Globalisasi [by: Fr.Daniel Byantoro]
Date: 08 Maret 2008 s/d 30 Juni 2008
I. Globalisasi, Media, dan Pendidikan Kaum Muda
Prawacana:
Era dimana kita hidup pada saat ini sering disebut sebagai “era informasi”, yaitu suatu era yang dicirikan dengan pergeseran fokus ekonomi global dari produksi barang-barang kepada manipulasi informasi.
Informasi yang diterima oleh masyarakat modern ini didapatkan dari media massa termasuk majalah, surat kabar, buku-buku, televisi, film, musik, dan iklan. Terutama sekali manipulasi informasi ini membuka seluas-luasnya suatu bidang yang relatif baru dalam “teknologi informasi”, dengan digunakannya sistim informasi berdasarkan komputer untuk mengkonversi, menyimpan, memproses, mentransmisi, serta menarik keluar informasi. Perkembangan-perkembangan teknologi dalam bidang ini telah mengubah gaya hidup di seluruh dunia dan telah menumbuhkan industri-industri disekitar PC (Personal Computer = Komputer Pribadi). Terutama sekali dengan sistem internet yang pada saat ini telah menjadi tempat utama dalam mengakselerasi arus informasi yang relevan dan merupakan bentuk media yang paling cepat.
Iman Kristen Orthodox dan Globalisasi
Bersama dengan Agama Hindu yang disebarkan ke Asia Tenggra, serta Agama Budha yang lebih dulu ada sebagai agama penyebar Dharma, dan Agama Islam yang datang kemudian sebagai agama Da’wah, maka Iman Kristen Orthodox sebagai bentuk Kekristenan Purba dan yang paling tua adalah suatu agama yang mendapat perintah ilahi untuk “pergi dan jadikan semua bangsa murid “ Kristus (Matius 28: 19-20), serta para murid Kristus itu mendapat perintah untuk menjadi saksi-saksi Kristus “di Yerusalem, dan seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kisah Rasul 1:8). Ini berarti bahwa sejak dari awalnya Iman Kristen memang merupakan agama yang memiliki jangkauan dan gerak global yang memiliki misi universal dan bersifat lintas budaya dan lintas geografi. Dengan cara-cara yang bermacam-macam yang tersedia pada zamannya Iman Kristen Orthodox purba berusaha menyebarkan ajaran Injil tentang keselamatan yang telah terjadi akibat penyaliban, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus yang melaluinya kuasa kematian dikalahkan dan anugerah hidup tak berkebinasaan dikaruniakan kepada manusia. Dimanapun Iman Kristen Orthodox purba ini disebarkan disitu perubahan sosial dan budaya terjadi, misalnya diciptakannya budaya tulis menulis dengan diciptakannya alfabet-alfabet baru bagi masyarakat yang tadinya buta-huruf, terciptanya bahasa liturgis Gereja, penggunaan nama-nama baru yang diambil dari Kitab Suci, dan masih banyak lagi. Hal yang sama terjadi dengan penyebaran Agama Hindu ke Asia Tenggara khususnya ke Indonesia, dan Agama Budha ke Asia Timur Raya dan Asia Tenggara, serta penyebaran Agama Islam ke Asia, Eropa maupun Afrika. Keempat Agama besar ini sejak awal telah mengenal semacam globalisasi karena dorongan pesan-pesan ajaran universalnya serta kegiatan penyebaran ajaran tersebut ke seluruh dunia.
Memahami Globalisasi Modern
Namun globalisasi yang sedang kita bicarakan sekarang ini memang berbeda secara kualitatif maupun secara kuantitatif dengan globalisasi yang pernah terjadi akibat penyebaran keempat agama besar yang kita sebutkan diatas. Sebab globalisasi modern yang berawal dari berkembangnya ekonomi pasar bebas ini meluas sebegitu rupa sehingga menjadi suatu fenomena global yang mempengaruhi segala bidang kehidupan melalui manipulasi informasi dan media massa yang telah kita sebutkan diatas. Sebegitu besar dan menakutkan bagi masyarakat tradisional pengaruh globalisai modern ini sehingga dalam artikelnya “Religion Under Globalisation” (“Agama dibawah Globalisasi”) P Radhakrishnan menanggapinya secara negatif serta menyebut sebagai “monster”. Menurut Radhakrishnan globalisasi bukan hanya sekedar fenomena sosial, namun ini adalah merupakan “suatu proyek politik dan imperialis, yang menggunakan baik sains (ilmu pengetahuan) maupun agama dengan cara yang tak dapat didamaikan ”[1] . Menurutnya globalisasi adalah suatu revolusi yang amat mendalam yang pernah dialami oleh dunia[2]. Dan yang paling mengkhawatir menurutnya adalah dampak yang “disruptif” dari globalisasi ini atas agama-agama[3]. Karena globalisasi itu berada pada pusat macam-macam agenda intelektual dan politik yang dipaksakan oleh kepentingan pasar dari negara-negara adi kuasa terutama sekali Amerika, maka Radhakrishnan berpendapat bahwa globalisasi itu adalah suatu fase yang lain dalam proses sejarah yang panjang dari perluasan imperialisme. Karena globalisasi itu diciptakan oleh kebijakan-kebijakan yang disengaja oleh negara-negara berkuasa dibawah kendali dari kelompok-kelompok yang memiliki kuasa, yang dampaknya langsung merupakan serangan terhadap bukan saja pelaku bisnis serta produk-produk material lokal, nasional dan regional, namun juga pada praktek-praktek politik dan budaya ( termasuk di dalamnya agama). Dengan demikian globalisasi itu bukan hanya sekedar merupakan suatu fenomena ekonomi, namun juga suatu fenomena yang memiliki manifestasi banyak sisi: baik politik, social, budaya, maupun agama. Disinilah letak kekhawatiran para pemimpin agama, terutama di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia terhadap globalisasi itu. Karena mereka melihat bahwa melalui manipulasi informasi dengan menggunakan alat-alat komunikasi yang makin canggih dan makin berkembang nilai-nilai politik, sosial, budaya maupun agama dipaksakan pada mereka, dimana nilai-nilai itu sering bertabrakan, menggerus atau menggerogoti nilai-nilai setempat yang menjadi sendi kehidupan dan masyarakat setempat.
Bahwa seminar yang kita adakan kali ini diselenggarakan menunjukkan juga semacam rasa takut dan khawatir dari pihak kita para pimpinan lembaga keagamaan akan dampak politik dan imperialistis dari globalisasi yang bersifat negatif dimana penemuan-penemuan yang bersifat ilmiah akan ditabrakkan dengan nilai-nilai religius yang berkibat adanya revolusi dan guncangan budaya dan nilai yang keras terutama yang menimpa kaum muda yang menjadi sasaran pangsa produk dari globalisasi ini.
Memang gambaran populer tentang globalisasi itu lebih menekankan pada sifat-sifat ekonomi dan politiknya yang berbentuk lembaga-lembaga perusahan trans-nasional yang berjangkuan global yang mengalihkan kekuasaan dari lembaga pemerintahan dan dari rakyatnya, dalam usaha-usaha untuk mengendalikan kehidupan rakyat tadi. Bentuk globalisasi semacam inilah direaksi oleh organisasi-organisasi agama secara negative, sehingga terjadi gerakan anti-globalisasi. Neo-fundamentalisme, terorisme atas nama agama adalah beberapa dari bentuk-bentuk dari gerakan anti-globalisasi semacam ini.
Namun reaksi-reaksi radikal dan negatif semacam ini tidak akan membantu banyak dan tak akan menguntungkan siapapun, karena kenyataannya baik kita mau menerimanya ataukah tidak, globalisasi dengan media massa sebagai sarana penyebarannya adalah fenomena yang tak dapat dihindari dan tak dapat dilawan lagi. Dimana-mana kita dibanjiri oleh macam-macam informasi baik melalui televisi, internet, film, musik, maupun iklan. Informasi apapun yang ingin kita dapatkan baik yang positif maupun yang negatif, baik yang membangun atau yang merusak, baik yang bermoral maupun yang tak bermoral, baik yang mulia maupun yang menjijikkan, semuanya dapat kita akses dengan mudah tinggal kita klik saja dari internet. Komunikasi lintas geografi, lintas budaya, lintas bahasa, lintas dunia dan antar bangsapun begitu mudahnya diakses baik melalui e-mail, YM dan IM dari Yahoo, Hotmail, maupun server-server lainnya, sehingga baik kaum tua maupun kaum muda dapat dengan mudah berkomunikasi dan bertukar informasi dengan siapapun dan dimanapun mereka berada. Arus informasi semacam ini sudah tak dapat kita bendung lagi. Semuanya ini sangat mempengaruhi tingkah laku , sikap hidup, dan cara berfikir kita semua, terutama kaum muda kita. Kita tak bisa menyembunyikan informasi apapun dari mereka, karena kalau mereka ingin mendapatkan informasi yang lebih akurat mereka tinggal mencarinya melalui “google” ataupun sarana-sarana internet lainnya. Oleh karena itu kita harus bersikap arif dalam menghadapi arus globalisasi ini serta mencari terobosan-terobosan positif bagi membendung pengaruh negatif dari globalisasi serta memanfaatkan pengaruh positifnya bagi melindungi kaum muda penerus bangsa kita Indonesia ini.
Pendidikan Kaum Muda
Semua komunitas manusia, termasuk komunitas agama mengharapkan nilai-nilai ajaran dan praktek-praktek yang dimilikinya tetap langgeng dan dilanjutkan keberadaannya oleh generasi berikutnya. Terutama dalam komunitas agama, para pimpinannya pastilah ingin mewariskan keyakinan ajaran agama yang ada itu kepada para penerusnya. Itulah sebabnya pendidikan kaum muda merupakan tugas yang tak dapat dihindari oleh setiap orang tua dan para pimpinan komunitas tersebut. Dalam Iman Kristen Orthodox, para pimpinan Gereja Orthodox diingatkan oleh perintah Kitab Suci mengenai pendidikan kaum muda ini, demikian: ”Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring, dan apabila engkau bangun” (Ulangan 6:6-7). Juga dikatakan lagi: ”Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Efesus 6:4), serta: ”Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 22:6), dan masih banyak lagi.
Tentu saja komunitas agama menghendaki pendidikan yang diberikan kepada kaum mudanya adalah suatu pendidikan yang berorientasi kepada keyakinan kepada Tuhan, serta ajaran-ajaran keyakinan keagamaan lainnya, yang dalam Iman Kristen Orthodox disebut sebagai “Orthodoxia” (“Pengajaran yang Lurus”). Ajaran keyakinan yang mana akan dimanifestasikan dalam bentuk praktek-praktek ibadah yang dalam Iman Kristen Orthodox disebut sebagai “Ortholatria” (‘Penyembahan yang Lurus”), dan praktek-praktek ibadah ini akan dinyatakan dalam bentuk tingkah laku kehidupan nyata yang berakhlak, bersusila dan bermoral sesuai dengan ajaran dari agama yang bersangkutan, yang dalam Iman Kristen Orthodox disebut sebagai “Orthopraxia” (“Praktek-Praktek yang Lurus”). Dan tujuan dari semuanya ini adalah untuk mencapai kekudusan hidup bagi panunggalan dengan Sang Pencipta, serta mencapai kehidupan bahagia di dunia serta kehidupan kekal di akhirat. Jadi bagi mencapai Orthodoxia, Ortholatria dan Orthopraxia inilah tujuan pendidikan dalam Iman Kristen Orthodox itu diarahkan bagi kaum mudanya.
Globalisasi melalui manipulasi informasi dengan sarana media massa yang telah kita sebutkan diatas memberikan nilai-nilai kehidupannya sendiri, yang pada dasarnya bersifat humanistik (berpusat pada manusia), hedonistik (berpusat pada pemuasaan kebutuhan indrawi), sekular (berpusat pada dunia semata-mata tanpa ada rujukan keyakinan kepada Tuhan), amoral (tidak memperhitungkan nilai-nilai moral) bahkan immoral ( bertentangan dengan prinsip-prinsip moral, akhlak dan kesusilaan) dan konsumeristis (usaha mendapatkan benda-benda materi serta pengunaannya sebanyak-banyaknya). Dan sifat-sifat globalisasi yang ditawarkan oleh media massa seperti inilah yang dampaknya mengkhawatirkan para pimpinan dalam komunitas agama di Indonesia ini, karena nilai-nilai yang ditawarkan bertabrakan keras dengan semua nilai keyakinan dan nilai moral agama-agama yang ada di tanah air. Untuk itulah pertemuan kita pada saat ini dilakukan dalam usaha untuk mensikapi dunia digital sebagai sarana lalu-lalangnya arus informasi yang tak dapat di-kendalikan ini. Dengan memahami apa itu globalisasi, apa itu media massa, dan apa tugas pimpinan agama kapada kaum mudanya, maka disini penulis ingin menyumbangkan beberapa pemikiran bagaimana seharusnya para pimpinan agama-agama di Indonesia mensikapi semuanya itu.
Usulan-Usulan
1) Kerja sama antar Komunitas Agama
Dunia digital dan arus informasi telah membuka secara luas pengetahuan tentang ajaran dan keyakinan serta masalah-masalah dalam semua agama, sehingga pengikut suatu agama tak lagi tertutup untuk dapat belajar mengenai agama lain. Orang juga bisa tahu mengenai konflik-konflik yang muncul di seluruh dunia atas dasar perbedaan agama-agama. Pengetahuan yang didapat dari informasi dunia digital semacam ini dapat menimbulkan bermacam pengaruh dan sikap, diantaranya: sikap: 1) fanatikisme dan radikalisme jika si penerima informasi itu adalah type orang yang tertutup dan hanya memfokuskan pada mencari informasi-informasi agama yang bersifat radikal dan eksklusif dari dunia maya, sikap 2) kebingungan jika si penerima informasi itu adalah type orang yang tak memiliki pengetahuan agama yang mendalam padahal begitu banyak informasi tentang agama yang sangat bertentangan satu sama lain yang didapatnya dari dunia digital , sikap 3) apatis jika si penerima itu adalah type orang yang merasa acuh tak acuh terhadap agama karena melihat bahwa agama dianggapnya menjadi sumber konflik , sumber kebencian kelompok, serta sumber kemunafikan, sikap 4) toleransi jika si penerima informasi itu adalah type orang yang cinta-damai dan terbuka, sikap 5) tak perduli terhadap masalah agama apapun jika si penerima informasi itu adalah type orang yang memang tak mempunyai komitmen terhadap agama apapun, serta sikap 6) skeptis jika si penerima informasi itu adalah type orang yang kritis terhadap keberadaan agama-agama dan melihat bahwa masing-masing agama mempunyai landasan-landasan intelektual untuk menyatakan kebenaran agamanya masing-masing serta tak dapat diyakinkan bahwa agama yang satu lebih benar dari agama yang lain.
Menghadapi bermacam-macam sikap yang dipengaruhi oleh media massa yang seperti itu maka sudah selayaknya komunitas-komunitas agama di Indonesia mulai melakukan kerjasama bagi membendung sebagala macam bentuk fanatikisme dan radikalisme dengan mengedepankan tafsiran-tafsiran “cinta-damai” dari khasanah agama masing-masing. Disamping itu perlu adanya suatu gerakan akar rumput dimana kelompok agama yang satu perlu terbuka untuk mengerti keyakinan agama lain melalui pertemuan yang mengundang pembicara tokoh agama tertentu secara bergilir dalam suatu pertemuan lintas agama untuk memaparkan keyakinan agama yang bersangkutan bagi menjelaskan keyakinan dan praktek-praktek agamanya. Dapat juga dilakukan saling kunjungan ketempat-temat ibadah dari agama yang satu ke tempat-tempat ibadah agama yang lain untuk melihat – bukan untuk berpartisipasi - praktek-praktek ibadah dari agama-agama yang bersangkutan, kemudian menerima penjelasan dari para pimpinan agama yang ada mengenai makna tindakan-tindakan ibadah itu. Ini bukan dimaksudkan untuk mengkompromikan keyakinan namun dimaksudkan untuk memperluas wawasan, karena ada pepatah yang mengatakan “tak kenal maka tak sayang”. Dengan menerima penjelasan yang rinci mengenai agama-agama itu maka mereka yang kebingungan dapat ditolong untuk memiliki komitmen terhadap agama yang dianutnya. Dengan demikian akan terlihat cerminan “cinta-damai” dari agama-agama ini sehingga dapat menolong mereka yang apatis, tak perduli dan skeptis untuk mengambil sikap yang lebih positif lagi terhadap agama-agama sehingga mereka dapat mengambil keputusan untuk mengimani ajaran agama. Mungkin bisa diusulkan ke pemerintah agar di sekolah-sekolah ada suatu mata pelajaran mengenai agama-agama dunia, sehingga siswa tidak hanya memiliki pengetahuan sempit mengenai satu agama saja, disamping siswa bisa diajar untuk mendalami agama yang dianutnya. Juga bisa diusulkan kepada pemerintah agar diadakan mata pelajaran “budi-pekerti” yang secara universal dapat diterima oleh ajaran susila dari semua agama yang ada, yang dulu pernah ada disekolah-sekolah, sehingga para siswa bisa dibekali dengan sikap budi pekerti secara umum (misalnya sikap hormat, sikap tenggang-rasa, sikap iba, sikap saling menolong, sikap tanggungjawab, sikap taat, sikap perduli dan lain-lain) yang dapat membentengi mereka dari pengaruh mass media yang negatif dan juga akan dapat menciptakan sikap toleransi yang bersifat kemanusiaan universal dan bukannya sikap akhlak yang bersifat sektarian dan kefanatikan kelompok.
Dapat juga komunitas agama-agama melalukan kerjasama untuk membentuk kelompok kerja “pengawasan media” yang bersikap keras terhadap informasi media yang negatif, merusak dan membahayakan kepentingan umum dilihat dari kacamata moralisme universal yang disetujui oleh semua komunitas agama anggota yang bersangkutan.
2) Kerjasama Komunitas Agama dengan Pemerintah
Komunitas agama-agama dapat bekerjasama dengan pemerintah untuk mendorong pemerintah untuk menegakkan Undang-Undang Pers No.40 tahun 1999 yang mencantumkan bahwa pers berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat ( pasal 5 ayat 1). Dengan demikian jika ada arus informasi dalam internet, TV, iklan dan lain-lain yang melanggar “norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat” bisa diadakan pemblokiran dan pembredelan. Hal yang sama berlaku bagi media audio-visual yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perfilman dan Undang-Undang Penyiaran, terutama dalam UU Perfilman 1992 pasal 33 dan pasal 19. [4]Juga bagi radio dan TV yang tertuang dalam UU Penyiaran pasal 36:6 berlaku hal yang sama.[5]Undang-undang yang sudah ada inilah yang perlu didorong oleh pokja komunitas agama-agama untuk ditegakkan oleh pemerintah.
3) Pemahaman Dunia Digital dan dampak Globalisasi
Karena perkembangannya yang begitu cepat dan pengaruhnya yang begitu nyata terhadap kaum muda, maka para pimpinan komunitas agama-agama perlu melakukan usaha untuk memahami sendiri dunia digital serta dampak globalisasi ini. Sehingga mereka siap untuk memberikan pengarahan kepada kaum muda dampak positif dan negatifnya informasi yang diterima dari dunia maya ini. Para pemimpin agama yang perduli akan kaum pemuda harus tahu dunia kaum muda yang menjadi tanggung jawabnya melalui usaha untuk melihat-lihat isi internet itu sendiri. Sehingga ia dapat bicara dengan bahasa pengetahuan kaum muda yang sudah terpengaruh oleh dampak globalisasi melalui informasi yang mereka dapat dari internet itu. Kalau perlu para pemimpin agama perlu mengarahkan kaum muda untuk membuka website-website yang berisi informasi-informasi yang positif dan yang membangun terutma tentang pengetahuan moral dan agama, yang isinya telah dipelajari sendiri oleh pimpinan komunitas agama itu sendiri. Mungkin perlu juga diadakan dialog dengan kaum muda itu mengenai website-website yang pernah mereka kunjungi serta memberikan pendampingan kepada mereka mengenai sikap yang harus mereka ambil terhadap informasi yang didapat darinya. Dengan demikian ini akan menjadi sarana mengetahui keberadaan kaum muda ituj dan menjadi tiktik jembatan bagi pendidikan mereka kepada arah yang positif.
4) Pendalaman Keyakinan Iman Masing-Masing Komunitas Agama
Para pimpinan komunitas agama perlu membentengi kaum muda dengan pengetahuan keimanan ( “Orthodoxia”) yang memadai serta praktek ibadah (“Ortholatia”) yang intesif serta ajaran etika serta norma susila keagamaan (“Orthopraxia”) yang jelas, sehingga dengan kekokohan iman mereka, diharapkan mereka data membentengi diri dari oengaruh-pengaruh negative yangmereka data dari media massa terutama internet, dan mereka dapat melakukan pilihan yang tepat dan benar ketika mereka harus mengarungi dunia maya ini.
Pendalaman “Orthodoxia”, “Ortholatria” dan “Orthopraxia” ini perlu dilakukan secara menarik sehingga dapat memikat hati kaum muda. Itulah sebabnya para pimpinan agama perlu mencari kiat-kiat baru untuk menyodorkan “Orthodoxia”, “Ortholatria” dan “Orthopraxia” itu secara menarik dan menawan kepada kaum muda. Hal itu bisa dilakukan melalui wisata-rohani ke luar daerah, permainan-permainan yang bernilai keagamaan, perlombaan olah raga antar komunitas, serta kegiatan-kegiatan kepemudaan lainnya.Melalui kegiatan-kegiatan semacam ini dimana disela-selanya disisipkan waktu-waktu pelajaran keagamaan, diharapkan suatu pemahaman keagamaan yang lebih mendalam akan mereka terima, tanpa mereka sendiri merasa bosan dengannya, sebaliknya mereka malah merasa tertarik untuk mengikutinya lebih jauh lagi. Ini membutuhkan kreatifitas dari para pimpinan komunitas agama-agama itu bagaimana seharusnya menciptakan programpprogram yang menarik kaum muda semacam itu. Semoga usulan-usulan ini dapat memberikan manfaat.
DAFTAR PUSTAKA
1) Radhakriskrishnan ,P, “ Religion under Globalisation”, Economic and Political Review, March 27, 2004
2 ) Hadiono Afdjani, MM, Drs, “Dampak Globalisasi Media Terhadap Masyarakat Indonesia”, http://jurnal.bl.ac.id/wp-content/uploads/2007/blcom-04-vol2-no2-april20071.pdf
3) ----------------“Globalisasi”, http://jv.wikipedia.org/wiki/ Globalisasi, 3 April 2008
[1] ) Radhakriskrishnan ,P, “ Religion under Globalisation”, Economic and Political Review, March 27, 2004, hal, 1405
[2] ) ibid. hal, 1404
[3] ) ibid.
[4] ) Hadiono Afdjani, MM, Drs, “Dampak Globalisasi Media Terhadap Masyarakat Indonesia”, http://jurnal.bl.ac.id/wp-content/uploads/2007/blcom-04-vol2-no2-april20071.pdf, hal.4
[5] ) ibid
II. Globalisasi: Tantangan & Peluang Bagi Agama
Prawacana:
Globalisasi modern adalah suatu suatu proses perkembangan dimana terjadi pergeseran fokus ekonomi global dari produksi barang-barang kepada manipulasi informasi. Informasi yang diterima oleh masyarakat modern ini di dapatkan dari media Massa termasuk majalah, Surat kabar, buku-buku, televisi, film, musik, dan iklan. Terutama sekali manipulasi informasi ini membuka seluas-luasnya suatu bidang yang relatif baru dalam “teknologi informasi”, dengan digunakannya sistim informasi berdasarkan komputer untuk mengkonversi, menyimpan, memproses, mentransmisi, serta menarik keluar informasi. Perkembangan-perkembangan teknologi dalam bidang ini telah mengubah Gaya hidup di seluruh dunia dan telah menumbuhkan industri-industri disekitar PC (Personal Computer = Komputer Pribadi). Terutama sekali dengan sistim internet yang pada saat ini telah menjadi tempat utama dalam mengakselerasi arus informasi yang relevan dan merupakan bentuk media yang paling cepat. Globalisasi modern yang berawal dari berkembangnya ekonomi pasar bebas ini meluas sebegitu rupa sehingga menjadi suatu fenomena global yang mempengaruhi segala bidang kehidupan melalui manipulasi informasi dan media massa tersebut. Pengaruh globalisasi yang sangat berjangkauan jauh, baik positif maupun negative, dalam masyarakat secara luas inilah, yang menyebabkan keprihatinan semua pimpinan agama-agama di seluruh dunia, karena nilai dasar yag ditawarkan oleh globalisasi, yaitu, materialisme (pemujaan materi), konsumerisme (pemujaan pembelanjaan untuk materi), hedonisme (pemujaan hawa nafsu kedagingan), dan pemberhalaan benda, itu merendahkan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang dihormati dari semua agama.
Globalisasi
Pada inti dasar dari globalisasi itu adalah nilai yang terutama sekali diletakkan pada pertumbuhan ekonomi dengan kebebasan ekonomi secara leluasa, dengan membuka pintu bagi usaha-usaha perdagangan raksasa dengan lembaga-lembaga lintas-nasional pada bagian ujungnya. Agar pertumbuhan ekonomi ini terjadi, pemerintahah yang harus menciptakan lingkup sekondusif mungkin bagi perkembangan usaha bisnis mereka. Meskipun globalisasi itu memiliki akar sejarahnya dalam jaman kolonialisme, tetapi sebagaimana yang ditunjukkan oleh seorang penulis Muslim, Chandra Muzaffar, “adalah salah untuk menyatakan globalisasi pada masa kini sebagai suatu jiplakan dari pengalaman kolonial Negara Barat”, karena salah satu dari pusat-pusat kekuasan dari ekonomi global (ekonomi bersifat mendunia) semacam itu berpusat di Jepang. Dengan demikian ada beracam-macam pusat globalisasi, dan tidak semuanya itu berpusat di Negara Barat.[1] Proses mengalirnya kapital, barang-barang dan citarasa-citarasa tidak harus berasal dari pusat-pusat tertentu, khususnya Negara Barat, ke bagian-bagian dunia yang lain, meskipun ada pusat-pusat pengendalian semacam itu di Negara-negara Barat, tetapi ada pusat-pusat yang mengalir dalam tingkatan yang berbeda-beda.
Dengan meluasnya ekonomi pasar bebas yang mendunia, ekonomi dari beberapa Negara telah berkembang secara luar biasa, yang paling menyolok adalah Cina dan India, dan ketidak-seimbangan global rata-rata memang secara nyata telah berkurang. Tentu saja sebagaimana telah kita katakan sebelumnya, kisah keberhasilan ekonomi dari beberapa Negara itu, memiliki dampak sosial yang serius, baik positif maupun negatif, misalya kemampuan kaum muda untuk belajar ke luar negeri terutama ke Amerika Serikat, akses ke internet, sehingga terbuka bagi informasi gobal. Namun demikian, pada saat yang bersamaan, akses kepada informasi global yang mengakibatkan perubahan sosial secara cepat, khususnya diantara generasi yang menginjak dewasa, dapat berakibat pada “suatu perasaan ketak-berakaran atau bahkan keterasingan dan ketak-menentuan dalam masyarakat” (a feeling of rootlessness or even anomie in society”) [2], sebagaimana yang ditunjukkan oleh Robert Schreiter, seorang penulis Roma Katolik.
Perasaan ketak-berakaran dan kebingungan diantara generasi yang lebih muda yang ditimbulkan oleh pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial sebagai akibat langsung dari globalisasi inilah yang meninggalkan dampak pada masyarakat global. Materialisme, konsumerisme dan hedonisme yang adalah bentuk-bentuk dari berhala “Mammon” (Matius 6: 24) dan yang ditawarkan oleh globalisasi itu tidak menyediakan jawaban bagi kebutuhan-kebutuhan rohani manusia. Penekanan pada pertumbuhan ekonomi dan penumpukan kekayaan tanpa memperdulikan nilai rohani apapun itu adalah suatu manifestasi dari “ketamakan” atau “keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala,” (Kolose 3:5) dan ini berseberangan dengan sikap pendirian dari keagamaan yang benar apapun. Keprihatinan akan degradasi dari nilai rohani serta pemberhalaan keserakahan dan materialisasi dari roh manusia dalam proses globalisasi inilah yang seharusnya semua agama merasa perduli. Tantangan yang diperhadapkan oleh globalisasi kepada semua agama adalah tantangan nilai-nilai. Jadi keperdulian semua agama, khususnya Gereja Orthodox Timur, adalah apa kiranya makna dari dampak dari perubahan ini atas masyarakat kita yang diakibatkan oleh globalisasi itu bagi para pemeluk agama, khususnya umat Kristen, dan bagaimana umat Kristen itu sebagai bagian dalam komunitas para pemeluk agama-agama, serta bersama dengan pemeluk agama lainya seharusnya menanggapi perubahan sosial ini, dengan maksud untuk melayani masyarakat, dan bagaimana kiraya sumber-sumber daya dari Injil serta tradisi mati-raga dan tradisi Gereja Orthodox Timur itu dapat menolong kita dalam tanggapan tadi. .
Gambaran-Gambaran Globalisasi
Dalam artikelnya yang telah dikutip diatas Schrieter[3] membuat garis besar dari gambaran mengenai bagaimana globalisasi sebagai kerangka kerja dari perubahan sosial di dalam suatu masyarakat. Dia menyebutkan bahwa ada dua poros yang disekitarnya itu globalisasi bergerak; poros yang pertama adalah “kesaling-terkaitan” atau kesaling-bergantungan melalui perkembangan jaringan kerja komunikasi; misalnya: Internet, Situs-situs Jaringan (Website-website) yang Meluas-Dunia, telefon genggam; yang mengijinkan orang-orang atau lembaga-lembaga untuk saling kontak satu dengan yang lain degan suatu tingkat suatu kecepatan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Namun demikian, meskipun dengan adanya kesaling-terkaitan ini, Schreiter juga menunjukkan bahwa tidak semua penduduk dunia menikmati manfaat dari perkembangan dari telefon genggam; dimana sebagaian terbesar dari penduduk dunia masih tidak mempunyai akses atau tak mampu untuk mengakses padanya, sehinga mereka itu terkucil dari proses globalisasai; sehingga globalisasi juga menciptakan “peng-keluar-an” (“ex-klusi”).
Didalam bidang kesaling-terkaitan ekonomi yang diciptakan oleh globalisasi, akibatnya tidaklah selalu pertumbuhan ekonomi, banyak kaum miskin di dunia yang mengalami nafkah kehidupan mereka terganggu oleh kekuatan-kekuatan ekonomi mengglobal yang amat berkuasa yang datang dari luar, sehingga beberapa dari mereka sebenarnya malah menjadi makin buruk dari sebelumnya secara ekonomi. Banyak dari mereka yang dirampok dari otonomi sedikit serta kendali APA saja atas kehidupan mereka yang sebelumnya mereka punyai.[4] Kaum miskin ini terkeluarkan dari manfaat apa saja dari pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari globalisasi.
Poros yang kedua dari globalisasi yang ditunjuk oleh Schreiter adalah “ruang”, dimana dengan kemajuan dalam teknologi komunikasi ruang itu di “kerut-kecil”kan /dikompresi (misalnya: jumlah informasi yang dapat ditaruh di dalam microchip/flashdisk) dan pentingnya waktu bagi mengorganisasi dunia dihilangkan. Munculnya Kota global adalah merupakan bentuk sejajar dari mikro-kompresi ini. Jakarta saja memiliki penduduk sekitar 8-11 juta orang. Namun demikian, sebagaimana kata Schreiter, sebagaimana ruang itu diperluas, itu juga di “de-teritorial-kan”, karena dengan arus informasi, khususnya melalui internet dan alat-alat lainya, batasan-batasan politik menjadi sedikit maknanya. Kaum muda yang memiliki akses kepada Internet sangat lebih mungkin memiliki nilai yang sama dengan kaum sebaya mereka di luar negeri yang mereka kenal melalui interet daripada dengan orang tua mereka sendiri. Dengan demikian pengaruh globalisasi memiliki dampak pada penduduk melalui dua poros ini “kesaling-terkaitan” dan “pengkerut-kecilan ruang”.
Dalam hal dampak ini, Schreiter menyebutkan bahwa ada “empat” wilayah kehidupan yang dipengaruhi oleh globalisasi tadi. Hal itu adalah:
1) “Komunikasi” dimana teknologi-teknologi komunikasi telah mendemokratisasi komunikasi dan membuat akses kepada informasi lebih mudah. Kini sulit untuk mengendalikan arus informasi dan akses kepda informasi dengan cara hirarkhis dalam berhadapan dengan internet, karena itu sedang mengubah mobilisasi “pendapat masyarakat umum”(opini publik)
2) “Ekonomi” yang adalah, barangkali, bentuk dari wajah globalisasi yang paling menyolok mata. Kesaling-terkaitan ekonomi dalam bentuk “kapitalisme neo-liberal/kapitalisme liberal baru” yang memberikan manfaat kepada sebagaian orang namun meng-keluar-kan orang yang lain daripadanya serta menekan mereka, kelihatannya tak dapat dihentikan pada saat ini, tetapi sebagaimana proses apapun dalam sejarah hal ini dapat berhenti. Kenyataan bahwa makin meningkatnya protes menentang globalisasi yang kini telah menjadi rutin menunjukkan bahwa dimensi ekonomi dari globalisasi tak dapat berlanjut tanpa kendali. Manusia tak boleh dijadikan mesin bagi pertumbuhan ekonomi.
3) “Politik” dimana pada saat ini ada sedikit keseimbangan dalam kekuatan militer dan kekuatan politik di dunia. Meskipun Amerika Serikat menjalankankan kekuasaan yang paling besar, namun Negara itu tak selalu dapat mendapatkan APA yang diinginkannya. Sangat disayangkan bahwa tidak ada suatu pengaturan bagi keseimbangan kekuasaan politik yang lebih baik di dunia pada saat ini.
4) “Sosial-Budaya”, dalam artian pelaporan berita dan produksi budaya hiburan. Dampak dari sosial-budaya ini dapat kita lihat misalnya:
a. Dalam opera-opera sabun dan film-film India, Jepang, Cina, Korea, Amerika Selatan dan Amerika yag ditayangkan hampir tiap hari di program-program televisi Indonesia,
b. Dalam Program-program Televisi Satelit yag dapat diakses dimana saja dan setiap saat, misalnya: BBC Inggris, CNN Amerika, FOX News Amerika, Arirang Korea, CCTV Cina, Al-Jazirah Timur Tengah Arab, Online Internet Televisi, dan lain-lain, tetapi juga produksi-produksi musik asing yang dapat didapatkan dengan mudahya,
c. Dalam McDonald, Kentucky Fried Chicken dan restaurant-restauran makanan cepat saji Amerika lainnya yang menghiasi banyak kota-kota besar Indonesia,
d. Dalam Coca-Cola, Sprite dan banyak produksi makanan asing Amerika atau non-Indonesia lainya yang dapat ditemukan dimana saja di negeri ini, dan lain-lain,
Pensatu-samaan (homogenisasi) dari produksi budaya ini berbahaya bagi merampok otonomi produksi budaya tadi dari sifat lokalnya. Itulah pada hakekatya, yaitu: penyebaran internet, masuknya kapitalisme neo-liberal, penyesuaian ulang garis kekuatan-kekuatan politik, dan pensatu-samaan (homogenisasi) budaya, gambaran dari globalisasi pada abad ke dua puluh satu ini.[5]
Reaksi Atas Globalisasi
Sebagaimana yang telah kita lihat diatas, globalisasi memberikan kita gambaran yang camopur aduk, ini adalah merupakan suatu fenomena yang secara mendalam bersifat ambivalent (mendua), karena disamping tantangan-tantangan yang diperhadapkan olehnya, itu juga menawarkan suatu kesempatan-kesempatan/peluang-peluang yang menjanjikan untuk membentuk suatu komunitas dan kekeluargaan kemanusiaan yang satu yang dibangun diatas nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesamaan hak dan kedudukan, kesetia-kawanan, dan kasih.
Namun demikian harus diingatkan bahwa proses globalisasi itu tak bersifat jinak, maupun peka terhadap pemeliharaan perbedaan-perbedaan budaya, tak pula itu bebas dari dominasi, sebagaimana yang ditunjukkan secara tepat oleh Clapsis.[6] Clapsis menyatakan lebih lanjut bahwa budaya-budaya dan komunitas-komunitas khas local ditantang oleh kenyataan-kenyataan budaya mengglobal yang baru untuk mendefinisikan ulang identitas-identitas mereka dalam terang kehadiran dari pihak lain yang banyak jumahnya yang secara keras-kepala menolak untuk menjadi seperti mereka, atau mengadakan perlawanan secara aktif kepada pihak lain yang banyak itu, sementara pada saat yang bersamaan menuntut pengakuan akan diri mereka dalam ruang umum (ruang publik). Semuanya ini telah menyebabkan ketegangan dan konflik di seluruh dunia. Namun demikian, meskipun adanya ketegangan-ketegangan dan konflik-konflik ini, dalam konteks globalisasi, adalah tak dapat dihindari bahwa identitas dari komunitas-komunitas agama-agama Akan mengalami perubah-kembangan. Adalah tergantung kepada komunitas-komunitas agama-agama tadi untuk melangkah maju dalam pendidikan keagamaan mereka melampaui cara-cara tradisional mereka dalam menyampaikan kebenaran-kebenaran keagamaan mereka serta untuk mengeksplorasi dalam konteks globalisasi masakini bagaimana identitas mereka itu dikonstruksi, dan kriteria theologia apa yang mereka gunakan dalam meyakinkan mutu dari identitas yang dikonstruksi tadi.[7]
Sebagai seorang anggota dari Gereja Orthodox Timur, penulis ingin mempersembahkan suatu kriteria theologis semacam itu berdasarkan pada visi Kristen Orthodox Timur tentang realita, sebagai suatu sumbangan bagi tanggapan kita bagi konstruksi identitas keagamaan kita dlam berhadapan dengan globalisasi di dalam menanggapi nilai-nilai yang ditawarkan oleh globalisasi itu.
Kesempatan-Kesempatan/Peluang-Peluang bagi Agama-Agama
Sebagaimana barangkali kita dapat mengerti dari diskusi kita diatas mengenai fokus ekonomi dari globalisasi, adalah tak mengherankan bahwa kebanyakan dari penolakan yang diajukan menentang globalisasi utamanya difokuskan pada aspek ekonomi yang mengakibatkan makin meningkatnya kemiskinan di seluruh dunia, serta rasa ketak-berdayaan, dan ketidak-amanan yang dialami di dalam masyarakat modern yang terus bergerak secara intensif ini. Lebih jauh, ekonomi telah menjadi penguasa dari masyarakat dan segala sesuatu yang ada didalamnya, dan masyarakat ada untuk melayani tujuan akhir dari capital serta kebutuhan-kebutuhannya utuk memperluas diri; sehingga Gereja-Gereja Kristen, bersama dengan banyak organisasi keagamaan dan sipil, telah menyatakan opini mereka yang keras menentang cara kinerja globalisasi ekonomi dan ideologi “pasar bebas” semacam itu. Ini disebabkan globalisasi memberikan tempat utama kepada kapital ekonomi diatas pelayanan kepada kemanusiaan dan hormat atas pribadi manusia. Oleh karena itu perkembangan ekonomi dapat dibenarkan secara moral hanya jika seluruh anggota masyarakat mendunia ikut ambil bagian di dalamnya.
Dengan demikian adalah tugas bagi semua orang Kristen dan para pemeluk agama-agama untuk membuka kedok nilai-nilai ideologi yang mendorong globalisasi, dan meruntuhkan “berhala Mammon” yang menopangnya. Sebenarnya globalisasi itu tidak memiliki visi atau tujuan akhirnya sendiri, tujuan akhir dari globalisasi adalah lebih banyak lagi globalisasi.[8]
Laju globalisasi ini telah menciptakan kekacauan, ketiadaan-makna, dan kekosongam khususnya diantara kaum muda sehigga mereka lari ke miras, narkoba, sex-bebas, serta frustasi yang menciptakan tingkah-laku anarkhis. Namun demikian dengan meluasnya secara tak tak terkendali ketak-berakaran, ketiadaan-makna, serta frustrasi yang disebabkan oleh konsumerisme dan hedonisme sebagai akibat langsung dari globalisasi itu, di dalam masyarakat yang lebih maju muncul serangkaian nilai-nilai, yaitu: 1) pencarian makna hidup, 2) ketidak-percayaan pada lembaga-lembaga sosial, dan 3) keperdulian akan lingkungan (ekologi)[9]. Disini inilah, agama-agama dapat menyediakan suatu jalan kerohanian yang utuh teratur bagi kehidupan didalam dunia yang berubah secara cepat ini. Dalam artian sumbangan Iman Kristen Orthodox bagi penyediaan jalan kerohanian semacam itu bagi kehidupan, berdasarkan nilai-nilai theologia Kristen, saya dapat mempersembahan sebagai berikut:
Nilai-Nilai dan Kriteria Theologia Kristen dalam Menghadapi Globalisasi
1) Allah sebagai Pencipta Alam Semesta dan Penguasa Sejarah
Agama Yahudi, Iman Kristen, dan Agama Islam setuju bahwa hanya ada Satu Allah yang adalah Pencipta dan Penopang segenap ciptaan. Menurut keyakinan Kristen Allah yang satu ini menciptakan segenap semesta melalui FirmanNya sendiri yang berada satu didalam Allah dan dilahirkan keluar dariNya secara kekal, dan Allah memberikan kehidupan kepada ciptaanNya melalui RohNya sendiri, yang adalah NafasNya, yang bersama Firman Allah berada secara kekal di dalam Allah, dan keluarnya dari Allah.[10] Oleh karenanya menurut Keyakinan Kristen, tidak ada satupun dalam dunia yang bebas dari Allah. Allah adalah sumber dan Penopang segala sesuatu yang ada. Memperlakukan manusia dan lingkup jasmani serta rohaniah-mentalnya (lingkungan, budaya, kehidupan sosial, ekonomi dan kehidupan politik) terpisah dari Allah adalah sama sekali tak dapat diterima bagi sensibilitas Kristen, meskipun Iman Kristen tak akan mengambil sikap yang bersifat theokratis (pemerintahan agama) ataupun totalitarian (segala bidang kehidupan diatur oleh hukum agama) dalam menekankan perlunya mengakui tempat Allah dalam kehidupan manusia. Adanya agama-agama harus diakui dan bukan direndahkan dalam proses keberadaan manusia, yang bukan demikian halnya di dalam globalisasi. Agama jangan sampai dipisah dari proses kehidupan manusia. Namun pada saat yang bersamaan agama jangan sampai dipaksakan oleh hukum positif macam apapun, karena agama harus dimengerti sebagai pilihan bebas yang berkaitan dengan hubungan perorangan dengan Penciptanya.
Khususnya di dalam suatu masyarakat yang majemuk seperti Indonesia dan dalam masyarakat global yang kita hidupi ini, pemaksaan agama kedalam suatu hukum positif akan pasti mencioptakan masalah, karena tak ada satu agama yag memiliki hukum yang sama dengan agama lain. Jika hukum dari satu agama dipaksakan pada pemeluk agama yang lain di dalam masyarakat, akibatnya adalah penaklukan oleh satu kelompok atas kelompok yang lain . Ini akan menjadi suatu pemaksaan dan tak ada pilihan bebas dari pihak yang lain, dan ini akan menciptakan ketak-adilan dan kemungkinan konflik-konflik. Menurut ajaran Kristen Orthodox agama-agama, atau Gereja dalam hal ini, ada bukan untuk ikut campur tangan dengan fungsi kenegaraan, tetapi menjadi suara hati moral bagi Negara dan penguasanya, dengan menyuarakan “suara kenabian” kapan saja para penguasa itu menyimpang dari jalan keadilan. Theologi politik dari Iman Kristen Orthodox Timur merangkul idea “harmonia” dan “simfonia” antara Gereja dan Negara, dan antara Agama dan Politik.
Juga dengan menekankan bahwa hanya ada satu Allah (yang memiliki FirmanNya yang kekal dan RohNya yang kekal di dalam diriNya) yang menciptakan segenap manusia, Iman Kristen Orthodox mengakui kesatuan manusia.[11] Dalam mengakui kesatuan kemanusiaan, maka dimengerti bahwa pada dasarnya semua manusia tak perduli agama yang dipeluknya adalah satu keluarga besar, dengan demikian semua pengikut agama-agama dalam masyarakat harus bekerjasama untuk menciptakan kesatuan dalam pemikiran dan tujuan bagi pelayanan untuk kemanusiaan dan masyarakat. Suatu visi bersama yang dilandasi pada keyakinan Akan adanya Satu Allah yang menciptakan semua manusia dan kesatuan kermanusiaan Akan menjadi dasar bagi kerja Sama untuk memperbaiki kemanusiaan dan masyarakat secara luas tanpa mengorbankan kekhususan dan keunikan dari pengajaran masing-masing agama. Allah memang satu, dan Dia selalu bekerja dalam harmoni dengan FirmanNya dan RohNya sendiri dalam menciptakan manusia menurut “gambar dan rupa Allah” (Kejadian 1:26-27) demi ciptaan itu serta demi kebaikan manusia. Oleh karena itu manusia harus meneladani Allah dalam berusaha untuk keharmonisan satu sama lain, mencapai kesatuan dalam tujuan dan niat, dalam kemajemukan dan kejamakan keberadaannya.
Adalah juga merupakan ajaran Kristen bahwa setelah menciptakan alam semesta Allah masih melibatkan diri dalam ciptaanNya, dan sedang membimbing ciptaan itu kedalam tujuan akhirnya sebagaimana yang dimaksud Allah ketika Dia menciptakan dunia.[12] Dengan demikian dunia ini tidak berputar lepas dari Allah, dan kehidupan manusia dan sejarahya tidak berjalan tanpa ikut campur tangan Allah secara langsung. Singkatnya, Allah adalah yang mengendalikan dan Penguasa atas sejarah. Jika demikian, apapun yang terjadi dalam sejarah manusia Allah yang mengendalikan prosesnya dan Allahlah yang ada dibelakang apa yang terjadi, dengan mengijinkan atau dengan campur-tangan langsung maupun dengan mengendalikan proses sejarah ini. Tentu saja kita tak dapat mengerti maksud dari segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah, termasuk globalisasai di masa kini, namun demikian kita harus dapat “membaca tanda-tanda zaman” (Matthew 16:3) agar dapat membeda-pilahkan dan menemukan kehedak Allah, betapapun sulit, meyakitkan dan sukarnya itu, dalam proses sejarah keberadaan kita, dan dapat menanggapinya secara bijaksana dan dengan penuh doa sesuai dengan bimbingan RohNya berlandaskan prinsip-prinsip dari firmanNya dalam Kitab Suci.
2) Sifat Waktu yang Lurus Kedepan
Lagi Agama Yahudi, Islam dan Ian Kristen Orthodox setuju bahwa dunia ini memiliki awal pada saat penciptaan[13] dan itu akan berakhir pada akhir jaman [14]. Karenaya waktu itu bersifat lurus kedepan. Segala sesuatu yang terjadi sejak permulaan ciptaan hanyalah sebuah fase dan bukan puncak akhir dalam proses sejarah ini, yang mengarah kedepan menuju tujuan akhirnya. Gereja Orthodox telah melewati jalan fase-fase proses sejarah ini selama 2000 tahun keberadaannya. Ia telah melewati jalan ketika para Rasul Kristus masih hidup. Ia telah melewati jalan ketika Kaisar-Kaisar Romawi menganiaya banyak dari anggota-anggotanya. Ia telah melewati jalan dari jaman keemasannya pada masa zaman Kerajaan Byzantium. Ia telah melewati jalan ketika wilayah-wilayahnya di Timur Tengah jatuh ke tangan kekuatan Islam mengikuti gelombang perluasan wilayah Islam. Ia telah melewati jalan yang menyakitkan karena terjadinya perpisahan dengan Gereja Barat yang berpusat di Roma. Ia telah melewati jalan sakit dan penderitaan dari penyerbuan, yang dialami bersama orang-orang Yahudi dan Islam, oleh tentara Perang Salib, khususnya pada saat Perang Salib keempat ketika Konstantinopel diserbu oleh para tentara Perang Salib. Ia telah melewati jalan penderitaan dari serangan orang Turki Usmani dan jatuhnya Konstantinopel dibawah tangan bangsa Turki. Ia telah melewati jalan masa-masa penderitaan dibawah pemerintahan kekuasaan Turki; ia telah melewati jalan penderitaan dibawah kekuasaa Komunis Rusia, dan ia telah melewati jalan pada masa-masa ketika Komunisme jatuh di Negara yang sama itu dan ia mengalami kebebasan sekali lagi. Dan kini ia telah melewati perjalanan di zaman modern, dengan proses globalisasi sebagai keprihatinannya secara langsung. Tetapi duia belum berakhir. Tak satupun dari proses sejarah yang telah dilewati oleh Gereja Orthodox itu merupakan akhir ataupun puncak terahir dari apapun, karena setiap proses sejarah itu memiliki masa akhirnya sendiri. Karena itu globalisasi ini juga akan berakhir, entah begaimana pada suatu saat nanti. Visi Gereja Orthodox tidak difokuskan pada fase manapun dalam proses sejarah ini, tetapi pada akhir dunia secara eskhatologis, dengan menunggu “penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus” (Titus 2:13), serta “menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran.” (II Petrus 3: 13). Inilah harapan yang dapat ditawarkan oleh Gereja Orthodox bagi mereka yang tak berharapan ditengah-tengah gaduh-riuhya globalisasi ini.
3) Manusia sebagai Pusat dari Ciptaan dan dari Semua Perkembangan
Ketika Allah menciptakan manusia pertama Dia memberikan amanah kepada manusia itu utuk bertanggung jawab bagi ciptaan yang lain.[15] Manusia menjadi wakil Allah diatas bumi untuk bertanggung jawab atas ciptaanNya, karena diberikan kepada manusia baik dari dunia binatang[16] ataupun tumbuh-tumbuhan.[17] Manusia adalah puncak dan mahkota dari ciptaan Allah, segenap kepenuhan citaan diberikan Allah bagi manfaat manusia. Dengan demikian manusia dipercaya Allah untuk menjadi pengelola atas ciptaanNya[18], dia diperintahkan untuk “mengusahakan” dan “memelihara” Taman Eden, yaitu lingkungan hidupnya. Dia bertanggung jawab bagi lingkungan sekitarnya demi kebaikannya sendiri. Oleh karena itu manusialah yang harus memperkembangkan budaya, masyarakat, ekonomi, dan kehidupan sosialnya sendiri.
Perkembangan yang dilakukan manusia itu diindikasikan oleh Kitab Suci, pertama sekali dengan perkembangan pertanian dan peternakan, sebagaimana dikatakan:”Habel menjadi gembala kambing domba, Kain menjadi petani.” (Genesis 4: 2). Dan dengan berkembangnya waktu manusia memperkembangkan Cara hidup yang lebih rumit lagi dengan inisiatifnya untuk memperkembangkan Kota yang pertama, dimana dikatakan:”Kain mendirikan suatu kota dan dinamainya kota itu Henokh, menurut nama anaknya.” (Kejadian 4:17). Kisah pembangunan Kota yang pertama ini menunjukkan bahwa perkembangan masyarakat dan kehidupan sosial yang pertama bagi manfaatnya sendiri itu merupakan inisiatif manusia sendiri. Selanjutya, manusia adalah pelaku (actor) dan pelaksana (agen) yang melakukan inisiatif bagi perkembangan perumahan dan kebutuhan-kebutuhan ekonomi, sebagaimana dikatakan:”… Yabal; dialah yang menjadi bapa orang yang diam dalam kemah dan memelihara ternak” (Kejadian 4:20). Manusia adalah juga pelaku dan pelaksana yang melakukan inisiatif bagi perkembanganm seni dan budaya, sebagaimana dikatakan:”…Yubal; dialah yang menjadi bapa semua orang yang memainkan kecapi dan suling.” (Kejadian 4:21). Lagi manusia dilihat sebagai pelaku dan pelaksana yang melakukan inisiatif perkembangan teknologi, sebagaimana dikatakan:”… Tubal-Kain, bapa semua tukang tembaga dan tukang besi.” (Genesis 4:22).
Semua kisah inisatif manusia untuk memperkembangkan pertanian, peternakan, kota, perumahan, ekonomi, seni, budaya dan teknologi itu memberikan suatu pesan yang jelas bahwa manusialah yang menjadi pusat dan fokus dari semua perkembangan sosial, ekonomi, budaya, politik dan teknologi itu. Dan mereka itu diperkembangkan bagi melayani kebutuhan-kebutuhan manusia dan bagi kebaikan manusia itu sendiri. Kebaikan manusia haruslah menjadi tujuan akhir bagi semua perkembangan. Dengan pemahaman seperti ini, kita dapat melihat mengapa ideoogi globalisasi yang berfokus pada “pembiakan diriya sendiri yaitu tujuan akhir dari globalisasi adalah lebih banyak lagi globalisasi” itu bertentangan dengan ajaran yang jelas dari Kitab Suci ini. Sebagaimana yang telah kita ketahui,globalisasi itu sesungguhnya tak memiliki visi ataupun goal pada dirinya sendiri, oleh karena itu janjinya bagi suatu masa depan yang lebih baik itu adalah kosong dan hampa. Itu tak memiliki visi bagi harga diri dan keberadaan manusia, karena manusia ditundukkan pada kemauan semena-mena dari ekonomi “pasar bebas”, dimana Mammon, penumpukan kekayaan menjadi penguasa yang mendikte kehidupan manusia. “Mammon” memanglah dibutuhkan, tetapi itu harus digunakan dengan tujuan untuk melayani kemanusiaan, dan bagi memajukannya, dan bukan bagi memperbudak atasnya. Jika harga diri manusia dan hormat atas kepribadian manusia bukan menjadi goal dari perkembangan apapun, atau dipinggirkan dan dipicingkan dengan sebelah mata oleh”ekonomi pasar bebas” dalam ideologi globalisasi ini, Gereja bersama dengan komunitas-komunitas agama-agama serta lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya harus mengibarkan benderanya, serta menyuarakan keperduliannya dengan berbicara secara keras menyatakan kecaman dan suara kenabian mereka.
4) Masalah Dosa
Ditengah-tengah kekacauan yang diciptakan oleh globalisasi modern dimana manusia bertaya-tanya tentang keberadaan Allah dan tak mempercayai agama-agama terorganisir, dikarenakan adanya penderitaan dan nestapa dalam dunia ini serta kemunafikan dan kejahatan yang barangkali mereka lihat di dalam diri dari banyak pemimpin dalam agama-agama yang teroganisir, Gereja Orthodox meneguhkan keseriusan adanya dosa. Adalah ajaran Kitab Suci bahwa sejak Adam diusir dari Firdaus [19] karena pemberontakannya kepada kehendak Allah (Kejadian 2:16-17, 3:6, 17-19), ia kehilangan hubungannya yang dekat dengan Allah, dan telah kehilangan keabadiannya, karena keterpisahannya dari Allah ini berakibat dia “terpisah dari kehidupan Allah” (Efesus 4:18). Keterpisahan manusia dari hidupNya Allah akibat pemberontakan, yang adalah inti dari dosa ini, mengakibatkan manusia berada dalam kuasa maut/kematian (Roman 5:12), sementara kematian itu sendiri disebabkan oleh Iblis “yang berkuasa atas maut” (Ibrani 2:14) dan yang adalah bapa segala kejahatan:pendusta dan pembunuh (Yohanes 8:44). Oleh karenanya maut, Iblis dan dosa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keberadaan manusia. Kejahatan dan dosa telah begitu merembes kedalam seluruh eksistensi manusia baik secara pribadi, dalam bentuk hawa nafsu dan keinginan jahat, maupun secara lembaga, baik yang bersifat duniawi maupun keagamaan. Disini inilah Gereja Orthodox berlandaskan Kitab Suci memanggil semua anggotanya untuk mengadakan peperangan melawan keinginan jahat dan hawa-nafsu (Kolose 3:5, Galatia 5:24) dan untuk menghidupi kehidupan kesalehan dan kekudusan di dalam ketaatan akan Allah dengan bimbingan bapa rohaninya. Inilah panggilan kehidupan mati-raga, yang terdiri dari: kehidupan sembahyang yang teratur dan menetap, ikut serta secara rajin dalam kehidupan sacramental Gereja, berpuasa, sembahyang semalaman, membaca Kitab Suci dan buku-buku rohani lainnya, memberikan perpuluhan dan sedekah, bertarung melawan hawa-nafsu dan keinginan daging, mempraktekkan perbuatan cinta-kasih, dan berjuang bagi kekudusan, dimana kita dipanggil untuk memisahkan diri dari keterikatan terhadap materialisme dan hawa nafsu daging serta keinginan jahat bagi mengangkat roh kita kedalam panunggalan dengan Allah.
Tak perduli lembaga atau ideologi apapun yang diciptakan manusia baik itu ekonomi, politik, agama, budaya atau yang lainnya, kehadiran kejahatan itu harus diperhitungkan. Disinilah prinsip kehidupan mati-raga untuk melawan hedonisme dan egoisme yang tanpa kendali, hawa nafsu daging, dan keserakahan memiliki relevansinya dalam menghadapi dampak globalisasi. Juga dengan panggilan hidup mati-raga untuk melepaskan diri dari keterikatan materi, orang dapat menghadapi bahaya materialisme, kecanduan narkoba, dan sex bebas yang telah mencirikan kehidupan kaum muda dalam zaman globalisasi ini.
Injil memanggil kita untuk tidak menaruh ketergantungan sepenuhnya kepada lembaga-lembaga buatan manusia, karena tujuan akhir dari hidup setiap orang Kristen adalah Kerajaan Allah yang Akan datang, dan bukan ideologi utopia dari dunia ini. Tak ada satupun dalam dunia ini yang dapat menghadirkan Kerajaan Allah secara sepenuhnya. Segala sesuatu didalam dunia ini campuran antara kebaikan dan kejahatan, antara kebenaran dan kesesatan, serta antara terang dan kegelapan. Perjuangan melawan kejahatan, dosa, dan iblis dimanapun dan dalam bentuk apapun itu menyatakan dirinya haruslah menjadi tugas orang Kristen, terutama dalam menghadapi materialisme, ketidak-percayaan, hedonisme, kekerasan, penindasan, dan ketidak-adilan yang meluas tak terkendali di seluruh dunia ini
5) Inkarnasi Firman Allah
Agama Yahudi, Agama Islam, dan Iman Kristen setuju pada kenyataan bahwa Allah berkomunikasi mengenai kehendak dan keberadaanNya melalui FirmanNya. Dalam Agama Yahudi dan Agama Islam Firman Allah yang melaluinya Allah menciptakan dunia diturunkan oleh Allah melalui para Nabi dalam bentuk Kitab Suci (Torah bagi Agama Yahudi, al-Qur’an bagi Agama Islam). Disini Iman Kristen Orthodox menyatakan perbedaannya dan berpisah jalan baik dari Agama Yahudi maupun Agama Islam, karena Iman Kristen Orthodox mengajarkan bahwa Firman Allah diturunkan oleh Allah dari sorga bukan hanya sekedar berwujud suatu Kitab, namun “Firman itu telah menjadi Manusia” (John 1:14) dengan diutus masuk kedalam rahim Perawan Maryam (Galatia 4:4), dan dilahirkan sebagai manusia: Yesus Kristus melalui kuasa dari Roh Allah yang kekal (Matius1:20. Lukas 1:34-35). Tindakan Firan Allah jadi manusia ini dalam theologia Kristen disebut sebagai “Inkarnasi” = menjadi daging (“carnus” dalam bahasa Latin adalah “daging”), sementara proses Firan Allah turun menjadi Kitab sebagaimana yang dijumpai dalam Agama Yahudi dan Agama Islam, boleh disebut sebagai “Inskripturasi” = menjadi Kitab (“Scriptura” dalam bahasa Latin artinya “Kitab Suci”).
Karena manusia adalah fokus perhatian kasih Allah, dan pusat dari ciptaan, tetapi sudah terjatuh dari status aslinya sesudah diusir dari Taman Eden atas pemberontakannya terhadap kehendak Allah, oleh karena itu tujuan dari Inkarnasi Firman Allah adalah demi manusia tadi. Inkarnasi dari Firman Allah ini hanya memiliki satu tujuan saja, yaitu bagi keselamatan manusia, dengan kata lain, bagi pembebasan manusia dari kuasa maut, Iblis dan dosa; dengan menyatu oleh iman ke dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus yang dinyatakan melalui Baptisan; agar ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi (II Petrus 1:4), di dalam hidup kekal dan kemuliaan Allah, serta menjadi “seperti Dia” (I Yohanes 3:2).
Selanjutnya diajarkan oleh Kitab Suci bahwa ketika Firman Allah menjadi manusia, Dia tak kehilangan kekekalanNya atau kodrat ilahiNya, tetapi kodrat ilahiNya itu bersemayam secara jasmani di dalam inkarnasi kemanusiaanNya tanpa berubah dari hakekat keilahianNya[20]. Kodrat Ilahi tak berubah menjadi kodrat manusia, dan kodrat manusia tidak berubah menjadi Allah. Masing-masing kodrat dari keduanya itu dijaga tak berubah, tetapi dimanunggalkan dalam satu Pribadi dari Yesus Kristus. Oleh karena panunggalannya dengan keilahian Firman Allah, maka kemanusian dari manusia Yesus Kristus yang telah diambil oleh Firman Allah yang menjadi daging itu dimuliakan melalui kebangkitan dimana kematian dihancurkan dan ketak-binasaan dinyatakan, karena sesudah kebangkitanNya Yesus Kristus tidak mati lagi dan maut tidak mempunyai kuasa atas diriNya.[21]
Prisip-prinsip yang dapat kita timba dari ajaran Kitab Suci ini adalahbahwa Allah perduli kepada manusia sampai Dia FirmanNya sendiri dikirim untuk menjadi manusia. Allah perduli dengan kehidupan bagi manusia, sehingga FirmanNya yang ber-Inkarnasi itu harus menghancurkan kematian dan menyatakan kehidupan dan ketak-binasaan. Berdasarkan prinsip-prinsip ini, maka, setiap ideologi yang menyebabkan kekerasan, penderitaan, rasa sakit, penindasan, perbudakan, pembunuhan dan kematian bagi manusia harus ditentang karena itu berlawanan dengan idea ilahi mengeai apa sebenarnya manusia itu. Idea Allah tentang kemanusian yang sejati dan otentik adalah suatu kemanusiaan yang manunggal dengan Allah sedemikian rupa dimana kodratnya yang tercipta ini meskipun berbeda dari kodrat Ilahi, namun ditetapkan untuk berada dalam panunggalan dengan Allah, dan ditransformsi secara rohani kedalam eksistensi yang mulia, yaitu ditransformasi ke dalam gambar dan rupa Allah lagi. Jadi manusia harus dimengerti dalam artian keutuhan tubuh, jiwa dan rohnya. Manusia bukanlah hanya eksistensi jasmani saja, tetapi juga sebagai makhuk berjiwa dan memiliki roh. Dengan demikian memperlakukan manusia hanya sekedar sebagai sarana, alat, atau sebagai mesin untuk mencapai tujuan-tujuan akhir materi, ekonomi, dan segala macam hal yang bersifat sementara ini, adalah merupakan degradasi dan penghinaan atas kodrat dan harga diri manusia, dan itu harus dikecam dalam bahasa yang sekeras mungkin, dan harus dihentikan.
6) “Theosis” sebagai Tujuan Akhir dari Keberadaan Manusia.
“Theosis” adalah sebuah kata Yunani yang artinya “pengilahian”. Ini adalah ciri khas dari theologia Kristen Orthodox Timur dalam menggambarkan tentang tujuan akhir dari eksistensi manusia dan tujuan dari pengutusan Firman Allah yang telah menjadi daging: Yesus Kristus, bagi keselamatan manusia.
Firman Allah diutus Allah untuk menjadi manusia di dunia ini dengan tujuan untuk memberitakan Kerajaan Allah [22]. Kerajaan Allah ini bukanlah Kerajaan jasmani dan politik, namun Kerajaan rohani, karena itu mulainya dari kehidupan masakini dan tinggal “di dalam” hati manusia dan tidak dapat diobservasi melalui cara-cara lahiriah.[23] “Kerajaan Allah” ini “bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.” (Romans 14:17). Dalam Kerajaan Allah ini manusia “tidak kawin dan tidak dikawinkan…….sebab mereka tidak dapat mati lagi; mereka sama seperti malaikat-malaikat” (Lukas 20:35-36).
Kedatangan Kerajaan Allah ini terkait secara tak terpisahkan dengan Pribadi dari Yesus Kristus, Firman Allah yang telah menjadi Daging, yang mengatakan:” Tetapi jika Aku mengusir setan (bhs asli: “daimonia” = roh-roh jahat) dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu. “(Matius 12:28). Sesuai dengan itu maka Kerajaan Allah terjadi apabila Yesus Kristus telah mengalahkan roh-roh jahat khususnya pemimpin mereka, Iblis; dan apabila Roh Allah dinyatakan dengan kuasa. Yesus Kristus telah melakukan itu melalui wafatNya di atas Salib serta Penguburan dan KebangkitanNya yang berpuncak pada KenaikanNya ke sorga dan TurunNya Roh Allah yang Kudus.
Mengenai kekalahan Iblis oleh kematian Kristus itu, dikatakan demikian:” oleh kematian-Nya Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas maut” (Ibrani 2:14), karena:” Juruselamat kita Yesus Kristus, yang oleh Injil telah mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa.(bhs asli: “zooeen kai aphtharsian” = hidup dan ketak-binasaan)”( II Timotius 1:10) melalui kebangkitanNya dari antara orang mati , sehingga dikatakan:” Untuk inilah Anak Allah ( Firman Allah yang Menjadi Daging) menyatakan diri-Nya, yaitu supaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu.” (I Yohanes 3:8).
Sebelum wafatNya diatas Salib Yesus Kristus menjanjikan bahwa Dia akan mengirim” Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa” yang akan “bersaksi tentang” Yesus (John 15:26). Roh Allah ini akan datang agar bersaksi atau menyatakan Yesus Kristus dalam hati manusia, karena:” tidak ada seorangpun, yang dapat mengaku: "Yesus adalah Tuhan", selain oleh Roh Kudus.” (I Korintus 12:3). Yesus menggenapi janji ini setelah kebangkitanNya dimana: “Yesus inilah yang dibangkitkan Allah,…. sesudah Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah dan menerima Roh Kudus yang dijanjikan itu, maka dicurahkan-Nya” (Kisah Rasul 2:32-33). Kedatangan Roh Allah yang Kudus dengan kuasa sesudah dikalahkanNya Iblis melalui kematian dan kebangkitan Kristus itu terjadi pada Hari Pentakosta [24]. Dikalahkannya Iblis oleh kematian dan kebangkitan Yesus Kristus dan turunNya Roh Allah sesudah Yesus Kristus naik ke sorga itu adalah awal dari datangnya Kerajaan Allah yang dapat dialami “didalam” batin mereka yang percaya kepada Yesus Kristus.
Yesus Kristus adalah wujud dari dari Kerajaan Allah itu, kedatangan Yesus Kristus yang kedua di akhir zaman nanti adalah penggenapan dari Kerajaan Allah yang telah dimulai oleh Kematian dan KebangkitanNya serta TurunNya Roh Kudus sebagai akibat dari KenaikanNya kesorga dan ditinggikanNya Yesus Kristus di sorga itu.
Kehadiran Roh Allah yang Kudus di dalam hati manusia adalah untuk membuat hadirnya hidup dari Yesus, Firman Allah yang telah menjadi Manusia, yang telah dimuliakan dan ditinggikan itu, ke dalam hidup manusia, sehingga Yesus Kristus hidup dan tinggal di dalam roh mereka yang percaya dan menerima Dia[25] yang berarti manunggal dengan Dia. Disini inilah yang dimaksud dengan “Kerajaan Allah ada di dalam kamu” itu, dimana “bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Galatia2:20). Setelah didiami oleh Kristus melalui Roh Allah, hidup mereka yang percaya kepada Kristus berjalan maju menuju tujuan akhirnya, yaitu, menyatu dalam kemuliaan Kristus pada kedatanganNya yang kedua kali, di akhir zaman, dimana “apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya“(I Yohanes 3:2) juga “Apabila Kristus, yang adalah hidup kita, menyatakan diri kelak, kamupun akan menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan” (Kolose 3:4).
Dalam waktu menunggu dalam harapan inilah, Kitab Suci memberitahu kita:”…apabila Kristus menyatakan diri-Nya. kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya. Setiap orang yang menaruh pengharapan itu kepada-Nya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci.” (I Yohanes 3:2b-3) Jadi menunggu kedatangan Kristus itu adalah suatu penantian yang aktif, karena kita harus secara aktif mensucikan diri kita dari dosa, hawa nafsu dan keinginan daging atau keiginan jahat. Dan penyucian diri kita ini harus diperluas kepada penyucian lingkungan kita, masyarakat kita, dan pemerinatahan Negara kita,. Dengan bertarung melawan kejahatan, ketidak-adilan, dan korupsi yang ada di dalamnya.
Apabila Kristus datang pada saat kedatanganNya yang kedua semua mereka yang telah manunggal denganNya dan telah mensucikan diri mereka dengan secara benar berjuang melawan dosa dan berusaha bagi kekudusan, akan dibangkitkan lebih dahulu[26] dan Akan dinyatakan “dalam kemuliaan”. Mereka Akan ikut ambil bagian di dalam kemuliaan Ilahi, karena kapan saja Firman Allah melalui Roh Allah bersemayam dalam hati manusia, Allah sendirilah yang bersemayam di dalamnya. Itulah sebabya ketika mereka diyatakan dalam kemuliaan di dalam Kristus, Firman Allah itu, adalah dalam kemuliaan Allah sendiri mereka akan ikut ambil bagian, yaitu, mereka akan “boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (II Petrus 1:4).
Inilah tujuan akhir dari karya penebusan dan keselamatan yang telah dilakukan oleh Kristus bagi kemanusiaan, dan inilah yang disebut sebagai “theosis” (“pengilahian”) itu. “Theosis” tidak berarti bahwa manusia akan menjadi Allah dan ikut ambil bagian dalam “hakekat/esensi/dzat Allah”, yang adalah sesuatu yang tidak mungkin, tetapi itu berarti bahwa manusia akan ikut ambil bagian dalam “kemuliaan” dan “energi” Allah, yang adalah “kodrat ilahi”, melalui panunggalan mereka dengan Firman Allah yang telah menjadi daging di dalam kuasa Roh Allah yang Kudus. Dengan ikut ambil bagian dalam kemuliaan ilahi pada saat kedatangan Kristus yang kedua kali, mereka yang berada dalam panunggalan dengan Kristus, Akan “berada bersama-sama dengan Aku, …. Agar mereka memandang kemuliaan-Ku” (John 17:24). Dengan secara kekal memandang kemuliaan Kristus, yang pada hakekatnya adalah “kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (II Korintus 4:6), mereka yang telah dimuliakan pada saat kedatangan Kristus yang kedua akan “diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar.” (II Korintus 3:18). Sehingga Akan ada pertumbuhan tanpa akhir dari kemulian kepada kemulian yang lebih besar bagi mereka yang diselamatkan dan ditebus oleh Kristus pada zaman yang Akan datang, didalam alam ilahi yang kekal. Mereka Akan masuk lebih dalam lagi ke dalam relung kedalaman misteri dari roh mereka di tempat yang kekal itu, dan mereka Akan tumbuh makin cemerlang gemilang serta Akan menyelam-tenggelam dalam kedalaman kemuliaan ilahi.
Inilah kedalaman tak terbandingkan dari visi Iman Kristen Orthodox atas manusia dan masa depannya. Kedalaman yang mana tak dapat dijumpai dimanapun, khususnya bukan dalam ideology yag diciptakan oleh globalisasi dan modernisme. Dengan visi tentang manusia dan masa depannya yang sedemikian ini, Iman Kristen Orthodox Timur menawarkan suatu makna kehidupan yang sangat mendalam dan lebih dalam bagi para generasi muda yang terhilang dan menjadi korban dari globalisasi dimana mereka mengalami ketiadaan-makna, ketak-berakaran, kedangkalan, kekosongan dan kehampaan eksistensi. Pengajaran mengenai “theosis” yang ditawarkan oleh Gereja Orthodox dapat memenuhi kehausan akan makna; dapat menjadi jangkar ketak-berakaran, memenuhi dampak dari kedangkalan, mengisi kekosongan dan kedalaman tanpa landasan dari kehampaan eksistensi bagi kaum muda ini, dan bagi siapapun juga dalam hal ini. Ini dikarenakan ajaran Kristen Orthodox mengenai theosis ini mengingatkan kita bahwa manusia memiliki suatu kedalaman yang mendalam dan yang misterius didalam diriya sendiri, karena ajaran ini langsung menyentuh pusat dari eksistensi manusia itu sendiri, yaitu, rohnya.
. Generasi muda tidak harus lari kepada narkoba, hedonisme, materialisme, bunuh diri, dan sex bebas untuk meluapkan rasa frustrasi mereka; mereka hanya perlu kembali kepada akar permasalahan: kerohanian, spiritualitas. Saya percaya bahwa kebanyakan dari masalah-masalah yang dialami manusia itu adalah berakar pada masalah kerohanian, spiritualitas. Kita harus memperkenalkan jalan keriohanian/spiritualitas kepada generasi muda dan menuntun mereka kedalamnya sehingga itu akan menuntun mereka ke dalam suatu kehidupan yang terpenuhi, karena makin jauh mereka mengikuti keinginan hawa nafsu dan keinginan daging mereka, maka akan makin merasa bersalahlah hati mereka, dan akan makin merasa frustrasilah mereka berhadapan dengan hedonisme dan materialisme yang diciptakan oleh globalisasi ini. And the more frustrated they are in the face of these meaningless hedonism and materialism created by globalization.
Usulan-Usulan
Setelah membahas tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan/peluang-peluang yang dimiliki agama-agama berhadapan dengan globalisasi itu, saya berhasrat untuk mengusulkan beberapa hal yang dapat dilakukan agar menjadi nyata apapun yang telah kita bahas dalam makalah ini:
1) Sebagaimana semua agama menghadapi tantangan yang sama, yaitu, dampak-dampak negatif dari globalisasi dan sistim “ekonomi pasar bebas”, karenanya saya mengusulkan agar ada suatu cara bagi agama-agama tadi untuk memiliki media bagi menarik sumberdaya- sumberdaya bersama, untuk mengkaji bersama secara mendalam dan untuk mengeksplorasi cara-cara bagaimana untuk menghentikan atau memperlambat laju dampak-dampak negatif dari tantangan-tantangan ini.
2) Sebagaimana semua agama memiliki keperdulian-keperdulian yang sama dalam perlawanan mereka terhadap globalisasi , yaitu, pengakuan akan adanya yang kudus atau yang ilahi, serta pengakuan akan adanya sisi rohani dari eksistensi manusia yang disatu pihak dianggap sedang dalam serangan, namun dilain pihak keperdulian-keperdulian itu difahami secara berbeda-beda oleh komunitas-komunitas agama-agama tersebut; karenanya saya mengusulkan agar suatu pertemuan yang teratur untuk mengkaji, untuk saling berbagi, dan untuk saling mengerti keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai dari agama-agama lain harus diadakan, saling mengunjungi rumah ibadah masing-masing, meskipun tidak harus ikut berpartisipasi didalamnya, harus difasilitasi. Sehingga suatu saling pengertian Akan dicapai, perbedaan-perbedaan Akan ditunjukkan, serta persamaan-persamaan harus menjadi landasan untuk saling bekerjasama didalam menghadapi tantangan-tantangan bersama yang menjadi keprihatinan kita itu.
3) Perlu adanya cara untuk bekerjasama bagi membuat lobi-lobi, untuk melakukan negosiasi, untuk melakukan demonstrasi damai kepada pemerintah-pemeritah, kepada agen-agen internasional, misalnya Bank Dunia, dan lembaga-lembaga lainnya apapun yang bertanggung jawab sebagai agen bagi globalisasi, dengan menuntut pada mereka, untuk membuat “sistim ekonomi pasar bebas” mereka lebih bersifat manusiawi, dan lebih kondusif bagi penghormatan atas pribadi dan harga diri manusia, dalam perlakuan mereka terhadap penduduk setempat. Suatu pengkajian bersama harus dilakukan untuk memberi batasan pemahaman mengenai apa yang kita maksud dengan “manusiawi”, ”penghormatan atas pribadi manusia”, dan “harga diri manusia”, sehingga lobi-lobi kita akan menjadi jelas dan tuntutan kita akan dimengerti.
4) Perlu adanya tokoh-tokoh intelektual dari dalam masing-masing komunitas agama-agama yang menjadi anggota dari kelompok yang disebutkan diatas tadi yang bersedia untuk membacakan makalah dan “papers” dalam suatu pertemuan yang teratur, dan dijadikan buku-buku untuk diterbitkan baik dalam bentuk buku maupun dalam internet, sehingga sumber-sumber bagi pengkajian dan perkembangan tanggapan-tanggapan kita terhadap globalisasi dan pasar bebas akan siap tersedia.
5) Perlu dibuat lebih banyak website baik dalam bahasa Inggris maupun dalam bahasa-bahasa setempat bagi membuka kerugian-kerugian maupun manfaat-manfaat dari globalisasi bagi agama-agama, sehingga masyarakat umum terdidik dan tak ditinggalkan tanpa adanya informasi.
6) Perlu makin diperbanyak pengkajian-pengkajian dan pendidikan-pendidikan keagamaan bagi masing-masing kelompok agama, terutama kaum mudanya, sehingga dapat bertahan menghadapi serbuan negatif dari globalisasi, khususnya perlu adaya ajaran-ajaran keagamaan yang kondusif bagi hidup bersama secara damai dan saling ada pengertian diantara para pengikut agama-agama yang berbeda-beda, tanpa menyembunyikan perbedaan-perbedaan, dan keunikan masing-masing agama.
7) Perlu adanya penekanan atas pendidikan agama dan praktek-prakteknya dalam keluarga. Misalnya: bagi umat Kristen Orthodox, puasa dan buka-puasa bersama sebagai keluarga pada masa puasa catur dasa selama 40 hari, melakukan sembahyag harian bersama dipimpin oleh bapak dalam rumah tangga itu, membaca Kitab Suci secara teratur sebagai keluarga, dll.
Kiranya Konferensi ini membuahkan hasil-hasil yang baik dengan berkat Allah. Amin
Silver Spring, Maryland, USA: 24 June, 2008.
DAFTAR PUSTAKA
1) Clapsis, Emmanuel, Fr., “Christianity in a Global World”, Holy Cross Greek Orthodox School of Theology, October 4,2002 htttp://ww.goarch.or/speacial/hchc_coference/presetations/clapsis.asp?printit=yes
2) Muzzaffar, Chandra, “Globalization and Religion: Some Reflection”,http://www.islamonline.net/english/contemporary/2002/06/article/3.shtm
3) Schreiter, Robert, C.PP.S., “Globalization as a Challenge to the Churches”, http:// www.usccb.,net/conference / conference 19 /paper-Globalization –Schreiter.pdf
4) Glendon, Marry Ann, “Globalization and the Common Humanity”, http:// www.rider.edu/files/ CCM –Humanity.pdf
5) Glendon, Marry Ann, “Globalization and the Church’s New Challenges”, hhtp://www.catholiceducatio.org/articles/printarticle.html? page=pg0049
6) Swearer , Don, “Globalization and Religious Vocation: A Response”, http:// iscr.payap.ac.th//document/panel/panel 13.pdf
7) Longchar, A.Wati, “Globalization and Its Challenges for Theological Education”, http://www.cca.org.hk/resources/papers/issues/glob-wati.htm
8) Habito, Maria Reis, “Toward the Establishment of the University of World Religions, Challenges and Possibilities”, http://iscr.payap.ac.th//document/panel/panel 02.pdf
[1] Muzzaffar, Chandra, “Globalization and Religion: Some Reflection”, hal.1, http://www.islamonline.net/english/contemporary/2002/06/article/3.shtm
[2] Schreiter, Robert, C.PP.S., “Globalization as a Challenge to the Churches”, hal.1, http:// www.usccb.,net/conference / conference 19 /paper-Globalization –Schreiter.pdf
[3] ibid hal. 2-4
[4] ibid hal.3
[5] ibid. hal.4
[6] Clapsis, Emmanuel, Fr., “Christianity in a Global World”, Holy Cross Greek Orthodox School of Theology, October 4, 2002, hal.4, htttp://ww.goarch.org/speacial/hchc_coference/presetations/clapsis.asp?printit=yes
[7] ibid. hal.6
[8] Scheiter, op.cit. hal.5, dikutip dari Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture (Newbury Park, CA: Sage Publications, 1992).
[9] Scheiter, ibid. hal.8
[10] “Oleh firman TUHAN langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulut-Nya segala tentaranya.. “ (Mazmur 33:6), “ Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah ….. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan..” (Yohanes 1:1,3), “ dan " Roh Allah telah membuat aku, dan nafas Yang Mahakuasa membuat aku hidup.” ( Ayub 33:4)
[11] . “Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi” (Kisah Rasu 17:26)
[12] “Tetapi IA berkata kepada mereka: "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga."( Yohanes 5:17)
[13] “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi..”(Kejadian 1:1)
[14] “Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia Akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap”. ( II Petrus 3:10).
[15] “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."Berfirmanlah Allah: "Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu. “ ( Kejadian 1:28-29)
[16] “Engkau membuat dia (manusia) berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya:kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan. (Mazmur 8:6-8)
[17] “Engkau yang menumbuhkan rumput bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan untuk diusahakan manusia, yang mengeluarkan makanan dari dalam tanah dan anggur yang menyukakan hati manusia, yang membuat muka berseri karena minyak, dan makanan yang menyegarkan hati manusia.” (Mazmur 104 : 14-15)
[18] “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” (Kejadian 2:15)
[19] “Lalu TUHAN Allah mengusir dia dari taman Eden supaya ia mengusahakan tanah dari mana ia diambil.” ( Kejadian 3:23)
[20] “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan,” (Kolose 2:9).
[21] “Karena kita tahu, bahwa Kristus, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia..” ( Romans 6:9)
[22] “Sejak waktu itulah Yesus memberitakan: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!".” (Matius 4:17), “Jawab Yesus: "Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini.".” (Yohanes 18:36)
[23] “Atas pertanyaan orang-orang Farisi, apabila Kerajaan Allah akan datang, Yesus menjawab, kata-Nya: "Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah, juga orang tidak dapat mengatakan: Lihat, ia ada di sini atau ia ada di sana! Sebab sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu.( bhs asli: “entos hymoon” = di dalam kamu”)" (Luke 17:20-21)
[24] “Ketika tiba hari Pentakosta, semua orang percaya berkumpul di satu tempat. Tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah, di mana mereka duduk; dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala API yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya.” (Kisah Rasul 2:1-4).
[25] “Tetapi kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam Roh, jika memang Roh Allah diam di dalam kamu. Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus. Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu, maka tubuh memang mati karena dosa, tetapi roh adalah kehidupan oleh karena kebenaran.Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu.” (Roma 8:9-11).
[26] “….Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit; sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan. “ ( I Tesalonika 4:16-17)
I. Globalisasi, Media, dan Pendidikan Kaum Muda
Prawacana:
Era dimana kita hidup pada saat ini sering disebut sebagai “era informasi”, yaitu suatu era yang dicirikan dengan pergeseran fokus ekonomi global dari produksi barang-barang kepada manipulasi informasi.
Informasi yang diterima oleh masyarakat modern ini didapatkan dari media massa termasuk majalah, surat kabar, buku-buku, televisi, film, musik, dan iklan. Terutama sekali manipulasi informasi ini membuka seluas-luasnya suatu bidang yang relatif baru dalam “teknologi informasi”, dengan digunakannya sistim informasi berdasarkan komputer untuk mengkonversi, menyimpan, memproses, mentransmisi, serta menarik keluar informasi. Perkembangan-perkembangan teknologi dalam bidang ini telah mengubah gaya hidup di seluruh dunia dan telah menumbuhkan industri-industri disekitar PC (Personal Computer = Komputer Pribadi). Terutama sekali dengan sistem internet yang pada saat ini telah menjadi tempat utama dalam mengakselerasi arus informasi yang relevan dan merupakan bentuk media yang paling cepat.
Iman Kristen Orthodox dan Globalisasi
Bersama dengan Agama Hindu yang disebarkan ke Asia Tenggra, serta Agama Budha yang lebih dulu ada sebagai agama penyebar Dharma, dan Agama Islam yang datang kemudian sebagai agama Da’wah, maka Iman Kristen Orthodox sebagai bentuk Kekristenan Purba dan yang paling tua adalah suatu agama yang mendapat perintah ilahi untuk “pergi dan jadikan semua bangsa murid “ Kristus (Matius 28: 19-20), serta para murid Kristus itu mendapat perintah untuk menjadi saksi-saksi Kristus “di Yerusalem, dan seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kisah Rasul 1:8). Ini berarti bahwa sejak dari awalnya Iman Kristen memang merupakan agama yang memiliki jangkauan dan gerak global yang memiliki misi universal dan bersifat lintas budaya dan lintas geografi. Dengan cara-cara yang bermacam-macam yang tersedia pada zamannya Iman Kristen Orthodox purba berusaha menyebarkan ajaran Injil tentang keselamatan yang telah terjadi akibat penyaliban, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus yang melaluinya kuasa kematian dikalahkan dan anugerah hidup tak berkebinasaan dikaruniakan kepada manusia. Dimanapun Iman Kristen Orthodox purba ini disebarkan disitu perubahan sosial dan budaya terjadi, misalnya diciptakannya budaya tulis menulis dengan diciptakannya alfabet-alfabet baru bagi masyarakat yang tadinya buta-huruf, terciptanya bahasa liturgis Gereja, penggunaan nama-nama baru yang diambil dari Kitab Suci, dan masih banyak lagi. Hal yang sama terjadi dengan penyebaran Agama Hindu ke Asia Tenggara khususnya ke Indonesia, dan Agama Budha ke Asia Timur Raya dan Asia Tenggara, serta penyebaran Agama Islam ke Asia, Eropa maupun Afrika. Keempat Agama besar ini sejak awal telah mengenal semacam globalisasi karena dorongan pesan-pesan ajaran universalnya serta kegiatan penyebaran ajaran tersebut ke seluruh dunia.
Memahami Globalisasi Modern
Namun globalisasi yang sedang kita bicarakan sekarang ini memang berbeda secara kualitatif maupun secara kuantitatif dengan globalisasi yang pernah terjadi akibat penyebaran keempat agama besar yang kita sebutkan diatas. Sebab globalisasi modern yang berawal dari berkembangnya ekonomi pasar bebas ini meluas sebegitu rupa sehingga menjadi suatu fenomena global yang mempengaruhi segala bidang kehidupan melalui manipulasi informasi dan media massa yang telah kita sebutkan diatas. Sebegitu besar dan menakutkan bagi masyarakat tradisional pengaruh globalisai modern ini sehingga dalam artikelnya “Religion Under Globalisation” (“Agama dibawah Globalisasi”) P Radhakrishnan menanggapinya secara negatif serta menyebut sebagai “monster”. Menurut Radhakrishnan globalisasi bukan hanya sekedar fenomena sosial, namun ini adalah merupakan “suatu proyek politik dan imperialis, yang menggunakan baik sains (ilmu pengetahuan) maupun agama dengan cara yang tak dapat didamaikan ”[1] . Menurutnya globalisasi adalah suatu revolusi yang amat mendalam yang pernah dialami oleh dunia[2]. Dan yang paling mengkhawatir menurutnya adalah dampak yang “disruptif” dari globalisasi ini atas agama-agama[3]. Karena globalisasi itu berada pada pusat macam-macam agenda intelektual dan politik yang dipaksakan oleh kepentingan pasar dari negara-negara adi kuasa terutama sekali Amerika, maka Radhakrishnan berpendapat bahwa globalisasi itu adalah suatu fase yang lain dalam proses sejarah yang panjang dari perluasan imperialisme. Karena globalisasi itu diciptakan oleh kebijakan-kebijakan yang disengaja oleh negara-negara berkuasa dibawah kendali dari kelompok-kelompok yang memiliki kuasa, yang dampaknya langsung merupakan serangan terhadap bukan saja pelaku bisnis serta produk-produk material lokal, nasional dan regional, namun juga pada praktek-praktek politik dan budaya ( termasuk di dalamnya agama). Dengan demikian globalisasi itu bukan hanya sekedar merupakan suatu fenomena ekonomi, namun juga suatu fenomena yang memiliki manifestasi banyak sisi: baik politik, social, budaya, maupun agama. Disinilah letak kekhawatiran para pemimpin agama, terutama di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia terhadap globalisasi itu. Karena mereka melihat bahwa melalui manipulasi informasi dengan menggunakan alat-alat komunikasi yang makin canggih dan makin berkembang nilai-nilai politik, sosial, budaya maupun agama dipaksakan pada mereka, dimana nilai-nilai itu sering bertabrakan, menggerus atau menggerogoti nilai-nilai setempat yang menjadi sendi kehidupan dan masyarakat setempat.
Bahwa seminar yang kita adakan kali ini diselenggarakan menunjukkan juga semacam rasa takut dan khawatir dari pihak kita para pimpinan lembaga keagamaan akan dampak politik dan imperialistis dari globalisasi yang bersifat negatif dimana penemuan-penemuan yang bersifat ilmiah akan ditabrakkan dengan nilai-nilai religius yang berkibat adanya revolusi dan guncangan budaya dan nilai yang keras terutama yang menimpa kaum muda yang menjadi sasaran pangsa produk dari globalisasi ini.
Memang gambaran populer tentang globalisasi itu lebih menekankan pada sifat-sifat ekonomi dan politiknya yang berbentuk lembaga-lembaga perusahan trans-nasional yang berjangkuan global yang mengalihkan kekuasaan dari lembaga pemerintahan dan dari rakyatnya, dalam usaha-usaha untuk mengendalikan kehidupan rakyat tadi. Bentuk globalisasi semacam inilah direaksi oleh organisasi-organisasi agama secara negative, sehingga terjadi gerakan anti-globalisasi. Neo-fundamentalisme, terorisme atas nama agama adalah beberapa dari bentuk-bentuk dari gerakan anti-globalisasi semacam ini.
Namun reaksi-reaksi radikal dan negatif semacam ini tidak akan membantu banyak dan tak akan menguntungkan siapapun, karena kenyataannya baik kita mau menerimanya ataukah tidak, globalisasi dengan media massa sebagai sarana penyebarannya adalah fenomena yang tak dapat dihindari dan tak dapat dilawan lagi. Dimana-mana kita dibanjiri oleh macam-macam informasi baik melalui televisi, internet, film, musik, maupun iklan. Informasi apapun yang ingin kita dapatkan baik yang positif maupun yang negatif, baik yang membangun atau yang merusak, baik yang bermoral maupun yang tak bermoral, baik yang mulia maupun yang menjijikkan, semuanya dapat kita akses dengan mudah tinggal kita klik saja dari internet. Komunikasi lintas geografi, lintas budaya, lintas bahasa, lintas dunia dan antar bangsapun begitu mudahnya diakses baik melalui e-mail, YM dan IM dari Yahoo, Hotmail, maupun server-server lainnya, sehingga baik kaum tua maupun kaum muda dapat dengan mudah berkomunikasi dan bertukar informasi dengan siapapun dan dimanapun mereka berada. Arus informasi semacam ini sudah tak dapat kita bendung lagi. Semuanya ini sangat mempengaruhi tingkah laku , sikap hidup, dan cara berfikir kita semua, terutama kaum muda kita. Kita tak bisa menyembunyikan informasi apapun dari mereka, karena kalau mereka ingin mendapatkan informasi yang lebih akurat mereka tinggal mencarinya melalui “google” ataupun sarana-sarana internet lainnya. Oleh karena itu kita harus bersikap arif dalam menghadapi arus globalisasi ini serta mencari terobosan-terobosan positif bagi membendung pengaruh negatif dari globalisasi serta memanfaatkan pengaruh positifnya bagi melindungi kaum muda penerus bangsa kita Indonesia ini.
Pendidikan Kaum Muda
Semua komunitas manusia, termasuk komunitas agama mengharapkan nilai-nilai ajaran dan praktek-praktek yang dimilikinya tetap langgeng dan dilanjutkan keberadaannya oleh generasi berikutnya. Terutama dalam komunitas agama, para pimpinannya pastilah ingin mewariskan keyakinan ajaran agama yang ada itu kepada para penerusnya. Itulah sebabnya pendidikan kaum muda merupakan tugas yang tak dapat dihindari oleh setiap orang tua dan para pimpinan komunitas tersebut. Dalam Iman Kristen Orthodox, para pimpinan Gereja Orthodox diingatkan oleh perintah Kitab Suci mengenai pendidikan kaum muda ini, demikian: ”Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring, dan apabila engkau bangun” (Ulangan 6:6-7). Juga dikatakan lagi: ”Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Efesus 6:4), serta: ”Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 22:6), dan masih banyak lagi.
Tentu saja komunitas agama menghendaki pendidikan yang diberikan kepada kaum mudanya adalah suatu pendidikan yang berorientasi kepada keyakinan kepada Tuhan, serta ajaran-ajaran keyakinan keagamaan lainnya, yang dalam Iman Kristen Orthodox disebut sebagai “Orthodoxia” (“Pengajaran yang Lurus”). Ajaran keyakinan yang mana akan dimanifestasikan dalam bentuk praktek-praktek ibadah yang dalam Iman Kristen Orthodox disebut sebagai “Ortholatria” (‘Penyembahan yang Lurus”), dan praktek-praktek ibadah ini akan dinyatakan dalam bentuk tingkah laku kehidupan nyata yang berakhlak, bersusila dan bermoral sesuai dengan ajaran dari agama yang bersangkutan, yang dalam Iman Kristen Orthodox disebut sebagai “Orthopraxia” (“Praktek-Praktek yang Lurus”). Dan tujuan dari semuanya ini adalah untuk mencapai kekudusan hidup bagi panunggalan dengan Sang Pencipta, serta mencapai kehidupan bahagia di dunia serta kehidupan kekal di akhirat. Jadi bagi mencapai Orthodoxia, Ortholatria dan Orthopraxia inilah tujuan pendidikan dalam Iman Kristen Orthodox itu diarahkan bagi kaum mudanya.
Globalisasi melalui manipulasi informasi dengan sarana media massa yang telah kita sebutkan diatas memberikan nilai-nilai kehidupannya sendiri, yang pada dasarnya bersifat humanistik (berpusat pada manusia), hedonistik (berpusat pada pemuasaan kebutuhan indrawi), sekular (berpusat pada dunia semata-mata tanpa ada rujukan keyakinan kepada Tuhan), amoral (tidak memperhitungkan nilai-nilai moral) bahkan immoral ( bertentangan dengan prinsip-prinsip moral, akhlak dan kesusilaan) dan konsumeristis (usaha mendapatkan benda-benda materi serta pengunaannya sebanyak-banyaknya). Dan sifat-sifat globalisasi yang ditawarkan oleh media massa seperti inilah yang dampaknya mengkhawatirkan para pimpinan dalam komunitas agama di Indonesia ini, karena nilai-nilai yang ditawarkan bertabrakan keras dengan semua nilai keyakinan dan nilai moral agama-agama yang ada di tanah air. Untuk itulah pertemuan kita pada saat ini dilakukan dalam usaha untuk mensikapi dunia digital sebagai sarana lalu-lalangnya arus informasi yang tak dapat di-kendalikan ini. Dengan memahami apa itu globalisasi, apa itu media massa, dan apa tugas pimpinan agama kapada kaum mudanya, maka disini penulis ingin menyumbangkan beberapa pemikiran bagaimana seharusnya para pimpinan agama-agama di Indonesia mensikapi semuanya itu.
Usulan-Usulan
1) Kerja sama antar Komunitas Agama
Dunia digital dan arus informasi telah membuka secara luas pengetahuan tentang ajaran dan keyakinan serta masalah-masalah dalam semua agama, sehingga pengikut suatu agama tak lagi tertutup untuk dapat belajar mengenai agama lain. Orang juga bisa tahu mengenai konflik-konflik yang muncul di seluruh dunia atas dasar perbedaan agama-agama. Pengetahuan yang didapat dari informasi dunia digital semacam ini dapat menimbulkan bermacam pengaruh dan sikap, diantaranya: sikap: 1) fanatikisme dan radikalisme jika si penerima informasi itu adalah type orang yang tertutup dan hanya memfokuskan pada mencari informasi-informasi agama yang bersifat radikal dan eksklusif dari dunia maya, sikap 2) kebingungan jika si penerima informasi itu adalah type orang yang tak memiliki pengetahuan agama yang mendalam padahal begitu banyak informasi tentang agama yang sangat bertentangan satu sama lain yang didapatnya dari dunia digital , sikap 3) apatis jika si penerima itu adalah type orang yang merasa acuh tak acuh terhadap agama karena melihat bahwa agama dianggapnya menjadi sumber konflik , sumber kebencian kelompok, serta sumber kemunafikan, sikap 4) toleransi jika si penerima informasi itu adalah type orang yang cinta-damai dan terbuka, sikap 5) tak perduli terhadap masalah agama apapun jika si penerima informasi itu adalah type orang yang memang tak mempunyai komitmen terhadap agama apapun, serta sikap 6) skeptis jika si penerima informasi itu adalah type orang yang kritis terhadap keberadaan agama-agama dan melihat bahwa masing-masing agama mempunyai landasan-landasan intelektual untuk menyatakan kebenaran agamanya masing-masing serta tak dapat diyakinkan bahwa agama yang satu lebih benar dari agama yang lain.
Menghadapi bermacam-macam sikap yang dipengaruhi oleh media massa yang seperti itu maka sudah selayaknya komunitas-komunitas agama di Indonesia mulai melakukan kerjasama bagi membendung sebagala macam bentuk fanatikisme dan radikalisme dengan mengedepankan tafsiran-tafsiran “cinta-damai” dari khasanah agama masing-masing. Disamping itu perlu adanya suatu gerakan akar rumput dimana kelompok agama yang satu perlu terbuka untuk mengerti keyakinan agama lain melalui pertemuan yang mengundang pembicara tokoh agama tertentu secara bergilir dalam suatu pertemuan lintas agama untuk memaparkan keyakinan agama yang bersangkutan bagi menjelaskan keyakinan dan praktek-praktek agamanya. Dapat juga dilakukan saling kunjungan ketempat-temat ibadah dari agama yang satu ke tempat-tempat ibadah agama yang lain untuk melihat – bukan untuk berpartisipasi - praktek-praktek ibadah dari agama-agama yang bersangkutan, kemudian menerima penjelasan dari para pimpinan agama yang ada mengenai makna tindakan-tindakan ibadah itu. Ini bukan dimaksudkan untuk mengkompromikan keyakinan namun dimaksudkan untuk memperluas wawasan, karena ada pepatah yang mengatakan “tak kenal maka tak sayang”. Dengan menerima penjelasan yang rinci mengenai agama-agama itu maka mereka yang kebingungan dapat ditolong untuk memiliki komitmen terhadap agama yang dianutnya. Dengan demikian akan terlihat cerminan “cinta-damai” dari agama-agama ini sehingga dapat menolong mereka yang apatis, tak perduli dan skeptis untuk mengambil sikap yang lebih positif lagi terhadap agama-agama sehingga mereka dapat mengambil keputusan untuk mengimani ajaran agama. Mungkin bisa diusulkan ke pemerintah agar di sekolah-sekolah ada suatu mata pelajaran mengenai agama-agama dunia, sehingga siswa tidak hanya memiliki pengetahuan sempit mengenai satu agama saja, disamping siswa bisa diajar untuk mendalami agama yang dianutnya. Juga bisa diusulkan kepada pemerintah agar diadakan mata pelajaran “budi-pekerti” yang secara universal dapat diterima oleh ajaran susila dari semua agama yang ada, yang dulu pernah ada disekolah-sekolah, sehingga para siswa bisa dibekali dengan sikap budi pekerti secara umum (misalnya sikap hormat, sikap tenggang-rasa, sikap iba, sikap saling menolong, sikap tanggungjawab, sikap taat, sikap perduli dan lain-lain) yang dapat membentengi mereka dari pengaruh mass media yang negatif dan juga akan dapat menciptakan sikap toleransi yang bersifat kemanusiaan universal dan bukannya sikap akhlak yang bersifat sektarian dan kefanatikan kelompok.
Dapat juga komunitas agama-agama melalukan kerjasama untuk membentuk kelompok kerja “pengawasan media” yang bersikap keras terhadap informasi media yang negatif, merusak dan membahayakan kepentingan umum dilihat dari kacamata moralisme universal yang disetujui oleh semua komunitas agama anggota yang bersangkutan.
2) Kerjasama Komunitas Agama dengan Pemerintah
Komunitas agama-agama dapat bekerjasama dengan pemerintah untuk mendorong pemerintah untuk menegakkan Undang-Undang Pers No.40 tahun 1999 yang mencantumkan bahwa pers berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat ( pasal 5 ayat 1). Dengan demikian jika ada arus informasi dalam internet, TV, iklan dan lain-lain yang melanggar “norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat” bisa diadakan pemblokiran dan pembredelan. Hal yang sama berlaku bagi media audio-visual yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perfilman dan Undang-Undang Penyiaran, terutama dalam UU Perfilman 1992 pasal 33 dan pasal 19. [4]Juga bagi radio dan TV yang tertuang dalam UU Penyiaran pasal 36:6 berlaku hal yang sama.[5]Undang-undang yang sudah ada inilah yang perlu didorong oleh pokja komunitas agama-agama untuk ditegakkan oleh pemerintah.
3) Pemahaman Dunia Digital dan dampak Globalisasi
Karena perkembangannya yang begitu cepat dan pengaruhnya yang begitu nyata terhadap kaum muda, maka para pimpinan komunitas agama-agama perlu melakukan usaha untuk memahami sendiri dunia digital serta dampak globalisasi ini. Sehingga mereka siap untuk memberikan pengarahan kepada kaum muda dampak positif dan negatifnya informasi yang diterima dari dunia maya ini. Para pemimpin agama yang perduli akan kaum pemuda harus tahu dunia kaum muda yang menjadi tanggung jawabnya melalui usaha untuk melihat-lihat isi internet itu sendiri. Sehingga ia dapat bicara dengan bahasa pengetahuan kaum muda yang sudah terpengaruh oleh dampak globalisasi melalui informasi yang mereka dapat dari internet itu. Kalau perlu para pemimpin agama perlu mengarahkan kaum muda untuk membuka website-website yang berisi informasi-informasi yang positif dan yang membangun terutma tentang pengetahuan moral dan agama, yang isinya telah dipelajari sendiri oleh pimpinan komunitas agama itu sendiri. Mungkin perlu juga diadakan dialog dengan kaum muda itu mengenai website-website yang pernah mereka kunjungi serta memberikan pendampingan kepada mereka mengenai sikap yang harus mereka ambil terhadap informasi yang didapat darinya. Dengan demikian ini akan menjadi sarana mengetahui keberadaan kaum muda ituj dan menjadi tiktik jembatan bagi pendidikan mereka kepada arah yang positif.
4) Pendalaman Keyakinan Iman Masing-Masing Komunitas Agama
Para pimpinan komunitas agama perlu membentengi kaum muda dengan pengetahuan keimanan ( “Orthodoxia”) yang memadai serta praktek ibadah (“Ortholatia”) yang intesif serta ajaran etika serta norma susila keagamaan (“Orthopraxia”) yang jelas, sehingga dengan kekokohan iman mereka, diharapkan mereka data membentengi diri dari oengaruh-pengaruh negative yangmereka data dari media massa terutama internet, dan mereka dapat melakukan pilihan yang tepat dan benar ketika mereka harus mengarungi dunia maya ini.
Pendalaman “Orthodoxia”, “Ortholatria” dan “Orthopraxia” ini perlu dilakukan secara menarik sehingga dapat memikat hati kaum muda. Itulah sebabnya para pimpinan agama perlu mencari kiat-kiat baru untuk menyodorkan “Orthodoxia”, “Ortholatria” dan “Orthopraxia” itu secara menarik dan menawan kepada kaum muda. Hal itu bisa dilakukan melalui wisata-rohani ke luar daerah, permainan-permainan yang bernilai keagamaan, perlombaan olah raga antar komunitas, serta kegiatan-kegiatan kepemudaan lainnya.Melalui kegiatan-kegiatan semacam ini dimana disela-selanya disisipkan waktu-waktu pelajaran keagamaan, diharapkan suatu pemahaman keagamaan yang lebih mendalam akan mereka terima, tanpa mereka sendiri merasa bosan dengannya, sebaliknya mereka malah merasa tertarik untuk mengikutinya lebih jauh lagi. Ini membutuhkan kreatifitas dari para pimpinan komunitas agama-agama itu bagaimana seharusnya menciptakan programpprogram yang menarik kaum muda semacam itu. Semoga usulan-usulan ini dapat memberikan manfaat.
DAFTAR PUSTAKA
1) Radhakriskrishnan ,P, “ Religion under Globalisation”, Economic and Political Review, March 27, 2004
2 ) Hadiono Afdjani, MM, Drs, “Dampak Globalisasi Media Terhadap Masyarakat Indonesia”, http://jurnal.bl.ac.id/wp-content/uploads/2007/blcom-04-vol2-no2-april20071.pdf
3) ----------------“Globalisasi”, http://jv.wikipedia.org/wiki/ Globalisasi, 3 April 2008
[1] ) Radhakriskrishnan ,P, “ Religion under Globalisation”, Economic and Political Review, March 27, 2004, hal, 1405
[2] ) ibid. hal, 1404
[3] ) ibid.
[4] ) Hadiono Afdjani, MM, Drs, “Dampak Globalisasi Media Terhadap Masyarakat Indonesia”, http://jurnal.bl.ac.id/wp-content/uploads/2007/blcom-04-vol2-no2-april20071.pdf, hal.4
[5] ) ibid
II. Globalisasi: Tantangan & Peluang Bagi Agama
Prawacana:
Globalisasi modern adalah suatu suatu proses perkembangan dimana terjadi pergeseran fokus ekonomi global dari produksi barang-barang kepada manipulasi informasi. Informasi yang diterima oleh masyarakat modern ini di dapatkan dari media Massa termasuk majalah, Surat kabar, buku-buku, televisi, film, musik, dan iklan. Terutama sekali manipulasi informasi ini membuka seluas-luasnya suatu bidang yang relatif baru dalam “teknologi informasi”, dengan digunakannya sistim informasi berdasarkan komputer untuk mengkonversi, menyimpan, memproses, mentransmisi, serta menarik keluar informasi. Perkembangan-perkembangan teknologi dalam bidang ini telah mengubah Gaya hidup di seluruh dunia dan telah menumbuhkan industri-industri disekitar PC (Personal Computer = Komputer Pribadi). Terutama sekali dengan sistim internet yang pada saat ini telah menjadi tempat utama dalam mengakselerasi arus informasi yang relevan dan merupakan bentuk media yang paling cepat. Globalisasi modern yang berawal dari berkembangnya ekonomi pasar bebas ini meluas sebegitu rupa sehingga menjadi suatu fenomena global yang mempengaruhi segala bidang kehidupan melalui manipulasi informasi dan media massa tersebut. Pengaruh globalisasi yang sangat berjangkauan jauh, baik positif maupun negative, dalam masyarakat secara luas inilah, yang menyebabkan keprihatinan semua pimpinan agama-agama di seluruh dunia, karena nilai dasar yag ditawarkan oleh globalisasi, yaitu, materialisme (pemujaan materi), konsumerisme (pemujaan pembelanjaan untuk materi), hedonisme (pemujaan hawa nafsu kedagingan), dan pemberhalaan benda, itu merendahkan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang dihormati dari semua agama.
Globalisasi
Pada inti dasar dari globalisasi itu adalah nilai yang terutama sekali diletakkan pada pertumbuhan ekonomi dengan kebebasan ekonomi secara leluasa, dengan membuka pintu bagi usaha-usaha perdagangan raksasa dengan lembaga-lembaga lintas-nasional pada bagian ujungnya. Agar pertumbuhan ekonomi ini terjadi, pemerintahah yang harus menciptakan lingkup sekondusif mungkin bagi perkembangan usaha bisnis mereka. Meskipun globalisasi itu memiliki akar sejarahnya dalam jaman kolonialisme, tetapi sebagaimana yang ditunjukkan oleh seorang penulis Muslim, Chandra Muzaffar, “adalah salah untuk menyatakan globalisasi pada masa kini sebagai suatu jiplakan dari pengalaman kolonial Negara Barat”, karena salah satu dari pusat-pusat kekuasan dari ekonomi global (ekonomi bersifat mendunia) semacam itu berpusat di Jepang. Dengan demikian ada beracam-macam pusat globalisasi, dan tidak semuanya itu berpusat di Negara Barat.[1] Proses mengalirnya kapital, barang-barang dan citarasa-citarasa tidak harus berasal dari pusat-pusat tertentu, khususnya Negara Barat, ke bagian-bagian dunia yang lain, meskipun ada pusat-pusat pengendalian semacam itu di Negara-negara Barat, tetapi ada pusat-pusat yang mengalir dalam tingkatan yang berbeda-beda.
Dengan meluasnya ekonomi pasar bebas yang mendunia, ekonomi dari beberapa Negara telah berkembang secara luar biasa, yang paling menyolok adalah Cina dan India, dan ketidak-seimbangan global rata-rata memang secara nyata telah berkurang. Tentu saja sebagaimana telah kita katakan sebelumnya, kisah keberhasilan ekonomi dari beberapa Negara itu, memiliki dampak sosial yang serius, baik positif maupun negatif, misalya kemampuan kaum muda untuk belajar ke luar negeri terutama ke Amerika Serikat, akses ke internet, sehingga terbuka bagi informasi gobal. Namun demikian, pada saat yang bersamaan, akses kepada informasi global yang mengakibatkan perubahan sosial secara cepat, khususnya diantara generasi yang menginjak dewasa, dapat berakibat pada “suatu perasaan ketak-berakaran atau bahkan keterasingan dan ketak-menentuan dalam masyarakat” (a feeling of rootlessness or even anomie in society”) [2], sebagaimana yang ditunjukkan oleh Robert Schreiter, seorang penulis Roma Katolik.
Perasaan ketak-berakaran dan kebingungan diantara generasi yang lebih muda yang ditimbulkan oleh pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial sebagai akibat langsung dari globalisasi inilah yang meninggalkan dampak pada masyarakat global. Materialisme, konsumerisme dan hedonisme yang adalah bentuk-bentuk dari berhala “Mammon” (Matius 6: 24) dan yang ditawarkan oleh globalisasi itu tidak menyediakan jawaban bagi kebutuhan-kebutuhan rohani manusia. Penekanan pada pertumbuhan ekonomi dan penumpukan kekayaan tanpa memperdulikan nilai rohani apapun itu adalah suatu manifestasi dari “ketamakan” atau “keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala,” (Kolose 3:5) dan ini berseberangan dengan sikap pendirian dari keagamaan yang benar apapun. Keprihatinan akan degradasi dari nilai rohani serta pemberhalaan keserakahan dan materialisasi dari roh manusia dalam proses globalisasi inilah yang seharusnya semua agama merasa perduli. Tantangan yang diperhadapkan oleh globalisasi kepada semua agama adalah tantangan nilai-nilai. Jadi keperdulian semua agama, khususnya Gereja Orthodox Timur, adalah apa kiranya makna dari dampak dari perubahan ini atas masyarakat kita yang diakibatkan oleh globalisasi itu bagi para pemeluk agama, khususnya umat Kristen, dan bagaimana umat Kristen itu sebagai bagian dalam komunitas para pemeluk agama-agama, serta bersama dengan pemeluk agama lainya seharusnya menanggapi perubahan sosial ini, dengan maksud untuk melayani masyarakat, dan bagaimana kiraya sumber-sumber daya dari Injil serta tradisi mati-raga dan tradisi Gereja Orthodox Timur itu dapat menolong kita dalam tanggapan tadi. .
Gambaran-Gambaran Globalisasi
Dalam artikelnya yang telah dikutip diatas Schrieter[3] membuat garis besar dari gambaran mengenai bagaimana globalisasi sebagai kerangka kerja dari perubahan sosial di dalam suatu masyarakat. Dia menyebutkan bahwa ada dua poros yang disekitarnya itu globalisasi bergerak; poros yang pertama adalah “kesaling-terkaitan” atau kesaling-bergantungan melalui perkembangan jaringan kerja komunikasi; misalnya: Internet, Situs-situs Jaringan (Website-website) yang Meluas-Dunia, telefon genggam; yang mengijinkan orang-orang atau lembaga-lembaga untuk saling kontak satu dengan yang lain degan suatu tingkat suatu kecepatan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Namun demikian, meskipun dengan adanya kesaling-terkaitan ini, Schreiter juga menunjukkan bahwa tidak semua penduduk dunia menikmati manfaat dari perkembangan dari telefon genggam; dimana sebagaian terbesar dari penduduk dunia masih tidak mempunyai akses atau tak mampu untuk mengakses padanya, sehinga mereka itu terkucil dari proses globalisasai; sehingga globalisasi juga menciptakan “peng-keluar-an” (“ex-klusi”).
Didalam bidang kesaling-terkaitan ekonomi yang diciptakan oleh globalisasi, akibatnya tidaklah selalu pertumbuhan ekonomi, banyak kaum miskin di dunia yang mengalami nafkah kehidupan mereka terganggu oleh kekuatan-kekuatan ekonomi mengglobal yang amat berkuasa yang datang dari luar, sehingga beberapa dari mereka sebenarnya malah menjadi makin buruk dari sebelumnya secara ekonomi. Banyak dari mereka yang dirampok dari otonomi sedikit serta kendali APA saja atas kehidupan mereka yang sebelumnya mereka punyai.[4] Kaum miskin ini terkeluarkan dari manfaat apa saja dari pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari globalisasi.
Poros yang kedua dari globalisasi yang ditunjuk oleh Schreiter adalah “ruang”, dimana dengan kemajuan dalam teknologi komunikasi ruang itu di “kerut-kecil”kan /dikompresi (misalnya: jumlah informasi yang dapat ditaruh di dalam microchip/flashdisk) dan pentingnya waktu bagi mengorganisasi dunia dihilangkan. Munculnya Kota global adalah merupakan bentuk sejajar dari mikro-kompresi ini. Jakarta saja memiliki penduduk sekitar 8-11 juta orang. Namun demikian, sebagaimana kata Schreiter, sebagaimana ruang itu diperluas, itu juga di “de-teritorial-kan”, karena dengan arus informasi, khususnya melalui internet dan alat-alat lainya, batasan-batasan politik menjadi sedikit maknanya. Kaum muda yang memiliki akses kepada Internet sangat lebih mungkin memiliki nilai yang sama dengan kaum sebaya mereka di luar negeri yang mereka kenal melalui interet daripada dengan orang tua mereka sendiri. Dengan demikian pengaruh globalisasi memiliki dampak pada penduduk melalui dua poros ini “kesaling-terkaitan” dan “pengkerut-kecilan ruang”.
Dalam hal dampak ini, Schreiter menyebutkan bahwa ada “empat” wilayah kehidupan yang dipengaruhi oleh globalisasi tadi. Hal itu adalah:
1) “Komunikasi” dimana teknologi-teknologi komunikasi telah mendemokratisasi komunikasi dan membuat akses kepada informasi lebih mudah. Kini sulit untuk mengendalikan arus informasi dan akses kepda informasi dengan cara hirarkhis dalam berhadapan dengan internet, karena itu sedang mengubah mobilisasi “pendapat masyarakat umum”(opini publik)
2) “Ekonomi” yang adalah, barangkali, bentuk dari wajah globalisasi yang paling menyolok mata. Kesaling-terkaitan ekonomi dalam bentuk “kapitalisme neo-liberal/kapitalisme liberal baru” yang memberikan manfaat kepada sebagaian orang namun meng-keluar-kan orang yang lain daripadanya serta menekan mereka, kelihatannya tak dapat dihentikan pada saat ini, tetapi sebagaimana proses apapun dalam sejarah hal ini dapat berhenti. Kenyataan bahwa makin meningkatnya protes menentang globalisasi yang kini telah menjadi rutin menunjukkan bahwa dimensi ekonomi dari globalisasi tak dapat berlanjut tanpa kendali. Manusia tak boleh dijadikan mesin bagi pertumbuhan ekonomi.
3) “Politik” dimana pada saat ini ada sedikit keseimbangan dalam kekuatan militer dan kekuatan politik di dunia. Meskipun Amerika Serikat menjalankankan kekuasaan yang paling besar, namun Negara itu tak selalu dapat mendapatkan APA yang diinginkannya. Sangat disayangkan bahwa tidak ada suatu pengaturan bagi keseimbangan kekuasaan politik yang lebih baik di dunia pada saat ini.
4) “Sosial-Budaya”, dalam artian pelaporan berita dan produksi budaya hiburan. Dampak dari sosial-budaya ini dapat kita lihat misalnya:
a. Dalam opera-opera sabun dan film-film India, Jepang, Cina, Korea, Amerika Selatan dan Amerika yag ditayangkan hampir tiap hari di program-program televisi Indonesia,
b. Dalam Program-program Televisi Satelit yag dapat diakses dimana saja dan setiap saat, misalnya: BBC Inggris, CNN Amerika, FOX News Amerika, Arirang Korea, CCTV Cina, Al-Jazirah Timur Tengah Arab, Online Internet Televisi, dan lain-lain, tetapi juga produksi-produksi musik asing yang dapat didapatkan dengan mudahya,
c. Dalam McDonald, Kentucky Fried Chicken dan restaurant-restauran makanan cepat saji Amerika lainnya yang menghiasi banyak kota-kota besar Indonesia,
d. Dalam Coca-Cola, Sprite dan banyak produksi makanan asing Amerika atau non-Indonesia lainya yang dapat ditemukan dimana saja di negeri ini, dan lain-lain,
Pensatu-samaan (homogenisasi) dari produksi budaya ini berbahaya bagi merampok otonomi produksi budaya tadi dari sifat lokalnya. Itulah pada hakekatya, yaitu: penyebaran internet, masuknya kapitalisme neo-liberal, penyesuaian ulang garis kekuatan-kekuatan politik, dan pensatu-samaan (homogenisasi) budaya, gambaran dari globalisasi pada abad ke dua puluh satu ini.[5]
Reaksi Atas Globalisasi
Sebagaimana yang telah kita lihat diatas, globalisasi memberikan kita gambaran yang camopur aduk, ini adalah merupakan suatu fenomena yang secara mendalam bersifat ambivalent (mendua), karena disamping tantangan-tantangan yang diperhadapkan olehnya, itu juga menawarkan suatu kesempatan-kesempatan/peluang-peluang yang menjanjikan untuk membentuk suatu komunitas dan kekeluargaan kemanusiaan yang satu yang dibangun diatas nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesamaan hak dan kedudukan, kesetia-kawanan, dan kasih.
Namun demikian harus diingatkan bahwa proses globalisasi itu tak bersifat jinak, maupun peka terhadap pemeliharaan perbedaan-perbedaan budaya, tak pula itu bebas dari dominasi, sebagaimana yang ditunjukkan secara tepat oleh Clapsis.[6] Clapsis menyatakan lebih lanjut bahwa budaya-budaya dan komunitas-komunitas khas local ditantang oleh kenyataan-kenyataan budaya mengglobal yang baru untuk mendefinisikan ulang identitas-identitas mereka dalam terang kehadiran dari pihak lain yang banyak jumahnya yang secara keras-kepala menolak untuk menjadi seperti mereka, atau mengadakan perlawanan secara aktif kepada pihak lain yang banyak itu, sementara pada saat yang bersamaan menuntut pengakuan akan diri mereka dalam ruang umum (ruang publik). Semuanya ini telah menyebabkan ketegangan dan konflik di seluruh dunia. Namun demikian, meskipun adanya ketegangan-ketegangan dan konflik-konflik ini, dalam konteks globalisasi, adalah tak dapat dihindari bahwa identitas dari komunitas-komunitas agama-agama Akan mengalami perubah-kembangan. Adalah tergantung kepada komunitas-komunitas agama-agama tadi untuk melangkah maju dalam pendidikan keagamaan mereka melampaui cara-cara tradisional mereka dalam menyampaikan kebenaran-kebenaran keagamaan mereka serta untuk mengeksplorasi dalam konteks globalisasi masakini bagaimana identitas mereka itu dikonstruksi, dan kriteria theologia apa yang mereka gunakan dalam meyakinkan mutu dari identitas yang dikonstruksi tadi.[7]
Sebagai seorang anggota dari Gereja Orthodox Timur, penulis ingin mempersembahkan suatu kriteria theologis semacam itu berdasarkan pada visi Kristen Orthodox Timur tentang realita, sebagai suatu sumbangan bagi tanggapan kita bagi konstruksi identitas keagamaan kita dlam berhadapan dengan globalisasi di dalam menanggapi nilai-nilai yang ditawarkan oleh globalisasi itu.
Kesempatan-Kesempatan/Peluang-Peluang bagi Agama-Agama
Sebagaimana barangkali kita dapat mengerti dari diskusi kita diatas mengenai fokus ekonomi dari globalisasi, adalah tak mengherankan bahwa kebanyakan dari penolakan yang diajukan menentang globalisasi utamanya difokuskan pada aspek ekonomi yang mengakibatkan makin meningkatnya kemiskinan di seluruh dunia, serta rasa ketak-berdayaan, dan ketidak-amanan yang dialami di dalam masyarakat modern yang terus bergerak secara intensif ini. Lebih jauh, ekonomi telah menjadi penguasa dari masyarakat dan segala sesuatu yang ada didalamnya, dan masyarakat ada untuk melayani tujuan akhir dari capital serta kebutuhan-kebutuhannya utuk memperluas diri; sehingga Gereja-Gereja Kristen, bersama dengan banyak organisasi keagamaan dan sipil, telah menyatakan opini mereka yang keras menentang cara kinerja globalisasi ekonomi dan ideologi “pasar bebas” semacam itu. Ini disebabkan globalisasi memberikan tempat utama kepada kapital ekonomi diatas pelayanan kepada kemanusiaan dan hormat atas pribadi manusia. Oleh karena itu perkembangan ekonomi dapat dibenarkan secara moral hanya jika seluruh anggota masyarakat mendunia ikut ambil bagian di dalamnya.
Dengan demikian adalah tugas bagi semua orang Kristen dan para pemeluk agama-agama untuk membuka kedok nilai-nilai ideologi yang mendorong globalisasi, dan meruntuhkan “berhala Mammon” yang menopangnya. Sebenarnya globalisasi itu tidak memiliki visi atau tujuan akhirnya sendiri, tujuan akhir dari globalisasi adalah lebih banyak lagi globalisasi.[8]
Laju globalisasi ini telah menciptakan kekacauan, ketiadaan-makna, dan kekosongam khususnya diantara kaum muda sehigga mereka lari ke miras, narkoba, sex-bebas, serta frustasi yang menciptakan tingkah-laku anarkhis. Namun demikian dengan meluasnya secara tak tak terkendali ketak-berakaran, ketiadaan-makna, serta frustrasi yang disebabkan oleh konsumerisme dan hedonisme sebagai akibat langsung dari globalisasi itu, di dalam masyarakat yang lebih maju muncul serangkaian nilai-nilai, yaitu: 1) pencarian makna hidup, 2) ketidak-percayaan pada lembaga-lembaga sosial, dan 3) keperdulian akan lingkungan (ekologi)[9]. Disini inilah, agama-agama dapat menyediakan suatu jalan kerohanian yang utuh teratur bagi kehidupan didalam dunia yang berubah secara cepat ini. Dalam artian sumbangan Iman Kristen Orthodox bagi penyediaan jalan kerohanian semacam itu bagi kehidupan, berdasarkan nilai-nilai theologia Kristen, saya dapat mempersembahan sebagai berikut:
Nilai-Nilai dan Kriteria Theologia Kristen dalam Menghadapi Globalisasi
1) Allah sebagai Pencipta Alam Semesta dan Penguasa Sejarah
Agama Yahudi, Iman Kristen, dan Agama Islam setuju bahwa hanya ada Satu Allah yang adalah Pencipta dan Penopang segenap ciptaan. Menurut keyakinan Kristen Allah yang satu ini menciptakan segenap semesta melalui FirmanNya sendiri yang berada satu didalam Allah dan dilahirkan keluar dariNya secara kekal, dan Allah memberikan kehidupan kepada ciptaanNya melalui RohNya sendiri, yang adalah NafasNya, yang bersama Firman Allah berada secara kekal di dalam Allah, dan keluarnya dari Allah.[10] Oleh karenanya menurut Keyakinan Kristen, tidak ada satupun dalam dunia yang bebas dari Allah. Allah adalah sumber dan Penopang segala sesuatu yang ada. Memperlakukan manusia dan lingkup jasmani serta rohaniah-mentalnya (lingkungan, budaya, kehidupan sosial, ekonomi dan kehidupan politik) terpisah dari Allah adalah sama sekali tak dapat diterima bagi sensibilitas Kristen, meskipun Iman Kristen tak akan mengambil sikap yang bersifat theokratis (pemerintahan agama) ataupun totalitarian (segala bidang kehidupan diatur oleh hukum agama) dalam menekankan perlunya mengakui tempat Allah dalam kehidupan manusia. Adanya agama-agama harus diakui dan bukan direndahkan dalam proses keberadaan manusia, yang bukan demikian halnya di dalam globalisasi. Agama jangan sampai dipisah dari proses kehidupan manusia. Namun pada saat yang bersamaan agama jangan sampai dipaksakan oleh hukum positif macam apapun, karena agama harus dimengerti sebagai pilihan bebas yang berkaitan dengan hubungan perorangan dengan Penciptanya.
Khususnya di dalam suatu masyarakat yang majemuk seperti Indonesia dan dalam masyarakat global yang kita hidupi ini, pemaksaan agama kedalam suatu hukum positif akan pasti mencioptakan masalah, karena tak ada satu agama yag memiliki hukum yang sama dengan agama lain. Jika hukum dari satu agama dipaksakan pada pemeluk agama yang lain di dalam masyarakat, akibatnya adalah penaklukan oleh satu kelompok atas kelompok yang lain . Ini akan menjadi suatu pemaksaan dan tak ada pilihan bebas dari pihak yang lain, dan ini akan menciptakan ketak-adilan dan kemungkinan konflik-konflik. Menurut ajaran Kristen Orthodox agama-agama, atau Gereja dalam hal ini, ada bukan untuk ikut campur tangan dengan fungsi kenegaraan, tetapi menjadi suara hati moral bagi Negara dan penguasanya, dengan menyuarakan “suara kenabian” kapan saja para penguasa itu menyimpang dari jalan keadilan. Theologi politik dari Iman Kristen Orthodox Timur merangkul idea “harmonia” dan “simfonia” antara Gereja dan Negara, dan antara Agama dan Politik.
Juga dengan menekankan bahwa hanya ada satu Allah (yang memiliki FirmanNya yang kekal dan RohNya yang kekal di dalam diriNya) yang menciptakan segenap manusia, Iman Kristen Orthodox mengakui kesatuan manusia.[11] Dalam mengakui kesatuan kemanusiaan, maka dimengerti bahwa pada dasarnya semua manusia tak perduli agama yang dipeluknya adalah satu keluarga besar, dengan demikian semua pengikut agama-agama dalam masyarakat harus bekerjasama untuk menciptakan kesatuan dalam pemikiran dan tujuan bagi pelayanan untuk kemanusiaan dan masyarakat. Suatu visi bersama yang dilandasi pada keyakinan Akan adanya Satu Allah yang menciptakan semua manusia dan kesatuan kermanusiaan Akan menjadi dasar bagi kerja Sama untuk memperbaiki kemanusiaan dan masyarakat secara luas tanpa mengorbankan kekhususan dan keunikan dari pengajaran masing-masing agama. Allah memang satu, dan Dia selalu bekerja dalam harmoni dengan FirmanNya dan RohNya sendiri dalam menciptakan manusia menurut “gambar dan rupa Allah” (Kejadian 1:26-27) demi ciptaan itu serta demi kebaikan manusia. Oleh karena itu manusia harus meneladani Allah dalam berusaha untuk keharmonisan satu sama lain, mencapai kesatuan dalam tujuan dan niat, dalam kemajemukan dan kejamakan keberadaannya.
Adalah juga merupakan ajaran Kristen bahwa setelah menciptakan alam semesta Allah masih melibatkan diri dalam ciptaanNya, dan sedang membimbing ciptaan itu kedalam tujuan akhirnya sebagaimana yang dimaksud Allah ketika Dia menciptakan dunia.[12] Dengan demikian dunia ini tidak berputar lepas dari Allah, dan kehidupan manusia dan sejarahya tidak berjalan tanpa ikut campur tangan Allah secara langsung. Singkatnya, Allah adalah yang mengendalikan dan Penguasa atas sejarah. Jika demikian, apapun yang terjadi dalam sejarah manusia Allah yang mengendalikan prosesnya dan Allahlah yang ada dibelakang apa yang terjadi, dengan mengijinkan atau dengan campur-tangan langsung maupun dengan mengendalikan proses sejarah ini. Tentu saja kita tak dapat mengerti maksud dari segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah, termasuk globalisasai di masa kini, namun demikian kita harus dapat “membaca tanda-tanda zaman” (Matthew 16:3) agar dapat membeda-pilahkan dan menemukan kehedak Allah, betapapun sulit, meyakitkan dan sukarnya itu, dalam proses sejarah keberadaan kita, dan dapat menanggapinya secara bijaksana dan dengan penuh doa sesuai dengan bimbingan RohNya berlandaskan prinsip-prinsip dari firmanNya dalam Kitab Suci.
2) Sifat Waktu yang Lurus Kedepan
Lagi Agama Yahudi, Islam dan Ian Kristen Orthodox setuju bahwa dunia ini memiliki awal pada saat penciptaan[13] dan itu akan berakhir pada akhir jaman [14]. Karenaya waktu itu bersifat lurus kedepan. Segala sesuatu yang terjadi sejak permulaan ciptaan hanyalah sebuah fase dan bukan puncak akhir dalam proses sejarah ini, yang mengarah kedepan menuju tujuan akhirnya. Gereja Orthodox telah melewati jalan fase-fase proses sejarah ini selama 2000 tahun keberadaannya. Ia telah melewati jalan ketika para Rasul Kristus masih hidup. Ia telah melewati jalan ketika Kaisar-Kaisar Romawi menganiaya banyak dari anggota-anggotanya. Ia telah melewati jalan dari jaman keemasannya pada masa zaman Kerajaan Byzantium. Ia telah melewati jalan ketika wilayah-wilayahnya di Timur Tengah jatuh ke tangan kekuatan Islam mengikuti gelombang perluasan wilayah Islam. Ia telah melewati jalan yang menyakitkan karena terjadinya perpisahan dengan Gereja Barat yang berpusat di Roma. Ia telah melewati jalan sakit dan penderitaan dari penyerbuan, yang dialami bersama orang-orang Yahudi dan Islam, oleh tentara Perang Salib, khususnya pada saat Perang Salib keempat ketika Konstantinopel diserbu oleh para tentara Perang Salib. Ia telah melewati jalan penderitaan dari serangan orang Turki Usmani dan jatuhnya Konstantinopel dibawah tangan bangsa Turki. Ia telah melewati jalan masa-masa penderitaan dibawah pemerintahan kekuasaan Turki; ia telah melewati jalan penderitaan dibawah kekuasaa Komunis Rusia, dan ia telah melewati jalan pada masa-masa ketika Komunisme jatuh di Negara yang sama itu dan ia mengalami kebebasan sekali lagi. Dan kini ia telah melewati perjalanan di zaman modern, dengan proses globalisasi sebagai keprihatinannya secara langsung. Tetapi duia belum berakhir. Tak satupun dari proses sejarah yang telah dilewati oleh Gereja Orthodox itu merupakan akhir ataupun puncak terahir dari apapun, karena setiap proses sejarah itu memiliki masa akhirnya sendiri. Karena itu globalisasi ini juga akan berakhir, entah begaimana pada suatu saat nanti. Visi Gereja Orthodox tidak difokuskan pada fase manapun dalam proses sejarah ini, tetapi pada akhir dunia secara eskhatologis, dengan menunggu “penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus” (Titus 2:13), serta “menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran.” (II Petrus 3: 13). Inilah harapan yang dapat ditawarkan oleh Gereja Orthodox bagi mereka yang tak berharapan ditengah-tengah gaduh-riuhya globalisasi ini.
3) Manusia sebagai Pusat dari Ciptaan dan dari Semua Perkembangan
Ketika Allah menciptakan manusia pertama Dia memberikan amanah kepada manusia itu utuk bertanggung jawab bagi ciptaan yang lain.[15] Manusia menjadi wakil Allah diatas bumi untuk bertanggung jawab atas ciptaanNya, karena diberikan kepada manusia baik dari dunia binatang[16] ataupun tumbuh-tumbuhan.[17] Manusia adalah puncak dan mahkota dari ciptaan Allah, segenap kepenuhan citaan diberikan Allah bagi manfaat manusia. Dengan demikian manusia dipercaya Allah untuk menjadi pengelola atas ciptaanNya[18], dia diperintahkan untuk “mengusahakan” dan “memelihara” Taman Eden, yaitu lingkungan hidupnya. Dia bertanggung jawab bagi lingkungan sekitarnya demi kebaikannya sendiri. Oleh karena itu manusialah yang harus memperkembangkan budaya, masyarakat, ekonomi, dan kehidupan sosialnya sendiri.
Perkembangan yang dilakukan manusia itu diindikasikan oleh Kitab Suci, pertama sekali dengan perkembangan pertanian dan peternakan, sebagaimana dikatakan:”Habel menjadi gembala kambing domba, Kain menjadi petani.” (Genesis 4: 2). Dan dengan berkembangnya waktu manusia memperkembangkan Cara hidup yang lebih rumit lagi dengan inisiatifnya untuk memperkembangkan Kota yang pertama, dimana dikatakan:”Kain mendirikan suatu kota dan dinamainya kota itu Henokh, menurut nama anaknya.” (Kejadian 4:17). Kisah pembangunan Kota yang pertama ini menunjukkan bahwa perkembangan masyarakat dan kehidupan sosial yang pertama bagi manfaatnya sendiri itu merupakan inisiatif manusia sendiri. Selanjutya, manusia adalah pelaku (actor) dan pelaksana (agen) yang melakukan inisiatif bagi perkembangan perumahan dan kebutuhan-kebutuhan ekonomi, sebagaimana dikatakan:”… Yabal; dialah yang menjadi bapa orang yang diam dalam kemah dan memelihara ternak” (Kejadian 4:20). Manusia adalah juga pelaku dan pelaksana yang melakukan inisiatif bagi perkembanganm seni dan budaya, sebagaimana dikatakan:”…Yubal; dialah yang menjadi bapa semua orang yang memainkan kecapi dan suling.” (Kejadian 4:21). Lagi manusia dilihat sebagai pelaku dan pelaksana yang melakukan inisiatif perkembangan teknologi, sebagaimana dikatakan:”… Tubal-Kain, bapa semua tukang tembaga dan tukang besi.” (Genesis 4:22).
Semua kisah inisatif manusia untuk memperkembangkan pertanian, peternakan, kota, perumahan, ekonomi, seni, budaya dan teknologi itu memberikan suatu pesan yang jelas bahwa manusialah yang menjadi pusat dan fokus dari semua perkembangan sosial, ekonomi, budaya, politik dan teknologi itu. Dan mereka itu diperkembangkan bagi melayani kebutuhan-kebutuhan manusia dan bagi kebaikan manusia itu sendiri. Kebaikan manusia haruslah menjadi tujuan akhir bagi semua perkembangan. Dengan pemahaman seperti ini, kita dapat melihat mengapa ideoogi globalisasi yang berfokus pada “pembiakan diriya sendiri yaitu tujuan akhir dari globalisasi adalah lebih banyak lagi globalisasi” itu bertentangan dengan ajaran yang jelas dari Kitab Suci ini. Sebagaimana yang telah kita ketahui,globalisasi itu sesungguhnya tak memiliki visi ataupun goal pada dirinya sendiri, oleh karena itu janjinya bagi suatu masa depan yang lebih baik itu adalah kosong dan hampa. Itu tak memiliki visi bagi harga diri dan keberadaan manusia, karena manusia ditundukkan pada kemauan semena-mena dari ekonomi “pasar bebas”, dimana Mammon, penumpukan kekayaan menjadi penguasa yang mendikte kehidupan manusia. “Mammon” memanglah dibutuhkan, tetapi itu harus digunakan dengan tujuan untuk melayani kemanusiaan, dan bagi memajukannya, dan bukan bagi memperbudak atasnya. Jika harga diri manusia dan hormat atas kepribadian manusia bukan menjadi goal dari perkembangan apapun, atau dipinggirkan dan dipicingkan dengan sebelah mata oleh”ekonomi pasar bebas” dalam ideologi globalisasi ini, Gereja bersama dengan komunitas-komunitas agama-agama serta lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya harus mengibarkan benderanya, serta menyuarakan keperduliannya dengan berbicara secara keras menyatakan kecaman dan suara kenabian mereka.
4) Masalah Dosa
Ditengah-tengah kekacauan yang diciptakan oleh globalisasi modern dimana manusia bertaya-tanya tentang keberadaan Allah dan tak mempercayai agama-agama terorganisir, dikarenakan adanya penderitaan dan nestapa dalam dunia ini serta kemunafikan dan kejahatan yang barangkali mereka lihat di dalam diri dari banyak pemimpin dalam agama-agama yang teroganisir, Gereja Orthodox meneguhkan keseriusan adanya dosa. Adalah ajaran Kitab Suci bahwa sejak Adam diusir dari Firdaus [19] karena pemberontakannya kepada kehendak Allah (Kejadian 2:16-17, 3:6, 17-19), ia kehilangan hubungannya yang dekat dengan Allah, dan telah kehilangan keabadiannya, karena keterpisahannya dari Allah ini berakibat dia “terpisah dari kehidupan Allah” (Efesus 4:18). Keterpisahan manusia dari hidupNya Allah akibat pemberontakan, yang adalah inti dari dosa ini, mengakibatkan manusia berada dalam kuasa maut/kematian (Roman 5:12), sementara kematian itu sendiri disebabkan oleh Iblis “yang berkuasa atas maut” (Ibrani 2:14) dan yang adalah bapa segala kejahatan:pendusta dan pembunuh (Yohanes 8:44). Oleh karenanya maut, Iblis dan dosa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keberadaan manusia. Kejahatan dan dosa telah begitu merembes kedalam seluruh eksistensi manusia baik secara pribadi, dalam bentuk hawa nafsu dan keinginan jahat, maupun secara lembaga, baik yang bersifat duniawi maupun keagamaan. Disini inilah Gereja Orthodox berlandaskan Kitab Suci memanggil semua anggotanya untuk mengadakan peperangan melawan keinginan jahat dan hawa-nafsu (Kolose 3:5, Galatia 5:24) dan untuk menghidupi kehidupan kesalehan dan kekudusan di dalam ketaatan akan Allah dengan bimbingan bapa rohaninya. Inilah panggilan kehidupan mati-raga, yang terdiri dari: kehidupan sembahyang yang teratur dan menetap, ikut serta secara rajin dalam kehidupan sacramental Gereja, berpuasa, sembahyang semalaman, membaca Kitab Suci dan buku-buku rohani lainnya, memberikan perpuluhan dan sedekah, bertarung melawan hawa-nafsu dan keinginan daging, mempraktekkan perbuatan cinta-kasih, dan berjuang bagi kekudusan, dimana kita dipanggil untuk memisahkan diri dari keterikatan terhadap materialisme dan hawa nafsu daging serta keinginan jahat bagi mengangkat roh kita kedalam panunggalan dengan Allah.
Tak perduli lembaga atau ideologi apapun yang diciptakan manusia baik itu ekonomi, politik, agama, budaya atau yang lainnya, kehadiran kejahatan itu harus diperhitungkan. Disinilah prinsip kehidupan mati-raga untuk melawan hedonisme dan egoisme yang tanpa kendali, hawa nafsu daging, dan keserakahan memiliki relevansinya dalam menghadapi dampak globalisasi. Juga dengan panggilan hidup mati-raga untuk melepaskan diri dari keterikatan materi, orang dapat menghadapi bahaya materialisme, kecanduan narkoba, dan sex bebas yang telah mencirikan kehidupan kaum muda dalam zaman globalisasi ini.
Injil memanggil kita untuk tidak menaruh ketergantungan sepenuhnya kepada lembaga-lembaga buatan manusia, karena tujuan akhir dari hidup setiap orang Kristen adalah Kerajaan Allah yang Akan datang, dan bukan ideologi utopia dari dunia ini. Tak ada satupun dalam dunia ini yang dapat menghadirkan Kerajaan Allah secara sepenuhnya. Segala sesuatu didalam dunia ini campuran antara kebaikan dan kejahatan, antara kebenaran dan kesesatan, serta antara terang dan kegelapan. Perjuangan melawan kejahatan, dosa, dan iblis dimanapun dan dalam bentuk apapun itu menyatakan dirinya haruslah menjadi tugas orang Kristen, terutama dalam menghadapi materialisme, ketidak-percayaan, hedonisme, kekerasan, penindasan, dan ketidak-adilan yang meluas tak terkendali di seluruh dunia ini
5) Inkarnasi Firman Allah
Agama Yahudi, Agama Islam, dan Iman Kristen setuju pada kenyataan bahwa Allah berkomunikasi mengenai kehendak dan keberadaanNya melalui FirmanNya. Dalam Agama Yahudi dan Agama Islam Firman Allah yang melaluinya Allah menciptakan dunia diturunkan oleh Allah melalui para Nabi dalam bentuk Kitab Suci (Torah bagi Agama Yahudi, al-Qur’an bagi Agama Islam). Disini Iman Kristen Orthodox menyatakan perbedaannya dan berpisah jalan baik dari Agama Yahudi maupun Agama Islam, karena Iman Kristen Orthodox mengajarkan bahwa Firman Allah diturunkan oleh Allah dari sorga bukan hanya sekedar berwujud suatu Kitab, namun “Firman itu telah menjadi Manusia” (John 1:14) dengan diutus masuk kedalam rahim Perawan Maryam (Galatia 4:4), dan dilahirkan sebagai manusia: Yesus Kristus melalui kuasa dari Roh Allah yang kekal (Matius1:20. Lukas 1:34-35). Tindakan Firan Allah jadi manusia ini dalam theologia Kristen disebut sebagai “Inkarnasi” = menjadi daging (“carnus” dalam bahasa Latin adalah “daging”), sementara proses Firan Allah turun menjadi Kitab sebagaimana yang dijumpai dalam Agama Yahudi dan Agama Islam, boleh disebut sebagai “Inskripturasi” = menjadi Kitab (“Scriptura” dalam bahasa Latin artinya “Kitab Suci”).
Karena manusia adalah fokus perhatian kasih Allah, dan pusat dari ciptaan, tetapi sudah terjatuh dari status aslinya sesudah diusir dari Taman Eden atas pemberontakannya terhadap kehendak Allah, oleh karena itu tujuan dari Inkarnasi Firman Allah adalah demi manusia tadi. Inkarnasi dari Firman Allah ini hanya memiliki satu tujuan saja, yaitu bagi keselamatan manusia, dengan kata lain, bagi pembebasan manusia dari kuasa maut, Iblis dan dosa; dengan menyatu oleh iman ke dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus yang dinyatakan melalui Baptisan; agar ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi (II Petrus 1:4), di dalam hidup kekal dan kemuliaan Allah, serta menjadi “seperti Dia” (I Yohanes 3:2).
Selanjutnya diajarkan oleh Kitab Suci bahwa ketika Firman Allah menjadi manusia, Dia tak kehilangan kekekalanNya atau kodrat ilahiNya, tetapi kodrat ilahiNya itu bersemayam secara jasmani di dalam inkarnasi kemanusiaanNya tanpa berubah dari hakekat keilahianNya[20]. Kodrat Ilahi tak berubah menjadi kodrat manusia, dan kodrat manusia tidak berubah menjadi Allah. Masing-masing kodrat dari keduanya itu dijaga tak berubah, tetapi dimanunggalkan dalam satu Pribadi dari Yesus Kristus. Oleh karena panunggalannya dengan keilahian Firman Allah, maka kemanusian dari manusia Yesus Kristus yang telah diambil oleh Firman Allah yang menjadi daging itu dimuliakan melalui kebangkitan dimana kematian dihancurkan dan ketak-binasaan dinyatakan, karena sesudah kebangkitanNya Yesus Kristus tidak mati lagi dan maut tidak mempunyai kuasa atas diriNya.[21]
Prisip-prinsip yang dapat kita timba dari ajaran Kitab Suci ini adalahbahwa Allah perduli kepada manusia sampai Dia FirmanNya sendiri dikirim untuk menjadi manusia. Allah perduli dengan kehidupan bagi manusia, sehingga FirmanNya yang ber-Inkarnasi itu harus menghancurkan kematian dan menyatakan kehidupan dan ketak-binasaan. Berdasarkan prinsip-prinsip ini, maka, setiap ideologi yang menyebabkan kekerasan, penderitaan, rasa sakit, penindasan, perbudakan, pembunuhan dan kematian bagi manusia harus ditentang karena itu berlawanan dengan idea ilahi mengeai apa sebenarnya manusia itu. Idea Allah tentang kemanusian yang sejati dan otentik adalah suatu kemanusiaan yang manunggal dengan Allah sedemikian rupa dimana kodratnya yang tercipta ini meskipun berbeda dari kodrat Ilahi, namun ditetapkan untuk berada dalam panunggalan dengan Allah, dan ditransformsi secara rohani kedalam eksistensi yang mulia, yaitu ditransformasi ke dalam gambar dan rupa Allah lagi. Jadi manusia harus dimengerti dalam artian keutuhan tubuh, jiwa dan rohnya. Manusia bukanlah hanya eksistensi jasmani saja, tetapi juga sebagai makhuk berjiwa dan memiliki roh. Dengan demikian memperlakukan manusia hanya sekedar sebagai sarana, alat, atau sebagai mesin untuk mencapai tujuan-tujuan akhir materi, ekonomi, dan segala macam hal yang bersifat sementara ini, adalah merupakan degradasi dan penghinaan atas kodrat dan harga diri manusia, dan itu harus dikecam dalam bahasa yang sekeras mungkin, dan harus dihentikan.
6) “Theosis” sebagai Tujuan Akhir dari Keberadaan Manusia.
“Theosis” adalah sebuah kata Yunani yang artinya “pengilahian”. Ini adalah ciri khas dari theologia Kristen Orthodox Timur dalam menggambarkan tentang tujuan akhir dari eksistensi manusia dan tujuan dari pengutusan Firman Allah yang telah menjadi daging: Yesus Kristus, bagi keselamatan manusia.
Firman Allah diutus Allah untuk menjadi manusia di dunia ini dengan tujuan untuk memberitakan Kerajaan Allah [22]. Kerajaan Allah ini bukanlah Kerajaan jasmani dan politik, namun Kerajaan rohani, karena itu mulainya dari kehidupan masakini dan tinggal “di dalam” hati manusia dan tidak dapat diobservasi melalui cara-cara lahiriah.[23] “Kerajaan Allah” ini “bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.” (Romans 14:17). Dalam Kerajaan Allah ini manusia “tidak kawin dan tidak dikawinkan…….sebab mereka tidak dapat mati lagi; mereka sama seperti malaikat-malaikat” (Lukas 20:35-36).
Kedatangan Kerajaan Allah ini terkait secara tak terpisahkan dengan Pribadi dari Yesus Kristus, Firman Allah yang telah menjadi Daging, yang mengatakan:” Tetapi jika Aku mengusir setan (bhs asli: “daimonia” = roh-roh jahat) dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu. “(Matius 12:28). Sesuai dengan itu maka Kerajaan Allah terjadi apabila Yesus Kristus telah mengalahkan roh-roh jahat khususnya pemimpin mereka, Iblis; dan apabila Roh Allah dinyatakan dengan kuasa. Yesus Kristus telah melakukan itu melalui wafatNya di atas Salib serta Penguburan dan KebangkitanNya yang berpuncak pada KenaikanNya ke sorga dan TurunNya Roh Allah yang Kudus.
Mengenai kekalahan Iblis oleh kematian Kristus itu, dikatakan demikian:” oleh kematian-Nya Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas maut” (Ibrani 2:14), karena:” Juruselamat kita Yesus Kristus, yang oleh Injil telah mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa.(bhs asli: “zooeen kai aphtharsian” = hidup dan ketak-binasaan)”( II Timotius 1:10) melalui kebangkitanNya dari antara orang mati , sehingga dikatakan:” Untuk inilah Anak Allah ( Firman Allah yang Menjadi Daging) menyatakan diri-Nya, yaitu supaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu.” (I Yohanes 3:8).
Sebelum wafatNya diatas Salib Yesus Kristus menjanjikan bahwa Dia akan mengirim” Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa” yang akan “bersaksi tentang” Yesus (John 15:26). Roh Allah ini akan datang agar bersaksi atau menyatakan Yesus Kristus dalam hati manusia, karena:” tidak ada seorangpun, yang dapat mengaku: "Yesus adalah Tuhan", selain oleh Roh Kudus.” (I Korintus 12:3). Yesus menggenapi janji ini setelah kebangkitanNya dimana: “Yesus inilah yang dibangkitkan Allah,…. sesudah Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah dan menerima Roh Kudus yang dijanjikan itu, maka dicurahkan-Nya” (Kisah Rasul 2:32-33). Kedatangan Roh Allah yang Kudus dengan kuasa sesudah dikalahkanNya Iblis melalui kematian dan kebangkitan Kristus itu terjadi pada Hari Pentakosta [24]. Dikalahkannya Iblis oleh kematian dan kebangkitan Yesus Kristus dan turunNya Roh Allah sesudah Yesus Kristus naik ke sorga itu adalah awal dari datangnya Kerajaan Allah yang dapat dialami “didalam” batin mereka yang percaya kepada Yesus Kristus.
Yesus Kristus adalah wujud dari dari Kerajaan Allah itu, kedatangan Yesus Kristus yang kedua di akhir zaman nanti adalah penggenapan dari Kerajaan Allah yang telah dimulai oleh Kematian dan KebangkitanNya serta TurunNya Roh Kudus sebagai akibat dari KenaikanNya kesorga dan ditinggikanNya Yesus Kristus di sorga itu.
Kehadiran Roh Allah yang Kudus di dalam hati manusia adalah untuk membuat hadirnya hidup dari Yesus, Firman Allah yang telah menjadi Manusia, yang telah dimuliakan dan ditinggikan itu, ke dalam hidup manusia, sehingga Yesus Kristus hidup dan tinggal di dalam roh mereka yang percaya dan menerima Dia[25] yang berarti manunggal dengan Dia. Disini inilah yang dimaksud dengan “Kerajaan Allah ada di dalam kamu” itu, dimana “bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Galatia2:20). Setelah didiami oleh Kristus melalui Roh Allah, hidup mereka yang percaya kepada Kristus berjalan maju menuju tujuan akhirnya, yaitu, menyatu dalam kemuliaan Kristus pada kedatanganNya yang kedua kali, di akhir zaman, dimana “apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya“(I Yohanes 3:2) juga “Apabila Kristus, yang adalah hidup kita, menyatakan diri kelak, kamupun akan menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan” (Kolose 3:4).
Dalam waktu menunggu dalam harapan inilah, Kitab Suci memberitahu kita:”…apabila Kristus menyatakan diri-Nya. kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya. Setiap orang yang menaruh pengharapan itu kepada-Nya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci.” (I Yohanes 3:2b-3) Jadi menunggu kedatangan Kristus itu adalah suatu penantian yang aktif, karena kita harus secara aktif mensucikan diri kita dari dosa, hawa nafsu dan keinginan daging atau keiginan jahat. Dan penyucian diri kita ini harus diperluas kepada penyucian lingkungan kita, masyarakat kita, dan pemerinatahan Negara kita,. Dengan bertarung melawan kejahatan, ketidak-adilan, dan korupsi yang ada di dalamnya.
Apabila Kristus datang pada saat kedatanganNya yang kedua semua mereka yang telah manunggal denganNya dan telah mensucikan diri mereka dengan secara benar berjuang melawan dosa dan berusaha bagi kekudusan, akan dibangkitkan lebih dahulu[26] dan Akan dinyatakan “dalam kemuliaan”. Mereka Akan ikut ambil bagian di dalam kemuliaan Ilahi, karena kapan saja Firman Allah melalui Roh Allah bersemayam dalam hati manusia, Allah sendirilah yang bersemayam di dalamnya. Itulah sebabya ketika mereka diyatakan dalam kemuliaan di dalam Kristus, Firman Allah itu, adalah dalam kemuliaan Allah sendiri mereka akan ikut ambil bagian, yaitu, mereka akan “boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (II Petrus 1:4).
Inilah tujuan akhir dari karya penebusan dan keselamatan yang telah dilakukan oleh Kristus bagi kemanusiaan, dan inilah yang disebut sebagai “theosis” (“pengilahian”) itu. “Theosis” tidak berarti bahwa manusia akan menjadi Allah dan ikut ambil bagian dalam “hakekat/esensi/dzat Allah”, yang adalah sesuatu yang tidak mungkin, tetapi itu berarti bahwa manusia akan ikut ambil bagian dalam “kemuliaan” dan “energi” Allah, yang adalah “kodrat ilahi”, melalui panunggalan mereka dengan Firman Allah yang telah menjadi daging di dalam kuasa Roh Allah yang Kudus. Dengan ikut ambil bagian dalam kemuliaan ilahi pada saat kedatangan Kristus yang kedua kali, mereka yang berada dalam panunggalan dengan Kristus, Akan “berada bersama-sama dengan Aku, …. Agar mereka memandang kemuliaan-Ku” (John 17:24). Dengan secara kekal memandang kemuliaan Kristus, yang pada hakekatnya adalah “kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (II Korintus 4:6), mereka yang telah dimuliakan pada saat kedatangan Kristus yang kedua akan “diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar.” (II Korintus 3:18). Sehingga Akan ada pertumbuhan tanpa akhir dari kemulian kepada kemulian yang lebih besar bagi mereka yang diselamatkan dan ditebus oleh Kristus pada zaman yang Akan datang, didalam alam ilahi yang kekal. Mereka Akan masuk lebih dalam lagi ke dalam relung kedalaman misteri dari roh mereka di tempat yang kekal itu, dan mereka Akan tumbuh makin cemerlang gemilang serta Akan menyelam-tenggelam dalam kedalaman kemuliaan ilahi.
Inilah kedalaman tak terbandingkan dari visi Iman Kristen Orthodox atas manusia dan masa depannya. Kedalaman yang mana tak dapat dijumpai dimanapun, khususnya bukan dalam ideology yag diciptakan oleh globalisasi dan modernisme. Dengan visi tentang manusia dan masa depannya yang sedemikian ini, Iman Kristen Orthodox Timur menawarkan suatu makna kehidupan yang sangat mendalam dan lebih dalam bagi para generasi muda yang terhilang dan menjadi korban dari globalisasi dimana mereka mengalami ketiadaan-makna, ketak-berakaran, kedangkalan, kekosongan dan kehampaan eksistensi. Pengajaran mengenai “theosis” yang ditawarkan oleh Gereja Orthodox dapat memenuhi kehausan akan makna; dapat menjadi jangkar ketak-berakaran, memenuhi dampak dari kedangkalan, mengisi kekosongan dan kedalaman tanpa landasan dari kehampaan eksistensi bagi kaum muda ini, dan bagi siapapun juga dalam hal ini. Ini dikarenakan ajaran Kristen Orthodox mengenai theosis ini mengingatkan kita bahwa manusia memiliki suatu kedalaman yang mendalam dan yang misterius didalam diriya sendiri, karena ajaran ini langsung menyentuh pusat dari eksistensi manusia itu sendiri, yaitu, rohnya.
. Generasi muda tidak harus lari kepada narkoba, hedonisme, materialisme, bunuh diri, dan sex bebas untuk meluapkan rasa frustrasi mereka; mereka hanya perlu kembali kepada akar permasalahan: kerohanian, spiritualitas. Saya percaya bahwa kebanyakan dari masalah-masalah yang dialami manusia itu adalah berakar pada masalah kerohanian, spiritualitas. Kita harus memperkenalkan jalan keriohanian/spiritualitas kepada generasi muda dan menuntun mereka kedalamnya sehingga itu akan menuntun mereka ke dalam suatu kehidupan yang terpenuhi, karena makin jauh mereka mengikuti keinginan hawa nafsu dan keinginan daging mereka, maka akan makin merasa bersalahlah hati mereka, dan akan makin merasa frustrasilah mereka berhadapan dengan hedonisme dan materialisme yang diciptakan oleh globalisasi ini. And the more frustrated they are in the face of these meaningless hedonism and materialism created by globalization.
Usulan-Usulan
Setelah membahas tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan/peluang-peluang yang dimiliki agama-agama berhadapan dengan globalisasi itu, saya berhasrat untuk mengusulkan beberapa hal yang dapat dilakukan agar menjadi nyata apapun yang telah kita bahas dalam makalah ini:
1) Sebagaimana semua agama menghadapi tantangan yang sama, yaitu, dampak-dampak negatif dari globalisasi dan sistim “ekonomi pasar bebas”, karenanya saya mengusulkan agar ada suatu cara bagi agama-agama tadi untuk memiliki media bagi menarik sumberdaya- sumberdaya bersama, untuk mengkaji bersama secara mendalam dan untuk mengeksplorasi cara-cara bagaimana untuk menghentikan atau memperlambat laju dampak-dampak negatif dari tantangan-tantangan ini.
2) Sebagaimana semua agama memiliki keperdulian-keperdulian yang sama dalam perlawanan mereka terhadap globalisasi , yaitu, pengakuan akan adanya yang kudus atau yang ilahi, serta pengakuan akan adanya sisi rohani dari eksistensi manusia yang disatu pihak dianggap sedang dalam serangan, namun dilain pihak keperdulian-keperdulian itu difahami secara berbeda-beda oleh komunitas-komunitas agama-agama tersebut; karenanya saya mengusulkan agar suatu pertemuan yang teratur untuk mengkaji, untuk saling berbagi, dan untuk saling mengerti keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai dari agama-agama lain harus diadakan, saling mengunjungi rumah ibadah masing-masing, meskipun tidak harus ikut berpartisipasi didalamnya, harus difasilitasi. Sehingga suatu saling pengertian Akan dicapai, perbedaan-perbedaan Akan ditunjukkan, serta persamaan-persamaan harus menjadi landasan untuk saling bekerjasama didalam menghadapi tantangan-tantangan bersama yang menjadi keprihatinan kita itu.
3) Perlu adanya cara untuk bekerjasama bagi membuat lobi-lobi, untuk melakukan negosiasi, untuk melakukan demonstrasi damai kepada pemerintah-pemeritah, kepada agen-agen internasional, misalnya Bank Dunia, dan lembaga-lembaga lainnya apapun yang bertanggung jawab sebagai agen bagi globalisasi, dengan menuntut pada mereka, untuk membuat “sistim ekonomi pasar bebas” mereka lebih bersifat manusiawi, dan lebih kondusif bagi penghormatan atas pribadi dan harga diri manusia, dalam perlakuan mereka terhadap penduduk setempat. Suatu pengkajian bersama harus dilakukan untuk memberi batasan pemahaman mengenai apa yang kita maksud dengan “manusiawi”, ”penghormatan atas pribadi manusia”, dan “harga diri manusia”, sehingga lobi-lobi kita akan menjadi jelas dan tuntutan kita akan dimengerti.
4) Perlu adanya tokoh-tokoh intelektual dari dalam masing-masing komunitas agama-agama yang menjadi anggota dari kelompok yang disebutkan diatas tadi yang bersedia untuk membacakan makalah dan “papers” dalam suatu pertemuan yang teratur, dan dijadikan buku-buku untuk diterbitkan baik dalam bentuk buku maupun dalam internet, sehingga sumber-sumber bagi pengkajian dan perkembangan tanggapan-tanggapan kita terhadap globalisasi dan pasar bebas akan siap tersedia.
5) Perlu dibuat lebih banyak website baik dalam bahasa Inggris maupun dalam bahasa-bahasa setempat bagi membuka kerugian-kerugian maupun manfaat-manfaat dari globalisasi bagi agama-agama, sehingga masyarakat umum terdidik dan tak ditinggalkan tanpa adanya informasi.
6) Perlu makin diperbanyak pengkajian-pengkajian dan pendidikan-pendidikan keagamaan bagi masing-masing kelompok agama, terutama kaum mudanya, sehingga dapat bertahan menghadapi serbuan negatif dari globalisasi, khususnya perlu adaya ajaran-ajaran keagamaan yang kondusif bagi hidup bersama secara damai dan saling ada pengertian diantara para pengikut agama-agama yang berbeda-beda, tanpa menyembunyikan perbedaan-perbedaan, dan keunikan masing-masing agama.
7) Perlu adanya penekanan atas pendidikan agama dan praktek-prakteknya dalam keluarga. Misalnya: bagi umat Kristen Orthodox, puasa dan buka-puasa bersama sebagai keluarga pada masa puasa catur dasa selama 40 hari, melakukan sembahyag harian bersama dipimpin oleh bapak dalam rumah tangga itu, membaca Kitab Suci secara teratur sebagai keluarga, dll.
Kiranya Konferensi ini membuahkan hasil-hasil yang baik dengan berkat Allah. Amin
Silver Spring, Maryland, USA: 24 June, 2008.
DAFTAR PUSTAKA
1) Clapsis, Emmanuel, Fr., “Christianity in a Global World”, Holy Cross Greek Orthodox School of Theology, October 4,2002 htttp://ww.goarch.or/speacial/hchc_coference/presetations/clapsis.asp?printit=yes
2) Muzzaffar, Chandra, “Globalization and Religion: Some Reflection”,http://www.islamonline.net/english/contemporary/2002/06/article/3.shtm
3) Schreiter, Robert, C.PP.S., “Globalization as a Challenge to the Churches”, http:// www.usccb.,net/conference / conference 19 /paper-Globalization –Schreiter.pdf
4) Glendon, Marry Ann, “Globalization and the Common Humanity”, http:// www.rider.edu/files/ CCM –Humanity.pdf
5) Glendon, Marry Ann, “Globalization and the Church’s New Challenges”, hhtp://www.catholiceducatio.org/articles/printarticle.html? page=pg0049
6) Swearer , Don, “Globalization and Religious Vocation: A Response”, http:// iscr.payap.ac.th//document/panel/panel 13.pdf
7) Longchar, A.Wati, “Globalization and Its Challenges for Theological Education”, http://www.cca.org.hk/resources/papers/issues/glob-wati.htm
8) Habito, Maria Reis, “Toward the Establishment of the University of World Religions, Challenges and Possibilities”, http://iscr.payap.ac.th//document/panel/panel 02.pdf
[1] Muzzaffar, Chandra, “Globalization and Religion: Some Reflection”, hal.1, http://www.islamonline.net/english/contemporary/2002/06/article/3.shtm
[2] Schreiter, Robert, C.PP.S., “Globalization as a Challenge to the Churches”, hal.1, http:// www.usccb.,net/conference / conference 19 /paper-Globalization –Schreiter.pdf
[3] ibid hal. 2-4
[4] ibid hal.3
[5] ibid. hal.4
[6] Clapsis, Emmanuel, Fr., “Christianity in a Global World”, Holy Cross Greek Orthodox School of Theology, October 4, 2002, hal.4, htttp://ww.goarch.org/speacial/hchc_coference/presetations/clapsis.asp?printit=yes
[7] ibid. hal.6
[8] Scheiter, op.cit. hal.5, dikutip dari Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture (Newbury Park, CA: Sage Publications, 1992).
[9] Scheiter, ibid. hal.8
[10] “Oleh firman TUHAN langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulut-Nya segala tentaranya.. “ (Mazmur 33:6), “ Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah ….. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan..” (Yohanes 1:1,3), “ dan " Roh Allah telah membuat aku, dan nafas Yang Mahakuasa membuat aku hidup.” ( Ayub 33:4)
[11] . “Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi” (Kisah Rasu 17:26)
[12] “Tetapi IA berkata kepada mereka: "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga."( Yohanes 5:17)
[13] “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi..”(Kejadian 1:1)
[14] “Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia Akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap”. ( II Petrus 3:10).
[15] “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."Berfirmanlah Allah: "Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu. “ ( Kejadian 1:28-29)
[16] “Engkau membuat dia (manusia) berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya:kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan. (Mazmur 8:6-8)
[17] “Engkau yang menumbuhkan rumput bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan untuk diusahakan manusia, yang mengeluarkan makanan dari dalam tanah dan anggur yang menyukakan hati manusia, yang membuat muka berseri karena minyak, dan makanan yang menyegarkan hati manusia.” (Mazmur 104 : 14-15)
[18] “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” (Kejadian 2:15)
[19] “Lalu TUHAN Allah mengusir dia dari taman Eden supaya ia mengusahakan tanah dari mana ia diambil.” ( Kejadian 3:23)
[20] “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan,” (Kolose 2:9).
[21] “Karena kita tahu, bahwa Kristus, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia..” ( Romans 6:9)
[22] “Sejak waktu itulah Yesus memberitakan: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!".” (Matius 4:17), “Jawab Yesus: "Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini.".” (Yohanes 18:36)
[23] “Atas pertanyaan orang-orang Farisi, apabila Kerajaan Allah akan datang, Yesus menjawab, kata-Nya: "Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah, juga orang tidak dapat mengatakan: Lihat, ia ada di sini atau ia ada di sana! Sebab sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu.( bhs asli: “entos hymoon” = di dalam kamu”)" (Luke 17:20-21)
[24] “Ketika tiba hari Pentakosta, semua orang percaya berkumpul di satu tempat. Tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah, di mana mereka duduk; dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala API yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya.” (Kisah Rasul 2:1-4).
[25] “Tetapi kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam Roh, jika memang Roh Allah diam di dalam kamu. Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus. Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu, maka tubuh memang mati karena dosa, tetapi roh adalah kehidupan oleh karena kebenaran.Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu.” (Roma 8:9-11).
[26] “….Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit; sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan. “ ( I Tesalonika 4:16-17)