marilah kita bahas ketujuh bacaan itu.
Bacaan 1: Makna Karunia Kesembuhan (Lukas 10:25-37, Yakobus, 5:10-16)
Dalam bacaan Injil kita yang pertama ini dikisahkan tentang seorang Ahli Taurat yang menanyakan tentang cara memperoleh hidup kekal, yang oleh Yesus diarahkan kepada Taurat yang berbicara tentang hidup kasih kepada Allah dan kepada sesama, yang kasih itu diperintahkan Kristus untuk dijalankan sehingga memperoleh hidup tadi (Lukas 10:25-28). Kasih adalah kodrat hakiki Allah (I Yohanes 4:8), karena sejak kekal Sang Bapa mengasihi Firman-Nya sendiri yang berada dalam hakekat-Nya yang satu itu (Yohanes 17:24), dan kasih yang kekal itu dicurahkan oleh Roh Allah (Roma 5:5), yang kekal itu juga (Ibrani 9:14). Dengan demikian sejak kekal dalam diri Allah yang satu itu ada gerak hidup kasih yang kekal dari Bapa kepada Firman melalui Roh Allah, dan dari Firman kepada Bapa melalui Roh Allah yang sama tadi. Sehingga dalam hakekat Allah yang satu itu ada lingkaran gerak hidup kasih yang kekal, oleh karena itu barangsiapa dalam Kristus menghidupi kasih ini, ia menyatu dalam gerak hidup kekal yang ada di dalam Allah itu, sehingga ia berada dalam hidup kekal Allah itu. Dan hidup dalam kasih itulah jalan dan proses kesembuhan batin dan kodrat kemanusiaan kita. Mengenai siapa sesama manusia yang harus dikasihi itu (Lukas 10:29), Sang Kristus menjawabnya dengan perumpamaan tentang orang yang turun dari Yerusalem karena Yerusalem terletak diatas bukit, lambang Sorga dan tempat tinggi dimana Bait Allah, yaitu kota Allah sendiri berada, menuju ke Yerikho karena itu terletak dilembah yang landai, lambang dunia dibawah ini tempat kehancuran dan kelapukan serta kematian, karena kota Yerikho itu ditetapkan untuk dihancurkan (Yosua 6:1-16), dan jatuh ke tangan penyamun, dirampok, dipukul dan ditinggalkan setengah mati (Lukas 10:30) lambang manusia yang jatuh ke dalam dosa itu telah dirampok iblis dari kesucian dan kehidupannya yang kekal.
Kebetulan ada imam, lambang agama, karena imam adalah yang mengajar tentang Allah kepada umat, dan orang Lewi, lambang filsafat dan ideologi, karena orang Lewi pembantu imam, sebagaimana filsafat sering digunakan untuk membantu agama dan theologi menjelaskan ajarannya. Namun keduanya membiarkan orang yang setengah mati itu (Lukas 10:31-32), lambang agama dan filsafat tak dapat menyembuhkan masalah batin manusia yang terdalam dan tak dapat memulihkan kodrat manusia. Namun orang Samaria, lambang Kristus sebagai yang dianggap orang asing dan tak diterima umat serta berasal dari luar dunia, sebagaimana orang Samaria berasal dari luar komunitas Israel, menuju ke tempat itu, lambang Kristus datang memang untuk manusia, yang tergerak hatinya oleh belas-kasihan (Lukas 10:33), sebagaimana Kristus datang karena kasih Allah (Yohanes 3:16). Orang Samaria itu membalut luka-luka, orang yang setengah mati, lambang Kristus yang oleh kematian dan kebangkitan-Nya telah membalut yaitu memulihkan luka-luka kodrat kemanusiaan kita. Menyiraminya dengan minyak dan anggur, lambang dikaruniakannya Roh Allah dan karunia Pengampunan Dosa akibat Korban Darah Kristus sebagai obat yang menyembuhkan luka-luka kodrat kemanusiaan kita. Lalu menaikkannya ke atas keledai tunggangannya, lambang panunggalan kita dengan kemanusiaan Kristus sendiri, karena Kristus sebagai Firman Allah yang berasal dari sorga menampakkan diri dalam turun-Nya itu dengan “menunggang” atau “mengenakan” kemanusiaan”, dan orang Samaria itu membawanya ke tempat penginapan untuk merawatnya, lambang Gereja sebagai tempat merawat orang yang sakit dalam roh, “Gereja sebagai Rumah Sakit bagi orang-orang berdosa” (Lukas 10:34). Kepada pemilik penginapan, yaitu para pelayan Gereja Kristus, diserahkan dua dinar, yaitu dua jenis karunia: Kitab Suci dan Tradisi, atau Sabda dan Sakramen, atau Ajaran dan Kehidupan Gereja. Melalui dua karunia inilah Gereja merawat umat, dan para pelayan Gereja itu yang harus membelanjakan karunia itu bagi keperluan perawatan orang-orang berdosa itu, sehingga kalau Kristus datang lagi mereka akan menerima upahnya (Lukas 10:35). Demikianlah Gereja, artinya kita semua, harus menjadi sesama manusia bagi orang lain yang membutuhkan, dengan jalan menunjukkan belas-kasihan seperti Kristuspun telah menunjukkan belas-kasihan (Lukas 10:36-37).
Dalam menyatakan belas-kasihan Kristus itulah, Gereja, dengan karunia yang diberikan kepadanya melalui Roh Kudus,melaksanakan kuasa kesembuhan Kristus yang tetap berlaku sampai kapanpun itu melalui Penumpangan Tangan, Perminyakan Kudus dan Doa, karena Kristus menjanjikan: ”Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, ……….mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh." (Markus 16:17-18), serta para murid Kristus juga melaksanakan kesembuhan itu dengan pernyataan Kitab Suci sebagai berikut: ”dan mereka mengusir banyak setan, dan mengoles banyak orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka.” (Markus 6:13).Janji Kristus dan praktek Rasuliah inilah yang tetap dilaksanakan dalam Gereja Orthodox, untuk membuktikan bahwa Gereja memang tetap memiliki kuasa Kristus untuk menyembuhkan bukan saja tubuh namun yang lebih dalam lagi adalah kodrat kemanusiaan dan batin kita yang terdalam. Sebagaimana diajarkan oleh bacaan Rasuliah kita saat ini “Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.” (Yakobus 5:14-16). Karena ayat-ayat diatas itu menunjukkan bahwa melalui pengolesan minyak dalam iman itu bukan saja, tubuh yang sakit itu disembuhkan dan dibangunkan, namun juga dosanya akan diampuni. Padahal dosa itu adalah masalah rohani, berarti kesembuhan tubuh itu bukanlah tujuan utamanya, namun kesembuhan roh dan batin. Dengan demikian dalam Gerejalah proses pembaharuan kodrat dan penyembuhan batin itu terjadi. Itulah sebabnya ketika orang beriman itu mengalami derita dan sakit, ia harus meneladani penderitaan dan kesabaran para nabi, serta bertekun seperti Ayub (Yakub 5:10-11), sambil tetap memiliki kejujuran dalam hati, dan dalam derita selalu berdoa dan pasrah kepada Allah (Yakobus 5:12-13). Marilah kita lanjutkan dengan bahasan kita lebih dalam lagi dalam bacaan kedua.
Bacaan 2: Gereja Sebagai Lingkup Kesembuhan Roh-Manusia (Lukas 19:1-10, Roma 15:1-7)
Bacaan kita yang kedua ini menceritakan tentang masuknya Yesus ke Yerikho, dan bertemu dengan Zakheus seorang pemungut cukai kaya yang berbadan pendek (Lukas 19:1-3). Yerikho adalah lambang dunia dimana manusia berdosa (Zakheus) yang memiliki segala harta duniawi (kaya), tetapi tak mampu melihat yang ilahi (tak mampu melihat Firman Allah yang Menjadi Manusia: Yesus, karena pendek) itu berada. Namun ia berusaha dengan segala cara untuk mendahului orang-orang lain, sehingga Yesus melihatnya dan menyapanya serta ingin tinggal dirumahnya, dan ia menerima Yesus dengan sukacita (Lukas 19:4-6) . Tadi kita sudah melihat bahwa dosa dan penyakit itu saling berkait, dan orang yang berdosa adalah orang yang sakit dalam roh, batin dan kodrat kemanusiaannya. Zakheus adalah seorang berdosa. Ia menjadi perampok atas harta milik teman sebangsanya, karena sebagai pemungut cukai pekerjaannya adalah memeras dan merampas milik orang lain secara tidak sah, Makin banyak ia merampas, makin banyak upeti yang ia berikan pada pemerintah Romawi, maka makin banyak ia mendapatkan bagian uang dari pemerintah penjajah. Ia tidak memiliki rasa belas-kasihan karena batinnya memang berpenyakitan. Ia menyadari bahwa dirinya dibenci banyak orang, Ia menjadi orang pinggiran yang terbuang, meskipun ia mempunyai segala kekayaan. Ia sadar akan keadaan dirinya itu dan ia merasa tidak puas dengan keadaannya, oleh karena itu ia berusaha mencari kesembuhan bagi rohnya itu dengan segala upaya dan daya, sampai akhirnya Yesus mengenali dia secara pribadi, bukan sekedar sejumlah angka dari banyaknya orang yang berbondong-bondong itu, dengan menyebut namanya ”Zakheus!!!!!”.
Di luar Yesus Zakheus hanya mendapatkan penolakan dan marjinalisasi, namun di dalam Yesus ia menerima pengakuan dan penerimaan secara pribadi. Didalam Yesus inilah Zakheus mulai mendapatkan penyembuhannya. Karena dengan diterima dalam rangkulan cinta dan belas-kasihan ilahi, batinnya yang kosong, dingin, gelap dan kaku mulai mencair. Batinnya yang mati mulai menjadi hidup. Manusia biasa tak dapat menerima bahwa Yang Ilahi dalam wujud Sabda-Nya yang menjadi manusia: Yesus, dapat menerima orang berdosa apa adanya, mereka bersungut akan penerimaan Yang Ilahi atas manusia berdosa itu (Lukas 19:7). Namun justru untuk maksud menerima manusia yang secara batin berpenyakitan dan secara roh menderita sakit dan mati kaku seperti inilah tujuan Sabda Allah diturunkan ke dalam dunia menjadi manusia itu. Lihatlah bagaimana batin itu mulai sembuh dan mencair hangat dengan cinta, ketika mulai disentuh oleh Sang Kristus itu: “Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat." (Lukas 19:8). Alangkah radikalnya perubahan itu, dari merampas, merampok dan mencuri sekarang hendak memberi setengah dari miliknya, dari memeras dan menekan orang miskin sekarang hendak mengembalikan empat kali lipat. Inilah tandanya batin yang mulai sembuh, roh yang mulai mencair dari kekakuan mati dalam dosa. Roh yang dingin dan kaku mati itu sekarang mencair hangat penuh dengan cinta kepada sesama. Itulah awal “keselamatan”. Dan disitulah Zakheus mulai diakui sebagai “anak Abraham”, karena batinnya mulai tersentuh oleh realita ilahi dan kebenaran rohani (Lukas 19:9). Karena memang ”Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Lukas 19:10).
Gereja sebagai tubuh Kristus adalah merupakan perpanjangan hadirat dan karya Kristus di dalam dunia ini. Ibadah pengolesan minyak, ini jangan hanya sekedar dijadikan sebagai sarana magis dan takhayul, dan jangan disamakan dengan upacara perdukunan. Bukan demikian. Tidak ada Sakramen bersifat magis dalam Gereja Orthodox. Karena kesembuhan yang diajarkan bukanlah hanya untuk mencari kesembuhan jasmani saja. Biarpun kita sembuh sementara, toh sesudah itu kita juga akan sakit lagi dan suatu saat nanti bahkan akan mati. Lihatlah Zakheus itu, ia tidak sakit secara fisik, namun rohnya sakit, batinnya sakit. Oleh karena itu ia datang kepada Yesus, dan disembuhkan melalui “penerimaan”. Kitapun yang setiap Rabu Kudus merayakan Ibadah Pengolesan Minyak ini, harus melihat makna yang lebih dalam dari kesembuhan, yaitu kesembuhan dalam roh dan dalam batin. Karena “penerimaan” dan “pengakuan” adalah sudah merupakan proses kesembuhan roh dan batin, kitapun sebagai Gereja diperintahkan untuk “wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat” seperti Yesus yang kuat itu menanggung kelemahan Zakheus yang secara batin dan moral itu tidak kuat dan lemah. Dan dengan demikian kita diperintahkan untuk “jangan kita mencari kesenangan kita sendiri “(Roma 15:1), serta “harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya.” (Roma 15:2), ini disebabkan “Karena Kristus juga tidak mencari kesenangan-Nya sendiri” (Roma 15:3). Sehingga Ia tidak perduli orang banyak bersungut-sungut karena penerimaan-Nya atas Zakheus, karena memang Ia tidak mencari kesenangan-Nya sendiri agar disenangi orang, namun Ia mencari yang hilang dan kesenangan Zakheus bagi perubahan hidupnya.
Gereja adalah “Rumah Sakit Bagi Orang Berdosa”, maka agar Gereja sesuai dengan hakekat dan tugasnya, maka Gereja harus mau dan wajib untuk menerima orang-orang yang sakit dalam roh ini, dan mencari mereka, dan mau untuk saling meanggung kelemahan satu dengan yang lain, agar terdapat kesembuhan ilahi disitu dalam batin dan roh dari setiap orang yang datang dalam komunitas bersama tadi. Dengan selalu berpegang pada ajaran Kitab Suci, Gereja harus melakukan tugas kewajiban untuk saling menerima dan saling menyenangkan satu sama lain ini dengan “teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci.” (Roma 15:4), karena “segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita” (Roma 15:4). Dengan selalu bertekad menjalankan kewajiban saling menanggung dan saling menerima, serta saling memperhatikan dan mempedulikan sebagai bentuk proses kesembuhan batin itu, maka rahmat Allah akan diturunkan dalam wujud “kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus” (Roma 15:5), akibatnya kita memiliki komunitas yang sehat, bebas dari segala kebencian, saling menyalahkan, saling mengiri, saling gosip, saling menyenangkan diri sendiri, sebaliknya kita menjadi komunitas yang sembuh dari itu semua dalam wujud sikap “satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus” (Roma 15:6),tidak mau dipecah-belah dan dikocar-kacirkan orang dalam maupun orang luar dalam bentuk apapun. Kita menjadi satu keluarga yang meneladani Kristus menerima orang berdosa, sehingga dengan taat kita mengaminkan perintah: ”terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (Roma 15:7). Mari kita terima setiap orang yang datang ke kumpulan kita, dan mari kita tetap dengan giat mencari semua orang yang terhilang diluar sana untuk kita bawa masuk dalam kekeluargaan Gereja kita untuk kita terima, dan kita tanggung dalam kasih. Semua curiga harus dimusnahkan, semua gosip harus dihentikan, semua kepentingan diri sendiri harus dilenyapkan, semua untuk Kristus, dari Kristus. melalui Kristus, oleh Kristus, demi Kristus bagi kepentingan sesama, bagi kemuliaan Allah. Mengapa Gereja sebagai paguyuban atau komunitas orang beriman wajib saling menanggung dan saling menerima dalam keramahan atas kelemahan satu sama lain itu? marilah kita lanjutkan dengan bacaan kita yang ketiga, agar makin mendalam pemahaman kita tentang makna Ibadah Pengolesan Minyak Rabu Kudus ini.
Bacaan 3: Karunia-Karunia Roh Kudus dalam Gereja (Matius 10:1, 5-8, I Korintus 12:27-31 dan 13:1-8)
Oleh Baptisan kita semua telah dimanunggalkan dalam kematian dan kebangkitan Kristus (Roma 6:3-4), sehingga kita semua menyatu dalam “Tubuh Kemuliaan” Kristus yang hanya satu dan berada di Sorga itu, dan dengan demikian karena kita masing-masing ini berjumlah banyak, padahal baptisan membuat kita manunggal kepada Tubuh Kristus yang hanya satu itu, maka kita sekarang menjadi Satu Tubuh, dang masing-masing kita menjadi salah satu anggota dari Tubuh Kristus yang satu itu. Jadi kita semua secara bersama adalah “Tubuh Kristus”, namun kita masing-masing pribadi per pribadi adalah “Anggota’ dari Tubuh Kristus yang satu tadi (I Korintus 12:27). Dengan demikian kita secara bersama sebagai Tubuh Krisytus, yaitu Gereja, menjadi manifestasi kehadiran Kristus di bumi ini. Itulah sebabnya Gereja mempunyai kewajiban untuk menyatakan Kristus, Pribadi-Nya melalui Ibadah yang kita haturkan pada-Nya, Ajaran-Nya melalui pengajaran, khotbah, dan penginjilan bagi Nama-Nya. Karya-Nya melalui karya cinta-kasih yang kita lakukan bagi Nama-Nya, Kuasa-Nya melalui karunia-karunia yang berkarya ditengah-tengah kita oleh kuasa Roh Kudus. Namun kewajiban dan tugas dari Tubuh yang Satu itu, harus dilaksanakan oleh orang per orang, pribadi per pribadi, yaitu oleh masing-masing anggotanya.
Itulah sebabnya dalam Gereja tak mungkin semua pekerjaan dilakukan oleh satu orang, dua orang, atau beberapa orang yang aktif saja. Tidak demikian, namun harus dilakukan secara serentak bersama, dengan masing-masing memiliki tugas, tanggung jawab, karunia, dan kewajiban, dalam kesatuan dengan rohaniwan sebagai “Bapak/Romo”. atau “Pemimpin sebagai Wakil dari Umat” yang ditunjuknya. Itulah sebabnya dalam Tubuh Kristus yang satu, yaitu Gereja/Jemaat itu, “Allah telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani, untuk memimpin, dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh” (I Korintus 12:28). Ayat ini menunjukkan bahwa tidak semua orang mempunyai tugas dan karunia yang sama. Karena hanya “beberapa orang” saja yang menerima karunia “rasul”, yaitu sebagai pemberita dan pengajar Injil sekaligus penanam komunitas Gereja-Gereja Baru, “nabi” yaitu mereka yang menyampaikan kehendak Allah sesuai dengan ilham yang tegas dari Roh Kudus, “pengajar” yaitu mereka yang memberi pertumbuhan dalam komunitas Gereja melalui pengajaran-pengajaran Firman Allah, baik Presbiter maupun orang awam yang mampu telah dilatih dengan sungguh, memiliki hidup yang benar serta rendah hati, serta membawa dampak yang baik bagi segenap umat, dan yang telah ditunjuk oleh Presbiter untuk membantunya. Ini semua termasuk karunia pertumbuhan kehidupan komunitas Gereja. Namun juga ada gerak karya keluar dari Gereja yang dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk umat yang mendapatkan karunia ini: “mengadakan mukjizat”, “menyembuhkan”, “melayani”, “memimpin”, yaitu memimpin kelompok-kelompok yang ada dalam komunitas Gereja, serta “berkata-kata dalam bahasa roh”. Karunia-karunia semacam ini menunjukkan bahwa segenap anggota Tubuh Kristus tidak diizinkan untuk malas dan menyerahkan kehidupan Gereja hanya pada orang-orang tertentu yang hanya “itu-itu saja”, semuanya harus berkarya dan bergerak. Hanya memang tidak semua dapat mendapatkan karunia semuanya sekaligus, dan tak pula satu karunia tertentu, misalnya “bahasa roh” itu ditekankan harus dimiliki oleh semua orang (I Korintus 12: 29-30).
Karunia-karunia Roh Kudus ini diberikan kepada Gereja, karena Gereja adalah Sakramen Kehadiran Kristus di dunia sehingga ia harus memiliki kuasa-kuasa seperti Kepala-nya yang duduk di sebelah kanan Allah di Sorga, waktu Ia berkarya di bumi ini, serta Gereja adalah sebagai kesinambungan karya para Rasul, yang kepada para Rasul itu Sang Kristus “memberi kuasa kepada mereka untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan” (Matius 10:1). Namun para Rasul dikala menerima perintah ini dibatasi karya-Nya hanya untuk Israel saja, tidak boleh untuk yang lain (Matius 10:5-6), karena harus menunggu selesainya karya Kristus, melalui kebangkitan, dimana sesudah itu mereka diperintahkan untuk menjadikan semua bangsa murid-murid Kristus (Matius 28: 19-20). Dan kita sebagai pelanjut para Rasul yang hidup sesudah Kebangkitan Kristus tak memiliki batasan itu lagi, sehingga kita harus melanjutkan tugas mereka secara tanpa batas, yaitu “pergi dan memberitakan Kerajaan sorga” (Matius 10:7), dan dalam “pemberitaan” itu kita harus menggunakan kuasa-kuasa Kristus yaitu “sembuhkan orang sakit”, dan kalau dikehendaki Allah dan ada tujuan khusus untuk itu juga “bangkitkan orang mati”, serta tahirkan orang kusta”, serta “ mengusir setan-setan”, tanpa meminta bayaran dan tanpa mengharapkan upah, karena itu semua adalah demi pemberitaan Nama Kristus saja (Matius 10:7-8). Kita semua mempunyai potensi untuk menerima karunia-karunia ini. Untuk mengetahui bahwa kita menerima karunia itu atau tidak, kita harus praktekkan. Mulai saja mengunjungi orang sakit dan tumpangkan tangan dengan pada mereka dengan iman yang sungguh, kalau karunia itu ada pada saudara pasti orang itu akan sembuh.
Jadi tidak usah tanya-tanya apakah Anda punya karunia atau tidak, bertindaklah dahulu, maka buktinya akan kelihatan. Kontaklah Romo atau “Pemimpin sebagai dari Wakil Umat” yang ditunjuk Romo untuk mengelola komunitas setempat apa yang akan saudara lakukan, atau sesudah selesai pelayanan saudara itu, karena mereka yang saudara layani itu pada akhirnya harus dibawa ke dalam komunitas Gereja, untuk pelayanan dan perkembangan dan pertumbuhan lebih lanjut. Namun agar karunia-karunia tadi tidak liar dan tetap dalam jalur yang seharusnya, serta seimbang dengan makna hakiki dari tujuan karunia-karunia itu diberikan kepada Gereja, maka kita harus berusaha “untuk memperoleh karunia-karunia yang paling utama” serta mengikuti “jalan yang lebih utama” (I Korintus 12:31), yaitu “jalan kasih”, seperti yang telah diajarkan Yesus sendiri dalam bacaan pertama kita tadi. Karena kasih keluar dari “hati” dan “batin” yang terdalam. Dan barangsiapa mengasihi berarti telah menerima kesembuhan batin yang terdalam itu. Jadi semua karunia-karunia itu hanya langkah awal untuk menuju kepada pembaharuan roh dan kesembuhan kodrat kemanusiaan kita. Sebab tanpa kasih semua karunia-karunia roh (berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, bernubuat, mengetahui segala rahasia, memiliki seluruh pengetahuan, memiliki iman yang daopat memindah gunung) itu sama kumandang gong dan gemerincing canang, artinya “sama sekali tidak berguna” (I Korintus 13:1-2), Bahkan karunia “membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku” dan karunia menjadi martir dengan “menyerahkan tubuhku untuk dibakar” itupun tidak ada faedahnya jika tanpa kasih dan tidak menuntun pada kasih ( I Korintus 13:3). Jadi karunia-karunia Roh Kudus itu bukan akhir pada dirinya sendiri dalam Gereja, itu tidak mempunyai nilai kekal, sebab “nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.” ( I Korintus 13:8), hanya “Kasih tidak berkesudahan” (I Korintus 13:8), karunia kasih itu adalah hakikat hidup kekal yang ada dalam Allah sendiri, sebagaiman yang telah kita bahas pada bacaan kita pertama tadi. Jadi kehidupan akhlak, dan moral sebagai wujud manifestasi kasih itulah yang harus muncul dan keluar dari kita semua sebagai Gereja.
Karunia-karunia Roh yang harus kita praktekkan itu haruslah diimbangi dengan kasih serta harus membuahkan kasih, serta menuntun kepada kasih yang bentuk kongkritnya adalah “sabar”, “murah hati”, “tidak cemburu”, “tidak memegahkan diri”, “tidak sombong”, “tidak melakukan yang tidak sopan”, “tidak mencari keuntungan diri sendiri”, “tidak pemarah”, “tidak menyimpan kesalahan orang lain”, “tidak bersukacita karena ketidak adilan, tetapi karena kebenaran”, “menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (I Korintus 13:4-7). Semua sifat-sifat dan tindakan akhlak yang muncul sebagai manifestasi kasih ini keluar dari batin dan hati, dan hanya batin dan hati yang telah mengalami kesembuhan saja dapat memunculkan semua sifat-sifat ini. Karena hati yang pemarah, pencemburu, yang memegahkan diri dan sombong serta sifat-sifat yang lain yang negatif, itu adalah penyakit hati dan batin, dan mereka yang tetrap dalam keadaan yang demikian pertanda ia masih sakit dan belum sembuh. Jadi adanya karunia-karunia Roh Kudus dalam Gereja harus diimbangi dengan pemahaman yang benar mengenai tujuan dari karunia-karunia tadi diberikan, dan harus selalu mengingatkan kita tentang pentingnya “jalan utama” yang harus kita tempuh, bagi kesembuhan kemanusiaan dan roh kita itu. Orthodoxia bukanlah sistem dogma ataupun ideologi, namun therapi atau jalan kesembuhan bagi kodrat kemanusiaan kita. Marilah kita dalami lebih lanjut makna daripada Ibadah Pengolesan Minyak ini dalam bacaan kita yang keempat.
Bacaan 4: Makna Penyakit dan Kelemahan Tubuh bagi Iman (Matius 8:14-23, II Korintus 1:8-11)
Memahami makna karunia-karunia Roh Kudus sebagai sarana mencapai tugas Gereja sebagai “Rumah Sakit bagi Orang Berdosa”, akhirnya kita disadarkan bahwa kesembuhan tubuh jasmani itu meskipun penting, namun bukan akhir puncak yang kita harapkan. Kesembuhan puncak dari tubuh jasmani adalah ketika tubuh jasmani ini dilepaskan dari kelapukan dan kematian pada saat kebangkitan. Semua kesembuhan yang kita alami sekarang, baik secara kedokteran, secara obat-obatan tradisional maupun secara mukjizat oleh karena doa, sifatnya semuanya sementara. Itulah sebabnya kita harus mengerti bahwa tidak ada obat atau mukjizat yang dapat menyembuhkan secara mutlak semua penyakit, dan penyakit itu akan selalau mendatangi kita, termasuk juga kelemahan-kelemahan tubuh. Oleh karena itu kita harus mengerti secara jelas bagaimana cara kita menyikapi penyakit dan kelemahan tubuh itu pada saat hal itu mendatangi kita, sehingga kita dapat mengambil sikap spiritual atasnya, dan kelemahan serta penyakit tubuh itu juga jadi sarana pengembangan batin sebagai salah satu bentuk dari proses kesembuhan batin. Dengan demikian pada saat sakit kita dapat menambil sikap tabah, dan tawakal, dan tidak jatuh dari iman menuju kepada perdukunan atau penghujatan akan kebenaran, dan mencari pembenaran akan kesesatan yang kita pilih.
Dalam bacaan Injil kita yang keempat ini, dikisahkan tentang kunjungan Sang Kristus di rumah Petrus yang bertemu dengan ibu-mertua Petrus yang sakit demam (Matius 8:14) yang oleh jamahan Kristus demamnya hilang dan langsung bangkit untuk melayani (Matius 8:15). Akibat dari peristiwa ini, menjelang malam banyak orang yang kerasukan setan dan yang menderita sakit disembuhkan oleh Yesus hanya dengan ucapan sabda-Nya saja yang penuh kuasa itu (Matius 8:16). Karya kesembuhan yang dilakukan Yesus ini dinyatakan sebagai penggenapan dari nubuat Nabi Yesaya mengenai tugas Mesias bahwa Ia yang “memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita” (Matius 8:17). Ini menunjukkan bahwa kesembuhan yang dilakukan Kristus itu pertama untuk membuktikan bahwa kedatangan-Nya adalah untuk menghancurkan kuasa Setan, dan kedua adalah untuk melepaskan manusia dari kungkungan gejala kematian sebagai akibat dosa yaitu sakit. Dalam tubuh kemanusiaan yang dikenakan-Nya terutama dalam penyaliban-Nya Ia telah memikul kelemahan kita baik secara jasmani maupun secara rohani serta menanggung penyakit kita dengan derita kesakitan yang dirasakan dalam sengsara penyaliban itu. Sehingga sakit kita dan kelemahan tubuh kita itu sudah dimanunggalkan dalam karya penebusan-Nya sendiri. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa penyakit itu dan kelemahan tubuh itu bukan suatu kekuatan menyakitkan yang tanpa makna, namun sebagai sarana untuk manunggal dengan Allah melalui Sabda-Nya yang menjelma itu, karena Sabda yang menjelma itu sendiri itu telah menyatukan derita dan sakit kita dengan diri-Nya sndiri. Sehingga derita dan kelemahan tubuh serta penyakit yang kita sandang bila diterima dengan iman dapat menjadi sarana peningkatan batin ini kepada Allah, karena ternyata kesengsaraan, derita Kristen, sakit yang dialami orang Kristen, kelemahan tubuh yang diderita orang Kristen, itu tidak berada diluar perhatian Allah.
Orang banyak di kala itu memang belum dapat melihat makna yang lebih dalam dari karya Kristus mengusir setan dan menyembuhkan penyakit ini, mereka hanya mengelilingi Kristus karena rasa ingin tahu saja, itulah sebabnya Kristus meninggalkan mereka bertolak ke seberang (Matius 8:18). Di dalam Yesus Kristus kesengsaraan dan penderitaan jasmaniah itu justru bukan tanda kutukan ataupun tanda ditinggalkan Allah, namun itu tanda penyatuan juga dengan derita Kristus sendiri. Sehingga pada waktu kita sakit dan disembuhkan kita dapat mengucapkan syukur karena karunia kesembuhan itu, namun juga jika kita tidak disembuhkan kita juga tetap dapat bersyukur karena justru dalam kelemahan itu kekuatan batin dimunculkan, ketabahan dikaruniakan, dan tawakal ditambahkan. Sehingga sebagai manusia kadang-kadang menghadapi penyakit dan kelemahan tubuh itu kita mungkin juga merasa bahwa “penderitaan yang kami” itu sebagai “Beban yang ditanggungkan” dan rasanya “begitu besar dan begitu berat” sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. (II Korintus 1:18). Sebagai manusia, perasaan yang demikian itu memang wajar dan normal. Namun di dalam Kristus perasaan yang normal dan wajar dapat diangkat menjadi sarana meningkatkan kekuatan batin, dengan mengaitkan semua derita, sakit dan kelemahan tubuh itu dengan derita, sakit, dan kelemahan tubuh yang diderita Kristus ketika Ia harus menanggung kesengsaraan dan penderitaan Kristus diatas Salib itu, sehingga Salib memberikan makna baru dalam setiap penyakit dan kesakitan yang kita derita. Itu memberikan makna yang adi kodrati yang bukan hanya sekedar wajar dan normal saja, namun itu menjadikan kesakitan sebagai penegalaman luar biasa dalam pengenalan kita akan kasih-karunia Allah. Itulah sebabnya ketika seorang ahli-Taurat ingin mengikut Yesus “kemana saja Engkau pergi” (Matius 8:19), langsung Kristus memberitahu harga yang harus dibayar dalam pemuridan kepada Yesus seperti itu, yang si ahli Taurat itu sendiri belum mengertinya. Dan harga yang harus dibayar itu adalah kerelaan untuk hidup sederhana dan menderita secara materi dan secara jasmani, karena mengikut Yesus itu masih untung seekor serigala yang masih mempunyai liang”, dan masih untuk burung yang “mempunyai sarang”, namun Sang Kristus sendiri “tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (Matius 8:20), artinya Ia tidak menjanjikan apapun secara materi yang mengenakkan. Itulah harga yang harus dibayar kalau memang mau mengikut Yesus Kristus.
Bahkan bagimereka yang sungguh-sungguh total menjalankan kehendak Kristus sering “merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati” (II Korintus 1:9), tentu saja tujuannya bukan membuat supaya kita putus, tertekan, bingung dan ketakutan, namun dengan diizinkan secara materi kita tidak diuntungkan agar kita dapat melihat bahwa benda materi itu tak bersifat kekal, serta hal-hal materi itu semuanya sementara, dan segala sesuatu yang berasal dari materi ini akan lenyap, hanya Allah saja yang kekal dan konstan, akibatnya “supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati” (II Korintus 1:9). Pikiran dan keyakinan kita diangkat ke atas, kepada Allah, ketika kita diizinkan untuk mengalami beban berat yang membuat putus, kesakitan yang mungkin hampir membuat kematian, jika kita melihat Kristus yang telah mati dan bangkit. Karena itu berarti Allah yang kita imani dalam Kristus itu adalah “Allah yang membangkitkan orang mati”. Artinya jika kematian sebagai tujuan akhir dan puncak akibat sakit saja Allah dapat melenyapkan melalui kuasa-Nya membangkitkan orang mati, yang sudah terbukti dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, maka apakah sukarnya bagi Dia, untuk melenyapkan penyakit, kelemahan dan derita tubuh yang sedang aku hadapi ini. Sehingga jikalaupun deritaku tidak pernah lenyap, serta penyakit tak pernah sembuh itu bukan berarti Allah tidak mampu untuk menyembuhkan, namun Allah menghormati kita dengan jalan membiarkan kita untuk ikut merasakan derita dan kesakitan Yesus Kristus, sehingga pada saat yang demikian, kita tak melihat derita dan sakit itu pada dirinya sendiri, namun kita melihatnya dalam kacamata derita dan kesakitan Yesus Kristus diatas kayu Salib. Sehingga dalam sakit dan derita kita diberi kesempatan merenungkan kebenaran dan kasih Allah dan manunggal kepada Kristus dalam Derita dan sakit-Nya. Sehingga derita kesakitan manusia yang percaya kepada Kristus menjadi derita yang menyatukan dengan rencana ilahi sendiri.
Derita Kristen menjadi jembatan untuk meraih panungggalan dengan Allah. Dengan kesadaran seperti inilah maka suatu kekuatan harapan yang luar biasa akan meledak dari dalam dada kita ini. Untuk itulah ketika “salah seorang murid-Nya” memohon “izin pergi dahulu menguburkan ayahnya” (Matius 8:21), Kristus tidak mengijinkan. Ini tak berarti Kristus mengajar orang tak boleh memberi hormat terakhir kepada orangtuanya, tak pula ini berarti Kristus mengajar anak untuk tidak berbakti kepada orangtua. Itu bukan demikian. Namun menunjukkan kedaruratan panggilan untuk hidup dengan Kristus, yang harus rela untuk menganggap bukan hanya yang mati itu memang sudah mati, namun bahkan yang hidup di luar Kristus itu adalah juga orang mati, artinya “orang-orang mati” yaitu orang-orang di kampung halaman sang murid yang berada diluar Kristus, itu biarkan mereka saja yang menguburkan orang-orang mereka mati (Matius 8:22). Jadi fokusnya bukan pada tak diizinkannya untuk menguburkan bapaknya yang mati itu, namun bagaimana harus menganggap bahwa satu-satunya yang mendesak untuk dilakukan adalah mendengar panggilan Kristus “Ikutlah aku”, dan rela menganggap segala sesuatu yang tak ada kaitannya dengan panggilan mengikut Dia itu adalah hal yang mati, dan hal yang membawa kematian, dan bukan kehidupan. Dengan demikian arah pusat dari perhatian adalah memenuhi panggilan Kristus itu tanpa menoleh ke kanan dan kiri ataupun berbalik kemanapun, hanya ada satu jalan maju terus ke depan. Ini berarti bahwa biarpun hati itu sakit, sedih dan berduka secara mendalam, namun dukacita mendalam akibat kehilangan bapak itu harus dilihat dalam kacamata panggilan mengikut Kristus itu. Bahwa ia harus rela menganggap dukacita itu adalah sesuatu yang harus dipahami sebagai sesuatu yang mati, karena hanya Kristus saja yang hidup, Dengan demikian hal-hal yang mati, dukacita duniawi karena kematian orang tua, atau dukacita duniawi karena masalah duniawi lainnya, dukacita dan kesulitan duniawi baik secara fisik maupun secara mental dan secara emosi itu, harus dapat ditanggung dan dianggap sebagai hal-hal yang mati, serta ditafsirkan serta dipahami dalam makna derita sebagai dampak dalam mengikut Yesus Kristus. Dengan demikian kita dibebaskan dari kengerian maut. Ketika melihat bahwa segala sesuatu yang bukan Kristus jika itu dijadikan sebagai sesuatu yang mutlak adalah merupakan kematian yang ngeri. Sehingga kita dapat dibebaskan dan diselamatkan dari kekuatan kematian yang ngeri itu, dengan demikian harapan kita tak lagi pada dunia ini karena dunia ini hanya menyebarkan bau kematian, namun hanya pada Allah saja, sebagaimana dikatakan: ”Dari kematian yang begitu ngeri Ia telah dan akan menyelamatkan kami: kepada-Nya kami menaruh pengharapan kami, bahwa Ia akan menyelamatkan kami lagi” (II Korintus 1:10). Disitulah kita dibebaskan dari rasa ngeri, takut, dan khawatir akan bau kematian yang tersebar di sekeliling kita ini, dan mengubahnya sebagai bau keharuman Kristus yang mendatangkan kehidupan melalui kematian, mendatangkan kebangkitan melalui penguburan. Sehingga kita tak lagi menaruh harapan pada apapun yanh dijanjikan dunia, karena semuanya itu menuntun kepada kematian, namun hanya menaruh harapan kepada Allah, dimana bahkan kelemahan, kesakitan, derita, kesakitan, bahkan kematian itu sendiri diubah menjadi sarana kehidupan dan keselamatan. Dan inilah sebenarnya proses pengobatan dan kesembuhan yang sebenarnya dan menjadikan kita tabah menghadapi serangan detrita dan kesakitan. Itulah sebabnya apapun yang dikehendaki Allah dalam hidup kita, biarpun sulit kita akan selalu mengikuti-Nya, sama juga seperti para murid dikala itu kemanapun Yesus pergi mereka selalu mengikuti-Nya, bahkan ketika “Yesus naik ke dalam perahu” itu juga “murid-murid-Nya pun mengikuti-Nya” (Matius 8:23). Karena derita dan sakit serta kesulitan ini adalah merupakan panggilan dalam peningkatan batin kita dalam kemanusiaan kita yang baru itu, bagi kesembuhan dari kodrat kemanusiaan yang lama, padahal Gereja adalah lingkup dari proses kesembuhan itu, maka kekuatan untuk dapat melihat segala derita yang kita hadapi harus kita hadapi dengan dukungan dari persekutuan dengan segenap saudara lainnya dalam doa, sebagaimana yang dinyatakan:”karena kamu juga turut membantu mendoakan kami” , dan ini adalah tanda penerimaan dan tanda keperduliaan kita satu sama lain, sama halnya seperti yang telah kita bahas mengenai kasus Zakheus dalam bacaan kita yang kedua tadi.
Itulah sebabnya mengapa dalam komunitas Gereja itu perlu adanya kelompok-kelompok doa yang serius, agar dengan demikian proses kesembuhan batin itu akan menjadi suatu realita . Dan itu akan berakibat “banyak orang mengucap syukur atas karunia yang kami peroleh berkat banyaknya doa mereka untuk kami.” (II Korintus 1:11), dengan demikian yang menerima karunia pertolongan dari Tuhan dari derita dan kesulitannya akibat doa saudara-saudara yang lain mengucap syukur, dan yang mendoakan juga ikut bersyukur karena menyadari bahwa doa mereka dijawab. Disitulah satu saling mengisi yang lain, sehingga dalam Gereja itulah kasih karunia Allah nampak berlimpah-limpah melalui persekutuan kasih dan doa antara anggota yang satu dengan yang lain. Sehingga harapan kepada Allah makin diperkuat, dan kuasa kehidupan makin nampak, dan kuasa kematian justru menjadi sarana proses kesembuhan menuju kepada hidup yang sejati. Demikianlah Ibadah Pengolesan Minyak itu mempunyai makna yang jauh lebih mendalam lagi ketika itu kita lihat dalam makna yang sebenarnya, bukan hanya dari kebutuhan insan agar sembuh dari penyakit jasmani saja. Itulah sebabnya mengapa dalam Ibadah Pengolesan Minyak ini, bukan hanya orang-orang yang secara terang-terangan memang sakit, namun juga yang tidak sakitpun maju, karena kesembuhan yang dimaksud adalah jauh lebih dalam daripada hanya sekedar sakit secara fisik saja. Untuk itu marilah kita lanjutkan mendalami lebih jauh makna Ibadah Pengolesan Minyak ini dalam bacaan berikutnya.
Bacaan 5: Kesiap-siagaan & Kewaspadaan Batin sebagai jalan Kesembuhan Roh-Manusia (Matius 25:1-13, Galatia 5:22-6:3)
Dalam bacaan kita selanjutnya ini Sang Kristus mengajarkan tentang perumpamaan “Kerajaan Sorga” yaitu proses berkembangnya rencana keselamatan Allah yang sudah dimulai dengan Kematian dan Kebangkitan Kristus dan yang tetap berlangsung dalam kehidupan Gereja-Nya. Dan proses bertumbuh dan berkembangnya serta penerapan dari prinsip Kerajaan Sorga itu diumpamakan sebagai “sepuluh gadis”, lambang dari kegenapan jiwa manusia, karena sepuluh itu angka genap dan “gadis” itu lambang jiwa manusia dan Gereja secara keseluruhan dalam hubungannya dengan Kristus (Efesus 5:31), yang sedang “ menyongsong mempelai laki-laki” (Matius 25:1), dan mempelai laki-laki itu adalah Kristus (II Korintus 11:1-2). Masing-masing lima orang dari sepuluh gadis itu ternyata “bodoh: dan “bijaksana” (Matius 25:2). Ini menunjukkan dalam kegenapan kemanusiaan batiniah kita ternyata kita mempunyai sisi gelap, yaitu sisi “bodoh”, namun juga sisi “bijaksana” yaitu sisi terang yang sama kuatnya, dan sama besarnya, dalam mempengaruhi diri kita. Karena separuh dari kegenapan kemanusiaan kita itu berada dalam “kebodohan” dan separuhnya lagi berada dalam sisi “kebijaksanaan”. Sisi kebodohan kita itu memang membawa “pelita” yaitu membawa terang yang menuntun bagi bertemu dengan Sang Pengantin Laki-Laki, sampai pada titik tertentu, artinya ia memiliki “wadah” bagi terang yaitu agama, namun tidak memiliki “bahan” untuk membuat terang itu tetap menyala. Artinya agama itu jika hanya bersifat pegangan syarat hidup bermasyarakat saja, tidak akan dapat menuntun masuk menerabas kedalam pertemuan hakiki dengan Sang Mempelai Laki-laki. Hanya kewaspadaan batin yang menyelam jauh ke dalam karya Kasih-Karunia, Energi Ilahi, di dalam batin yang dilandasi oleh iman, harap, dan kasih yaitu minyak dalam buli-buli itu saja yang akan secara terus-menerus memampukan kita bertahan sampai akhirnya. Hingga kita dapat bertemu Sang Mempelai Laki-Laki yang sedang kita songsong dalam kehidupan beriman kita ini. Kebodohan batin ini hanya senang mempunyai “bentuk”, namun tidak perduli untuk mempunyai “isi”. Dalam Surat Wedatama, karangan Raja Mangkunegara disebut mengenai “Agama Ageming Aji” ( “Agama itu Jubah Sang Raja”, “Agama itu Pakaian Sang Raja” atau “Agama itu Pegangan Sang Raja”), namun sayang kalau agama itu hanya jubah, hanya pakaian, dan hanya pegangan namun bukan prinsip penyembuhan kodrat yang menyembuhkan kemanusiaan dari kematian dan dosa.
Agama sebagai jubah itu hanya menjadi suatu syarat lahiriah yang tidak menembus batin kita yang terdalam. Dan inilah suatu “kebodohan”. Ia hanya melengkapi syarat-syarat luar tetapi tetapi tidak memiliki persediaan batin yang terdalam, agar syarat luar tadi merupakan pancaran dari apa yang di dalam. Adalah suatu kebodohan jika kita hanya memiliki baju saja, tanpa memiliki isi. Banyak orang memang senang dengan bajunya, namun justru dalam kebodohannya ia tidak memikirkan bahwa isi itu yang membuat manusia dapat bertahan untuk sampai akhirnya bertemu dengan Sang Mempelai Laki-Laki. Dipegangnya erat-erat “pelita’ itu namun karena isinya tidak ada maka pelan-pelan terangpun memudar, dan akhirnya cahaya pelita itupun lenyap dan padam. Beragama dan memiliki bentuk-bentuk luar keagamaan tetapi tanpa memiliki kewaspadaan batiniah itu adalah hidup dalam “kebodohan” batin. Kita harus dibebaskan dari kekuatan “kebodohan” itu agar mencapai kebijaksanaan yaitu menjadi “gadis bijaksana” yang bukan hanya “membawa pelitanya” tetapi juga “ minyak dalam buli-buli mereka” (Matius 25:4). Buli-buli adalah wadah batiniah, tempat “minyak” yaitu bahan yang menimbulkan terang atau cahaya terus menerus itu ditempatkan. Dan minyak itulah kasih-karunia Allah yang menimbulkan iman, harap dan kasih yang melandasi sikap kewaspadaan batin tadi. Perjuangan untuk menyongsong Mempelai Laki-Laki itu “lama tidak datang-datang juga” artinya tidak begitu gampang dan langsung mencapai hasil, itu membutuhkan ketekunan, kesabaran, melatih dan mengendalikan diri. Dimaksudkan agar sampai pada titik pertemuan dengan Sang Mempelai Laki-Laki dengan segala macam perjuangan untuk mengalahkan hawa-nafsu kita. Namun justru disinilah letak kesulitannya, karena kita ini manusia lemah. Sehingga ketika usaha kita untuk mencapai “panunggalan” atau “perjumpaan” dengan Kristus itu “lama tidak datang-datang juga”, kita jadi mengendorkan sikap kita sehingga “mengantuklah” kita “semua lalu tertidur” (Matius 25:5). Ini disebabkan kita tidak siaga, sehingga kita membiarkan kewaspadaan batin kita jadi berkurang. Dan jika kita ijinkan hal itu terus menerus demikian, maka akhirnya kita tertidur lelap. Iman kita tidak bergerak maju, kesadaran batiniah kita jadi kabur. Untuk itulah mengapa Ibadah Pengolesan Minyak ini diadakan. Pertama supaya kita menyadari lambang “Minyak” yang digunakan dalam Ibadah Pengolesan ini sebagai peringatan agar kita mengisi “minyak” yaitu kasih-karunia atau Energi Ilahi melalui kewaspadaan batin yang berlandaskan iman yang hidup, harapan yang kokoh, dan kasih yang mendalam, juga karena “kebodohan” dan “rasa mengantuk”nya batin itu adalah sejenis penyakit roh yang kita mohon untuk disembuhkan Allah melalui Ibadah Pengolesan Minyak ini. Sehingga kita tetap siaga dan waspada di dalam batin, dan dalam ketekunan dan kesabaran serta dengan usaha yang tanpa mengenal lelah kita akan sampai pada titik perjumpaan dan panunggalan dengan Allah. Dan itulah kesembuhan kodrat kita secara hakiki yang sedang kita songsong, kita jelang dan kita nanti-nati. Karena kita tak akan pernah tahu bila Sang mempelai itu menampakkan diri kepada kita secara pribadi, atau kepada dunia seluruhnya ini pada akhir zaman ini.
Itulah sebabnya dikatakan bahwa pada “Waktu tengah malam” (Matius 25:6), pada saat semua tertidur, yaitu pada saat yang tak dapat diduga itulah Sang Mempelai Laki-Laki itu datang menampakkan diri dengan teriakan kegembiraan batin yang berseru “Mempelai datang! Songsonglah dia”. Baik penampakan itu dimengerti sebagai pengalaman dalam batin kita pada pengalaman panunggalan kita saat ini ketika masih hidup ini, ataupun itu dimengerti sebagai penampakan diri kepada seluruh jagad raya ini pada akhir zaman nanti. Jika Pengantin Pria datang, maka disitulah terjadi pernikahan dengan Pengantin Wanita. Dan ternyata Pengantin Wanita itu tak lain adalah sepuluh gadis itu sendiri, karena sepuluh adalah lambang “kegenapan”, berarti itu menunjuk kepada panunggalan secara utuh antara Kristus dengan kegenapan kemanusiaan kita ini. Dalam panunggalan dengan Kristus itulah kita manunggal dengan kehidupan kekal, yaitu hidup yang tak dapat binasa, dan itulah kesembuhan sejati itu. Jikalau panunggalan ini terjadi maka perubahanpun akan nampak bertumbuh sebagai buah dari karya Energi Ilahi oleh Roh Kudus di dalam kita, sebagaimana yang dikatakan: ”Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.” (Galatia 5:22 - 23). Itulah pula sebabnya lagi, mengapa kita adakan Ibadah Pengolesan Minyak ini, karena Minyak adalah lambang Roh Kudus, sebagaimana dikatakan: ”Samuel mengambil tabung tanduk yang berisi minyak itu dan mengurapi Daud di tengah-tengah saudara-saudaranya. Sejak hari itu dan seterusnya berkuasalah Roh TUHAN atas Daud.” (I Samuel 16:13) . Demikianlah melalui Pengolesan dengan Minyak ini kita juga memohon supaya hal yang sama terjadi kepada kita seperti itu terjadi pada Daud, sehingga kuasa Roh Kudus makin ditambahkan pada kita, sehingga kita mampu menghasilkan “buah-buah Roh “ itu dalam hidup kita. Jelaslah kalau begitu Ibadah Pengolesan Minyak ini, jauh menembus ke dalam batin bagi penyembuhan roh kita, bukan hanya masalah kesembuhan jasmani saja, dan itulah sebabnya kita semua diolesi dengan minyak, biarpun kita secara fisik sakit atau tidak. Namun yang jelas secara roh kita semua mempunyai penyakit, yaitu hawa nafsu dan segala keinginannya. Jika kasih-karunia Allah melawat kita, maka seluruh perangkat batiniah kitapun akan “bangun semuanya” artinya kita akan dibangkitkan dari dari kemalasan dan kelambanan rohani kita, baru disitu kita betul-betul “membereskan pelita” artinya membereskan dan menata ulang kehidupan batin dan keagamaan yang porak-poranda yang kita biarkan mengantuk sampai tertidur itu (Matius 25:7). Namun jika dalam keadaan lawatan ilahi inipun kita masih berada dalam sisi “kebodohan” kita, maka biarpun kita mencoba menjadi “bijaksana” dengan meminta diberi “minyak” dari kebijaksanaan itu (Matius 25:8), namun kita tidak akan mendapatkannya. Karena kebijaksaan itu tidak muncul secara tiba-tiba namun melalui ketekunan dan latihan yang lama, sebagaimana dikatakan: ”menghasilkan buah ……….kepada mereka yang dilatih” (Ibrani 12:11). Buah itulah buah kebijaksanaan sebagai buah Roh yang manifestasinya adalah “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,kelemahlembutan, penguasaan diri“ yang kita baca didepan tadi. Gadis bijaksana itu mempunyai minyak karena mereka memang menyediakan, kebijaksanaan kita itu akan bertahan dan tak akan padam karena kita memiliki simpanan dalam bentuk latihan kesabaran dan ketekunan.
Dalam latihan inilah “pelita” kita tak akan mengalami “hampir padam” itu. Tanpa latihan kita tak dapat menerima apapun dari kebijaksanaan, karena kita diam dalam kebodohan, dan kalaupun kita “pergi kepada penjual minyak dan beli di situ” (Matius 25:9), semuanya sudah terlambat. Tidak ada kerohanian dan hidup batiniah yang dalam dan murni serta yang dalam, yang dapat datang secara instan, atau kerohanian yang mendadak dan langsung jadi, Ingin mendapatkan kerohanian secara mendadak, instan dan langsung jadi inilah yang diumpamakan sebagai “ pergi kepada penjual minyak dan membelinya” karena membeli berarti langsung mendapatkan tanpa mengolah, inilah lambang kerohanian langsung jadi, bukan karena “latihan” dalam ketekunan dan kesabaran. Kerohanian yang demikian ini bukan hasil kewaspadaan batin, maka ini bersifat dangkal, dan tidak memiliki ke”waspada”an dan ketajaman batin yang menembus. Bagaimanakah “latihan” itu harus dilakukan? Itu seperti yang dikatakan oleh bacaan kita selanjutnya ini:” Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. (Galatia 5:24). Jadi latihan yang harus kita lakukan adalah secara negatif dengan “menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya”, sedangkan secara positif “hidup oleh Roh”, dan “dipimpin oleh Roh” (Galatia 5:25). Artinya dengan tekad yang bulat dan kemauan yang kokoh kita secara aktif melawan keinginan-keinginan yang rendah yang berasal dari kemauan daging, serta melawan setiap dorongan dan bujukan hawa-nafsu yang ingin menyelewengkan kita dari jalan kesucian. Dan dengan tekad bulat serta kemauan kokoh yang sama kita secara aktif menghidupi kehendak Roh Kudus, yang memunculkan segala macam kebajikan dan kesucian yang dilandasi oleh hidup doa, pertobatan, puasa, sembahyang secar teratur, samadhi khusyuk dalam doa puja Yesus, mengambil bagian dalam kegenapan kehidupan Gereja, serta mempelajari Kitab Suci dan ajaran-ajaran iman yang lain serta menterapkannya dalam kehidupan. Juga selalu mendengar bisikan suci Roh Kudus di dalam batin kita, dan hidup dengan pimpinan Roh Kudus mengikuti secara semua hukum tata susila dan akhlak Kitab Suci yang menuntun kepada kesucian. Ini adalah “latihan” selama hidup. Dan hanya dengan ini saja maka “minyak” itu tetap ada di dalam “bul-buli” sehingga kita tidak terjebak dan kebingungan ketika lawatan Tuhan datang kepada kita.
Karena kalau hanya waktu ada gebrakan saja kita baru bersemangat untuk mencari-cari minyak rohani ini, maka akibatnya waktu kita “sedang pergi untuk membelinya” artinya sedang bingung mencari-cari dan mempersiapkan diri, maka “datanglah mempelai itu” dan hanya “mereka yang telah siap sedia masuk bersama-sama dengan dia ke ruang perjamuan kawin” sedangkan mereka yang tidak siap dan baru kelabakan mencari persiapan akan mengalami tertinggal di luar karena “pintu ditutup” (Matius 25:10). Itulah sebabnya ke “siap-sedia”an atau “kewaspadaaan’ dan ke siagaan batin itu sangat penting dalam menghidupi kehidupan iman ini. Kita tidak perlu ada “kebangunan rohanI” untuk selalu siap sedia. Namun kita terus berjaga-jaga dan bersiap sedia dengan tetap mengendalikan gejolak hawa-nafsu serta selalu mengusahakan agar buah-buah Roh berkembang dalam diri kita. Sebab jika hidup rohani kita tambal sulam, dan baru mencari-cari ketika waktu sudah mendesak sekali, maka ketika pintu sudah tertutup bagi batin kita maka ketika kita kembali dan mengatakan: ”Tuan, tuan, bukakanlah kami pintu!” (Matius 25:11), artinya ketika kita ingin sekali mengubah segala-galanya hati ini sudah begitu tertutupnya, sehingga pertobatan itu menjadi begitu sulit bagi kita, karena akar pahit yang terlalu melilit batin itu sudah tak memungkinkan kita untuk mencairkan kebekuan batin kita sendiri itu, sebagaimana dikatakan: ”Janganlah ada orang yang menjadi cabul atau yang mempunyai nafsu yang rendah seperti Esau, yang menjual hak kesulungannya untuk sepiring makanan. Sebab kamu tahu, bahwa kemudian, ketika ia hendak menerima berkat itu, ia ditolak, sebab ia tidak beroleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, sekalipun ia mencarinya dengan mencucurkan air mata.” (Ibrani 12:16-17).
Esau ini adalah jenis orang yang ingin mencapai kerohanian secara mendadak. Baru ketika saatnya menerima lawatan berkat ia ingin memperbaiki kesalahannya, namun ia ditolak, sekalipun mencarinya dengan cucuran air mata dan tangisan penyesalan. Inilah jenis orang yang berada dalam “kebodohan” itu. Namun bagaimanapun ia berusaha dalam waktu yang singkat itu untuk menjadi berbeda dan berubah, ia gagal, pintu tertutup dan Sang pengantin telah menolaknya dan tidak mengakui jiwa yang bodoh demikian ini (Matius 25:12). Pertobatan dan merendahkan diri itu menjadi gaya hidup orang bijaksana, sehingga ia menolak gaya hidup “gila hormat”, atau gaya hidup gagah-gagahan “saling menantang dan saling mendengki” (Galatia 5: 26). Inilah gaya hidup orang bodoh, orang dungu, yang hanya ingin meninggikan diri, dan ingin dianggap hebat, dan dianggap berani. Semua sikap ini menjauhkan batin dari kebijaksanaan, karena itu bertentangan dengan kasih sebagai wujud puncak kebijaksanaan dan kerendahan hati sebagai sumber dari munculnya kebijaksanaan. Orang yang bijaksana adalah orang “yang rohani” dan kerohaniannya itu akan kelihatan kalau “seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran” maka orang itu akan “memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.” (Galatia 6:1), artinya ia menjadi orang yang selalu waspada dan siap siaga secara rohani, karena ia bukan hanya “memimpin orang lain ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut” namun juga ia “menjaga diri sendiri, agar jangan kena pencobaan”, dengan demikian mentaati perintah Kristus “berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya." (Matius 25:13). Dengan selalu berjaga-jaga dengan batin selalu siap-siaga dan waspada inilah maka buah-buah Roh yang puncaknya adalah Kasih itu akan menampakkan diri dalam wujud “Bertolong-tolongan menanggung beban” sebagai pemenuhan hukum Kristus (Galatia 6:2), dan juga kerendahan hati yang menampakkan diri dalam tidak “menyangka, bahwa ia berarti, padahal ia sama sekali tidak berarti” dengan demikian ia tidak menjadi orang yang bodoh dan tinggal dalam kebodohan dimana dengan merasa yang demikian itu “ia menipu dirinya sendiri” (Galatia 6:3). Demikianlah melalui kesiap-siagaan dan kewaspadaan batin itu, ia mengalami proses penyembuhan dalam batin dan rohnya. Marilah kita lanjutkan pembahasan kita lebih lanjut mengenai makna Ibadah Pengolesan Minyak ini.
Bacaan 6 Kesembuhan Batin Sebagai Pembersihan Dari Pengaruh-Pengaruh Iblisiah Matius 15:21-28, II Korintus 6:16-18,7:1
Jika bacaan kita didepan tadi membahas kesembuhan batin sebagai pembersihan dari kebodohan batin akibat kehendak dan keinginan hawa-nafsu daging bagi mencapai kebijaksanaan yang menampakkan diri dalam buah-buah Roh, maka bacaan kita sekarang membahas kesembuhan sebagai pembasuhan batin dari pengaruh-pengaruh Iblis dan roh-roh jahat. Dalam bacaan kita yang keenam ini, disebutkan bahwa Sang Kristus “menyingkir ke daerah Tirus dan Sidon” (Matius 15:21). Ini adalah wilayah yang mayoritas penduduknya adalah umat non-Yahudi yang menyembah berhala. Tindakan Kristus mendatangi wilayah non-Yahudi penyembah berhala ini adalah untuk menunjukkan bahwa karya Kristus itu bagi semua manusia yang tidak dibatasi oleh kebangsaan, suku, bahasa, dan kebudayaan. Ia datang untuk semua manusia. Dan terutama ia datang untuk melepaskan manusia dari kungkungan kuasa Iblis dan roh-roh jahat bawahannya. Penyembahan Berhala adalah merupakan pekerjaan Iblis dan roh-roh jahat pengikutnya, sebagaimana dikatakan: ”Apakah yang kumaksudkan dengan perkataan itu? Bahwa persembahan berhala adalah sesuatu? Atau bahwa berhala adalah sesuatu? Bukan! Apa yang kumaksudkan ialah, bahwa persembahan mereka adalah persembahan kepada roh-roh jahat, bukan kepada Allah. Dan aku tidak mau, bahwa kamu bersekutu dengan roh-roh jahat” (I Korintus 10:19-20). Karena “persembahan kepada berhala” dan “berhala” itu sendiri bukan sesuatu, berarti “persembahan kepada berhala” itu jelas bukan kepada makhluk yang tak pernah ada, dan karena itu kepada makhluk maka jelas itu bukan kepada Allah. Padahal dalam dunia ini hanya ada satu makhluk yang menyatakan dirinya sebagai Allah, yaitu Iblis (II Korintus 4:4). Maka jikalau manusia menyangka menyembah ilah-ilah atau Allah, padahal yang disembah itu “bukan sesuatu”. Pastilah Iblis dan roh-roh jahat yang mengambil alih penyembahan seperti itu. Jadi penyembahan berhala itu identik dengan penyembahan iblis dan roh-roh jahatnya.
Oleh karena itu kedatangan Yesus di Tirus dan Sidon tempat penyembahan berhala ini adalah simbol yang menjelaskan bahwa Ia datang kepada manusia yuntuk menyembuhkan manusia dari penyakit penyembahan berhala, yaitu penyakit batin dan roh yang ditimpakan Iblis dan roh-roh jahat kepadanya. Disebutkan selanjutnya ketika Ia berada di wilayah penyembahan berhala ini bahwa “datanglah seorang perempuan Kanaan dari daerah itu” (Matius 15:22). Ini menunjukkan bahwa Yesus telah merombak pekerjaan Iblis yang mengungkung kaum wanita dan mengangkat derajat mereka. Karena wanita sering dijadikan mangsa Iblis dengan jalan hak-haknya tidak diakui seperti di zamanNya Yesus, atau sering dieksploitasi dan mengeksploitasi dirinya sendiri untuk kepentingan kaum lelaki. Di zaman itu laki-laki Yahudi menganggap perempuan itu lebih rendah dari laki-laki meskipun lebih tinggi dari binatang, dan perempuan itu tak punya roh. Oleh karena itu para Rabbi dilarang berbicara dengan perempuan di tengah jalan.
Namun Yesus merombak kungkungan pekerjaan setan atas perempuan itu dengan menerima “perempuan Kanaan” ini. Selanjutnya wanita ini adalah orang “Kanaan” yang dalam agama Yahudi adalah bangsa yang harus dilenyapkan dan tidak boleh menjadi bagian umat Allah. Adalah pekerjaan Iblis menganggap satu suku lebih tinggi dari suku lain, satu etnik lebih rendah dibanding etnik lainnya. Dalam Yesus “Kanaan” atau “Yahudi”, “Israel” atau “Yunani”, “Eropa”atau “Asia, “pribumi” atau “non-pribumi” semuanya mempunyai kedudukan sama dan semuanya diterima oleh Allah, karena semua itu adalah ciptaan Allah, dan Allah tak pernah membedakan mereka, serta tak pernah salah dalam mencipta itu. Pekerjaan Iblislah yang mengkotak-kotak manusia, apalagi sampai menganiaya sesama manusia hanya kerena perbedaan suku, budaya, bahasa, warna kulit dan agama. Yesus merombak itu semua itu karena orang “Kanaan”pun datang kepada-Nya. Perempuan Kanaan itu berasal “dari daerah itu” artinya dari daerah “Tirus dan Sidon” yaitu dari wilayah penyembahan berhala. Bahwa ia berasal “dari” dan sekarang datang ”kepada” Yesus menunjukkan wanita ini telah meninggalkan apa yang dibelakangnya, yaitu kegelapan penyembahan berhala dan kungkungan setan untuk menemukan terang yang benar melalui Firman Allah yang menjadi manusia.
Semua kungkungan setan ini adalah “penyakit” yang merusak dan melemahkan kesucian roh manusia. Oleh karena itu Yesus datang untuk mengeluarkan manusia dari kungkungan seperti ini, dan menyembuhkan roh manusia dari luka-luka batin yang diakibatkan oleh kuasa Iblis dan roh-roh jahatnya. Itulah sebabnya bacaan epistel kita mengatakan: ”Apakah hubungan bait Allah dengan berhala? Karena kita adalah bait dari Allah yang hidup menurut firman Allah ini: "Aku akan diam bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah-tengah mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku” (II Korintus 6:16). Artinya antara “Bait Allah” yaitu kebenaran Allah dan kuasa-Nya serta “berhala” artinya pekerjaan Iblis dan kegelapannya itu saling kontras dan saling tak ada kaitannya. Orang yang datang kepada Allah melalui Firman-Nya yang Menjelma: Yesus Kristus, ia menjadi “Bait Allah yang hidup” bukan menjadi sarang gua “berhala yang mati”. Sehingga dengan demikian mereka yang manunggal dengan Allah melalui FirmanNya yang menjelma menjadi Manusia: Yesus Kristus, ia akan menjadi Bait Allah dimana “Allah akan diam bersama-sama dengan mereka” serta “hidup di tengah-tengah mereka” sehingga manusia bebas dari kungkungan Iblis “allah/ilah dari dunia yang gelap ini” karena sekarang Aku “akan menjadi Allah mereka” sehingga ia memiliki perlindungan yang jauh lebih berkuasa dari kungkungan dan kekuatan kejahatan Iblis dan roh-roh jahatnya itu, serta “mereka akan menjadi umat-Ku” artinya ia bukan milik Iblis lagi dan Iblis serta roh-roh jahatnya tidak mempunyai hak atau “klaim” apapun atas dirinya. Artinya dia sekarang menerima pembebasan dan penyembuhan dari luka-luka kemanusiaan yang diakibatkan oleh pekerjaan Iblis dan roh-roh jahat itu. Karena berhala itu mati, maka berhala memang tidak dapat menolong, dan karena dibelakang berhala itu ada Iblis dan roh-roh jahatnya, dan iblis itu hanya kegelapan maka Iblis itu pekerjaanya hanya menyiksa dan membinasakan manusia saja. Itulah sebabnya si perempuan Kanaan itu lari dari berhala yang lemah dan menyiksanya itu serta mencari jalan pertolongan kepada Yesus Kristus “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan Setan dan sangat menderita” (Matius 15:22).
Dalam budaya penyembahan berhala, dimana dibelakang semua kegiatan upacara seperti itu selalu roh-roh jahat yang melatar-belakanginya, sangat mudah pada masyarakat seperti itu untuk orang kerasukan roh-roh jahat. Malahan sering roh-roh jahat itu dipanggil untuk merasuk seseorang karena dianggap sebagai dewa-dewi atau roh-roh nenek moyang yang akan menolong mereka. Namun jikalau orang sadar betul. sebenarnya kerasukan roh jahat itu bukan sesuatu yang membawa kepada kesembuhan jiwa, namun itu adalah suatu keberadaan “kerasukan setan dan sangat menderita” seperti yang dialami oleh anak perempuan wanita Kanaan itu. Orang yang berhubungan dengan roh jahat dalam penyembahan berhala adalah orang yang diikat oleh kuasa-kuasa gelap. Perempuan Kanaan itu sadar akan hal ini, maka ia memerlukan belas-kasihan Allah, dan itulah kata pertama yang muncul “Kasihanilah aku”. Karena memang pada intinya semua karunia Allah yang menyembuhkan itu datangnya dari “belas-kasihan” Allah, melalui Mesias-Kristus yaitu “Anak Daud” yang diangkat Allah sebagai “Tuhan” (Kisah Rasul 2:36), artinya “Penguasa” yang dianugerahi Allah “segala kuasa dilangit dan di bumi” (Matius 28:18). Memang proses pelepasan secara tuntas dari pengaruh roh-roh jahat memerlukan ketabahan dan ujian yang tidak mudah, sebagaimana yang dialami wanita Kanaan yang ingin lepas dari berhala Kanaan dan ingin anaknya lepas dari kerasukan roh jahat itupun mengalami proses yang tidak mudah.
Pertama “Yesus sama sekali tidak menjawabnya” untuk menguji keteguhan imannya. Kedua,”murid-murid-Nya datang dan meminta kepada-Nya: "Suruhlah ia pergi, ia mengikuti kita dengan berteriak-teriak." (Matius 15:23), artinya ia hendak diusir, untuk menguji keteguhan tekadnya untuk tidak takut pada ancaman kesulitan. Ketiga, “Jawab Yesus: "Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel." (Matius 15:24), seolah-olah sebagai orang non-Israel ia direndahkan oleh Sang Kristus, untuk menguji agar ia tidak mudah putus asa ketika kelihatannya ia diabaikan oleh situasi dan lingkup kehidupan tak bersahabat pada dirinya dan tidak berpihak padanya. Dan ternyata kekokohan niatnya itu teruji benar, karena dalam keadaan demikian dikatakan: ”Tetapi perempuan itu mendekat dan menyembah Dia sambil berkata: "Tuhan, tolonglah aku." (Matius 15:25), ia tidak lari, ia tidak sakit hati, ia tidak tersinggung, ia tetap yakin Sang Kristus mau dan mampu untuk menolong. Tetapi kekokohan niatnya yang seperti baja ini belum cukup, ia perlu diuji lagi melalui ujian Keempat melalui apa yang kelihatannya seperti penolakan dan penghinaan: ”Tetapi Yesus menjawab: "Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." (Matius 15:26). Yesus memang tidak menganggap wanita Kanaan ini anjing, namun ia menggunakan ungkapan yang berlaku di masyarakat Yahudi waktu itu dalam merendahkan orang-orang non-Yahudi, serta hal itu dimengerti oleh orang-orang non-Yahudi juga. Sama seperti kalau suku Tionghoa menyebut suku lain “hwana” dan suku lain misalnya, di Jawa Timur, menyebut suku Tionghoa sebagai “singkek.” Namun dalam semua ujian yang sulit itu, ia tetap beriman dan tidak putus asa, malah ia menerima semua itu dengan segala pasrah dan kerendahan hati katanya: ” Kata perempuan itu: "Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya." (Matius 15:27).
Melalui proses semuanya itu wanita ini lepas dari kungkungan kegelapan berhala dan kuasa setan yang mengungkung dia dan anaknya, karena Kristus langsung menyambut perjuangan dan pergumulannya itu dengan sabda pembebasan dan sabda penyembuhan-Nya: ”Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki." Dan seketika itu juga anaknya sembuh” (Matius 15:28). Dengan demikian si wanita yang terkungkung itu lepas kegelapan iblis yang berwujud penyembahan dari berhala dan sekaligus terlepas dari kekuatan iblis yang mengikat yang berwujud anaknya yang kerasukan setan itu. Ini dikarenakan kekokohan imannya, yang tidak mudah menyerah dan tetap dalam beriman ketika kesulitan bertubi-tubi melanda. Lebih daripada semuanya itu, ia tetap rendah hati dihadapan semua gejolak hidup yang dihadapinya. Inilah jalan cara bagaimana, si wanita ini dan kita semua mentaati perintah: ”Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu” (II Korintus 6:17). Demikianlah kitapun dalam mencapai proses mencapai penyembuhan kodrat kemanusiaan kita agar terlepas yaitu “keluar dari antara mereka”, yaitu keluar dari lingkungan berhala kita juga memerlukan sikap seperti wanita Kanaan ini, sehingga “belas-kasihan” Allah yaitu rahmat-Allah, Energi Ilahi yang tak tercipta itu betul-betul berkarya untuk melepaskan kita dari kekuatan berhala, yang dapat berwujud ajaran sesat, menyembah Allah secara sesat, mengikuti hawa-nafsu atau perdukunan dan ilmu-ilmu klenik. Ini semua adalah penyakit bagi roh, dan karena itu roh menjadi sakit. Kita harus mendengar perintah “pisahkanlah dirimu dari mereka” itu, yaitu memisahkan dirI dari segala bentuk lingkup dan cara-cara keberhalaan untuk hanya semata-mata meninggikan Allah dalam hidup kita.
Dan ini kita lakukan dengan cara hidup secara benar dan berusaha mengerjakan yang benar dan mengikuti larangan: ”janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu”, yaitu segala apa yang najis bagi roh dan bagi tubuh secara moral maupun secara rohani jangan sampai menjamah diri kita, dan jangan kita berusaha menjamahnya. Karena dengan demikian kita menapak dalam jalan kesucian, seperti yang diperintahkan “hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu,sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” (I Petrus 1:15-16), dan dengan demikian kita pantas menerima pengakuan “Aku akan menjadi Bapamu, dan kamu akan menjadi anak-anak-Ku laki-laki dan anak-anak-Ku perempuan“ (II Korintus 6:18), seperti yang dinyatakan dalam bacaan kita ini selanjutnya. Jikalau kita berada dalam lingkup berhala dalam segala bentuknya dan dalam kenajisan jelas Allah yang maha Kudus itu bukan Bapa kita, sebaliknya: ”Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu.” (Yohanes 8:44). Jika kita ingin diakui sebagai anak bagi Allah, maka kita harus berada dalam lingkup kehidupan yang menapak jalan Allah, yaitu jalan kesucian, Dan jikalau tidak demikian, maka kita akan memiliki bapa yang lain, yaitu Iblis. Itulah sebabnya bagi kesembuhan roh kita secara sungguh-sungguh, maka secara sungguh-sungguh pula kita berusaha menerapkan prinsip-prinsip dan perintah-perintah Allah yang harus kita lakukan.
Dan untuk menjadi sungguh-sungguh kita harus melaksanakan sesegera mungkin perintah dari bacaan kita yang terakhir ini: ”Saudara-saudaraku yang kekasih, karena kita sekarang memiliki janji-janji itu, marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah.” (II Korintus 7:1). Dengan jalan kita berusaha menyucikan diri dan menyempurnakan kekudusan lepas dari semua pencemaran jasmani, yaitu dosa-dosa yang mencemarkan yang kita lakukan dengan tubuh jasmani, serta pencemaran rohani, yaitu dosa-dosa yang kita lakukan dengan angan-angan, pikiran, perasaan, kehendak dan niat batin kita. Dan semua ini harus kita lakukan demi rasa takut akan Allah. Disitulah kita dijamin mengalami kesembuhan roh, tak lagi “Iblis menjadi bapa kita”, tetapi “Allah itu Bapa kita”. Semoga kita rela menerima penyembuhan diri kita dari pengaruh Iblis dan roh-roh jahatnya ini. Amin.
Bacaan 7 Kesembuhan Batin Sebagai Hidup Mengikut Kristus . Matius 9:9-13 I Tesalonika 5: 14-23
Sampailah kita pada bacaan kita yang ketujuh dan terakhir. Secara bertahap kita telah belajar apa yang diajarkan oleh Gereja mengenai makna Ibadah Pengolesan Minyak atau Sakramen Penyembuhan ini. Mulai dari penyembuhan bentuk fisiknya sampai pelan-pelan kita diajak untuk mengerti makna terdalam sampai menuju kepada kesembuhan hakiki, yaitu kesembuhan kodrat kemanusiaan dan batin, yang terjadi oleh Kuasa Roh Kudus di dalam lingkup Gereja Kristus. Kita sudah mengerti dalam penyelaman kita akan makna ketujuh bacaan ini, bahwa karunia kesembuhan itu tak pernah berhenti pada dirinya sendiri. Namun itu menunjuk kepada makna rohani yang terdalam yaitu kesembuhan kodrat kemanusiaan kita, kesembuhan batin dan roh kita. Untuk itu sebagai kesimpulan dari semuanya itu, mari kita melihat lebih lanjut untuk kali yang terakhir dalam Ibadah kita ini apa makna yang tersimpul dari semuanya yang telah kita baca mengenai karya kesembuhan Kristus itu. Dalam bacaan kita yang ketujuh ini dikatakan, mengenai pertemuan Kristus dengan seorang pemungut cukai yang bernama Matius, yang sedang ”duduk di rumah cukai” yang oleh panggilan Kristus "Ikutlah Aku," langsung saja ia berdiri “lalu mengikut Dia” (Matius 9:9), Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa Sang Kristus memanggil manusia bukan karena ia itu suci, namun dalam situasi dan keberadaan apa adanya dimana dia ada dalam tempat kehidupan ini. Sama seperti seperti Matius itu dipanggil bukan sedang berdoa, dan bukan sedang berada di Bait Allah, namun dia sedang “duduk di rumah cukai”, padahal rumah cukai di saat itu dianggap tempat berdosa, karena disitu terjadi pemerasan, perampokan, pencurian, korupsi dan pemilikan harta secara tidak jujur. Matius berada dalam keadaan batin yang sedang sakit. Namun justru dalam keadaan sakit dan ditempat sakit itulah Yesus memanggil Matius “Ikutlah aku”. Matius tidak menunggu-nunggu lama untuk mendengar dan taat pada panggilan itu, ia langsung “mengikut dia”. Kitapun demikian. Dari semua bacaan yang telah kita bahas selama enam kali bacaan itu, kita mendengar suara Allah memanggil kita dan mengajak kita untuk jangan hanya duduk-duduk saja di “rumah cukai” kehidupan kita masing-masing. Kita telah mendengar bahwa kita ini pada hakikatnya adalah roh-roh yang sedang sakit, “Matius-Matius yang sedang duduk di rumah cukai”. Namun tawaran kesembuhan itu juga diberikan kpeda “Matius-Matius” yang seperti kita ini dengan suara “Ikutlah Aku” itu. Suara itu telah kita dengar melalui enam bacaan yang telah lewat. Sekarang tinggal kita sendiri mau langsung berdiri dan “mengikut Dia” ataukah kita tetap bermalasan-malasan dalam “rumah cukai” kita yang lama. Kasih-karunia Allah itu tidak bekerja secara “magis” seperti ilmu-sihir, dimana asal sudah diucapkan mantranya pasti mukjizat terjadi. Tidak demikian. Yesus memanggil namun Matius harus berdiri untuk mengikuti Dia. Demikianlah Allah memanggil kita dalam Ibadah Pekan Kudus ini tetapi kita harus bertindak mengikuti Dia dengan menterapkan ajaran-ajaran yang merupakan panggilan itu.
Demikianlah maka kesembuhan roh dan batin itu akan terjadi, seperti itu terjadi pada Matius. Dan bukti kesembuhan itu adalah “Yesus makan di rumah Matius” (Matius 9:10), karena makan dengan masuk ke dalam rumah seseorang itu berarti panunggalan dengan orang itu, dan jika Yesus yang masuk kerumah dan makan, maka terjadi panunggalan antara jiwa orang yang bersangkutran dengan Sang Kristus sendiri, dan itu berarti proses kesembuhan batin sudah dimulai, sebagaimana dikatakan: “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku.” (Wahyu 3:20). Dan jika orang mengalami kesembuhan roh, maka dampaknya akan dirasakan oleh orang banyak sehingga ia menjadi berkat dan sarana bagi orang lain juga mengalami penyembuhan dari Kristus, sebagaimana dikatakan ketika Yesus makan di rumah Matius itu “datanglah banyak pemungut cukai dan orang berdosa dan makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya” (Matius 9:10). Pemungut cukai dan orang-orang berdosa itu adalah orang-orang yang sedang sakit dalam rohnya. Namun karena Matius yang sakit dalam roh itu telah mengalami penyembuhan terlebih dahulu maka ia membawa dampak kepada pemungut cukai dan orang berdosa yang lain, sehingga merekapun dapat “makan bersama-sama dengan Yesus” yaitu mengalami panunggalan dengan Yesus akibat pelayanan Matius, namun juga bersama dengan “murid-muridNya” yaitu persekutuan dalam Gereja-Nya. Orang yang rohnya belum mengalami kesembuhan seperti halnya para petinggi agama Yahudi, yaitu orang Farisi itu, tidak akan pernah dapat mengerti arti panunggalan dengan Kristus itu, mereka melihat tetapi mereka tidak dapat menangkap makna pengalaman yang amat dalam ini, sehingga dikatakan: “orang Farisi melihat hal itu, berkatalah mereka kepada murid-murid Yesus: "Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?" (Matius 9:11). Kaum Farisi yang masih sakit batin dan rohnya ini tak dapat melihat bahwa manusia berdosa itu dapat bertobat. Mereka tak dapat mengerti bahwa cinta-kasih itu jauh lebih penting daripada memegang teguh bentuk-bentuk luar aturan Agama. Itulah sebabnya demi memelihara bentuk luar aturan Agama dimana menurut aturan Agama yang mereka ciptakan itu, orang yang dianggap berdosa dan kaum pemungut cukai itu tidak layak untuk dijadikan sebagai mitra dalam persekutuan hidup.
Mereka membuat garis antara kaum Agamawan sebagai “kaum suci” disebelah garis sebelah sini, dan kaum berdosa dan para pemungut cukai sebagai “kaum najis” sebelah sana. Mereka membuat tembok antara “kami” dan “mereka”. Itulah sebabnya mereka hanya mampu mengecam dan mengkritik tindakan cinta kasih yang dilakukan Yesus. Yesus melakukan itu semua karena ia mengasihi semua manusia yang berdosa, karena mereka yang berdosa ini adalah orang-orang sakit. Orang Farisi karena mereka juga orang yang sakit, maka tak dapat menyembuhkan orang lain yang sakit juga. Karena mereka tak mampu melakukan dan tak mampu menyembuhkan itulah maka mereka tak mampu mengerti apa yang dilakukan Yesus ini. Yesus bersekutu dan mendatangi kehidupan orang-orang berdosa ini dan makan bersama mereka sebagai tanda Ia menerima mereka. Yesus tidak mendirikan Agama namun Ia memberikan cinta-kasih dan itulah landasan penyembuhan batin dan roh manusia. Matius sebagai yang telah mengalami kesembuhan roh akibat mengikut Yesus, akhirnya mengikuti teladan Yesus dalam segala yang ia lakukan. Ia undang orang-orang berdosa di rumahnya untuk makan, Ini berarti Matius menerima dan membuka hati bagi manusia berdosa dan bagi orang lain, karena ia ingin juga orang lain itu menerima jamahan kesembuhan roh yang dilakukan oleh cinta kasih Sang Kristus itu pada mereka. Kesembuhan batin dari Matius itu adalah akibat jamahan cinta-kasih Sang Kristus, dan mengikuti teladan dan cara-cara penerimaan Sang Kristus atas manusia-manusia berdosa dalam cinta-kasih-Nya. Sang Kristus menerima orang-orang berdosa, dan Matius mengikuti teladanNya karena menyadari semua manusia tanpa Kristus itu adalah pasien dan orang-orang yang sakit semua. Dan tabib itu hanya satu saja yaitu Yesus Kristus, karena Yesus Kristus “tidak mengenal dosa” (II Korintus 5:21), jadi Yesus tidak memiliki penyakit dalam roh, dan roh-Nya memang betul-betul sehat, karena Ia bukan termasuk orang berdosa, sebab Ia adalah “Firman Allah” yang Maha Kudus itu sendiri yang menjelma menjadi manusia. Itulah sebabnya Ia menjadi tabib bagi kodrat kemanusiaan kita, sebab Ia adalah yang melalui-Nya Allah menciptakan dan menjadikan kita semua (Yohanes 1:3, Ibrani 1:2), sebab Ia adalah Firman-Nya Allah sendiri.
Menghadapai kaum Farisi yang sakit tetapi yang tidak mengingini orang-orang lain yang sakit juga disembuhkan serta menganggap dirinya sehat itu Sang Kristus mengatakan: ”Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit.” (Matius 9:12). Dengan Sabda ini Sang Kristus hendak menempatkan permasalahan yang hakiki pada orang Farisi itu. Beliau seolah-olah mengatakan: ”Kalau kamu menganggap bahwa hanya orang yang beragama dan memegang kesalehan luar saja sebagai ukuran manusia yang tidak najis, dan demikian menganggap dirimu sehat secara rohani, seharusnya kamu datang pada orang-orang yang kamu anggap berdosa dan berpenyakitan ini. Mereka orang yang tidak sehat, maka mereka justru perlu tabib. Mengapa kalian yang menganggap diri sehat malah tidak dapat menyembuhkan, Justru kalian menjauh serta mengkritik yang mau menyembuhkan. Aku justru datanmg kepada mereka yang sadar dirinya tidak sehat dan sakit. Karena kamu menganggap dirimu sehat, maka aku tidak perlu mengobati dan menyembuhkan kamu. Aku diantara orang berdosa ini karena mereka memerlukan aku sebagai tabib bagi roh mereka.” Dengan demikian Sang Kristus sekaligus membalikkan meja kearah orang Farisi itu kembali untuk menyadarkan bahwa kesembuhan batin itu bukan perhiasaan luar keagamaan, bukan jubah, bukan kerudung, bukan atribut-atribut lainnya, namun cinta-kasih yang tulus dan kesalehan batin yang murni, yang dari situ baru menampakkan bentuk-bentuk luar keagamaan dan bukan sebaliknya. Memang mungkin dimata orang Farisi Beliau adalah seorang Rabbi (“Kyahi Yahudi”) yang tidak konvensionil. Mungkin Beliau dianggap semacam “Kyahi Mbeling”, “Kyahi Mbalelo”, “Kyahi Memberontak” atau “Kyahi Revolusioner” yang tidak mau dikungkung aturan yang berlaku.
Sebab Beliau datang bukan untuk melayani agama, bukan untuk melayani kekuasaan, bukan untuk melayani kemauan pemimpin agama, bukan untuk untuk melayani lembaga, bukan untuk melayani institusi, dan bukan untuk melayani “kebutuhan untuk mendapat gaji” atau “pengakuan” resmi dari lembaga keagamaan manapun, namun untuk melayani Allah dan melayani kemanusiaan. Itulah sebabnya Sang Kristus langsung menunjuk kepada permasalahan yang seharusnya, yaitu manusia, bukan upacara-upacara lahiriah keagamaan, dalam sabda-Nya: ”Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” (Matius 9:13). Jika “belas-kasihan” itu yang dikehendaki Allah, berarti manusia dalam kebutuhannya itu yang harus diutamakan untuk dilayani dan diperhatikan, bukan upacara atau birokrasi keagamaan, yaitu “persembahan” yang melupakan tanggung jawab kemanusiaan, dan cenderung menghakimi orang lain yang tidak tahu melaksanakan bentuk kenvensionil yang diakui itu. Karena orang berdosa sebagai orang sakit yang membutuhkan pertolongan itulah yang menjadi fokus dan perhatian Yesus, dan itu pula yang menjadi perhatian Matius, untuk segera dirangkul dan diterima, bukan malah dihina, disisihkan dan ditolak seperti yang dilakukan kaum Farisi itu.
Agama telah banyak sekali menjadi alat untuk mengendalikan dan menakut-nakuti orang. Agama telah sering kali menjadi alat menghancurkan dan membunuh orang lain. Agama telah sering kali menjadi alat penekanan oleh pihak penguasa. Agama telah seringkali menjadi alat tembok pemisah antara manusia satu dengan lainnya. Agama telah sering kali menjadi alat kebencian terhadap orang lain dan kelompok lain. Semuanya ini "PENYAKIT" saudara-saudari sekalian. Hindari penyakit menular ini. Lepaskan dirimu dari agama yang demikian. Marilah kita meneladani Sang Kristus, yang perduli pada Allah dan pada kemanusiaan secara tulus. Ia perduli pada orang-orang pinggiran, orang-orang yang disisihkan, orang-orang marjinal, orang-orang papa, orang-orang miskin, orang-orang hina, orang-orang yang tak dipedulikan. Barangsiapa beragama hanya untuk menyenangkan pihak penguasa dan petinggi agama yang dirinya sendiri masih sakit dalam roh dan belum sembuh semacam orang Farisi itu, maka ia tidak dan belum memiliki semangat Sang Kristus. Ia bukan tipe manusia yang sembuh namun manusia sakit yang terkungkung berhala dalam wujud petinggi yang masih sakit dalam roh itu. Adalah amat aneh, bahwa orang Farisi yang setiap harinya bergumul dengan Kitab Suci, bergumul dengan segala macam hukum agama, harus diberitahu Yesus: ”Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini” , ini berarti banyak orang yang pandai Theologia dan pandai bersilat kata, serta rajin dalam menjalankan upacara agama, namun ternyata hatinya mati bagi kemanusiaan. Ia tidak memiliki cinta-kasih karena hatinya masih penuh penyakit. Namun justru ia menuduh orang lain yang sakit, sedang ia sendiri merasa sebagai manusia sehat dalam roh.
Sebaliknya Matius yang mungkin tidak tahu banyak mengenai aturan-aturan agama dan hukum ritual serta Theologia, namun ia langsung mempraktekkan Theologia itu dalam hidup. Ia meneladani Yesus, dan tidak terlalu banyak berteori. Ia bertindak spontan dari dalam hati, karena hatinya memang sudah mulai sembuh sehingga ia mempunyai semangat dan kerinduan untuk menularkan kesembuhan itu kepada orang lain. Kesembuhan memang berarti hidup mengikuti Yesus, dan menjadi seperti Yesus, serta meneladani kehidupan Yesus Kristus itu sendiri. Aturan mainnya sekarang bukan pada hukum ritual keagamaan. Meskipun itu penting sebagai sarana kita mendalami makna karya Allah dalam Kristus Yesus. Namun dalam praktek kehidupan yang nyata sebagaimana Yesus Sang Kristus telah memberikan perintah dan teladan kepada kita. Sebagaimana itu juga dihidupi oleh Rasul Paulus. Dimana dalam menghimbau umat ia tak bertindak sebagai petinggi atau penguasa, namun sebagai saudara yang menasihati dengan cinta-kasih: ”Kami juga menasihati kamu, saudara-saudara” dan isi nasihatnyapun langsung kepada kehidupan nyata yang menyangkut batin dan kehidupan bersama dalam cinta kasih itu: ”tegorlah mereka yang hidup dengan tidak tertib”. Tegoran ini penting sebab itu menunjukkan kepedulian kita dan cinta kasih kita pada orang yang kita tegor, namun harus tetap dalam kerendahan hati, kelembutan, kesabaran dan cinta kasih. Dan hidup yang tidak tertib berarti hidup yang mengikuti hawa-nafsu, itu berarti kembali kepada penyakit lagi, oleh karena itu orang semacam ini harus diingatkan supaya sakit rohnya tidak kambuh, dan kita harus ingatkan gejala sakit kambuhan yang mulai muncul ini, supaya orang itu kembali kepada jalan kesembuhannya. Selanjutnya “hiburlah mereka yang tawar hati” karena penghiburan adalah jalan kesembuhan bagi mereka yang terluka oleh kesedihan, dan Gereja harus mengikuti Kristus dalam karya kepeduliannya untuk ikut serta menyembuhkan luka-luka hati dengan kerelaan untuk menghibur yang “tawar hati", yang tak punya harapan, yang tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam hidup sehingga menghidupkan kembali orang yang sudah patah semangat.
Kepedulian kita kepada orang lain juga ditunjukkan dalam sikap kita terhadap orang yang lemah secara ekonomi, secara kemampuan menghadap yang kuat, dengan perintah “belalah mereka yang lemah“. Membela yang lemah berarti menegakkan keadilan, berarti kesembuhan kemanusiaan juga mempunyai dampak dalam proses keadilan sosial. Berarti jalan hidup mengikut Kristus itu tidak hanya menyangkut masalah akhirat saja. Dan yang juga penting adalah toleransi yang tinggi atas kelemahan dan kekurangan orang lain yang ada di sekitar dengan menjalankan perintah “sabarlah terhadap semua orang”, seperti Kristus juga sabar terhadap kekurangan dan kelemahan dan pelanggaran-pelanggaran kita. Daln dalam toleransi yang tinggi, maka dendam harus dihilangkan sehingga kita mentaati perintah "supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat” (I Tesalonika 5:15), karena kejahatan berasal dari batin yang masih sakit dan roh yang belum tersembuhkan. Oleh karena itu barangsiapa saling menimpakan luka dengan membalas yang jahat dengan yang jahat berarti masih hidup dalam kesakitan roh yang parah. Maka bagi menyembuhkan sakitnya roh ini, kebalikan dari membalas kejahatan dengan kejahatan adalah menterapkan perintah ”tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang” (I Tesalonika 5:15).
Jadi kebaikan sebagai bukti batin yang telah sembuh itu bukan hanya diterapkan kepada sesama umat beriman saja yaitu “kamu masing-masing” namun kepada segenap manusia yaitu “terhadap semua orang”. Batin yang telah sembuh tidak membiarkan dirinya jatuh dalam putus-asa, hilang harapan, dalam kesusahan karena ketiadaan iman, namun ia harus hidup dalam sukacita, sebagai bukti bahwa ia memiliki iman yang kokoh, dan harapan yang mendalam kepada Allah dalam segala sesuatu sehingga selalu hidup dalam kuasa Roh Kudus, karena salah satu buah Roh Kudus adalah sukacita, sehingga ia menggenapi perintah: ”Bersukacitalah senantiasa,” (I Tesalonika 5:16). Dan cara menjaga bukti-bukti hidup mengikut Yesus sebagai bukti batin yang telah sembuh ini adalah “Tetaplah berdoa” (I Tesalonika 5:17), serta “Mengucap syukurlah dalam segala hal” (I Tesalonika 5:19). Ini harus menjadi gaya hidup yang berkesinambungan, bukan hanya sewaktu-waktu kalau ingat atau kalau sedang mau saja. Ini harus menjadi bentuk kehidupan yang konstan, karena “Doa” “Sembahyang” dan “Mengucapkan Syukur” adalah bentuk kepasrahan dan hubungan yang terus menerus dengan Allah , dan dengan demikian kesembuhan batin itu makin mengalami proses yang menuju kepada panunggalan dan kekudusan yang sempurna.
Dalam gaya hidup seperti inilah roh kita betul-betul mengalami sehat. Itulah sebabnya Sembahyang tetap dan Mengucap syukur dalam segala hal ini adalah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu” (I Tesalonika 5:18). Namun kesembuhan batin yang nampak dalam kehidupan nyata ini juga nampak dalam kehidupan ibadah komunitas. Ini bukan lagi komunitas yang hanya mementingkan bentuk-bentuk-bentuk luar yang mati, namun ibadah yang mehamami hakikat dari bentuk dengan menyadari bahwa bentuk itu bukan akhir pada dirinya, namun kehidupan yang terkandung dalam bentuk yaitu karya Roh Kudus itu yang harus diutamakan. Oleh karena itu diperintahkan:” Janganlah padamkan Roh” (I Tesalonika 5:19), karena Roh itulah obat penyembuhan batin manusia, maka barangsiapa memadamkan Roh hanya karena bentuk, dan aturan yang mematikan, justru ia jatuh sakit lagi. Itulah sebabnya kita harus memberikan tempat yang luas bagi karya Roh Kudus yang digambarkan dalam perintah ”janganlah anggap rendah nubuat-nubuat”. (I Tesalonika 5:20) jangan kesampingkan atau jangan pinggirkan pekerjaan-pekerjaan nyata dari Roh Kudus hanya demi suatu kebiasaan yang secara rohani tidak membawa kehidupan yaitu berada dalam keadaan sakit. Namun sikap yang sehat juga diperlukan, karena sikap ekstrim kanan atau ekstrim kiri dalam masalah apapun itu adalah tanda roh yang sakit dan berasal dari roh yang sakit pula . Sikap sehat dan sikap orang sembuh adalah sikap seimbang, sehingga dalam masalah karunia-karunia roh inipun kita diingatkan: ”Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” (I Tesalonika 5:21). Pada pokoknya kita harus hidup dalam gaya hidup orang yang sudah dan sedang mengalami kesembuhan total dalam Kristus, sehingga dalam hal apapun, kita diingatkan “Jauhkanlah dirimu dari segala jenis kejahatan.” (I Tesalonika 5:22). Dan jika kita hidup mengikuti jalan Kristus seperti ini maka kesembuhan itu akan mencapai puncaknya dalam karya Allah yang memberi damai sejahtera untuk “menguduskan kamu seluruhnya dan…..roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita.” (I Tesalonika 5:23). Dan itulah puncak kesembuhan sejati yang akan terima pada Kedatangan Yesus Kristus nanti. Pada saat itulah kita akan tahu bahwa kesembuhan jasmani yang kita alami sekarang ini hanyalah merupakan tanda dan cicipan awal dari sesuatu yang jauh lebih dalam maknanya, yang menerabas sampai kepada kehidupan kekal. Semoga kita selalu memberikan diri kita hidup dalam makna kesembuhan kodrat kemanusiaan kita dalam setiap hal yang kita lakukan. Amin