Kemegahan Dunia & Kemegahan Rohani
[by: Fr.Yohanes Bambang]
Date: 11 Juni 2010
Semua manusia pasti mempunyai rasa kemegahan terhadap sesuatu yang dicapai atau yang dimiliki. Orang mungkin merasa bermegah karena kepandaiannya, kefasihan dalam berbicara atau berpidato, jenis pakaian yang dimiliki, kekayaannya, keindahan rumahnya, ketampanan atau kecantikan wajahnya. Pada dasarnya segala hal yang merasa dirinya berada dalam terang yang sebaik-baiknya dimata orang lain, itu cukup untuk menjadi alasan bagi seseorang untuk memegahkan diri.
Rasa bermegah itu adalah sesuatu yang alamiah dimiliki seseorang, dan pada dirinya sendiri perasaan yang demikian itu adalah netral. Namun perasaan megah yang demikian dapat juga menjadi sarana kita berdosa secara rohani yaitu berdosa melalui perasaan dan pikiran kita, yaitu perasaan menyombongkan diri sendiri jika kita tidak berhat-hati. Sikap ini justru sangat merugikan bagi perkembangan hidup rohani kita sendiri. Sebab pembangaan diri itu bertentangan dengan kerendahan hati. Padahal kerendahan hati itu adalah kunci keberhasilan dalam pertumbuhan dan perkembangan rohani bagi mencapai tujuan panggilan kita untuk diselamatkan dalam Kristus, yaitu mencapai apa yang dinamakan dengan “Theosis”.
Dikisahkan bahwa Kristus sedang berjalan-jalan menyusuri pantai danau, lalu bertemu dengan Simon Petrus dan Andreas saudaranya yang “sedang menebarkan jalan di danau, sebab mereka penjala ikan” (Mat 4:18), demikian juga selanjutnya Dia bertemu dengan Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya “sedang membereskan jala di dalam perahu” (Mat 4:21). Kehidupan orang-orang yang dijumpai oleh Yesus ini hanya berkisar sekitar ikan, perahu, jala dan air, karena itulah memang pekerjaan mereka sebagai “penjala-penjala ikan”. Tentu saja kebanggaan mereka dalam profesinya yang lama itu adalah, jikalau mereka lebih terampil di dalam menangkap ikan dibanding dengan nelayan yang lain. Jikalau lebih mudah menangkap banyak ikan dibanding dengan penjala-penjala yang lain. Jikalau mereka memiliki perahu yang lebih indah dan lebih mahal harganya dibanding dengan perahu-perahu milik para nelayan yang lain. Jikalau mereka memiliki jala yang lebih kuat disbanding dengan jala para nelayan yang lain. Pendeknya kebanggaan mereka itu hanya berkisar sekitar profesi, hak milik, kesuksesan, bisnis, karir, dan kemahiran serta keterampilan dalam menjalankan profesi itu. Demikianlah kebanyakan orang di dunia ini, mereka merasa lebih berbangga akan hal-hal yang bersifat duniawi daripada hal-hal rohani yang dapat menuntun mereka pada keselamatan kekal bagi hidup mereka.
Dari kebanyakan orang Kristen jarang kita jumpai bercita-cita bagi anaknya “Semoga dia jadi orang saleh, semoga dia menjadi pembela iman, semoga nanti jadi seorang biarawan atau rahib, semoga dia nanti jadi rohaniwan Gereja”. Malah jika mulai ada tanda-tanda kearah sana orang tua seolah-olah mau menghalangi sekuat mungkin. Cita – cita mereka lebih bersifat kesuksesan karir duniawi. “Semoga dia menjadi doktyer, semoga nanti menjadi orang kaya, semoga menjadi bisnisman yang berhasil” dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa semangat duniawi itu lebih kuat mempengaruhi cara pikir manusia, daripada semangat rohani dalam kehidupan banyak orang Kristen. Memang cita-cita itu sendiri tidaklah salah, namun itu menunjukkan terjadinya suatu dikhotomi kehidupan, dengan nilai kepentingan jasmani dianggap lebih tinggi daripada nilai-nilai rohani. Apalagi dengan adanya “Theologia Sukses” dan “Theologia kemakmuran”, bahkan apa yang dianggap sebagai karya Gereja itupun dipenuhi dengan nilai bisnis dan konsumerisme di dalamnya. Keberhasilan seseorang dalam pelayanannya dinilai dari apa yang dapat dilihat manusia. Berapa kekayaan dia sebagai orang yang diberkati dalam pelayanannya. Berapa mahal baju yang dikenakannya, apa merk sepatunya, merk tasnya, merk mobilnya dan lain-lain.
Theologia ini memang sangat menarik hati karena mempunyai daya tarik bagi kepentingan jasmani. Namun apakah sikap seperti ini betul-betul sikap Alkitabiah bagi seorang pelayan Injil ? Bukankah ini lebih bersifat sikap manusia dunia yang dimasukkan dalam lingkungan Kristen yang dibungkus dengan “jargon-jargon” yang menggunakan bahasa Alkitab? Apakah kemegahan semacam itu akan menuntun orang pada tujuannya yaitu mencapai Theosis? Hal-hal seperti ini tidak banyak dipikirkan oleh orang Kristen. Dalam kasus para murid yang dipanggil Yesus itu, jelas sesudah panggilannya, orientasi kemegahan hidupnya langsung berubah, karena Yesus mengatakan: “Mari ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Matius 4:19). Dan mereka memberi respon: ”lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia” (Mat 4:20) serta: “Yesus memanggil mereka dan mereka segera meninggalkan perahu serta ayahnya, lalu mengikut Dia” (Mat 4:21-22). Apa yang menjadi kemegahannya dalam sikap hidup lamanya “jala dan pertahu bahkan ayah” mereka tanpa pikir panjang secara langsung ditinggalkan. Fokusnya sudah bukan pada profesi duniawi, meskipun dirohanikan dengan nama “Hamba Tuhan” sekalipun, namun bagaimana dia dapat “Mengikut Yesus” serta menjadi “Penjala Manusia”. Mengikut Yesus berarti proses pertumbuhan rohani untuk berjalan di belakang Yesus, dalam arti taat pada kehendak Allah di dalam Diri Yesus.
Kesalehan Pribadi untuk menuju “Theosis” itulah yang harus menjadi fokus orang yang telah menerima panggilan seperti itu. Yesus itu hidup, berarti kita dapat gambarkan bahwa Dia berjalan terus, maka kitapun harus terus mengikuti perjalanan Dia melalui kerelaan menderita buatNya. Mengikut Yesus berarti kerelaan untuk hidup seperti Dia. Menjadi penjala manusia, berarti memusatkan pikiran dalam kasih yang mendalam untuk membagikan hidup bagi manusia yang lain bagi keselamatan mereka. Jadi bukan kefasihan berbicara, kemampuan berpidato, indahnya pakaian yang kita miliki, ataupun sukses macam apapun yang dibanggakan orang yang dipanggil itu. Karena kesuksesan secara lahiriah itu dapat menyilaukan diri dari masalah yang sebenarnya. Kita jadi berbangga diri tanpa sadar bahwa di dalam diri kita sedang terjadi pengkeroposan dan pembusukan yang tiada tara. Kesuksesan kita, akhirnya kita jadikan tolak ukur , bahwa Tuhan memang berkenan kepada kita, sehingga secara batiniah terjadi pelapukan, pengkeroposan ataupun pembusukan, yang kita tutup-tutupi dengan kesuksesan lahiriah ini. Kesuksesan kita, kita megahkan untuk menjadi topeng diri kita sendiri. Semangat yang demikian ini memang jauh berbeda dari apa yang kita mengerti dengan makna “Mengikut Yesus dan menjadi penjala manusia” yang telah kita bahas diatas. Sebagai “Pengikut Yesus” dan “Penjala Manusia” yang sudah teruji, dapat kita lihat dalam diri Js. Paulus, bahwa dia sama sekali tidak memegahkan kesuksesan duniawinya, karena itu sama sekali tidak berguna untuk mencapai “Theosis” sebagai tujuan akhir hidup kita semua dalam Kristus.
Dalam bacaan kita kali ini, Rasul Paulus menjelaskan bagaimana kemegahan sebagai seorang “Pengikut Yesus” atau sebagai “Pelayan Kristus” untuk “Menjadi Pelayan manusia” itu dinyatakan. Dalam II Kor 11:21 menjelaskan “rasa malu” nya karena “terlalu lemah” untuk memegahkan diri secara duniawi seperti dilakukan oleh para pengajar Injil palsu, Yesus palsu, Roh palsu (II Kor 11:4) yang secara sinis diejek oleh Js. Paulus atau mungkin mereka mengaku sendiri sebagai “rasul-rasul tiada taranya” (II Kor 11:5). Dan kelihatannya orang-orang ini membanggakan kefasihan mereka dalam berkhotbah dan berpidato serta merendahkan ketak-mampuan Js. Paulus untuk berkhotbah secara baik, sehingga Js. Paulus harus menjelaskan: ”Jikalau aku kurang faham dalam hal berkata-kata, tidaklah demikian dalam hal pengetahuan…” (II Kor 11:6). Jadi fasih berkhotbah, membanggakan nama sebagai “rasul yang tiada taranya”, membanggakan kesuksesan duniawi itu justru titik yang “lemah” dalam diri rasul dan setiap pelayan Kristus yang benar. Namun justru itulah titik yang selalu dimegah-megahkan oleh para pengajar palsu seperti yang dinyatakan Js. Paulus.
Bukannya Pelayan Kristus yang benar itu tak memiliki itu semua, mereka mempunyai namun tak mau menjadikan hal itu sebagai topengnya atau sebagai tumpuan untuk kemegahan. Untuk menunjukkan bahwa para pelayan Kristus memiliki kuwalitas yang tidak kalah dengan pengajar palsu yang pandai berkotbah dan disebut sebagai “rasul yang tiada taranya ini, Js. Paulus menjelaskan bahwa, dia orang Ibrani, orang Israel, keturunan Abraham, Pelayan Kristus dan dalam hal menjadi pelayan Kristus ini, yang ditunjukkan oleh Js. Paulus sebagai kebanggaan dan kemegahannya adalah, jerih payahnya, pemenjaraannya, lemparan batu yang diterimanya, karam kapal dan bahaya pelayaran di laut, bahaya banjir, bahaya penyamun, bahaya dari orang kafir dan Yahudi, bahaya di kota, gurun dan laut, bahaya dari saudara-saudara palsu, berjerih lelah dan bekerja berat, kerap tidak tidur, lapar dan dahaga, puasa, kedinginan, tanpa pakaian, serta urusan sehari-hari memelihara jemaat (II Kor 11 :21-28). Alangkah kontrasnya kemegahan pelayan Kristus yang benar ini dengan “saudara-saudara palsu” yang menganggap diri mereka sebagai “rasul yang tiada tara” itu.
Kemegahan orang kudus, jelas bukan kemegahan duniawi sama sekali. Bukan kemegahan pada keindahan rumah yang dimiliki, karena dia sering dipenjara, bukan kemegahan pada kekayaan dan tempat tidur yang mahal karena dia sering lapar, dahaga, puasa, sering tidak tidur, dan kedinginan. Bukan pada berapa mahalnya serta apa merek pakaian atau barang yang dimiliki karena dia sering tidak berpakaian. Disinilah “kemegahan kudus” dari “orang kudus” itu dapat dikontraskan dengan mereka yang mengaku sebagai “rasul yang tiada tara” namun sebenarnya tak lebih hanya sekedar orang-orang yang melakukan “perbuatan tersembunyi yang memalukan, berlaku licik dan memalsukan Firman Allah “ (II Kor 4:2). Kemegahan kudus dari para orang kudus itu dinyatakan demikian: ”Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegah atas kelemahanku” (II Kor 4:30).
Bahkan ketika dia mengalami diangkat naik ke Sorgapun dia tak meleter kesana-kemari untuk menceritakan hal itu, malah dia menyembunyikan pengalamannya dengan mengatakan: ”Aku tahu tentang seorang Kristen, empat belas tahun yang lalu….orang itu tiba-tiba diangkat ke tingkat tiga dari langit {Sorga” (II Kor 12:2, 7)}. Yang suka meleter memegahkan diri tentang hal-hal seperti ini, jelaslah bukan memiliki cirri sebagai pelayan Kristus yang benar. Itulah sebabnya mengapa dalam ethos Orthodox kesaksian-kesaksia semacam itu tak mendapat tempat, karena hal tersebut akan menuntun pada kemegahan palsu, cerita buat-buatan, halusinasi dan kesombongan saja. Js. Paulus mengatakan berkali-kali dalam II Korintus 12 ini, bahwa kemegahannya adalah dalam kelemahannya, yang sudah ditunjukkan diatas , termasuk juga sakitnya atau gangguan Iblis yang tiada terselesaikan (II Kor 12:9-10). Karena justru dalam kelemahan itu kerendahan hati muncul, dan dalam kerendahan hati itu kasih karunia Allah bekerja. Disinilah kemegahan sejati yang menuntun kepada “Theosis” itu. Marilah kita letakan kemegahan kita pada tempat yang benar. Jangan sampai kita memiliki ciri-ciri “pengajar-pengajar palsu” atau “ saudara –saudara” palsu itu. Kiranya kita belajar untuk merendahkan diri dalam kemegahan akan kelemahan-kelemahan kita, dan bukan pada kesuksesan kita yang menuntun kepada kesombongan.
Kemuliaan bagi Sang Bapa, dan Sang Putera serta Sang Roh Kudus, sekarang dan selalu serta sepanjang segala abad, Amin.
Semua manusia pasti mempunyai rasa kemegahan terhadap sesuatu yang dicapai atau yang dimiliki. Orang mungkin merasa bermegah karena kepandaiannya, kefasihan dalam berbicara atau berpidato, jenis pakaian yang dimiliki, kekayaannya, keindahan rumahnya, ketampanan atau kecantikan wajahnya. Pada dasarnya segala hal yang merasa dirinya berada dalam terang yang sebaik-baiknya dimata orang lain, itu cukup untuk menjadi alasan bagi seseorang untuk memegahkan diri.
Rasa bermegah itu adalah sesuatu yang alamiah dimiliki seseorang, dan pada dirinya sendiri perasaan yang demikian itu adalah netral. Namun perasaan megah yang demikian dapat juga menjadi sarana kita berdosa secara rohani yaitu berdosa melalui perasaan dan pikiran kita, yaitu perasaan menyombongkan diri sendiri jika kita tidak berhat-hati. Sikap ini justru sangat merugikan bagi perkembangan hidup rohani kita sendiri. Sebab pembangaan diri itu bertentangan dengan kerendahan hati. Padahal kerendahan hati itu adalah kunci keberhasilan dalam pertumbuhan dan perkembangan rohani bagi mencapai tujuan panggilan kita untuk diselamatkan dalam Kristus, yaitu mencapai apa yang dinamakan dengan “Theosis”.
Dikisahkan bahwa Kristus sedang berjalan-jalan menyusuri pantai danau, lalu bertemu dengan Simon Petrus dan Andreas saudaranya yang “sedang menebarkan jalan di danau, sebab mereka penjala ikan” (Mat 4:18), demikian juga selanjutnya Dia bertemu dengan Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya “sedang membereskan jala di dalam perahu” (Mat 4:21). Kehidupan orang-orang yang dijumpai oleh Yesus ini hanya berkisar sekitar ikan, perahu, jala dan air, karena itulah memang pekerjaan mereka sebagai “penjala-penjala ikan”. Tentu saja kebanggaan mereka dalam profesinya yang lama itu adalah, jikalau mereka lebih terampil di dalam menangkap ikan dibanding dengan nelayan yang lain. Jikalau lebih mudah menangkap banyak ikan dibanding dengan penjala-penjala yang lain. Jikalau mereka memiliki perahu yang lebih indah dan lebih mahal harganya dibanding dengan perahu-perahu milik para nelayan yang lain. Jikalau mereka memiliki jala yang lebih kuat disbanding dengan jala para nelayan yang lain. Pendeknya kebanggaan mereka itu hanya berkisar sekitar profesi, hak milik, kesuksesan, bisnis, karir, dan kemahiran serta keterampilan dalam menjalankan profesi itu. Demikianlah kebanyakan orang di dunia ini, mereka merasa lebih berbangga akan hal-hal yang bersifat duniawi daripada hal-hal rohani yang dapat menuntun mereka pada keselamatan kekal bagi hidup mereka.
Dari kebanyakan orang Kristen jarang kita jumpai bercita-cita bagi anaknya “Semoga dia jadi orang saleh, semoga dia menjadi pembela iman, semoga nanti jadi seorang biarawan atau rahib, semoga dia nanti jadi rohaniwan Gereja”. Malah jika mulai ada tanda-tanda kearah sana orang tua seolah-olah mau menghalangi sekuat mungkin. Cita – cita mereka lebih bersifat kesuksesan karir duniawi. “Semoga dia menjadi doktyer, semoga nanti menjadi orang kaya, semoga menjadi bisnisman yang berhasil” dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa semangat duniawi itu lebih kuat mempengaruhi cara pikir manusia, daripada semangat rohani dalam kehidupan banyak orang Kristen. Memang cita-cita itu sendiri tidaklah salah, namun itu menunjukkan terjadinya suatu dikhotomi kehidupan, dengan nilai kepentingan jasmani dianggap lebih tinggi daripada nilai-nilai rohani. Apalagi dengan adanya “Theologia Sukses” dan “Theologia kemakmuran”, bahkan apa yang dianggap sebagai karya Gereja itupun dipenuhi dengan nilai bisnis dan konsumerisme di dalamnya. Keberhasilan seseorang dalam pelayanannya dinilai dari apa yang dapat dilihat manusia. Berapa kekayaan dia sebagai orang yang diberkati dalam pelayanannya. Berapa mahal baju yang dikenakannya, apa merk sepatunya, merk tasnya, merk mobilnya dan lain-lain.
Theologia ini memang sangat menarik hati karena mempunyai daya tarik bagi kepentingan jasmani. Namun apakah sikap seperti ini betul-betul sikap Alkitabiah bagi seorang pelayan Injil ? Bukankah ini lebih bersifat sikap manusia dunia yang dimasukkan dalam lingkungan Kristen yang dibungkus dengan “jargon-jargon” yang menggunakan bahasa Alkitab? Apakah kemegahan semacam itu akan menuntun orang pada tujuannya yaitu mencapai Theosis? Hal-hal seperti ini tidak banyak dipikirkan oleh orang Kristen. Dalam kasus para murid yang dipanggil Yesus itu, jelas sesudah panggilannya, orientasi kemegahan hidupnya langsung berubah, karena Yesus mengatakan: “Mari ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Matius 4:19). Dan mereka memberi respon: ”lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia” (Mat 4:20) serta: “Yesus memanggil mereka dan mereka segera meninggalkan perahu serta ayahnya, lalu mengikut Dia” (Mat 4:21-22). Apa yang menjadi kemegahannya dalam sikap hidup lamanya “jala dan pertahu bahkan ayah” mereka tanpa pikir panjang secara langsung ditinggalkan. Fokusnya sudah bukan pada profesi duniawi, meskipun dirohanikan dengan nama “Hamba Tuhan” sekalipun, namun bagaimana dia dapat “Mengikut Yesus” serta menjadi “Penjala Manusia”. Mengikut Yesus berarti proses pertumbuhan rohani untuk berjalan di belakang Yesus, dalam arti taat pada kehendak Allah di dalam Diri Yesus.
Kesalehan Pribadi untuk menuju “Theosis” itulah yang harus menjadi fokus orang yang telah menerima panggilan seperti itu. Yesus itu hidup, berarti kita dapat gambarkan bahwa Dia berjalan terus, maka kitapun harus terus mengikuti perjalanan Dia melalui kerelaan menderita buatNya. Mengikut Yesus berarti kerelaan untuk hidup seperti Dia. Menjadi penjala manusia, berarti memusatkan pikiran dalam kasih yang mendalam untuk membagikan hidup bagi manusia yang lain bagi keselamatan mereka. Jadi bukan kefasihan berbicara, kemampuan berpidato, indahnya pakaian yang kita miliki, ataupun sukses macam apapun yang dibanggakan orang yang dipanggil itu. Karena kesuksesan secara lahiriah itu dapat menyilaukan diri dari masalah yang sebenarnya. Kita jadi berbangga diri tanpa sadar bahwa di dalam diri kita sedang terjadi pengkeroposan dan pembusukan yang tiada tara. Kesuksesan kita, akhirnya kita jadikan tolak ukur , bahwa Tuhan memang berkenan kepada kita, sehingga secara batiniah terjadi pelapukan, pengkeroposan ataupun pembusukan, yang kita tutup-tutupi dengan kesuksesan lahiriah ini. Kesuksesan kita, kita megahkan untuk menjadi topeng diri kita sendiri. Semangat yang demikian ini memang jauh berbeda dari apa yang kita mengerti dengan makna “Mengikut Yesus dan menjadi penjala manusia” yang telah kita bahas diatas. Sebagai “Pengikut Yesus” dan “Penjala Manusia” yang sudah teruji, dapat kita lihat dalam diri Js. Paulus, bahwa dia sama sekali tidak memegahkan kesuksesan duniawinya, karena itu sama sekali tidak berguna untuk mencapai “Theosis” sebagai tujuan akhir hidup kita semua dalam Kristus.
Dalam bacaan kita kali ini, Rasul Paulus menjelaskan bagaimana kemegahan sebagai seorang “Pengikut Yesus” atau sebagai “Pelayan Kristus” untuk “Menjadi Pelayan manusia” itu dinyatakan. Dalam II Kor 11:21 menjelaskan “rasa malu” nya karena “terlalu lemah” untuk memegahkan diri secara duniawi seperti dilakukan oleh para pengajar Injil palsu, Yesus palsu, Roh palsu (II Kor 11:4) yang secara sinis diejek oleh Js. Paulus atau mungkin mereka mengaku sendiri sebagai “rasul-rasul tiada taranya” (II Kor 11:5). Dan kelihatannya orang-orang ini membanggakan kefasihan mereka dalam berkhotbah dan berpidato serta merendahkan ketak-mampuan Js. Paulus untuk berkhotbah secara baik, sehingga Js. Paulus harus menjelaskan: ”Jikalau aku kurang faham dalam hal berkata-kata, tidaklah demikian dalam hal pengetahuan…” (II Kor 11:6). Jadi fasih berkhotbah, membanggakan nama sebagai “rasul yang tiada taranya”, membanggakan kesuksesan duniawi itu justru titik yang “lemah” dalam diri rasul dan setiap pelayan Kristus yang benar. Namun justru itulah titik yang selalu dimegah-megahkan oleh para pengajar palsu seperti yang dinyatakan Js. Paulus.
Bukannya Pelayan Kristus yang benar itu tak memiliki itu semua, mereka mempunyai namun tak mau menjadikan hal itu sebagai topengnya atau sebagai tumpuan untuk kemegahan. Untuk menunjukkan bahwa para pelayan Kristus memiliki kuwalitas yang tidak kalah dengan pengajar palsu yang pandai berkotbah dan disebut sebagai “rasul yang tiada taranya ini, Js. Paulus menjelaskan bahwa, dia orang Ibrani, orang Israel, keturunan Abraham, Pelayan Kristus dan dalam hal menjadi pelayan Kristus ini, yang ditunjukkan oleh Js. Paulus sebagai kebanggaan dan kemegahannya adalah, jerih payahnya, pemenjaraannya, lemparan batu yang diterimanya, karam kapal dan bahaya pelayaran di laut, bahaya banjir, bahaya penyamun, bahaya dari orang kafir dan Yahudi, bahaya di kota, gurun dan laut, bahaya dari saudara-saudara palsu, berjerih lelah dan bekerja berat, kerap tidak tidur, lapar dan dahaga, puasa, kedinginan, tanpa pakaian, serta urusan sehari-hari memelihara jemaat (II Kor 11 :21-28). Alangkah kontrasnya kemegahan pelayan Kristus yang benar ini dengan “saudara-saudara palsu” yang menganggap diri mereka sebagai “rasul yang tiada tara” itu.
Kemegahan orang kudus, jelas bukan kemegahan duniawi sama sekali. Bukan kemegahan pada keindahan rumah yang dimiliki, karena dia sering dipenjara, bukan kemegahan pada kekayaan dan tempat tidur yang mahal karena dia sering lapar, dahaga, puasa, sering tidak tidur, dan kedinginan. Bukan pada berapa mahalnya serta apa merek pakaian atau barang yang dimiliki karena dia sering tidak berpakaian. Disinilah “kemegahan kudus” dari “orang kudus” itu dapat dikontraskan dengan mereka yang mengaku sebagai “rasul yang tiada tara” namun sebenarnya tak lebih hanya sekedar orang-orang yang melakukan “perbuatan tersembunyi yang memalukan, berlaku licik dan memalsukan Firman Allah “ (II Kor 4:2). Kemegahan kudus dari para orang kudus itu dinyatakan demikian: ”Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegah atas kelemahanku” (II Kor 4:30).
Bahkan ketika dia mengalami diangkat naik ke Sorgapun dia tak meleter kesana-kemari untuk menceritakan hal itu, malah dia menyembunyikan pengalamannya dengan mengatakan: ”Aku tahu tentang seorang Kristen, empat belas tahun yang lalu….orang itu tiba-tiba diangkat ke tingkat tiga dari langit {Sorga” (II Kor 12:2, 7)}. Yang suka meleter memegahkan diri tentang hal-hal seperti ini, jelaslah bukan memiliki cirri sebagai pelayan Kristus yang benar. Itulah sebabnya mengapa dalam ethos Orthodox kesaksian-kesaksia semacam itu tak mendapat tempat, karena hal tersebut akan menuntun pada kemegahan palsu, cerita buat-buatan, halusinasi dan kesombongan saja. Js. Paulus mengatakan berkali-kali dalam II Korintus 12 ini, bahwa kemegahannya adalah dalam kelemahannya, yang sudah ditunjukkan diatas , termasuk juga sakitnya atau gangguan Iblis yang tiada terselesaikan (II Kor 12:9-10). Karena justru dalam kelemahan itu kerendahan hati muncul, dan dalam kerendahan hati itu kasih karunia Allah bekerja. Disinilah kemegahan sejati yang menuntun kepada “Theosis” itu. Marilah kita letakan kemegahan kita pada tempat yang benar. Jangan sampai kita memiliki ciri-ciri “pengajar-pengajar palsu” atau “ saudara –saudara” palsu itu. Kiranya kita belajar untuk merendahkan diri dalam kemegahan akan kelemahan-kelemahan kita, dan bukan pada kesuksesan kita yang menuntun kepada kesombongan.
Kemuliaan bagi Sang Bapa, dan Sang Putera serta Sang Roh Kudus, sekarang dan selalu serta sepanjang segala abad, Amin.