Kesalehan Lahiriah & Kesempurnaan Batin
[by: Fr.Daniel Byantoro]
Date: 29 April 2002
ismil Abi, wal Ibni, war Ruhul Quddus, Al-Ilahu Wahid. Amin.
Shaloom Aleikhem Be-Shem Ha-Massiakh,
Ibadah Senin Kudus Sore ini disebut sebagai Ibadah Pengantin, karena disinilah Sang Pengantin Pria (Kristus) itu datang mulai datang mencari Pengantin Wanita (Gereja), dengan masuk ke dalam jurang kesengsaraan Pegantin Wanita yang berada dalam Sengsara Dosa itu. Itulah sebabnya Sore ini Ikon Perendahan Yang Luar Biasa dari Sang Kristus itu diarak dan kemudian ditaruh ditengah Ruangan Bahtera tepat didepan Pintu Gerbang Agung dimana Mezbah berada.
Kristus memasuki deritanya melalui konfrontasi dan konfliknya dengan para Petinggi Agama Yahudi, dan harus menghadapi kedengkian mereka. Inilah hari kedua pertemuan Sang Kristus dengan para Pemimpin Agama Yahudi dalam Pekan Kudus dikala itu. Konfrontasi makin memuncak, Sabda Yesus kepada mereka makin keras dan tajam. Namun dalam kecaman Beliau terhadap para Pemimpin Agama ini kita dapat belajar banyak tentang prinsip-prinsip kebenaran yang harus menjadi pegangan hidup dan iman kita. Karena disinilah kita melihat bagaimana Sang Kristus membelejedi (menelanjanggi) topeng-topeng kesalehan lahiriah manusia, agar menemukan mutiara batin yang terdalam yang bersinar dari kalbu nurani yang murni agar manusia dapat mencapai kesempurnaan batiniah.
Dalam konfrontasiNya dengan golongan para Imam yaitu Kaum Saduki, dan golongan Penjunjung Tradisi yaitu Kaum Farisi beserta Golongan Politikus: Kaum Herodiani, serta Golongan Pemikir Agama : Ahli Taurat, itu beberapa masalah keimanan diajukan kepada Beliau. Namun sayang, masalah-masalah yang diajukan itu bukan karena mereka benar-benar ingin mencari tahu tentang kebenaran, tetapi digunakan sebagai dalih untruk menjebak Yesus Kristus. Kepada Beliau dipertanyakan oleh Golongan Penjunjung Tradisi: Farisi tentang hubungan antara Kaisar dan Allah, serta oleh Golongan Kaum Imam: Saduki, tentang mungkin tidaknya Kebangkitan, serta Golongan Ahli Taurat, yang mempertanyakan tentang Hukum yang Terutama di dalam Taurat. Puncak dari kritik ilahi yang dilakukan Yesus terhadap ketiadaan iman Para Petinggi Agama ini adalah kecaman dan hardikan pedas yang menusuk sakit sekali ke dalam rasa ego hati mereka, dalam Sabda-Nya yang panjang itu.
Setelah peristiwa kritikan oleh Sang Kristus Yesus dalam perumpamaan-Nya tentang penggarap-pengarap kebun anggur dalam bacaan kita pada ibadah Minggu Palem Sore itu tentu saja hati orang Farisi merasa dendam sekali. Namun sakit hati ini disebabkan karena mereka tahu kebenaran namun tidak mau mengubah sikap mereka sesuai dengan kebenaran yang mereka ketahui itu. Maka ketika manusia melekat pada dosa dan tak mau mengubah tingkah langkahnya, dosa itu akan makin menambah-nambah kejahatan dan kekejamannya pada batin manusia sehingga “orang-orang Farisi; ….berunding bagaimana mereka dapat menjerat Yesus dengan suatu pertanyaan” (Matius 22:15). “Pertanyaan” yang seharusnya digunakan untuk mencari tahu kebenaran agar mendapat pencerahan malah digunakan untruk menipu dan menjerat untuk makin membuat keruh nurani dan mempergelap batin. Disinilah ironisnya sifat manusia itu, orang yang dekat dengan sumber kebenaran, orang yang bergelut setiap saat dengan masalah-masalah keagamaan, orang yang setiap harinya berunding masalah-masalah hukum ilahi dari Kitab Suci, pada saat titik yang menentukan untuk mendapatkan pencerahan dengan berhadapan langsung dengan Sang Kebenaran ini malahan mereka gunakan “berunding” itu untuk “dapat menjerat”. Agama menjadi suatu profesi dan kebanggaan namun bukan sebagai penyempurna batin, sehingga otaknya penuh dengan teori dan pengetahuan namun batin dan hatinya tetap kering kerontang dan gelap-pekat. Batin yang demikianlah yang mudah dipenuhi dengan iri hati, dengki, mudah tersinggung dan dendam serta segala macam tipu daya. Tipu daya dan kelicikan kaum agamawan ini dinyatakan dalam bacaan kita ini demikian: “Mereka menyuruh murid-murid mereka bersama-sama orang-orang Herodian bertanya kepada-Nya: "Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka.” (Matius 22:16). Inilah bentuk kelicikan. Yang berunding dan menjadi otak dari segala kejahatan itu adalah para petinggi Agama dan Kaum Agamawan itu sendiri, namun mereka menyembunyikan kejahatan mereka itu dengan tidak mau menampakkan diri karena “Mereka menyuruh murid-murid mereka” sehingga yang tampak jahat adalah orang lain bukan diri mereka sendiri.
Justru kaum agamawan yang berfikiran kotor inilah sering yang menjadi biang huru-hara, karena menjadi seorang agamawan belum tentu seorang suci atau seorang rohani. Mereka menggunakan taktik “Lempar Batu, sembunyi tangan”, atau menggunakan istilah bahasa Jawa “ Nabok nyilih tangan” (“Memukul dari belakang meminjam tangan orang lain”). Namun bukan hanya murid-murid mereka saja yang diperalat bagi mencapai tujuan untuk topeng kejahatan mereka ini, namun murid-muridnya ini diperalat “bersama-sama orang-orang Herodian.” Padahal orang-orang Herodiani ini adalah Partai Pengikut Herodes antek Penjajah Romawi yang dibenci Kaum Farisi itu sendiri. Disinilah betul-betul kekuatan agama dan politik mulai bergandengan tangan merapatkan barisan untuk melawan kebenaran. Segenap kekuatan kegelapan baik dari sisi agama maupun dari sisi duniawi mulai unjuk gigi melawan Terang Ilahi itu. Ini terjadi karena para petinggi agama itu menonjolkan kepentingan pribadi, pengaruh dan kedudukan, sehingga sudah lupa siapa musuh dan siapa kawan, apa saja dapat diperalat asal tujuan mereka untuk melakukan kejahatan itu tercapai.
Prinsip moral dan prinsip pemikiran dikalahkan oleh kepentingan sesaat. Pertanyaan moral dan keadilan sudah menjauh dari orang yang pikirannya melekat pada keduniawian dan kedagingan seperti ini. “Tujuan akhir yang hendak dicapai, itu membenarkan segala cara” atau “The end justifies, the means”’ kata pepatah bahasa Inggris. Disinilah masalah kerohanian berubah total menjadi masalah politik. Itulah sebabnya kita harus hati-hati dan jeli untuk dapat melihat, sampai titik mana suatu jubah keagamaan mulai ditukar tanpa sadar menjadi jubah politik. Jika sudah demikian, maka titik pijaknya bukan lagi masalah benar atau salah namun masalah menang atau kalah. Tak perduli cara yang dilakukan benar atau tidak. Menjebak artinya menggunakan cara pura-pura dan tipuan. Inilah cara yang mereka lakukan. Pertama mereka menyanjung-nyanjung Sang Kristus, dengan menyebut-Nya sebagai “Guru” serta memuji sifat-Nya sebagai “seorang yang jujur” serta mengacungkan jempol mereka atas metode pengajaran-Nya yang “dengan jujur mengajar jalan Allah” kemudian mengakui sikap Pribadi-Nya yang “tidak takut kepada siapa pun” sebab mereka tahu bahwa Yesus memegang prinsip secara kokoh karena “Engkau tidak mencari muka.” Mereka akui semuanya ini dan dengan tegas, mereka katakan “kami tahu”, namun pengetahuan mereka secara akali ini bukan pengenalan sacara “batin” itulah sebabnya batin mereka tetap dipenuhi kegelapan yang pekat, sepekat dalamnya gua yang tidak ada sinar masuk sedikitpun kedalamnya. Ini membuktikan kepandaian berteori serta kepandaian dalam ilmu apapun, termasuk ilmu agama atau ilmu Theologia belum tentu itu tanda Pencerahan Batin dan Pengenalan akan Yang Ilahi.
Mereka menggunakan jebakan yang mereka sangka tak mungkin Sang Kristus akan lolos dari pertanyaan jebakan mereka itu: “Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?" (Matius 22:17). Kala itu umat Israel dijajah Bangsa Romawi. Jika Sang Kristus menjawab bahwa mereka “diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar” maka Ia akan dituduh sebagai antek penjajah, dan dengan demikian mereka akan dapat menjerat Sang Kristus dari sisi ini, namun jika Ia mengatakan bahwa mereka “tidak diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar” maka Sang Kristus akan dilaporkan kepada pemerintah penjajah lalu ditangkap dan dihukum. Dari sisi apapun mereka mengira Sang Kristus tak mungkin lolos dari jebakan mereka. Namun bukanlah Sang Kristus jika “hikmat-Nya” dapat dilawan manusia biasa. Mereka ternyata keliru, dan Kristus tak dapat dijebak oleh mereka, karena “Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu.” (Matius 22:18). Ia bongkar topeng kejahatan mereka itu dengan menunjukkan masalah sebanarnya bahwa mereka itu hanya “mencobai Aku” dan bahwa mereka itu “orang-orang munafik” yang tidak tulus, yang berbeda antara apa yang nampak diluar yang disangka oleh manusia sebagai manusia-manusia saleh, dengan apa yang ada di dalam ternyata yang isinya adalah dengki, iri-hati, dendam, benci, kelicikan, tipu daya, dan keserakahan serta segala macam kejahatan. Sang Kristus tidak mau “menari menurut irama gendang kaum Munafik” ini. Beliau tidak mau “pertanyaan” dan “jawabannya” dikondisi dan ditentukan orang lain, Beliau telah memiliki “pertanyaan” dan “jawaban” sendiri. Beliau memiliki prinsip yang tak mudah digoyahkan oleh orang lain. Beliau tak mau hidupnya didikte menurut kemauan orang lain. Demikianlah masing-masing kita ini harus belajar berprinsip yang benar yang didasari oleh hikmat Allah, jangan mengikuti setiap angin yang berhembus. Kita akan rusak dan hancur jika kita ijinkan orang lain mengendalikan dan mendikte kehidupan kita. Kita yang harus menentukan apa yang harus kita capai berdasarkan pimpinan Tuhan yang telah kita terima masing-masing. Meminta nasihat dan pendapat orang boleh, namun pada akhirnya harus kita sendiri yang memutuskan apa yang hendak kita raih dan capai. Kita harus memiliki “hikmat” Ilahi bukan apa kata orang dan keinginan mereka untuk kita. Jangan ijinkan orang lain memperalat kita untuk tujuan dan kepentingan mereka sendiri. Sang Kristus menunjukkan bahwa “Hikmat-Nya” lebih unggul dari tipu daya mereka, dan tak mau diperalat sebagai sarana jebakan mereka, dengan tidak menjawab “boleh” atau “tidak” atas pertanyaan mereka itu.
Beliau meloncat mengatasi pertanyaan mereka yang menjebak itu dengan menanyakan balik: ”Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu." Mereka membawa suatu dinar kepada-Nya. Maka Ia bertanya kepada mereka: "Gambar dan tulisan siapakah ini?" Jawab mereka: "Gambar dan tulisan Kaisar." (Matius 22:19-21a). Inilah prinsip yang tegas, dalam setiap jebakan dan debat kita harus bisa menghindar dari giringan orang ke gawang mereka, jangan main sepak bola di lapangan musuh. Musuh itu yang harus kita tarik ke lapangan kita. Itulah sebabnya Kristus mengalihkan metode dan cara namun tetap berpijak pada masalah yang hakiki. Pajak itu adalah masalah “uang”, maka “uangnya” yang ditanyakan, bukan boleh atau tidaknya. Kita harus belajar mencari hakekat permasalahan bukan pernik-pernik yang tidak perlu yang justru akan merepotkan kita sendiri. Itulah Sang Kristus, dan prinsip demikian inilah yang harus kita teladani. Dari zaman dulu sampai sekarang ternyata sering uang itu bergambar kepala negara. Di Indonesia dulu gambar Bung Karno dan Pak Harto, di pemerintahan Romawipun gambarnya pada uang adalah gambar pemimpin tinggi negara: Kaisar. Berarti keuangan itu diatur oleh penguasa dan pemerintahan negara, dan untuk kepentingan negara. Sang Kristus berpikir praktis dan tidak banyak teori maupun bertele-tele, oleh karena itu Beliau langsung mengatakan hakikat permasalahannya pada mereka: ”Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." (Matius 22:21). Ini tidak berarti bahwa Kaisar atau pemerintah mempunyai hak mutlak atas pemerintahan diluar kekuasaan Allah, seolah-olah Allah bukan Penguasa Mutlak, karena Kitab Suci mengajarkan bahwa tidak ada pemerintahan yang tidak berasal dari Allah, dan bahwa pemerintah adalah “hamba Allah” untuk menghukum yang buruk dan menghadiahi yang baik (Roma 13:1 dst). Namun ini artinya bahwa manusia mempunyai dua kewajiban yang berbeda, dan dua tanggung jawab yang berbeda, yaitu tanggung jawab sipil dan tanggung jawab keagamaan, atau tanggung jawab rohani, dan kedua-duanya harus dijalankan tanpa dikacaukan. Jangan masalah agama dijadikan politik, hak Allah menjadi hak Kaisar, jangan pula masalah politik dijadikan masalah agama, hak Kaisar menjadi hak Allah. Dengan jawaban ini Kristus sekaligus mengkritik secara pedas, kekacauan antara hak-hak rohaniah yang dijadikan masalah politik ini dipihak para pemimpin Agama itu. Kristus tidak mengajarkan mengenai Kerajaan Politik, namun Kerajaan Batin, Kerajaan Rohani, Kerajaan Allah. Kaum Farisi itulah yang kacau pikirannya, ketika masalah pengembangan batin yang diajarkan Yesus dijadikan masalah politik, agar masalah batin itu dibungkam, karena batin mereka gelap pekat. Mereka ditelanjangi secara telak oleh Kristus, dan mereka gagal menjebak Yesus dengan menggunakan alas an politik. Sehingga “Mendengar itu heranlah mereka dan meninggalkan Yesus lalu pergi.” (Matius 22:22). Karena mereka tidak menyangka jebakan mereka gagal, justru sebaliknya warna hati mereka yang sebenarnya ditelanjangi. Mereka dipermalukan tanpa dapat membela diri, itulah sebabnya meraka “meninggalkan Yesus lalu pergi”.
Perginya orang-orang Farisi dan orang-orang Herodiani belum berarti selesainya masalah pada hari itu. Karena “Pada hari itu datanglah kepada Yesus beberapa orang Saduki” (Matius 22:23), yaitu golongan para Imam. Meskipun mereka ini memegang kekuasaan dalam hierarkhi keagamaan dan keimaman, serta keningratan Yahudi, namun mereka adalah orang-orang liberal dalam artian yang tidak mempercayai adanya hal-hal yang adi-kodrati itu, salah satunya adalah mereka percaya bahwa “tidak ada kebangkitan”. Secara kedudukan sosial serta pemahaman Theologis mereka adalah lawan kaum Farisi. Karena kaum Farisi berasal dari kaum kebanyakan, dan sangat konservatif dalam meyakini keyakinan tradisionil, bahkan kladang-kadang yang bersifat takhayulpun. Kaum Saduki adalah kaum “rasionalis” pada jamannya, yang tak mau percaya apa yang dianggap tidak masuk akal. Mereka lebih cenderung kompromi dengan budaya sekuler Yunani yang bersifat berhala pada zaman itu. Kita mungkin menganggap orang yang liberal, lebih rasionil, bersahabat dengan pemerintah penjajah, kompromi dengan budaya sekular pada zamannya, pasti akan lebih toleran kepada Sang Kristus. Namun dugaan kita ternyata tidak benar. Dengan gaya “rasionalisme” yang dangkal itu mereka juga berusaha menyerang Yesus, dengan mengajukan pertanyaan.
Karena merekapun merasa terancam kedudukan dan pengaruhnya oleh kharisma dan ketenaran Yesus Kristus diantara umat. Mereka merasa disaingi, mereka takut kalah pengaruh, oleh karena itu dengan cara apapun mereka ingin mempertahankan kedudukan mereka dengan jalan menjatuhkan Yesus dengan apa yang dianggap mereka sebagai “argumentasi rasional”. Yesus diserang secara argumentasi Theologis, setelah oleh orang Farisi dan orang Herodiani diserang secara praktek Hukum ibadah dan secara politik. Kaum Saduki ini berpura-pura alim akan agama, dengan mengutip dari Hukum Nabi Musa yang mengajarkan jika “seorang mati dengan tiada meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan isterinya itu dan membangkitkan keturunan bagi saudaranya itu” (Matius 22:24). Namun ayat itu bukan dikutip bagi memahami maksudnya menurut konteks yang ada, sebaliknya itu dijadikan bahan untuk menunjang keyakinan mereka yang kafir dan rasionalistis, itu dengan mengatakan bagaimana kalau ada tujuh orang bersaudara laki-laki semua dan semuanya mati, sehingga sesuai dengan tadi semua telah pernah mengawini perempuan yang sama dalam hari kebangkitan nanti. Siapakah suami perempuan itu nanti dari antara yang tujuh tadi? (Matius 22:25-28). Ternyata dibalik jubah keimaman mereka serta dibalik kuasa mereka sebagai Petinggi Agama sangat mungkin sekali manusia memiliki pemikiran yang sesat, ajaran yang menyimpang serta sikap yang mengkafiri kuasa Allah, itulah sebabnya Sang Kristus dengan keras menghardik “argumentasi rasional”: “Yesus menjawab mereka: "Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah!” (Matius 22:29). Yesus menelanjangi apa yang ada dibalik jubah keagamaan dan apa yang ada dibalik kuasa jabatan keimaman yang mereka miliki itu yaitu bahwa ternyata mereka ini “sesat”. Kesalehan lahiriah mereka dengan segala jubah dan perhiasan keagamaan yang mereka miliki ternyata tidak dibarengi dengan keyakinan batin yang benar. Di luar mereka kelihatan saleh dimata orang namun ternyata di dalam batin mereka itu “sesat”.
Itulah sebabnya kita telah diajar makin tegas lagi oleh data Kitab Suci ini bahwa kebenaran itu bukan terletak pada kekuasaan dan jabatan keagamaan, bukan pada pangkat dan gelar keagamaan, bukan pada kemampuan berargumentasi dan bukan pada kepandaian rasional, bukan pada pakaian luar dan penampakan luar keagamaan namun pada batin yang suci, tulus, benar dan beriman pada ajaran yang benar. Dengan demikian kita belajar juga bahwa kebenaran Ilahi itu bukan selalu terletak pada mereka yang memiliki jabatan tinggi dalam administrasi dan lembaga keagamaan. Namun pada orang yang batinnya sendiri telah mengalami pencerahan dan mempunyai hubungan yang benar dengan Allah dalam batin mereka yang terdalam. Sedangkan banyak juga petinggi agama yaitu orang-orang yang seperti Kaum Saduki dan bangga akan keberadaannya yang demikian ini justru menjadi gudang “kesesatan” dan “kekafiran”. Dalam kasus para Saduki ini kesesatan mereka terletak pada fakta bahwa mereka “tidak mengerti Kitab Suci” serta bahwa mereka tidak mengerti “kuasa Allah”. Banyak Petinggi Agama yang kelihatannya bergumul dengan Kitab Suci, namun ternyata mereka tidak tahu makna Kitab Suci itu yang sebenarnya. Seperti orang-orang Saduki ini, yang menggunakan undang-undang perkawinan yang khas untuk zaman itu untuk membuktikan tentang tidak adanya kebangkitan. Berarti membaca Kitab Suci lepas dari konteks dan lepas dari tujuan suatu masalah dibicarakan. Demikianlah maka jelas ketidak-tahuan Kitab Suci secara benar itu adalah penyebab segala macam kesesatan akidah. Betapa banyak petinggi gereja yang menjadi pemimpin hanya demi kekuasaan namun bukan karena cinta akan kebenaran Firman Allah, sehingga kekuasaan itu yang digunakan untuk mengendalikan orang yang mengikutinya, namun ia sendiri tidak mengerti secara mendalam Firman Allah itu. Umat bukan diajar namun hanya ditakut-takuti dengan kekuasaan yang dimilikinya.
Celakalah pemimpin agama yang demikian, dan akan celaka dan tersesat juga umat yang mengikuti pemimpin seperti ini. Karena hanya kekuasaan saja yang dinginkan oleh kaum Saduki ini, mereka tak perduli akan masalah-masalah yang bersifat adi-kodrati sehingga mereka tak yakin bahwa manusia yang mati dibangkitkan kembali, berarti mereka tak yakin akan kuasa Allah. Dengan demikian mereka tak yakin akan Allah yang hidup, karena agama yang dijalani dan diajarkan pada umatnya hanyalah tradisi turun temurun, dan kebiasaan-kebiasaan yang dihafalkan bukan karena persekutuan yang hidup dengan Allah. Mereka takut pada umat yang memiliki pengetahuan dan pendidikan tinggi untuk menutupi ketidak-tahuannya sendiri dan ketidak-dalaman kerohaniannya sendiri. Pikiran mereka sudah begitu duniawi meskipun mereka memegang kekuasaan dalam keagamaan sehingga mereka tidak tahu bahwa “pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga.” (Matius 22:30), jadi memang para pemimpin agama ini betul-betul tidak tahu Kitab Suci karena menggunakan ide otaknya sendiri. Mereka tidak mengerti kedalaman imannya sendiri, karena baginya kekuasaan itulah yang penting. Alangkah malangnya umat yang dipimpin oleh pemimpin agama semacam ini. Padahal kalau mereka menyelidiki Kitab Suci secara mendalam, meskipun Kaum Saduki ini tidak mau mengakui seluruh Perjanjian Lama yang kita kenal, hanya lima buah Kitab Nabi Musa saja yang mereka terima, yaitu: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan, terdapat jelas “tersirat” meskipun tidak tersurat bahwa ajaran kebangkitan itu ada, sebagaimana yang dikatakan Sang Kristus mengenai Sabda Allah bahwa Allah adalah “Allah”nya orang hidup, artinya di dalam Allah semua orang itu hidup, dengan demikian kebangkitan itu akan ada, dan roh manusia itu ada, dan hidup di hadirat Allah. (Matius 22: 31-32). Itulah sebabnya seorang pemimpin agama harus betul-betul punya keyakinan pribadi dan hubungan yang hidup dengan Allah sehingga bukan saja ia meyakini tetapi juga mengalami hal-hal adi-kodrati dengan Allah. Bukan hanya ia mengajar dari kemampuan otaknya sendiri, tetapi betul-betul berdasarkan firman Allah dari Kitab Suci. Lepas dari ini pemimpin agama yang demikian ini akan menyesatkan dirinya dan menyesatkan orang lain. Demikianlah argumentasi Theologia dari kaum Saduki inipun dipatahkan oleh Kristus dengan telak sama seperti argumentasi politis kaum Farisi itu juga dpatahkan-Nya. Sehingga :” Orang banyak yang mendengar itu takjub akan pengajaran-Nya.” (Matius 22:33).
Sudah dipatahkan argumentasi politisnya, dan gembira dengan kekalahan kaum Saduki, namun kaum Farisi itu tidak puas karena dari keduanya Yesus tetap sebagai pihak yang menang dalam argumentasi sehingga tak ada alasan mereka menjebak Dia, itulah sebabnya mereka berunding lagi dan mengajukan salah seorang ahkli hukum agama mereka yaitu “ahli Taurat” yang menanyakan masalah hukum kepada Kristus. Dan yang ditanyakan adalah hukum yang terbesar dalam Taurat. (Matius 22:34-36). Sang Kristus mengetahui benar bahwa pertanyaan mengenai hukum inipun sama seperti kedua jebakan diatas bukan keluar dari keinginan untuk mencapai kesempurnaan kedalaman batin yang ingin mencari kebenaran Ilahi namun hanya berupa kesalehan lahiriah, karena secara umum hukum yang ditekankan oleh kaum Farisi ini adalah bahwa: ” orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka;dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga” (Markus 7:3-4). Kesalehan lahiriah yang semacam inilah penyebab fanatik buta dan segala macam sikap benci terhadap orang yang secara lahir tidak mengikuti hukum-hukum yang tak ada manfaatnya secara batiniah dan secara akhlakiah ini. Dan Ini pula yang menyebabkan para petinggi agama mengendalikan para pengikutnya dengan ancaman hukum yang tidak mengenal kasih. Itulah sebabnya Kristus menghantam langsung pada akar masalah orang-orang ini dengan menunjukkan hukum yang sebenarnya harus mereka patuhi, yaitu “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Matius 22:37-40).
Jelas hukum bagi mencapai kedalaman batiniah itu bukan masalah hukum yang bersangkutan hanya dengan tata-cara dan aturan-aturan jasmani saja, namun itu perubahan radikal dalam batin yang bersumber dari kasih. Karena Kasih adalah sifat kodrat dari Allah sendiri, sebagaimana yang dikatakan “Allah adalah kasih” (I Yohanes 4:8). Dengan mengasihi Allah, maka manusia luluh dalam cinta ke dalam kasih Allah itu sendiri. Dan luluhnya diri ke dalam manunggal yang dalam dengan Allah dalam cinta ini menyangkut “segenap hati”, “segenap jiwa” “segenap akal budi”, berarti seluruh perangkat akal-budi batiniah manusia melebur dalam cinta ilahi, dan tidak ada tempat bagi mencintai diri sendiri, untuk memuja ego, mencari nama, takut tidak punya pengaruh, mencari kedudukan, semuanya ini hanyalah bentuk-bentuk “kemusyrikan” yaitu bentuk-bentuk penyembahan berhala yang amat halus. Karena ketika agama dijadikan alat dan tunggangan “politik”, ketika Theologi dijadikan permainan “rasionalisasi”, serta ketika hukum dijadikan “aturan-aturan lahiriah yang mati” pada saat itulah fondasi rohaniah yang benar telah musnah, dan kesempurnaan batin tak akan pernah tercapai. Hanya luluh dan lebur dalam cinta saja manusia betul-betul akan dapat mencapai kesempurnaan batiniah itu. Dan akibat melebur dan luluh dalam cinta yaitu dalam gerak energi ilahi ini, maka ia akan mengasihi sesamanya secara mendalam dan secara hakiki sebagai bagian tak terpisahkan dari Kasih dan Cinta akan Allah, karena hukum mengasihi sesama ini dinyatakan oleh Sang Kristus sebagai “yang sama dengan itu”, maksudnya yang sama dengan mengasihi Allah tadi. Demikianlah kasih akan Allah itu menimbulkan kasih akan sesama, sebab Allah menciptakan manusia dan menyelamatkannya dengan mengirimkan Sang Kristus itu karena “begitu besar kasih Allah akan dunia ini” (Yohanes 3:16), sehingga menyatu dalam kasih Allah berarti menyatu dalam kasih-Nya akan ciptaan-Nya serta akan segenap makhluk-Nya. Kasih akan Allah tak dapat dipisahkan dari kasih akan makhluk-Nya. Maka orang yang mengaku mengasihi Allah tetapi tindakannya tak menunjukkan kasih akan sesamanya, kasih orang yang demikian itu palsu, dan pemahamannya keliru, serta ucapannya hanya omong-kosong dan bohong belaka. Orang yang demikian ini adalah orang yang hanya banyak bicara tetapi hatinya dangkal, batinnya melompong.
Demikianlah Kristus telah membongkar semua fondasi kerohanian yang palsu dari para pemimpin agama itu, dengan demikian membongkar semua landasan kerohanian yang palsu dari kemanusiaan, agar dapat menciptakan suatu fondasi yang baru, suatu dunia rohani yang dilandasi oleh Iman kepada-Nya. Manusia telah menjadikan dirinya sendiri sebagai Tuhan, dan menjadikan egonya sendiri sebagai raja yang harus dipertuan. Itulah sebabnya setelah fondasi yang palsu itu telah dibongkar-bangkir oleh Sang Kristus, saatnya Ia mulai membangun dalam pemahaman manusia siapa yang sebenarnya harus dipertuan itu.
Umat Yahudi saat itu memercayai bahwa Mesias itu adalah keturunan Daud secara politik, tidak lebih dari itu (Matius 22: 41-42). Sang kristus mengkoreksi pendapat Theologi mereka yang tidak lengkap ini dengan mempertanyakan mengapa Roh Kudus mengilhami Daud sendiri untuk menyebut Mesias sebagai “tuan”nya (Matius 22:43-44), dan akan didudukan disebelah kanan Allah, serta mengalahkan musuh-musuh-Nya. Dengan demikian Mesias itu lebih dari sekedar keturunan Daud dan penggantinya secara politis saja, namun Mesias adalah “Tuan”nya Daud, serta memiliki kuasa ilahi sendiri. Berarti Mesias lebih dari sekedar manusia keturunan Daud, tak mungkin ia hanya anak secara manusia saja (Matius 22:45). Mendengar jawaban Sang Kristus ini, maka para pemimpin agama Yahudi di kala itu, langsung mengerti implikasi jawaban-Nya, oleh karena itu “Tidak ada seorang pun yang dapat menjawab-Nya” (Matius 22:46). Sebab itu berarti mereka harus mengakui bahwa Mesias itu sosok Ilahi, dan Ia memiliki kuasa atas segenap kehidupan manusia, dan itu berarti bahwa para pemimpin Agama itu harus rela turun takhta dan menjadikan Mesias itu sebagai yang diper”Tuan” bagi hidup mereka, seperti yang dilakukan Daud yang mereka percayai itu. Namun mereka tidak siap dan tidak mau menerima implikasi ajaran Kristus itu, sehingga “sejak hari itu tidak ada seorang pun juga yang berani menanyakan sesuatu kepada-Nya” (Matius 22:46). Tuntas sudah Sang Kristus membongkar “campur-baur” dan “kosong” nya (Kejadian 1:2) dunia batin manusia ini, serta menata dan menciptakan ulang secara baru dunia batin itu berlandaskan diri-Nya sebagai Mesias yaitu Firman Allah yang “menjadi manusia”. Sebagaimana “campur baur dan kosong”nya dunia awal ketika itu diciptakan akhirnya diatur dan diciptakan oleh Firman Allah sendiri yang mengatakan “Jadilah…maka jadi….” (Kejadian 1:1-27).
Setelah fondasi dunia batiniah yang baru diletakkan maka Kristus siap membersihkan sisa dunia batin yang lama dengan memberikan kritik dan kecamannya yang amat tajam, pedas dan menyakitkan sebagai puncak konflik dan konfrontasinya dengan para pemimpin agama yang menolak-Nya itu.
Pertama ia tujukan nasihat-Nya itu “kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya” (Matius 23:1), dengan perintah “turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu”, (Matius 23:3), karena “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa” (Matius 23:2), jadi sumber ajaran mereka yaitu ajaran Musa atau Wahyu Ilahi jangan sampai ditolak, kita semua harus berpegang dan jangan sampai menolak ajaran Ilahi karena itu memang milik Allah, namun kita diingatkan oleh Kristus “tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (Matius 23:3). Sang Kristus menunjukkan perbuatan-perbuatan para pemimpin agama yang kita tidak boleh menurutinya itu yaitu:
1) mengikat beban-beban berat yaitu mengajar yang sulit-sulit dan tak mudah dilakukan agar kelihatan bahwa mereka itu adalah orang beragama yang serius dan sungguh-sungguh, namun pada kenyataannya mereka itu “sendiri tidak mau menyentuhnya” (Matius 23:4), artinya dibelakang orang mereka sendiri tak mau melakukan apa yang diajarkan secara memberatkan pada orang lain itu,
2) Mereka itu gila hormat dan gila pujian orang dengan bentuk-bentuk lahiriah keagamaan “tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang” (Matius 23:5), jubah yang mewah-mewah, kalung Salib yang mahal-mahal, hiasan-hiasan yang menyolok mata, dan semua hiasan lahiriah lainnya , “hanya dimaksud supaya dilihat orang “ (Matius 23:5),
3) Mereka itu selalu ingin menonjol dan nampak dianggap orang yang penting, karena “mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat” (Matius 23:6) ,
4) Mereka suka dengan panggilan gelar-gelar yang makin membengkakkan ego mereka sendiri dimanapun mereka berada, misalnya Rabi (Guru Rohani), Bapa (Bapa Spiritual), Bos atau Petinggi atau Pemimpin yang dapat mengancam dan menakut-nakuti serta dengan kekuasaannya itu mengokohkan kedudukannya yang bersifat sementara. Pendeknya orang-orang ini mencuri kemuliaan Allah, karena Rabi yang Benar, dan Pemimpin yang benar itu hanya Kristus saja, serta Bapa yang hakiki itu hanya Allah saja (Matius 23:7-10).
5) Mereka ini orang-orang yang menganggap dirinya besar tetapi tidak mau menjadi pelayan seperti halnya yang dilakukan Kristus, mereka itu orang yang hanya ingin meninggikan diri dan tak mau merendahkan diri. Gaya hidupnya adalah gaya hidup mahal, ia hanya mau tinggal di hotel bintang lima, tetapi tak rela mengunjungi rumah umatnya yang miskin dan tak berpunya (Matius 23:11-12). Orang-orang yang tak mau menjadi pelayan, dan tak mau merendahkan diri seperti ini pastilah bukan orang rohani, biarpun dia menggunakan hiasan-hiasaan keagamaan yang mahal-mahal dan mewah-mewah. Dan hal-hal yang seperti ini yang harus kita hindari dan tidak kita turuti, kita harus takut mendekat kepada orang sperti ini, seperti kita takut mendekat pada penyakit yang menular. Kerohanian yang benar itulah kesederhanaan, dan berada secara apa adanya bukan dengan meninggi-ninggikan diri seperti itu. Inilah kesalehan lahiriah yang palsu. Inilah orang-orang yang batinnya sakit parah. Dan penyakit batin ini yang membuat para pemimpin agama itu dihardik dengan keras oleh Sang Kristus dengan ucapan “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi” (Matius 23:13, 14, 15, 16, 23,25,27,29) serta “orang-orang munafik” (Matius 23: 14,15,23,25, 27,29), dan “pemimpin-pemimpin yang buta dan bodoh” (Matius 23:16,17, 19,24,26) juga “ kamu ular-ular, hai kamu keturunan ular beludak! (Matius 23:33).
Kemunafikan, kebutaan dan kebodohan rohani serta kejahatan setaniah seperti ular itu amat serius bagi perkembangan batin kita, namun sayang bahwa orang jadi pemimpin agama belum tentu bebas dari kemunafikan, kebutaan dan kebodohan rohani, kejahatan setaniah ini. Itulah sebabnya kita masing-masing harus tidak beragama secara munafik, pura-pura diluarnya saja tetapi tidak sungguh dalam batin, serta juga tidak beragama secara buta dan bodoh, kita harus mengerti iman kita secara benar dan melakukan pembasuhan batin secara mendalam dari penyakit setaniah ini, sebab jika batin kita tidak dibersihkan dari penyakit-penyakitnya, maka kita akan beragama hanya secara lahiriah saja. Secara lahiriah para petinggi agama ini sangat aktif “mengarungi lautan dan menjelajah daratan, untuk menobatkan satu orang saja menjadi penganut agamamu” (Matius 23:15), karena ia memang ingin dianggap hebat dengan mempunyai banyak pengikut dan punya banyak bawahan. Namun sayang oleh kebutaan dan kebodohan batinnya itu justru mereka sendiri itu yang "menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk” (Matius 23:13), karena mereka hanya peduli pada kebesaran duniawi dan keterkenalan sementara saja, serta ingin membuat para pengikutnya itu untuk mentaati kemauannya agar dapat dikendalikan olehnya, bukan ingin membawa manusia ke dalam kesempurnaan batiniah, sehingga membuat para pengikutnya yang “sesudah ia bertobat” itu “menjadikan dia orang neraka, yang dua kali lebih jahat dari pada kamu sendiri” (Matius 23:15), Maka para petinggi agama yang semacam ini sudahlah pasti hukumannya, dan Kristus mengatakan mengenai mereka “Sebab itu kamu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat” (Matius 23:15).
Agama mereka digunakan sebagai topeng dan kepura-puraan, kesalehannya “dengan doa yang panjang-panjang” secara luar digunakan untuk “mengelabui” mata orang dari niat hatinya yang sebenarnya yaitu untuk “menelan rumah janda-janda” (Matius 23:14) artinya untuk mencari manfaat-manfaat dan hak-hak istimewa secara materi dan duniawi. Mereka mengajarkan hal-hal yang menyangkut Bait Allah, tetapi tidak peduli pada kesucian Bait Allah itu sendiri atau pada hadirat Ilahi yang ada dalam kesucian Bait Allah itu, namun hatinya ada pada “emas” dan “persembahan” yang ada pada Bait Allah itu (Matius 23:16-22), artinya hanya bentuk luar kemegahan dan manfaat duniawi dari kebesaran agama itulah yang dicarinya. Demikian juga hal-hal yang kecil-kecil dan thethek-bengek dari hukum persepuluhan mereka tekankan namun makna sebenarnya dari memberikan persepuluhan yaitu “keadilan, dan belas kasihan dan kesetiaan” (Matius 23:23) itu mereka tidak peduli. Mereka berada pada kulitnya, mereka senang pada bungkus dan berusaha memegang teguh pada bungkus keagamaan namun tidak perduli pada esensi yang benar dari keagamaan, itulah sebabnya batin mereka tidak pernah maju, keagamaan mereka menjadi mendheg dan macet. Dengan kata lain “nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu” serta “sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya” sehingga “kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih” , dan “di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang” (Matius 23:28)artinya hal-hal yang bersifat sampingan dan tidak perlu itu yang ditekankan dan hendak dipaksakan secara ketat ,sehingga”yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya” (Matius 23:27) namun “unta yang di dalamnya kamu telan” serta “sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan” dan “yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran” (Matius 23:24,25,27) karena “di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan” (Matius 23:28), artinya masalah-masalah akhlak, moral, kerohanian dan kesempurnaan batin yang jauh lebih besar dan lebih penting tidak peduli walau dilanggar dan diinjak-injak serta diremehkan dan tidak ditaati. Itulah sebabnya dengan suara ke-Nabi-an yang menggelegar penuh kuasa Sang Kristus menyerukan kepada mereka dan kepada kita semua “bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih” (Matius 23:26). Karena hati yang tidak dibersihkan secara sungguh dari dalam isinya adalah pembunuhan dan kebencian serta penolakan terhadap kebenaran suara ke-Nabi-an, yang dibuktikan dengan dibunuhnya para Nabi oleh para pemimpin agama sebelumnya yang kuburan para Nabi itu dipuja-puja tetapi suara ke-Nabi-an Kristus yang hidup itu tetap mereka tolak (Matius 23:29-31).
Sehingga perbuatan mereka itu tidak beda dari perbuatan para nenek moyang terdahalu yang juga menolak para nabi, justru mereka memenuhi takaran perbuatan para penolak Allah itu (Matius 23:32). Jika kitapun bersikap seperti para petinggi agama ini, maka kita semua petinggi agama atau bukan, akan terkena hal yang sama dari kesimpulan hardikan Sang Kristus ini: ”Bagaimanakah mungkin kamu dapat meluputkan diri dari hukuman neraka?” (Matius 23:33). Menjadi petinggi agama bukan menjadi jaminan bahwa seseorang diselamatkan, dan “luput dari hukuman neraka”. Malah sebaliknya, “sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat” (Yakobus 3:1). Itulah sebabnya, tidak semua pemimpin agama begitu saja harus kita ikuti, dengan dasar ia yang memiliki kekuasaan, tetapi kita hormati pemimpin rohani sebagaimana yang digariskan oleh Alkitab, mereka itu adalah: “Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar.” (I Timotius 5:17), “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu” (Ibrani13:17) “Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka.” (Ibrani 13:7), “Dan baiklah dia, yang menerima pengajaran dalam Firman, membagi segala sesuatu yang ada padanya dengan orang yang memberikan pengajaran itu” (Galatia 6:6). ”Kami minta kepadamu, saudara-saudara, supaya kamu menghormati mereka yang bekerja keras di antara kamu, yang memimpin kamu dalam Tuhan dan yang menegor kamu;dan supaya kamu sungguh-sungguh menjunjung mereka dalam kasih karena pekerjaan mereka.” (I Tesalonika 5:12-13). Jadi penghormatan, ketaatan, penundukan, sikap menjunjung dan kerelaan untuk memberi kepada pemimpin rohani itu dasarnya bukanlah hanya sekedar kekuasaan yang digelegarkan dari atas, namun dasarnya karena memang pemimpin rohani itu baik pimpinannya, berjaga-jaga tas jiwa kita melalui pengajaran dan khotbah serta nasihat dan tegoran, memberikan contoh hidup iman, bekerja keras diantara kita, yaitu ditengah-tengah kehidupan kita berkomunitas bersama. Itulah sebabnya Allah tidak mengirim penguasa, tetapi mengirim Nabi, Orang-Orang Bijaksana dan Ahli-Ahli Taurat, yaitu mereka yangf betul-betul menyampaikan pengajaran dan Firman Allah, bukan hanya ingin menunjukkan kuasa saja (Matius 23:34), meskipun mereka ini ditolak oleh para petinggi agama yang korup dan duniawi itu. Itulah sebabnya para pemimpin agama yang membunuh Firman Allah dan penyampainya itu akan pasti “menanggung akibat” (Matius 23:35). Dan akibatnya “Yerusalem” yaitu lingkup komunitas akan mengalami kehancuran, dan “ditinggalkan menjadi sunyi” (Matius 23:37-38), karena mereka akan ditawan, Artinya Gereja tidak akan mengalami kebangunan dan kehidupan dalam kepemimpinan orang yang semacam itu. Akibatnya orang yang demikian “tidak akan melihat Aku lagi” (Matius 23:39), artinya tidak dapat mengalami Kristus secara pribadi dalam pelayanannya, kecuali pada akhir zaman ketika Yesus Kristus datang dan semua mengatakan: ”Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan” (Matius 23:39), ketika ia harus menerima penghakiman nanti. Kiranya kita merenungkan ajaran Kristus kali ini, dan rela untuk merombak apa yang tidak benar dalam diri kita sehingga kita dapat mengikuti derita Kristus menuju kepada perubahan fondasi rohani bagi mencapai kesempurnaan batiniah. Amin.
ismil Abi, wal Ibni, war Ruhul Quddus, Al-Ilahu Wahid. Amin.
Shaloom Aleikhem Be-Shem Ha-Massiakh,
Ibadah Senin Kudus Sore ini disebut sebagai Ibadah Pengantin, karena disinilah Sang Pengantin Pria (Kristus) itu datang mulai datang mencari Pengantin Wanita (Gereja), dengan masuk ke dalam jurang kesengsaraan Pegantin Wanita yang berada dalam Sengsara Dosa itu. Itulah sebabnya Sore ini Ikon Perendahan Yang Luar Biasa dari Sang Kristus itu diarak dan kemudian ditaruh ditengah Ruangan Bahtera tepat didepan Pintu Gerbang Agung dimana Mezbah berada.
Kristus memasuki deritanya melalui konfrontasi dan konfliknya dengan para Petinggi Agama Yahudi, dan harus menghadapi kedengkian mereka. Inilah hari kedua pertemuan Sang Kristus dengan para Pemimpin Agama Yahudi dalam Pekan Kudus dikala itu. Konfrontasi makin memuncak, Sabda Yesus kepada mereka makin keras dan tajam. Namun dalam kecaman Beliau terhadap para Pemimpin Agama ini kita dapat belajar banyak tentang prinsip-prinsip kebenaran yang harus menjadi pegangan hidup dan iman kita. Karena disinilah kita melihat bagaimana Sang Kristus membelejedi (menelanjanggi) topeng-topeng kesalehan lahiriah manusia, agar menemukan mutiara batin yang terdalam yang bersinar dari kalbu nurani yang murni agar manusia dapat mencapai kesempurnaan batiniah.
Dalam konfrontasiNya dengan golongan para Imam yaitu Kaum Saduki, dan golongan Penjunjung Tradisi yaitu Kaum Farisi beserta Golongan Politikus: Kaum Herodiani, serta Golongan Pemikir Agama : Ahli Taurat, itu beberapa masalah keimanan diajukan kepada Beliau. Namun sayang, masalah-masalah yang diajukan itu bukan karena mereka benar-benar ingin mencari tahu tentang kebenaran, tetapi digunakan sebagai dalih untruk menjebak Yesus Kristus. Kepada Beliau dipertanyakan oleh Golongan Penjunjung Tradisi: Farisi tentang hubungan antara Kaisar dan Allah, serta oleh Golongan Kaum Imam: Saduki, tentang mungkin tidaknya Kebangkitan, serta Golongan Ahli Taurat, yang mempertanyakan tentang Hukum yang Terutama di dalam Taurat. Puncak dari kritik ilahi yang dilakukan Yesus terhadap ketiadaan iman Para Petinggi Agama ini adalah kecaman dan hardikan pedas yang menusuk sakit sekali ke dalam rasa ego hati mereka, dalam Sabda-Nya yang panjang itu.
Setelah peristiwa kritikan oleh Sang Kristus Yesus dalam perumpamaan-Nya tentang penggarap-pengarap kebun anggur dalam bacaan kita pada ibadah Minggu Palem Sore itu tentu saja hati orang Farisi merasa dendam sekali. Namun sakit hati ini disebabkan karena mereka tahu kebenaran namun tidak mau mengubah sikap mereka sesuai dengan kebenaran yang mereka ketahui itu. Maka ketika manusia melekat pada dosa dan tak mau mengubah tingkah langkahnya, dosa itu akan makin menambah-nambah kejahatan dan kekejamannya pada batin manusia sehingga “orang-orang Farisi; ….berunding bagaimana mereka dapat menjerat Yesus dengan suatu pertanyaan” (Matius 22:15). “Pertanyaan” yang seharusnya digunakan untuk mencari tahu kebenaran agar mendapat pencerahan malah digunakan untruk menipu dan menjerat untuk makin membuat keruh nurani dan mempergelap batin. Disinilah ironisnya sifat manusia itu, orang yang dekat dengan sumber kebenaran, orang yang bergelut setiap saat dengan masalah-masalah keagamaan, orang yang setiap harinya berunding masalah-masalah hukum ilahi dari Kitab Suci, pada saat titik yang menentukan untuk mendapatkan pencerahan dengan berhadapan langsung dengan Sang Kebenaran ini malahan mereka gunakan “berunding” itu untuk “dapat menjerat”. Agama menjadi suatu profesi dan kebanggaan namun bukan sebagai penyempurna batin, sehingga otaknya penuh dengan teori dan pengetahuan namun batin dan hatinya tetap kering kerontang dan gelap-pekat. Batin yang demikianlah yang mudah dipenuhi dengan iri hati, dengki, mudah tersinggung dan dendam serta segala macam tipu daya. Tipu daya dan kelicikan kaum agamawan ini dinyatakan dalam bacaan kita ini demikian: “Mereka menyuruh murid-murid mereka bersama-sama orang-orang Herodian bertanya kepada-Nya: "Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka.” (Matius 22:16). Inilah bentuk kelicikan. Yang berunding dan menjadi otak dari segala kejahatan itu adalah para petinggi Agama dan Kaum Agamawan itu sendiri, namun mereka menyembunyikan kejahatan mereka itu dengan tidak mau menampakkan diri karena “Mereka menyuruh murid-murid mereka” sehingga yang tampak jahat adalah orang lain bukan diri mereka sendiri.
Justru kaum agamawan yang berfikiran kotor inilah sering yang menjadi biang huru-hara, karena menjadi seorang agamawan belum tentu seorang suci atau seorang rohani. Mereka menggunakan taktik “Lempar Batu, sembunyi tangan”, atau menggunakan istilah bahasa Jawa “ Nabok nyilih tangan” (“Memukul dari belakang meminjam tangan orang lain”). Namun bukan hanya murid-murid mereka saja yang diperalat bagi mencapai tujuan untuk topeng kejahatan mereka ini, namun murid-muridnya ini diperalat “bersama-sama orang-orang Herodian.” Padahal orang-orang Herodiani ini adalah Partai Pengikut Herodes antek Penjajah Romawi yang dibenci Kaum Farisi itu sendiri. Disinilah betul-betul kekuatan agama dan politik mulai bergandengan tangan merapatkan barisan untuk melawan kebenaran. Segenap kekuatan kegelapan baik dari sisi agama maupun dari sisi duniawi mulai unjuk gigi melawan Terang Ilahi itu. Ini terjadi karena para petinggi agama itu menonjolkan kepentingan pribadi, pengaruh dan kedudukan, sehingga sudah lupa siapa musuh dan siapa kawan, apa saja dapat diperalat asal tujuan mereka untuk melakukan kejahatan itu tercapai.
Prinsip moral dan prinsip pemikiran dikalahkan oleh kepentingan sesaat. Pertanyaan moral dan keadilan sudah menjauh dari orang yang pikirannya melekat pada keduniawian dan kedagingan seperti ini. “Tujuan akhir yang hendak dicapai, itu membenarkan segala cara” atau “The end justifies, the means”’ kata pepatah bahasa Inggris. Disinilah masalah kerohanian berubah total menjadi masalah politik. Itulah sebabnya kita harus hati-hati dan jeli untuk dapat melihat, sampai titik mana suatu jubah keagamaan mulai ditukar tanpa sadar menjadi jubah politik. Jika sudah demikian, maka titik pijaknya bukan lagi masalah benar atau salah namun masalah menang atau kalah. Tak perduli cara yang dilakukan benar atau tidak. Menjebak artinya menggunakan cara pura-pura dan tipuan. Inilah cara yang mereka lakukan. Pertama mereka menyanjung-nyanjung Sang Kristus, dengan menyebut-Nya sebagai “Guru” serta memuji sifat-Nya sebagai “seorang yang jujur” serta mengacungkan jempol mereka atas metode pengajaran-Nya yang “dengan jujur mengajar jalan Allah” kemudian mengakui sikap Pribadi-Nya yang “tidak takut kepada siapa pun” sebab mereka tahu bahwa Yesus memegang prinsip secara kokoh karena “Engkau tidak mencari muka.” Mereka akui semuanya ini dan dengan tegas, mereka katakan “kami tahu”, namun pengetahuan mereka secara akali ini bukan pengenalan sacara “batin” itulah sebabnya batin mereka tetap dipenuhi kegelapan yang pekat, sepekat dalamnya gua yang tidak ada sinar masuk sedikitpun kedalamnya. Ini membuktikan kepandaian berteori serta kepandaian dalam ilmu apapun, termasuk ilmu agama atau ilmu Theologia belum tentu itu tanda Pencerahan Batin dan Pengenalan akan Yang Ilahi.
Mereka menggunakan jebakan yang mereka sangka tak mungkin Sang Kristus akan lolos dari pertanyaan jebakan mereka itu: “Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?" (Matius 22:17). Kala itu umat Israel dijajah Bangsa Romawi. Jika Sang Kristus menjawab bahwa mereka “diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar” maka Ia akan dituduh sebagai antek penjajah, dan dengan demikian mereka akan dapat menjerat Sang Kristus dari sisi ini, namun jika Ia mengatakan bahwa mereka “tidak diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar” maka Sang Kristus akan dilaporkan kepada pemerintah penjajah lalu ditangkap dan dihukum. Dari sisi apapun mereka mengira Sang Kristus tak mungkin lolos dari jebakan mereka. Namun bukanlah Sang Kristus jika “hikmat-Nya” dapat dilawan manusia biasa. Mereka ternyata keliru, dan Kristus tak dapat dijebak oleh mereka, karena “Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu.” (Matius 22:18). Ia bongkar topeng kejahatan mereka itu dengan menunjukkan masalah sebanarnya bahwa mereka itu hanya “mencobai Aku” dan bahwa mereka itu “orang-orang munafik” yang tidak tulus, yang berbeda antara apa yang nampak diluar yang disangka oleh manusia sebagai manusia-manusia saleh, dengan apa yang ada di dalam ternyata yang isinya adalah dengki, iri-hati, dendam, benci, kelicikan, tipu daya, dan keserakahan serta segala macam kejahatan. Sang Kristus tidak mau “menari menurut irama gendang kaum Munafik” ini. Beliau tidak mau “pertanyaan” dan “jawabannya” dikondisi dan ditentukan orang lain, Beliau telah memiliki “pertanyaan” dan “jawaban” sendiri. Beliau memiliki prinsip yang tak mudah digoyahkan oleh orang lain. Beliau tak mau hidupnya didikte menurut kemauan orang lain. Demikianlah masing-masing kita ini harus belajar berprinsip yang benar yang didasari oleh hikmat Allah, jangan mengikuti setiap angin yang berhembus. Kita akan rusak dan hancur jika kita ijinkan orang lain mengendalikan dan mendikte kehidupan kita. Kita yang harus menentukan apa yang harus kita capai berdasarkan pimpinan Tuhan yang telah kita terima masing-masing. Meminta nasihat dan pendapat orang boleh, namun pada akhirnya harus kita sendiri yang memutuskan apa yang hendak kita raih dan capai. Kita harus memiliki “hikmat” Ilahi bukan apa kata orang dan keinginan mereka untuk kita. Jangan ijinkan orang lain memperalat kita untuk tujuan dan kepentingan mereka sendiri. Sang Kristus menunjukkan bahwa “Hikmat-Nya” lebih unggul dari tipu daya mereka, dan tak mau diperalat sebagai sarana jebakan mereka, dengan tidak menjawab “boleh” atau “tidak” atas pertanyaan mereka itu.
Beliau meloncat mengatasi pertanyaan mereka yang menjebak itu dengan menanyakan balik: ”Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu." Mereka membawa suatu dinar kepada-Nya. Maka Ia bertanya kepada mereka: "Gambar dan tulisan siapakah ini?" Jawab mereka: "Gambar dan tulisan Kaisar." (Matius 22:19-21a). Inilah prinsip yang tegas, dalam setiap jebakan dan debat kita harus bisa menghindar dari giringan orang ke gawang mereka, jangan main sepak bola di lapangan musuh. Musuh itu yang harus kita tarik ke lapangan kita. Itulah sebabnya Kristus mengalihkan metode dan cara namun tetap berpijak pada masalah yang hakiki. Pajak itu adalah masalah “uang”, maka “uangnya” yang ditanyakan, bukan boleh atau tidaknya. Kita harus belajar mencari hakekat permasalahan bukan pernik-pernik yang tidak perlu yang justru akan merepotkan kita sendiri. Itulah Sang Kristus, dan prinsip demikian inilah yang harus kita teladani. Dari zaman dulu sampai sekarang ternyata sering uang itu bergambar kepala negara. Di Indonesia dulu gambar Bung Karno dan Pak Harto, di pemerintahan Romawipun gambarnya pada uang adalah gambar pemimpin tinggi negara: Kaisar. Berarti keuangan itu diatur oleh penguasa dan pemerintahan negara, dan untuk kepentingan negara. Sang Kristus berpikir praktis dan tidak banyak teori maupun bertele-tele, oleh karena itu Beliau langsung mengatakan hakikat permasalahannya pada mereka: ”Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." (Matius 22:21). Ini tidak berarti bahwa Kaisar atau pemerintah mempunyai hak mutlak atas pemerintahan diluar kekuasaan Allah, seolah-olah Allah bukan Penguasa Mutlak, karena Kitab Suci mengajarkan bahwa tidak ada pemerintahan yang tidak berasal dari Allah, dan bahwa pemerintah adalah “hamba Allah” untuk menghukum yang buruk dan menghadiahi yang baik (Roma 13:1 dst). Namun ini artinya bahwa manusia mempunyai dua kewajiban yang berbeda, dan dua tanggung jawab yang berbeda, yaitu tanggung jawab sipil dan tanggung jawab keagamaan, atau tanggung jawab rohani, dan kedua-duanya harus dijalankan tanpa dikacaukan. Jangan masalah agama dijadikan politik, hak Allah menjadi hak Kaisar, jangan pula masalah politik dijadikan masalah agama, hak Kaisar menjadi hak Allah. Dengan jawaban ini Kristus sekaligus mengkritik secara pedas, kekacauan antara hak-hak rohaniah yang dijadikan masalah politik ini dipihak para pemimpin Agama itu. Kristus tidak mengajarkan mengenai Kerajaan Politik, namun Kerajaan Batin, Kerajaan Rohani, Kerajaan Allah. Kaum Farisi itulah yang kacau pikirannya, ketika masalah pengembangan batin yang diajarkan Yesus dijadikan masalah politik, agar masalah batin itu dibungkam, karena batin mereka gelap pekat. Mereka ditelanjangi secara telak oleh Kristus, dan mereka gagal menjebak Yesus dengan menggunakan alas an politik. Sehingga “Mendengar itu heranlah mereka dan meninggalkan Yesus lalu pergi.” (Matius 22:22). Karena mereka tidak menyangka jebakan mereka gagal, justru sebaliknya warna hati mereka yang sebenarnya ditelanjangi. Mereka dipermalukan tanpa dapat membela diri, itulah sebabnya meraka “meninggalkan Yesus lalu pergi”.
Perginya orang-orang Farisi dan orang-orang Herodiani belum berarti selesainya masalah pada hari itu. Karena “Pada hari itu datanglah kepada Yesus beberapa orang Saduki” (Matius 22:23), yaitu golongan para Imam. Meskipun mereka ini memegang kekuasaan dalam hierarkhi keagamaan dan keimaman, serta keningratan Yahudi, namun mereka adalah orang-orang liberal dalam artian yang tidak mempercayai adanya hal-hal yang adi-kodrati itu, salah satunya adalah mereka percaya bahwa “tidak ada kebangkitan”. Secara kedudukan sosial serta pemahaman Theologis mereka adalah lawan kaum Farisi. Karena kaum Farisi berasal dari kaum kebanyakan, dan sangat konservatif dalam meyakini keyakinan tradisionil, bahkan kladang-kadang yang bersifat takhayulpun. Kaum Saduki adalah kaum “rasionalis” pada jamannya, yang tak mau percaya apa yang dianggap tidak masuk akal. Mereka lebih cenderung kompromi dengan budaya sekuler Yunani yang bersifat berhala pada zaman itu. Kita mungkin menganggap orang yang liberal, lebih rasionil, bersahabat dengan pemerintah penjajah, kompromi dengan budaya sekular pada zamannya, pasti akan lebih toleran kepada Sang Kristus. Namun dugaan kita ternyata tidak benar. Dengan gaya “rasionalisme” yang dangkal itu mereka juga berusaha menyerang Yesus, dengan mengajukan pertanyaan.
Karena merekapun merasa terancam kedudukan dan pengaruhnya oleh kharisma dan ketenaran Yesus Kristus diantara umat. Mereka merasa disaingi, mereka takut kalah pengaruh, oleh karena itu dengan cara apapun mereka ingin mempertahankan kedudukan mereka dengan jalan menjatuhkan Yesus dengan apa yang dianggap mereka sebagai “argumentasi rasional”. Yesus diserang secara argumentasi Theologis, setelah oleh orang Farisi dan orang Herodiani diserang secara praktek Hukum ibadah dan secara politik. Kaum Saduki ini berpura-pura alim akan agama, dengan mengutip dari Hukum Nabi Musa yang mengajarkan jika “seorang mati dengan tiada meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan isterinya itu dan membangkitkan keturunan bagi saudaranya itu” (Matius 22:24). Namun ayat itu bukan dikutip bagi memahami maksudnya menurut konteks yang ada, sebaliknya itu dijadikan bahan untuk menunjang keyakinan mereka yang kafir dan rasionalistis, itu dengan mengatakan bagaimana kalau ada tujuh orang bersaudara laki-laki semua dan semuanya mati, sehingga sesuai dengan tadi semua telah pernah mengawini perempuan yang sama dalam hari kebangkitan nanti. Siapakah suami perempuan itu nanti dari antara yang tujuh tadi? (Matius 22:25-28). Ternyata dibalik jubah keimaman mereka serta dibalik kuasa mereka sebagai Petinggi Agama sangat mungkin sekali manusia memiliki pemikiran yang sesat, ajaran yang menyimpang serta sikap yang mengkafiri kuasa Allah, itulah sebabnya Sang Kristus dengan keras menghardik “argumentasi rasional”: “Yesus menjawab mereka: "Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah!” (Matius 22:29). Yesus menelanjangi apa yang ada dibalik jubah keagamaan dan apa yang ada dibalik kuasa jabatan keimaman yang mereka miliki itu yaitu bahwa ternyata mereka ini “sesat”. Kesalehan lahiriah mereka dengan segala jubah dan perhiasan keagamaan yang mereka miliki ternyata tidak dibarengi dengan keyakinan batin yang benar. Di luar mereka kelihatan saleh dimata orang namun ternyata di dalam batin mereka itu “sesat”.
Itulah sebabnya kita telah diajar makin tegas lagi oleh data Kitab Suci ini bahwa kebenaran itu bukan terletak pada kekuasaan dan jabatan keagamaan, bukan pada pangkat dan gelar keagamaan, bukan pada kemampuan berargumentasi dan bukan pada kepandaian rasional, bukan pada pakaian luar dan penampakan luar keagamaan namun pada batin yang suci, tulus, benar dan beriman pada ajaran yang benar. Dengan demikian kita belajar juga bahwa kebenaran Ilahi itu bukan selalu terletak pada mereka yang memiliki jabatan tinggi dalam administrasi dan lembaga keagamaan. Namun pada orang yang batinnya sendiri telah mengalami pencerahan dan mempunyai hubungan yang benar dengan Allah dalam batin mereka yang terdalam. Sedangkan banyak juga petinggi agama yaitu orang-orang yang seperti Kaum Saduki dan bangga akan keberadaannya yang demikian ini justru menjadi gudang “kesesatan” dan “kekafiran”. Dalam kasus para Saduki ini kesesatan mereka terletak pada fakta bahwa mereka “tidak mengerti Kitab Suci” serta bahwa mereka tidak mengerti “kuasa Allah”. Banyak Petinggi Agama yang kelihatannya bergumul dengan Kitab Suci, namun ternyata mereka tidak tahu makna Kitab Suci itu yang sebenarnya. Seperti orang-orang Saduki ini, yang menggunakan undang-undang perkawinan yang khas untuk zaman itu untuk membuktikan tentang tidak adanya kebangkitan. Berarti membaca Kitab Suci lepas dari konteks dan lepas dari tujuan suatu masalah dibicarakan. Demikianlah maka jelas ketidak-tahuan Kitab Suci secara benar itu adalah penyebab segala macam kesesatan akidah. Betapa banyak petinggi gereja yang menjadi pemimpin hanya demi kekuasaan namun bukan karena cinta akan kebenaran Firman Allah, sehingga kekuasaan itu yang digunakan untuk mengendalikan orang yang mengikutinya, namun ia sendiri tidak mengerti secara mendalam Firman Allah itu. Umat bukan diajar namun hanya ditakut-takuti dengan kekuasaan yang dimilikinya.
Celakalah pemimpin agama yang demikian, dan akan celaka dan tersesat juga umat yang mengikuti pemimpin seperti ini. Karena hanya kekuasaan saja yang dinginkan oleh kaum Saduki ini, mereka tak perduli akan masalah-masalah yang bersifat adi-kodrati sehingga mereka tak yakin bahwa manusia yang mati dibangkitkan kembali, berarti mereka tak yakin akan kuasa Allah. Dengan demikian mereka tak yakin akan Allah yang hidup, karena agama yang dijalani dan diajarkan pada umatnya hanyalah tradisi turun temurun, dan kebiasaan-kebiasaan yang dihafalkan bukan karena persekutuan yang hidup dengan Allah. Mereka takut pada umat yang memiliki pengetahuan dan pendidikan tinggi untuk menutupi ketidak-tahuannya sendiri dan ketidak-dalaman kerohaniannya sendiri. Pikiran mereka sudah begitu duniawi meskipun mereka memegang kekuasaan dalam keagamaan sehingga mereka tidak tahu bahwa “pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga.” (Matius 22:30), jadi memang para pemimpin agama ini betul-betul tidak tahu Kitab Suci karena menggunakan ide otaknya sendiri. Mereka tidak mengerti kedalaman imannya sendiri, karena baginya kekuasaan itulah yang penting. Alangkah malangnya umat yang dipimpin oleh pemimpin agama semacam ini. Padahal kalau mereka menyelidiki Kitab Suci secara mendalam, meskipun Kaum Saduki ini tidak mau mengakui seluruh Perjanjian Lama yang kita kenal, hanya lima buah Kitab Nabi Musa saja yang mereka terima, yaitu: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan, terdapat jelas “tersirat” meskipun tidak tersurat bahwa ajaran kebangkitan itu ada, sebagaimana yang dikatakan Sang Kristus mengenai Sabda Allah bahwa Allah adalah “Allah”nya orang hidup, artinya di dalam Allah semua orang itu hidup, dengan demikian kebangkitan itu akan ada, dan roh manusia itu ada, dan hidup di hadirat Allah. (Matius 22: 31-32). Itulah sebabnya seorang pemimpin agama harus betul-betul punya keyakinan pribadi dan hubungan yang hidup dengan Allah sehingga bukan saja ia meyakini tetapi juga mengalami hal-hal adi-kodrati dengan Allah. Bukan hanya ia mengajar dari kemampuan otaknya sendiri, tetapi betul-betul berdasarkan firman Allah dari Kitab Suci. Lepas dari ini pemimpin agama yang demikian ini akan menyesatkan dirinya dan menyesatkan orang lain. Demikianlah argumentasi Theologia dari kaum Saduki inipun dipatahkan oleh Kristus dengan telak sama seperti argumentasi politis kaum Farisi itu juga dpatahkan-Nya. Sehingga :” Orang banyak yang mendengar itu takjub akan pengajaran-Nya.” (Matius 22:33).
Sudah dipatahkan argumentasi politisnya, dan gembira dengan kekalahan kaum Saduki, namun kaum Farisi itu tidak puas karena dari keduanya Yesus tetap sebagai pihak yang menang dalam argumentasi sehingga tak ada alasan mereka menjebak Dia, itulah sebabnya mereka berunding lagi dan mengajukan salah seorang ahkli hukum agama mereka yaitu “ahli Taurat” yang menanyakan masalah hukum kepada Kristus. Dan yang ditanyakan adalah hukum yang terbesar dalam Taurat. (Matius 22:34-36). Sang Kristus mengetahui benar bahwa pertanyaan mengenai hukum inipun sama seperti kedua jebakan diatas bukan keluar dari keinginan untuk mencapai kesempurnaan kedalaman batin yang ingin mencari kebenaran Ilahi namun hanya berupa kesalehan lahiriah, karena secara umum hukum yang ditekankan oleh kaum Farisi ini adalah bahwa: ” orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka;dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga” (Markus 7:3-4). Kesalehan lahiriah yang semacam inilah penyebab fanatik buta dan segala macam sikap benci terhadap orang yang secara lahir tidak mengikuti hukum-hukum yang tak ada manfaatnya secara batiniah dan secara akhlakiah ini. Dan Ini pula yang menyebabkan para petinggi agama mengendalikan para pengikutnya dengan ancaman hukum yang tidak mengenal kasih. Itulah sebabnya Kristus menghantam langsung pada akar masalah orang-orang ini dengan menunjukkan hukum yang sebenarnya harus mereka patuhi, yaitu “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Matius 22:37-40).
Jelas hukum bagi mencapai kedalaman batiniah itu bukan masalah hukum yang bersangkutan hanya dengan tata-cara dan aturan-aturan jasmani saja, namun itu perubahan radikal dalam batin yang bersumber dari kasih. Karena Kasih adalah sifat kodrat dari Allah sendiri, sebagaimana yang dikatakan “Allah adalah kasih” (I Yohanes 4:8). Dengan mengasihi Allah, maka manusia luluh dalam cinta ke dalam kasih Allah itu sendiri. Dan luluhnya diri ke dalam manunggal yang dalam dengan Allah dalam cinta ini menyangkut “segenap hati”, “segenap jiwa” “segenap akal budi”, berarti seluruh perangkat akal-budi batiniah manusia melebur dalam cinta ilahi, dan tidak ada tempat bagi mencintai diri sendiri, untuk memuja ego, mencari nama, takut tidak punya pengaruh, mencari kedudukan, semuanya ini hanyalah bentuk-bentuk “kemusyrikan” yaitu bentuk-bentuk penyembahan berhala yang amat halus. Karena ketika agama dijadikan alat dan tunggangan “politik”, ketika Theologi dijadikan permainan “rasionalisasi”, serta ketika hukum dijadikan “aturan-aturan lahiriah yang mati” pada saat itulah fondasi rohaniah yang benar telah musnah, dan kesempurnaan batin tak akan pernah tercapai. Hanya luluh dan lebur dalam cinta saja manusia betul-betul akan dapat mencapai kesempurnaan batiniah itu. Dan akibat melebur dan luluh dalam cinta yaitu dalam gerak energi ilahi ini, maka ia akan mengasihi sesamanya secara mendalam dan secara hakiki sebagai bagian tak terpisahkan dari Kasih dan Cinta akan Allah, karena hukum mengasihi sesama ini dinyatakan oleh Sang Kristus sebagai “yang sama dengan itu”, maksudnya yang sama dengan mengasihi Allah tadi. Demikianlah kasih akan Allah itu menimbulkan kasih akan sesama, sebab Allah menciptakan manusia dan menyelamatkannya dengan mengirimkan Sang Kristus itu karena “begitu besar kasih Allah akan dunia ini” (Yohanes 3:16), sehingga menyatu dalam kasih Allah berarti menyatu dalam kasih-Nya akan ciptaan-Nya serta akan segenap makhluk-Nya. Kasih akan Allah tak dapat dipisahkan dari kasih akan makhluk-Nya. Maka orang yang mengaku mengasihi Allah tetapi tindakannya tak menunjukkan kasih akan sesamanya, kasih orang yang demikian itu palsu, dan pemahamannya keliru, serta ucapannya hanya omong-kosong dan bohong belaka. Orang yang demikian ini adalah orang yang hanya banyak bicara tetapi hatinya dangkal, batinnya melompong.
Demikianlah Kristus telah membongkar semua fondasi kerohanian yang palsu dari para pemimpin agama itu, dengan demikian membongkar semua landasan kerohanian yang palsu dari kemanusiaan, agar dapat menciptakan suatu fondasi yang baru, suatu dunia rohani yang dilandasi oleh Iman kepada-Nya. Manusia telah menjadikan dirinya sendiri sebagai Tuhan, dan menjadikan egonya sendiri sebagai raja yang harus dipertuan. Itulah sebabnya setelah fondasi yang palsu itu telah dibongkar-bangkir oleh Sang Kristus, saatnya Ia mulai membangun dalam pemahaman manusia siapa yang sebenarnya harus dipertuan itu.
Umat Yahudi saat itu memercayai bahwa Mesias itu adalah keturunan Daud secara politik, tidak lebih dari itu (Matius 22: 41-42). Sang kristus mengkoreksi pendapat Theologi mereka yang tidak lengkap ini dengan mempertanyakan mengapa Roh Kudus mengilhami Daud sendiri untuk menyebut Mesias sebagai “tuan”nya (Matius 22:43-44), dan akan didudukan disebelah kanan Allah, serta mengalahkan musuh-musuh-Nya. Dengan demikian Mesias itu lebih dari sekedar keturunan Daud dan penggantinya secara politis saja, namun Mesias adalah “Tuan”nya Daud, serta memiliki kuasa ilahi sendiri. Berarti Mesias lebih dari sekedar manusia keturunan Daud, tak mungkin ia hanya anak secara manusia saja (Matius 22:45). Mendengar jawaban Sang Kristus ini, maka para pemimpin agama Yahudi di kala itu, langsung mengerti implikasi jawaban-Nya, oleh karena itu “Tidak ada seorang pun yang dapat menjawab-Nya” (Matius 22:46). Sebab itu berarti mereka harus mengakui bahwa Mesias itu sosok Ilahi, dan Ia memiliki kuasa atas segenap kehidupan manusia, dan itu berarti bahwa para pemimpin Agama itu harus rela turun takhta dan menjadikan Mesias itu sebagai yang diper”Tuan” bagi hidup mereka, seperti yang dilakukan Daud yang mereka percayai itu. Namun mereka tidak siap dan tidak mau menerima implikasi ajaran Kristus itu, sehingga “sejak hari itu tidak ada seorang pun juga yang berani menanyakan sesuatu kepada-Nya” (Matius 22:46). Tuntas sudah Sang Kristus membongkar “campur-baur” dan “kosong” nya (Kejadian 1:2) dunia batin manusia ini, serta menata dan menciptakan ulang secara baru dunia batin itu berlandaskan diri-Nya sebagai Mesias yaitu Firman Allah yang “menjadi manusia”. Sebagaimana “campur baur dan kosong”nya dunia awal ketika itu diciptakan akhirnya diatur dan diciptakan oleh Firman Allah sendiri yang mengatakan “Jadilah…maka jadi….” (Kejadian 1:1-27).
Setelah fondasi dunia batiniah yang baru diletakkan maka Kristus siap membersihkan sisa dunia batin yang lama dengan memberikan kritik dan kecamannya yang amat tajam, pedas dan menyakitkan sebagai puncak konflik dan konfrontasinya dengan para pemimpin agama yang menolak-Nya itu.
Pertama ia tujukan nasihat-Nya itu “kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya” (Matius 23:1), dengan perintah “turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu”, (Matius 23:3), karena “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa” (Matius 23:2), jadi sumber ajaran mereka yaitu ajaran Musa atau Wahyu Ilahi jangan sampai ditolak, kita semua harus berpegang dan jangan sampai menolak ajaran Ilahi karena itu memang milik Allah, namun kita diingatkan oleh Kristus “tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (Matius 23:3). Sang Kristus menunjukkan perbuatan-perbuatan para pemimpin agama yang kita tidak boleh menurutinya itu yaitu:
1) mengikat beban-beban berat yaitu mengajar yang sulit-sulit dan tak mudah dilakukan agar kelihatan bahwa mereka itu adalah orang beragama yang serius dan sungguh-sungguh, namun pada kenyataannya mereka itu “sendiri tidak mau menyentuhnya” (Matius 23:4), artinya dibelakang orang mereka sendiri tak mau melakukan apa yang diajarkan secara memberatkan pada orang lain itu,
2) Mereka itu gila hormat dan gila pujian orang dengan bentuk-bentuk lahiriah keagamaan “tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang” (Matius 23:5), jubah yang mewah-mewah, kalung Salib yang mahal-mahal, hiasan-hiasan yang menyolok mata, dan semua hiasan lahiriah lainnya , “hanya dimaksud supaya dilihat orang “ (Matius 23:5),
3) Mereka itu selalu ingin menonjol dan nampak dianggap orang yang penting, karena “mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat” (Matius 23:6) ,
4) Mereka suka dengan panggilan gelar-gelar yang makin membengkakkan ego mereka sendiri dimanapun mereka berada, misalnya Rabi (Guru Rohani), Bapa (Bapa Spiritual), Bos atau Petinggi atau Pemimpin yang dapat mengancam dan menakut-nakuti serta dengan kekuasaannya itu mengokohkan kedudukannya yang bersifat sementara. Pendeknya orang-orang ini mencuri kemuliaan Allah, karena Rabi yang Benar, dan Pemimpin yang benar itu hanya Kristus saja, serta Bapa yang hakiki itu hanya Allah saja (Matius 23:7-10).
5) Mereka ini orang-orang yang menganggap dirinya besar tetapi tidak mau menjadi pelayan seperti halnya yang dilakukan Kristus, mereka itu orang yang hanya ingin meninggikan diri dan tak mau merendahkan diri. Gaya hidupnya adalah gaya hidup mahal, ia hanya mau tinggal di hotel bintang lima, tetapi tak rela mengunjungi rumah umatnya yang miskin dan tak berpunya (Matius 23:11-12). Orang-orang yang tak mau menjadi pelayan, dan tak mau merendahkan diri seperti ini pastilah bukan orang rohani, biarpun dia menggunakan hiasan-hiasaan keagamaan yang mahal-mahal dan mewah-mewah. Dan hal-hal yang seperti ini yang harus kita hindari dan tidak kita turuti, kita harus takut mendekat kepada orang sperti ini, seperti kita takut mendekat pada penyakit yang menular. Kerohanian yang benar itulah kesederhanaan, dan berada secara apa adanya bukan dengan meninggi-ninggikan diri seperti itu. Inilah kesalehan lahiriah yang palsu. Inilah orang-orang yang batinnya sakit parah. Dan penyakit batin ini yang membuat para pemimpin agama itu dihardik dengan keras oleh Sang Kristus dengan ucapan “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi” (Matius 23:13, 14, 15, 16, 23,25,27,29) serta “orang-orang munafik” (Matius 23: 14,15,23,25, 27,29), dan “pemimpin-pemimpin yang buta dan bodoh” (Matius 23:16,17, 19,24,26) juga “ kamu ular-ular, hai kamu keturunan ular beludak! (Matius 23:33).
Kemunafikan, kebutaan dan kebodohan rohani serta kejahatan setaniah seperti ular itu amat serius bagi perkembangan batin kita, namun sayang bahwa orang jadi pemimpin agama belum tentu bebas dari kemunafikan, kebutaan dan kebodohan rohani, kejahatan setaniah ini. Itulah sebabnya kita masing-masing harus tidak beragama secara munafik, pura-pura diluarnya saja tetapi tidak sungguh dalam batin, serta juga tidak beragama secara buta dan bodoh, kita harus mengerti iman kita secara benar dan melakukan pembasuhan batin secara mendalam dari penyakit setaniah ini, sebab jika batin kita tidak dibersihkan dari penyakit-penyakitnya, maka kita akan beragama hanya secara lahiriah saja. Secara lahiriah para petinggi agama ini sangat aktif “mengarungi lautan dan menjelajah daratan, untuk menobatkan satu orang saja menjadi penganut agamamu” (Matius 23:15), karena ia memang ingin dianggap hebat dengan mempunyai banyak pengikut dan punya banyak bawahan. Namun sayang oleh kebutaan dan kebodohan batinnya itu justru mereka sendiri itu yang "menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk” (Matius 23:13), karena mereka hanya peduli pada kebesaran duniawi dan keterkenalan sementara saja, serta ingin membuat para pengikutnya itu untuk mentaati kemauannya agar dapat dikendalikan olehnya, bukan ingin membawa manusia ke dalam kesempurnaan batiniah, sehingga membuat para pengikutnya yang “sesudah ia bertobat” itu “menjadikan dia orang neraka, yang dua kali lebih jahat dari pada kamu sendiri” (Matius 23:15), Maka para petinggi agama yang semacam ini sudahlah pasti hukumannya, dan Kristus mengatakan mengenai mereka “Sebab itu kamu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat” (Matius 23:15).
Agama mereka digunakan sebagai topeng dan kepura-puraan, kesalehannya “dengan doa yang panjang-panjang” secara luar digunakan untuk “mengelabui” mata orang dari niat hatinya yang sebenarnya yaitu untuk “menelan rumah janda-janda” (Matius 23:14) artinya untuk mencari manfaat-manfaat dan hak-hak istimewa secara materi dan duniawi. Mereka mengajarkan hal-hal yang menyangkut Bait Allah, tetapi tidak peduli pada kesucian Bait Allah itu sendiri atau pada hadirat Ilahi yang ada dalam kesucian Bait Allah itu, namun hatinya ada pada “emas” dan “persembahan” yang ada pada Bait Allah itu (Matius 23:16-22), artinya hanya bentuk luar kemegahan dan manfaat duniawi dari kebesaran agama itulah yang dicarinya. Demikian juga hal-hal yang kecil-kecil dan thethek-bengek dari hukum persepuluhan mereka tekankan namun makna sebenarnya dari memberikan persepuluhan yaitu “keadilan, dan belas kasihan dan kesetiaan” (Matius 23:23) itu mereka tidak peduli. Mereka berada pada kulitnya, mereka senang pada bungkus dan berusaha memegang teguh pada bungkus keagamaan namun tidak perduli pada esensi yang benar dari keagamaan, itulah sebabnya batin mereka tidak pernah maju, keagamaan mereka menjadi mendheg dan macet. Dengan kata lain “nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu” serta “sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya” sehingga “kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih” , dan “di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang” (Matius 23:28)artinya hal-hal yang bersifat sampingan dan tidak perlu itu yang ditekankan dan hendak dipaksakan secara ketat ,sehingga”yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya” (Matius 23:27) namun “unta yang di dalamnya kamu telan” serta “sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan” dan “yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran” (Matius 23:24,25,27) karena “di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan” (Matius 23:28), artinya masalah-masalah akhlak, moral, kerohanian dan kesempurnaan batin yang jauh lebih besar dan lebih penting tidak peduli walau dilanggar dan diinjak-injak serta diremehkan dan tidak ditaati. Itulah sebabnya dengan suara ke-Nabi-an yang menggelegar penuh kuasa Sang Kristus menyerukan kepada mereka dan kepada kita semua “bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih” (Matius 23:26). Karena hati yang tidak dibersihkan secara sungguh dari dalam isinya adalah pembunuhan dan kebencian serta penolakan terhadap kebenaran suara ke-Nabi-an, yang dibuktikan dengan dibunuhnya para Nabi oleh para pemimpin agama sebelumnya yang kuburan para Nabi itu dipuja-puja tetapi suara ke-Nabi-an Kristus yang hidup itu tetap mereka tolak (Matius 23:29-31).
Sehingga perbuatan mereka itu tidak beda dari perbuatan para nenek moyang terdahalu yang juga menolak para nabi, justru mereka memenuhi takaran perbuatan para penolak Allah itu (Matius 23:32). Jika kitapun bersikap seperti para petinggi agama ini, maka kita semua petinggi agama atau bukan, akan terkena hal yang sama dari kesimpulan hardikan Sang Kristus ini: ”Bagaimanakah mungkin kamu dapat meluputkan diri dari hukuman neraka?” (Matius 23:33). Menjadi petinggi agama bukan menjadi jaminan bahwa seseorang diselamatkan, dan “luput dari hukuman neraka”. Malah sebaliknya, “sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat” (Yakobus 3:1). Itulah sebabnya, tidak semua pemimpin agama begitu saja harus kita ikuti, dengan dasar ia yang memiliki kekuasaan, tetapi kita hormati pemimpin rohani sebagaimana yang digariskan oleh Alkitab, mereka itu adalah: “Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar.” (I Timotius 5:17), “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu” (Ibrani13:17) “Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka.” (Ibrani 13:7), “Dan baiklah dia, yang menerima pengajaran dalam Firman, membagi segala sesuatu yang ada padanya dengan orang yang memberikan pengajaran itu” (Galatia 6:6). ”Kami minta kepadamu, saudara-saudara, supaya kamu menghormati mereka yang bekerja keras di antara kamu, yang memimpin kamu dalam Tuhan dan yang menegor kamu;dan supaya kamu sungguh-sungguh menjunjung mereka dalam kasih karena pekerjaan mereka.” (I Tesalonika 5:12-13). Jadi penghormatan, ketaatan, penundukan, sikap menjunjung dan kerelaan untuk memberi kepada pemimpin rohani itu dasarnya bukanlah hanya sekedar kekuasaan yang digelegarkan dari atas, namun dasarnya karena memang pemimpin rohani itu baik pimpinannya, berjaga-jaga tas jiwa kita melalui pengajaran dan khotbah serta nasihat dan tegoran, memberikan contoh hidup iman, bekerja keras diantara kita, yaitu ditengah-tengah kehidupan kita berkomunitas bersama. Itulah sebabnya Allah tidak mengirim penguasa, tetapi mengirim Nabi, Orang-Orang Bijaksana dan Ahli-Ahli Taurat, yaitu mereka yangf betul-betul menyampaikan pengajaran dan Firman Allah, bukan hanya ingin menunjukkan kuasa saja (Matius 23:34), meskipun mereka ini ditolak oleh para petinggi agama yang korup dan duniawi itu. Itulah sebabnya para pemimpin agama yang membunuh Firman Allah dan penyampainya itu akan pasti “menanggung akibat” (Matius 23:35). Dan akibatnya “Yerusalem” yaitu lingkup komunitas akan mengalami kehancuran, dan “ditinggalkan menjadi sunyi” (Matius 23:37-38), karena mereka akan ditawan, Artinya Gereja tidak akan mengalami kebangunan dan kehidupan dalam kepemimpinan orang yang semacam itu. Akibatnya orang yang demikian “tidak akan melihat Aku lagi” (Matius 23:39), artinya tidak dapat mengalami Kristus secara pribadi dalam pelayanannya, kecuali pada akhir zaman ketika Yesus Kristus datang dan semua mengatakan: ”Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan” (Matius 23:39), ketika ia harus menerima penghakiman nanti. Kiranya kita merenungkan ajaran Kristus kali ini, dan rela untuk merombak apa yang tidak benar dalam diri kita sehingga kita dapat mengikuti derita Kristus menuju kepada perubahan fondasi rohani bagi mencapai kesempurnaan batiniah. Amin.