Gembalakanlah Domba-DombaKu
[by: Fr.Daniel Byantoro]
Date: 05 Maret 2001
Bapak-Bapak, Ibu-Ibu dan Saudara-saudari sekalian, Shalom Aleikhem Be Shem Ha-Massiah,
Dengan rasa menyesal saya meminta maaf, atas ketak-dapat-hadiran saya pada persekutuan bulanan kita kali ini, karena saya harus melakukan pelayanan di beberapa daerah di Sumatra, yang sudah dijadwal sebelum saya mendapatkan pemberitahuan atas pelayanan di hadapan saudara-saudara sekalian hari ini. Namun sesuai dengan yang diminta dari saya, saya tetap ingin membagikan beberapa pemikiran dari Kitab Suci kepada saudara-saudara sekalian mengenai kebenaran Sabda Ilahi.
Untuk itu saya ingin mengajak saudara-saudara sekalian membuka Kitab Suci yang tertulis dalam Kisah Rasul 20:17, 18a, 28-31 “Karena itu ia (Paulus) menyuruh seorang dari Miletus ke Efesus dengan pesan supaya para penatua (prebyteros, presbiter) jemaat datang ke Miletus. Sesudah mereka datang, berkatalah ia kepada mereka……(LANGSUNG KE AYAT 28-31) Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan , karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik (Episkopos = Episkop=Uskup) untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperolehnya dengan darah AnakNya sendiri. Aku tahu, bahwa sesudah aku pergi, serigala-serigala yang ganas akan masuk ketengah-tengah kamu dan tidak akan menyayangkan kawanan itu. Bahkan dari antara kamu sendiri akan muncul beberapa orang, yang dengan ajaran palsu mereka berusaha menarik murid-murid dari jalan yang benar dan supaya mengikut mereka. Sebab itu berjaga-jagalah dan ingatlah, bahwa tiga tahun lamanya, siang malam, dengan tiada henti-hentinya menasehati kamu masing-masing dengan mencucurkan air mata”.
Saudara-saudara sekalian dalam Kasih Sang Kristus Sesembahan kita, Sesudah KebangkitanNya dari antara orang mati, Junjungan kita Yang Maha Ilahi, Tuhan Yesus Kristus menampakkan Diri kepada Petrus yang sebelumnya telah menyangkali Gurunya. Ia memulihkan muridNya itu pada kedudukannya, dengan memberikan perintah dan tugas ”Gembalakanlah domba-dombaKu” (Yohanes 21:15-19). Dan Perintah Junjungan kita yang Agung kepada Petrus inilah yang juga akhirnya menjadi tugas dan pelayanan bagi semua yang dipanggil untuk melayani Sang Kristus. Perintah ini pula yang menjadi judul dari pembahasan kita pagi ini. Dan Petrus sendiri sesudah kembali kepada posisinya sebagai pelayan Sang Kristus mengatakan kepada sesama pelayan Kristus, yaitu para Penatua atau para Presbiter Gereja, demikian: ”Aku menasihatkan para penatua (presbyteros, prebyteros) di antara kamu, aku sebagai teman-penatua (sympresbyteros = sesama presbiter) dan saksi penderitaan Kristus, yang juga akan mendapat bagian dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak. Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu. Maka kamu apabila Gembala Agung datang, maka kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tak dapat layu” (I Petrus 5:1-4). Sebagai, seorang yang memberitakan Injil dan menyebarkan kebenaran Kristus serta Saksi Mata atas Penderitaan dan Kebangkitan Kristus, Petrus adalah seorang Rasul. Namun sebagai seorang yang memelihara dan melayani kawanan domba Kristus, Petrus adalah seorang “Presbyter” (Penatua) yaitu gembala sidang. Gelar-jabatan penggembalaan yang mana adalah merupakan gelar-jabatan seorang gembala sidang dalam Gereja Orthodox dari jaman Rasuliah itu sendiri, dan sepanjang sejarah purba Gereja sampai kini. Seorang gembala sidang disebut sebagai “Presbyteros/Presbiter” atau “Penatua” karena memang ia dituakan sebagai “orang-tua rohani” atau “bapa” bagi umat yang dilayaninya. Itulah sebabnya seorang Presbiter disebut “Romo” (I Kor. 4:15), yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti “Bapak”.
Karena ia bukan bapak jasmani atau bapak kandung, maka istilah “Romo” digunakan agar tidak kacau dengan panggilan bapak bagi orang tua kandung. Demikian pula dalam bahasa Yunani Presbiter dipanggil “Pater” (“Bapak”) yang dibedakan dengan panggilan “Baba” (“Bapak”) untuk ayah kandung, atau bahasa Arab “Abuna” yang dibedakan dari “Abba” atau “Abbi”. Dan panggilan “Romo” atau “Pater” atau “Abuna” itu hanya dikenakan kepada orang yang telah menerima “Sakramen Imamat” dari seorang Uskup (Episkop) dan bukan yang lain. Ini terkait dengan ajaran Orthodox bahwa “Baptisan” adalah “Sakramen Kelahiran Kembali.” Berarti secara Sakramental Presbiter yang membaptiskan itu telah menjadi “bapa” atau menjadi “romo” bagi umat yang dilahirkannnya secara sakramental dalam baptisan itu. Karena secara ilahi Roh Kuduslah yang memberikan kelahiran baru dalam peristiwa Sakramen Baptisan yang dilakukan Presbiter itu. Oleh karena itu gelar panggilan ini, tidak berada dalam ”vakum” namun sarat dengan Theologi Orthodox yang mendalam.
Menjadi seorang gembala bukanlah suatu hak istimewa yang berlandaskan pada kebaikan seseorang, namun ini adalah suatu panggilan dan tugas pelayanan yang berlandaskan belas-kasihan dan kehendak Allah. Untuk itu seorang gembala, patut mengikuti ketetapan dan aturan dari Tuhan yang memanggilnya, yaitu Sang Kristus, dan meneladani kegembalaanNya didalam melaksanakan tugas panggilannya. Karena Kristuslah “Sang Gembala Agung” (I Pet. 5:4) dan “Sang Gembala Yang Baik” (Yohanes 10: 11) itu. Dialah prototype dari setiap gembala yang melaksanakan kehendak dan panggilanNya itu. Ini penting sekali kita perhatikan, karena tidak semuanya yang berada dekat dengan “kawanan domba Allah” dan menampakkan diri sebagai gembala, itu pastilah seorang gembala. Sang Kristus mengajarkan setidak-tidaknya ada tiga jenis manusia yang berada dekat dengan “kawanan domba” dan menampakkan diri seolah-olah adalah gembala ini, yaitu “pencuri” dan “perampok” (Yohanes 10: 1), “orang asing” (Yohanes 10:5), serta “gembala domba”(Yohanes 10:2), “penjaga pintu kandang” (Yohanes 10:3). Dan Rasul Paulus menambahkan bahwa ditengah-tengah jemaat ini ada orang yang menampakkan diri sebagai gembala namun nyatanya adalah “serigala-serigala yang ganas” (Kisah 20: 29), dan “pengajar-pengajar palsu” (Kisah 20:30).
Untuk mengerti lebih jelas makna dari pengajaran Junjungan Agung kita ini, sebaiknya kita melihat terlebih dahulu bagaimana keberadaan kandang domba di Palestina pada Zaman Purba itu. Berternak adalah merupakan mata-pencarian yang banyak dilakukan orang kebanayakan di Israel pada jaman purba, karena ketandusan dari tanah di Timur Tengah ini. Gembala harus selalu menuntun kawanan domba yang digembalakannya menuju ke tempat-tempat dimana ada rumput dan air ” ….gembalaku… membimbing aku di padang yang berumput hijau, …membimbing aku ke air yang tenang…” (Mazmur 23:2).Bahkan sampai ke daerah-daerah yang sepi dan jauh. Padahal di tempat-tempat seperti itu banyak sekali serigala yang lapar dan mencari makan, serta siap untuk menerkam domba-domba yang dapat dijumpainya, terutama kalau mereka harus berjalan ditengah malam yang kelam, di bukit-bukit atau dilembah-lembah. Untuk itulah gembala itu akan membawa senjata berupa tongkat dan gada untuk mengusir atau melawan serigala-serigala ganas tadi. Disinilah domba itu menjadi aman dan tenang dan tidak takut apa-apa ”Sekalipun Aku berjalan dalam lembah kekelaman aku tidak takut bahaya…..gadaMu dan tongkatMu, itulah yang menghibur aku” (Mazmur 23:4). Setelah sampai pada tempat yang berair dan berumput hijau, maka gembala akan tinggal disitu selama beberapa hari, minggu, bahkan beberapa bulan serta akan membangun kandang yang terbuat dari batu dalam bentuk tembok tinggi berkeliling dengan satu pintu ada di depan. Pintu itu di ditutup pada waktu malam dan gembala sendiri atau orang lain akan menjaga domba-dombanya di depan pintu itu {“Untuk dia (gembala) penjaga membuka pintu…” – Yohanes 10:3a}.
Gembala itu akan memanggil domba-dombanya satu persatu, dan mungkin domba-dombanya itu diberi nama masing-masing, lalu dituntun keluar dari kandang. Ia berjalan di depan kawanan domba itu, dengan kawanan domba itu mengikuti dibelakangnya ke tempat yang berumput hijau dan berair (Yohanes 10:3-4). Setelah mengerti keberadaan para gembala di zaman Sang Kristus itu, marilah kita memahami bagaimana ciri-ciri dari “gembala-gembala palsu yang buas dan jahat” itu agar kita tidak terjatuh pada jebakan Si Jahat dalam tugas pelayanan kita semua, agar kita dapat menjadi gembala yang benar untuk menggembalakan “kawanan domba “ atau “domba-domba” Allah ini.
1.“Pencuri” dan “Perampok” (Yohanes 10: 1)
Dalam pengajaranNya mengenai Gembala yang baik, Sang Kristus mengatakan: ”…siapa yang masuk ke dalam kandang domba dengan tidak melalui pintu, tetapi dengan memanjat tembok, ia adalah seorang pencuri dan perampok” (Yohanes 10:1). Padahal Sang Kristus bersabda: ”…Akulah pintu ke domba-domba itu “ (Yohanes 10:7). Ini berarti bahwa orang ini masuk kedalam pelayanan bukan dengan motivasi yang tulus. Ia ingin mendapatkan hasil dari kawanan domba tetapi tanpa mau bertanggung-jawab untuk menjaga, untuk menuntun, untuk memelihara, maupun untuk memberikan makanan kepada domba itu. Inilah jenis gembala yang hanya ingin mendapatkan untung dari umat yang lugu dan percaya saja apa yang dikatakannya. Karena ia memang bukan gembala, namun pencuri dan merampok. Ia ingin mencuri keuntungan dan merampok nyawa umat dengan ketamakannya. Karena memang ia tidak melayani demi Kristus namun demi dirinya sendiri.
Ia tidak melalui pintu, yaitu Kristus, namun memanjat tembok dengan mengendap-endap, inilah niat tersembunyi yang jahat penuh ketamakan.Padahal Rasul Petrus mengingatkan kepada para gembala yang benar bahwa dalam menggembalakan “jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri” (I Pet. 5:2), Namun karena orang semacam ini adalah “pencuri dan perampok”, justru tujuannya adalah untuk mencari keuntungan, dan bukan pengabdian diri. Karena memang umat Kristen sangat mudah dibohongi dengan dalil kasih atau kerelaan memberi, atau ditakut-takuti dengan hukum persepuluhan, atau tidak akan diberkati kalau tak memberi pada orang semacam ini. Padahal Rasul Petrus justru menyatakan bahwa yang demikian ini adalah “guru palsu”. Hal ini dinyatakan oleh Rasul Petrus demikian: ”Dan karena serakahnya guru-guru palsu akan berusaha mencari untung dari kamu dengan ceritera-ceritera isapan jempol mereka. Tetapi untuk perbuatan mereka itu hukuman telah lama tersedia dan kebinasaan tidak akan tertunda” (II Pet. 2:3). Inilah ciri pencuri dan perampok dalam kawanan domba Kristus itu. Hanya keuntungan saja yang ia pikirkan. Ia akan mengarang banyak cerita isapan jempol, dan setiap hari memikirkan bagaimana dengan ceritera-ceritera orang tetap terikat kepadanya, dengan demikian tetap meberikan uang padanya. Tak perduli itu ceritera benar atau tidak, isapan jempolpun jadi, kesaksian-kesaksian buatanpun boleh, asal umat terpukau dan terpesona pada dirinya, sehingga uang membanjir padanya. Sebab ia memang bukan untuk mengabdi namun untuk mencuri dan merampok, serta mencari keuntungan saja. Semoga kita dijauhkan Tuhan dari jatuh pada niatan yang jahat seperti ini.
2.“Orang asing” (Yohanes 10:5)
Yang kedua setelah pencuri dan perampok dalam kalangan kawananm domba Allah, adalah “orang asing”. Menurut Sang Kristus ciri dari “orang asing” ini adalah demikian: ”Tetapi seorang asing pasti tidak mereka ikuti, malah mereka lari dari padanya, karena suara orang-orang asing tidak mereka kenal” (Yohanes 10:5). Sabda Sang Kristus ini sebenarnya adalah suatu kontras dengan ayat sebelumnya mengenai gembala yang benar. Dengan dikontraskan sedemikian ini maka kita dapat memngerti ciri-ciri dari “orang asing ini”. Untuk itu marilah kita baca Yohanes 10:5 ini dalam kaitannya dengan ayat diatasnya ” …yang masuk melalui pintu adalah gembala domba. Untuk dia penjaga membuka pintu dan domba-domba mendengarkan suaranya dan ia memanggil domba-dombanya masing-masing menurut namanya dan menuntunnya keluar. Jika semua dombanya telah dibawa keluar, ia berjalan di depan mereka dan domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka mengenal suaranya. Tetapi seorang asing pasti tidak mereka ikuti, malah mereka lari dari padanya, karena suara orang-orang asing tidak mereka kenal” (Yohanes 10:2-4).
Dengan demikian yang dimaksud dengan orang asing adalah mereka yang berlawanan sifatnya dengan gembala yang benar. Itu berarti mereka tidak “lewat pintu” sama seperti “pencuri dan perampok”. Ia tidak kenal nama masing-masing dari domba-domba itu. Ini berarti ia tidak mengenal kepribadian masing-masing domba, tidak perduli dan tak ada kaitan secara pribadi, ia tak tertarik pada permasalahan pribadi maupun perkembangan rohani dari domba-domba itu. Ia tidak menuntun domba-domba itu keluar dari kebodohan dan kegelapan mereka, karena ia hanya tertarik pada upah saja, bukan pada memberikan makanan yang benar. Ia hanya seorang buruh upahan saja. Asal dapat uang, dapat persembahan, selesailah sudah. Dengan isapan jempol juga okey, asal dapat upah. Ia tidak perlu berada dalam keadaan yang bagaimana secara rohani si domba itu. Ia tidak perduli apakah domba-domba itu dalam bahaya atau tidak, karena ia memang tidak berjalan di depan domba-domba itu. Ia memang bukan gembala, ia hanya orang asing yang sewaktu-waktu datang untuk dapat upah saja. Itulah sebabnya domba-domba itu tak mengikuti dia, ia memang tak dapat diikuti, tak dapat diteladani. Karena ia memang tidak datang ketengah kawanan domba untuk menjadi teladan, namun agar dapat keberuntungan dari domba-domba tadi, yang penting amplopnya.
Domba-domba itu tak sempat kenal kepada orang asing ini. Hidupnya tertutup bagi domba-domba itu, iapun tak mau tahu kebutuhan domba-domba itu. Tak ada persekutuan batin antara si orang asing ini dengan domba-domba, inilah para pelayan yang tanpa komitmen dan tanpa mau bertanggung jawab terhadap orang yang daripadanya ia mendapatkan keberuntungan. Jika hal-hal yang sedemikian ada pada diri kita, kita harus cepat mengubah niat dan komitmen kita kepada Allah di dalam Sang Kristus. Kita perlu segera bertobat, karena jika tidak ancaman Kitab Suci akan berlaku atas kita ”Tetapi untuk perbuatan mereka itu hukuman telah lama tersedia dan kebinasaan tidak akan tertunda” (II Pet. 2:3b).
3.“Serigala-serigala yang ganas” (Kisah 20: 29)
Kepada para Presbiter dari Miletus Rasul Paulus mengatakan ”Aku tahu, bahwa sesudah aku pergi, serigala-serigala yang ganas akan masuk ketengah-tengah kamu dan tidak akan menyayangkan kawanan itu” (Kisah 20: 29). Mengenai hal yang sama ini Sang Kristus mengajarkan ”Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka…. Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di Sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi namaMu, dan mengusir setan demi namaMu, dan mengadakan banyak mukjizat demi namaMu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari padaKu kamu sekalian pembuat kejahatan” (Matius 7:15-23). Apa yang disebut sebagai “serigala yang ganas” oleh Rasul Paulus itu disebut sebagai “serigala yang buas” oleh Sang Kristus, dan mereka ini tak lain adalah “nabi-nabi palsu”.
Ciri-ciri dari nabi-nabi palsu ini adalah“masuk ketengah-tengah kamu”. Mereka datang dari luar yaitu membawa ide-ide dan pemahaman yang asing dari ajaran Gereja, hanya demi untuk tampil beda saja. Mereka biasanya merasa lebih tahu tentang kebenaran, dan menganggap dirinya mendapatkan ilham dan pengertian khusus yang tidak dimengerti oleh mereka yang berada di dalam Gereja Kristus. Namun mereka ingin merealisaikan dirinya justru di dalam kawanan domba Allah, Gereja Kristus itu. Itulah sebabnya sejak zaman purba Gereja Orthodox melalui konsili-konsilinya telah melawan nabi-nabi palsu semacam ini. Karena Gereja Kristuslah yang menjadi sasaran penyebaran dan pekerjaan jahat para nabi palsu ini. Itulah sebabnya mereka ini disebut ““masuk ketengah-tengah kamu” Ciri selanjutnya dari serigala-serigala ini adalah “tidak akan menyayangkan kawanan itu.” Karena memang ia merasa bahwa Gereja Kristus itu dalam kesesatan, danm idenya sendiri yang benar, maka ia tak segan-segan bikin onar dan bikin kacau ditengah-tengah Gereja Kristus. Ia adalah orang yang egois, ia tidak menyayangkan kawanan domba Kristus. Karena memang kasih-sayang bukanlah misinya. Kecongkakan dan keangkuhan diri sendiri itulah yang menjadi sikap pokoknya. Namun tentu saja egoisme, niatan jahat, dan keangkuan ini tidak secara terang-terangan dikatakan pada orang, karena memang ciri dari nabi-nabi palsu itu adalah ”menyamar seperti domba”. Orang akan terkecoh akan penampilan secara lahiriah dari serigala-seriga jahat yang berkeliaran dalam Gereja Kristus itu. Ia akan menampakkan diri sebagai orang yang penuh kasih-sayang, penuh kerendahan-hati, berbicara dengan lemah-lembut.
Pendek kata demi menjebak umat yang tulus mempercayainya, ia akan berbuat apa saja yang membuat orang akan terkecoh, karena ia memang datang dengan penampakan seperti domba. Padahal kebanyakan orang semacam, hatinya penuh ketamakan, keserakahan, dan sering bersifat kejam, bengis dan culas. Itulah sebabnya Kitab Suci menjuluki mereka sebagai “ganas” dan “buas.” Ia tak segan-segan menghabisi karir orang yang telah bekerja untuk dia dan telah berjasa membantunya, jika ia merasa bahwa orang ini telah menghalang-halangi niatnya atau jika ia telah berani menentang dirinya. Ia memang orang kejam dan bengis, karena ia orang buas dan ganas, tetapi berpura-pura sebagai orang arif, orang rohani, orang bijak, orang yang lemah lembut dan rendah hati. Namun waktu juga yang akan membongkar kedok orang semacam ini. Tentu saja, serigala-serigala yang ganas dan buas karena bekerjanya ditengah-tengah kawanan domba, dia dalam Gereja Kristus, dia akan menampilkan diri sebagai orang rohani “yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan!”, demikian sabda Sang Kristus. Ia mengucapkan hal-hal yang rohani hanya demi untuk menarik orang yang percaya dan mengikut kepadanya karena tertarik pada ceritera-ceritera isapan jempolnya, tetapi tingkah lakunya bertentangan ucapan mulutnya itu. Ia berbicara hal-hal rohani dan mengucapkan hal-hal rohani, namun tidak memiliki standar etika dan moral yang jelas. Di belakang umat dan tanpa sepengetahuan umat ia melanggar semua hukum ilahi, pendek kata ia “ tidak melakukan kehendak Bapa”.
Orang-orang inilah penyebab skandal dalam banyak pelayanan Kristiani masa lalu dan masa kini. Disamping bersembunyi dibalik bulu domba ajaran-ajaran rohani dan tingkah laku yang dibuat-buat untuk menarik orang, orang awam juga akan terkecoh oleh serigala-serigala ini karena mereka juga dikarunia secara cuma-cuma oleh Allah dengan macam-macam karunia Roh Kudus seperti “bernubuat”,“mengusir setan”, serta ”mengadakan banyak mukjizat”. Namun pada hakekatnya orang semacam ini bukanlah hamba Kristus namun hamba dari hawa-nafsunya sendiri, ia baru sadar ketika di akhir zaman nanti Sang Kristus akan mengatakan ”Aku tidak pernah mengenal kamu’ Karena semua yang dilakukan dalam segala penyamarannya, kekejamannya, kemunafikannya, dan kebohongannya membuat dia digolongkan dalam kelas para “pembuat kejahatan.” Itulah sebanya kita harus betul-betul mawas diri untuk melihat sedalam-dalamnya kepada hati-nurani dan kalbu kita sendiri yang paling dalam, agar kita bukan termasuk dalam golongan serigala-serigala yang ganas dan buas yaitu golongan para nabi palsu ini, dalam pelayanan kita.
4.“Pengajar-pengajar palsu” (Kisah 20:30)
Disamping adanya serigala-serigala ganas, namun yang menyamar seperti domba, yaitu nabi-nabi palsu, Gereja Kristus diganggu juga dengan guru-guru palsu, seperti yang dikatakan “Bahkan dari antara kamu sendiri akan muncul beberapa orang, yang dengan ajaran palsu mereka berusaha menarik murid-murid dari jalan yang benar dan supaya mengikut mereka”. Rasul Petrus juga menegaskan tentang akan munculnya guru-guru palsu ini, sebagaimana yang dikatakan ”Sebagaimana nabi-nabi palsu dahulu tampil di tengah-tengah umat Allah, demikian pula di antara kamu akan ada guru-guru palsu. Mereka akan memasukkan pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan, bahkan mereka akan menyangkal Penguasa yang telah menebus mereka dan dengan jalan demikian segera mendatangkan kebinasaan atas diri mereka. Banyak orang akan mengikut cara hidup mereka yang dikuasai hawa-nafsu, dan karena mereka Jalan Kebenaran akan dihujat. Dan karena serakahnya guru-guru palsu itu akan berusaha mencari untung dari kamu dengan ceritera-ceritera isapan jempol mereka, Tetapi untuk perbuatan mereka itu hukuman telah lama tersedia dan kebinasaan m ereka tidak akan ditunda” (II Pet. 2:1-3). Yang mewmbuat kita harus ekstra peduli dalam pelayanan kita adalah karena guru palsu itu tidak mudah dideteksi, sebab mereka “dari antara kamu sendiri akan muncul”nya. Dan bahkan mendapatkan tempat yang terhormat, karena sudah terlanjur dianggap sebagai pengkhotbah ulung. Orang tidak sadar bahwa yang dikhotbahkan adalah “ajaran palsu” serta dengan sangat pandai dan liciknya, tanpa disadari oleh para pendengarnya yang sudah terlanjur percaya orang-orang semacam ini akan “memasukkan pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan“. Ini mungkin dilakukan karena umat Kristiani sudah tidak terbiasa berpikir secara Theologis lagi. Umat Kristiani sudah tidak perduli lagi pada kebenaran, yang dicari adalah hiburan, asalkan suatu khotbah dapat memberikan tertawa dan janji yang muluk-muluk, serta membuat hati ini sejahtera ia sudah gembira dan senang, dan itulah yang dianggap penting. Hedonisme rohani semacam itulah bahaya yang sedang kita hadapi dalam Kekristenan modern saat ini. Dan inilah yang dimanfaatkan oleh guru-guru palsu, siapapun orangnya.
Itulah sebabnya mudah menjamurnya orang-orang semacam ini, dari yang masih samar-samar dan masih bergerak ditengah-tengah umat Kristiani sampai yang betul-betul sesat seperti munculnya “Gereja Setan” yang terkenal itu, yang betul-betul “menyangkal Penguasa yang telah menebus mereka" sebagaimana yang disinyalir oleh Rasul Petrus dalam kutipan kita diatas. Guru-guru palsu semacam ini mempunyai tekad yang kuat untuk “menarik murid-murid dari jalan yang benar” untuk mengikuti ajarannya, bukan untuk tujuan lain kecuali agar murid-murid itu “mengikut mereka.” Karena diri mereka sendirilah yang menjadi pusat perhatian dari orang semacam ini. Bukan Kristus, bukan Gereja, bukan umat Allah, bukan Injil, bukan apapun yang dianggap suci. Egonya dan dirinyalah itulah yang penting, maka makin banyak orang mengikut membuat bangga dirinya, dan makin membengkak ego dan kecongkakan dirinya. Bahkan dengan manipulasi psikologis tertentu, dengan inovasi-inovasi tertentu, ia berusaha membuat orang bergantung dan terikat sepenuhnya kepada dirinya, tak perduli itu bersifat etis atau tidak, benar ataupun tidak. Dan akibat dari manipulasi tadi “Banyak orang akan mengikut” guru-guru palsu ini. Sebagaimana dengan para nabi palsu dan perampok serta pencuri yang telah kita bicarakan diatas, manipulasi yang dilakukan guru-guru palsu ini terhadap umat yang mempercayainya adalah “dengan ceritera-ceritera isapan jempol” melalui khotbah-khotbah atau pembicaraan-pembicaraan dan pengajaran-pengajaran yang menggunakan metode-metode kejiwaan atau trik-trik psikologis yang telah dipelajarinya sebelumnya.
Namun sama seperti para gembala palsu lainnya guru-guru palsu ini pada realita yang sesungguhnya mereka hanya peduli dengan “cara hidup mereka yang dikuasai hawa-nafsu.” Itulah sebabnya kita tak usah heran mendengarkan betapa seringnya kita mendengar skandal-skandal yang menyangkut nama-nama pengkhotbah terkenal, baik di luar negeri maupun di Indonesia ini sendiri. Karena menurut Kitab Suci gaya hidup yang diikuti oleh orang-orang semacam ini adalah gaya hidup atau “jalan yang ditempuh Kain dan karena mereka, oleh sebab upah, menceburkan diri ke dalam kesesatan Bileam, dan mereka binasa karena kedurhakaan seperti Korah” (Yudas 1:11). Gaya hidup Kain adalah gaya hidup tidak taat, memberontak, dengki, kekerasan, menolak bertanggung-jawab atas kesalahan sendiri, dan tanpa kasih sayang. Kesesatan Bileam adalah karena “serakahnya” sehingga hanya upah atau keuntungan materi dan uang saja yang dikejar, sehingga dengan segala cara mereka akan “berusaha mencari untung dari kamu” dan seperti Korah yang menghasut umat Israel untuk mempertanyakan kedudukan Musa dan Harun, sehingga timbul pemberontakan. Demikianlah mereka inipun ingin menduduki tempat yang seharusnya bukan tempatnya, yaitu berdalih pelayanan namun yang dicari keuntungan, karena ini dianggap cara yang paling mudah untuk menjadi kaya. Padahal pelayanan itu landasannya haruslah pengabdian, dan bukan sebagai lahan untuk mencari lapangan kerja. Itulah sebabnya kita harus lebih berhati-hati agar jangan sampai hukuman menimpa kita, jika motivasi dan niatan kita sudah tidak benar lagi dihadapan Allah di dalam kita melayani. Adalah sangat baik sekali kita mengingat apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus ”Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasai seluruhnya, SUPAYA SESUDAH MEMBERITAKAN INJIL KEPADA ORANG LAIN, JANGAN AKU SENDIRI DITOLAK” (I Kor.9:27)
5. ”Penjaga pintu kandang” (Yohanes 10:3)
Selanjutnya dari golongan orang yang berada dekat dengan kawanan domba ini adalah “penjaga pintu kandang”. Mengenai orang semacam ini Sang Kristus mengatakan ”…yang masuk melalui pintu adalah gembala domba. Untuk dia penjaga membuka pintu….” (Yohanes 10:3). Ini menunjukkan bahwa orang semacam ini biarpun ada dalam kandang domba, bahkan berada di pintu kandang domba itu, namun ia tidak mempedulikan domba-domba yang ada di sekitarnya. Ia tidak membawa mereka keluar, tidak membimbing mereka, tidak memberi mereka makan, tidak menegenal dan memanggil domba-domba itu masing-masing dengan namanya. Ia memang tak berbuat jahat namun ia tak berbuat sesuatu yang positif juga bagi domba-domba itu. Ia hanya menunggu orang lain yang melakukan, pekerjaannya hanya rutin untuk membuka dan menutup pintu saja. Ini adalah gambaran dari orang yang sudah berada dalam lingkup pelayanan bagi domba-domba Kristus, namun tidak memiliki inisiatif, tidak memiliki gairah, ia hanya melihat saja ketika orang lain melakukan. Yang penting pekerjaan rutinnya telah dilakukan, dan tiap bulannya nanti mendapat upah. Inilah orang yang pasif dan yang malas, berada dalam lingkup pelayanan gereja, melihat ada domba-domba yang membutuhkan pemeliharaan, memperhatikan ada gembala yang secara aktif, innovatif, dan penuh gairah memperhatikan dan mempedulikan domba-domba, itupun tak menggerakkan hatinya untuk melakukan hal yang lebih dari sekedar melakukan pekerjaan yang rutin yang ia lakukan. Orang semacam ini akan tersisih dan lama-lama ditinggalkan orang, karena domba-domba itu tidak mengenalnya, dan ia tidak mengenal domba-domba itu, meskipun ia berada dalam kandang domba. Tentu saja secara tepat orang ini tak dapat disebut sebagai gembala, namun hanya sebagai penjaga pintu saja, ia seorang penunggu yang pasif, bukan seorang gembala, apalagi gembala yang baik.
6. ”Orang Upahan” (Yohanes 10: 12:13)
Yang terakhir dari golongan orang yang dekat domba itu adalah orang upahan. Mengenai jenis orang semacam ini Sang Kristus mengajarkan demikian ”…seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu.” (Yohanes 10: 12-13), Dari semua gembala palsu yang sudah kita pelajari selama ini secra menonjol dibuktikan bahwa uang yang menjadi tujuan mereka. Jadi benar yang dikatakan oleh Kitab Suci bahwa uang sering telah menjadi motivasi utama manusia melakukan suatu pekerjaan. Bahkan tidak ketinggalan banyak orang yang memanfaatkan pelayanan Injil ini untuk menjadi lahan mencari uang ini. Kitab Suci menyebut orang Farisi, para ulama Yahudi itu, sebagai “hamba-hamba uang” (Lukas 16:14), dan mengatakan juga bahwa pada akhir jaman manusia akan “ menjadi hamba uang” (II Tim 3:2). Jika tokoh agama di jaman purba itu dapat jatuh menjadi hamba uang, dan akhir zaman itu ditandai oleh manusia-manusia yang menjadi hamba uang, jelas bukan tidak mungkin bahwa banyak diantara kitapun dapat terjebak kepada motivasi memperkaya diri, motivasi untuk makin menumpuk kekayaan dalam kedok pelayan yang kita lakukan. Jika demikian halnya, pastilah kita gembala sebagaimana yang dimaksud Kristus. Kita adalah orang upahan sejauh uang itu yang kita harapkan. Jadi biarpun kita sibuk melayani kesana kemari, biarpun kita sibuk dengan khotbah dimana-mana bahkan sampai keluar negeri, dalam kriteria Sang Kristus kita digolongkan sebagai “bukan gembala” namun hanya sebagai orang yang ingin mengejar upah saja. Itulah sebabnya ia dicirikan sebagai “bukan pemilik domba-domba”.
Ia adalah semacam pengkotbah liar, penginjil “free-lance” dalam arti yang negatif. Ia merasa tidak terikat dengan jemaat manapun, sehingga ia tidak harus ikut memikul tanggung-jawab menggembalakan domba-domba itu. Ia tidak mau merasakan sakitnya berinteraksi dengan jemaat dalam usaha untuk menuntun mereka ke dalam kedewasaan melalui pergumulan-pergumulan hidup mereka. Sebab ia menang bukan pemilik domba itu. Itulah sebabnya “ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari”. Ia sudah datang ke suatu jemaat hanya untuk “jual suara” atau memberikan “ceritera-ceritera isapan jempol” belaka, setelah uang diterima menyingkirlah ia. Jadi tak peduli jemaat itu mengalami persolan atau tidak, ia merasa itu bukan urusannya. Ia lari dari “serigala” yang mendatangi domba-domba itu. Ia lari dari tanggung jawab untuk melindungi umat dari bahaya. Karena bukan itu yang menjadi motivasi pelayannya. Iapun menutup mata ketika ”serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu”. Ia tidak peduli kalau setelah ditinggalkan jemaat itu rusak, atau mengalami kehancuran, asalkan upah telah didapat. Orang-orang semacam ini harus dihentikan dari usahanya mengharu-biru dan merusak Gereja. Karena Rasul Paulus juga menasihatkan ”…saudara-saudara, supaya kamu waspada terhadap mereka, yang bertentangan dengan pengajaran yang telah kamu terima, menimbulkan perpecahan dan godaan. Sebab itu hindarilah mereka! Sebab orang-orang demikian tidak melayani Kristus, Tuhan kita, tetapi melayani perut mereka sendiri. Dan dengan kata-kata mereka yang muluk-muluk dan bahasa mereka yang manis mereka menipu orang-orang yang tuluis hatinya.” (Roma 16:17-18) Kata-kata muluk-muluk , bahasa yang manusia itulah cara mereka menampilkan diri ditengah-tengah umat yang tulus hatinya. Namun itu semua adalah tipu daya saja, agar perut mereka jadi penuh. Karena “perut”, dan bukan Kristus itulah yang dilayani oleh para buruh upahan ini. Namun dampaknya, bukan saja mereka lari ketika serigala datang, ternyata mereka sendiri itu dapat jadi serigala yang “menimbulkan perpecahan dan godaan”. Dan jika itu telah terjadi tak sedikitpun ia mau menoleh ke belakang untuk memperhatikan apa yang telah terjadi, lalu menyesali perbuatannya, karena memang ia “tidak memperhatikan domba-domba itu”, namun memperhatikan perutnya sndiri saja, dan bagaimana dengan kata-kata yang muluk-muluk dan bahasa manis ia dapat mendapatkan uang yang banyak. Untuk orang-orang semacam ini, Kitab Suci menjatuhkan kutukan dengan sabdanya ”Celakalah mereka,…. karena mereka oleh sebab upah, menceburkan diri ke dalam, kesesatan Bileam….” (Yudas 1:11). Semoga kita dijauhkan Allah dari kesesatan Bileam ini, yang demi upah dan demi uang melanggar dan melalaikan firman Tuhan, serta menjual firman itu demi kepentingan kita sendiri. Agar dalam melayani kita tidak jatuh pada kutuk yang diucapkan Kitab Suci ini.
7. Gembala Yang Baik
Setelah mempelajari mengenai ciri-ciri gembala yang palsu dan gembala yang pasif, saatnya kita berbicara mengenai bagaimana seharusnya menjadi gembala yang baik itu, agar kita dapat melaksanakan panggilan tugas pelayanan kita untuk menggembalakan domba-domba Kristus itu. Teladan tunggal bagi pelayanan kita sebagai gembala itu tentu saja “sang Gembala Agung” dan “Sang Gembala Yang Baik”: Tuhan Yesus Kristus sendiri. Untuk itu marilah kita pelajari apa yang diajarkan Kitab Suci mengenai hal itu. Di dalam Sabda Sang Kristus yang telah kita kutip diatas dari Yohanes 10:2-4, ada beberapa unsur tentang karya gembala yang berpolakan kegembalaan Kristus yang patut kita pelajari. Unsur-unsur itu adalah:
a. Masuk Melalui Pintu
Bertentangan secara menyolok antara gembala yang palsu dan gembala yang benar adalah cara mereka masuk ke dalam kawanan domba. Gembala palsu masuk dengan cara memanjat tembok, yaitu memaksakan kehendak sendiri, tanpa melalui saluran yang sebenarnya, tidak perduli benar atau tidak, melanggar aturan atau tidak, haknya tau bukan haknya, diterjang saja, asal ia dapat mendapatkan keuntungan dari apa yang dilakukan itu. Namun gembala yang benar selalu masuk melalui pintu. Dan pintu menuju ke kawanan domba itu adalah Kristus sendiri, sebagaimana yang Beliau sabdakan ”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Akulah pintu ke domba-domba itu….Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput” (Yohanes 10:7,9). Ini berarti bahwa jika seseorang ingin melaksanakan karya sebagai gembala bagi kawanan domba Allah, ia melakukannya itu melalui saluran yang seharusnya. Pertama ia harus tahu bahwa memang ia mendapatkan panggilan untuk pelayanan itu dengan segala tugas dan jawab serta pengabdian yang harus dipikulnya. Dalam konteks Gereja Orthodox itu berarti seseorang harus mendapat surat rekomendasi dari Presbiter setempat kepada Episkop. Dan ia harus mendapatkan pentahbisan secara sah oleh Episkop (Kisah 14:23). Karena melalui pentahbisan inilah seseorang “ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik (Episkopos = Episkop=Uskup) untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperolehnya dengan darah AnakNya sendiri” (Kisah 20:28).
Memang pada zaman Gereja awal antara Penatua (Presbiter: Kisah 20:17) dan Penilik/Pengawas Jemaat (Episkop: Kisah 20:28) itu belum dibedakan dalam jabatannya. Itulah sebabnya ayat ini mengatakan bahwa para penatua (presbiter) dari Miletus itu ditetapkan sebagai penilik/episkop oleh Roh Kudus. Inilah pintunya bagi seseorang untuk menjadi gembala dari kawanan domba itu. Dalam pentahbisan itu seseorang dimanunggalkan secara misteri dengan karya keimaman Kristus, sehingga secara khusus ia menjalankan karya keimaman dan kegembalaan Kristus itu ditengah-tengah umatnya. Inilah pintu yang harus dilewati itu. Selanjutnya dalam mengajar ia harus tetap mengajarkan apa yang tidak ”bertentangan dengan pengajaran yang telah kamu terima “ (Roma 16:17), yaitu dengan pengajaran kebenaran yang diterima oleh Gereja dari para rasul, artinya dengan kebenaran Kristus itu sendiri. Itulah sebabnya di dalam Gereja Orthodox, pada saat seseorang ditahbiskan ia membacakan surat janji dan pertanggung-jawaban bahwa ia akan mengajarkan hanya apa yang telah secara berabad-abad dipelihara oleh Gereja sebagaimana yang terdapat dalam Alkitab sejak zaman, dan bukan pengajarannya sendiri. Itulah pintu pengajaran Kristus itu. Gembala juga harus melewati pintu Kristus dalam arti hidupnya harus merupakan gambaran dari hidup Kristus sendiri, dengan jalan selalu “jaga diri” (Kisah 20: 19) dari terjatuh kepada ajaran-ajaran sesat, dalam kehidupan doa yang khusyuk berkesinambungan dan mendalam, dalam puasa, dalam mentaati segenap perintah Allah, dan menjauhi apa yang dilarangnya. Dalam menjaga akhlak Kristiani yang benar, dalam kesucian, dan dalam pencapaian tujuan panggilan pelayanannya. Seorang harus memiliki spiritualitas yang mendalam dalam pemanunggalannya dengan Kristus, sebab jika ia tak memilikinya maka ia tak akan mampu memberikan apapun pada domba-dombanya sebagaimana yang seharusnya. Itulah pintu Kristus yang dilewati setiap orang yang ingin menjadi gembala yang baik.
b. Memanggil Domba-Dombanya Menurut Namanya
Syarat yang selanjutnya bagi seorang gembala yang baik haruslah mengenal anggota-anggota umat yang dipercayakan kepadanya dengan baik. Ini bermakna bahwa serorang gembala haruslah mengetahui situasi umatnya satu persatu, dan menjadi orang tua bagi umatnya. Ia perlu menyediakan waktu untuk memberikan konseling dan nasihat kepada umatnya itu. Ia tidak boleh pilih kasih, dengan yang mengutamakan umatnya yang kaya saja dengan harapan untuk mendapatkan sesuatu daripadanya. Ia harus “memanggil” artinya memberikan sapaan kehidupan, beserta dengan umat itu ketika hidup sedang tidak bersahabat dengannya. Ia harus dapat mengetahui “nama” yaitu situasi dan keberadaan serta kepribadian dari masing-masing umatnya. Ia tidak bisa hanya datang berkhotbah sesudah itu tidak mengetahui apapun mengenai kehidupan umat itu. Ia harus rela menyediakan waktu bagi umatnya jika memang diperlukan. Ia harus memberi penghiburan manakala umat berada dalam kesusahan, himbauan manakala umat dalam putus asa, keyakinan manakala umat dalam keraguan. Pendek kata ia harus seperti apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam pelayanannya yang demikian ”Tetapi kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya. Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi. Sebab kamu masih ingat saudara-saudara, akan usaha dan jerih payah kami bekerja siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapapun diantara kamu, kami memberitakan Injil Allah kepada kamu. Kamu adalah saksi, demikian juga Allah, betapa saleh, adil dan tak bercacatnya kami berlaku diantara kamu, yang percaya. Kamu tahu, betapa kami, seperti bapa terhadap anak-anaknya telah menasihati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang…” (II Tesalonika 1: 7-11).
Demikianlah gambaran gembala yang baik bagi umatnya itu. Ia adalah seorang ibu dalam mengasuh dan merawat, ia adalah seorang ayah dalam dalam menasehati dang menguatkan. Ia tidak menganggap jemaat itu hanya dengan angka bulat sebagai suatu jumlah saja, namun ia peduli terhadap mereka “seorang demi seorang”. Ia menyediakan waktu bagi mereka, atau kalau tidak mungkin, ia menyediakan suatu tim yang dapat berfungsi melayani umat secara “seorang demi seorang” ini. Ia berlaku ramah terhadap dombanya, bukan bengis, selalu cemberut dan suka marah terhadap mereka. Ia mempunyai kasih dan kasih-sayang yang amat besar kepada umatnya, dan secara pribadi ia adalah seorang yang saleh, adil serta tak bercacat. Dengan cara sentuhan kehidupan seorang gembala yang demikian iniah maka ia dapat dikatakan sebagai gembala yang memanggil sdomba-domba itu dengan namanya masing-masing. Ia tidak hidup dari domba-dombanya dengan memanipulasi mereka untuk kepentingannya sendiri, namun ia hidup bagi domba-dombanya dan membagi hidupnya ini bagi domba-dombanya. Ia tidak ingin menjadi beban secara finansial juga jika mungkin dari domba-dombanya itu.
c. Menuntunnya Keluar
Seorang gembala yang baik adalah dia yang menuntun domba-dombanya keluar dimana ada makanan “rumput hijau” dan “air yang melimpah”. Rumput sebagai makanan dari domba adalah lambang makanan rohani yang menyegarkan. Itulah kebenaran ilahi dan firman kebenaran yang diajarkan oleh gembala kepada domba-dombanya. Ia menuntun domba-domba itu agar mencari kebenaran itu, dan agar ada rasa lapar bagi kebenaran itu, dan adalah tugas seorang gembala untuk mengenyangkan domba-dombanya. Itulah sebabnya gembala itu adalah juga seorang pengajar, yang diberikan di dalam Gereja bagi memperlengkapi orang-orang kudus, agar mereka mencapai kepenuhan Kristus (Efesus 4:11-13). Gembala juga harus menuntun domba-dombanya untuk mencari air yang melimpah, yaitu lambang dari hadirat Roh Kudus, melalui daya kuasaNya yang menghidupkan. Umat dituntun agar dapat mengalami air sorgawi ini, melalui ibadah, sakramen dan kehidupan doa. Demikianlah Firman dan Sakramen ini adalah tujuan yang kearahnya Gembala harus menuntun domba-dombanya yang ada dalam kandang itu. Ia harus mengeluarkan domba itu dari kepengapan dosa dan egoisme kepada kesegaran kehijauan dan keluasan rumput kebenaran dan rahmat ilahi.
Karena inilah tugas panggilan seorang Gembala, maka ia harus tak jemu-jemu melakukannya. Sehingga benar apa yang dikatakan oleh Rasul Petrus bahwa dalam melakukan tugasnya ini Gembala “jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah”. Karena memang tidak mudah untuk menuntun domba-domba tadi menuju kedewasaan dan kepenuhan Kristus itu. Namun justru Gembala yaitu Penatua (Presbiter) yang giat melaksanakan tugas ini serta berjerih payah melakukannya saja yang patut mendapat penghormatan dua kali lipat. Dikatakan dalam I Timotius 5:17 ”Penatua-penatua (Presbiter-Peresbiter) yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar” Berkhotbah dan mengajar dengan jerih-payah ini berarti berkhotbah dan mengajar dengan persiapan yang benar, dengan penyelidikan yang mendalam, dengan pengetahuan yang memadai, dan dengan presentasi yang jelas dan dapat diterima. Sehingga kebenaran itu dapat diterima secara benar oleh umat, dan umat dikenyangkan serta dipuaskan batinnya dari kedahagaan akan kebenaran itu.
d. Berjalan Didepan Mereka & Diikuti
Gembala yang baik adalah juga seseorang yang dijadikan teladan dan panutan. Karena ia memang secara moral dan rohani harus berjalan di depan domba-dombanya, serta domba-dombanya itu akan mengikuti dari belakang. Memang mengikuti pemimpin itulah sifatnya umat. Dan meneladani Gembala itulah sifatnya domba. Sehingga jika gembalanya bertingkah laku yang dipenuhi hawa-nafsu umatnyapun akan demikian, dan jika gembalanya hidup dalam kekudusan itu pula yang akan dipancarkan kepada umat dan diteladani umat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul Petrus mengenai guru-guru palsu yang dipenuhi hawa-nafsu itu ”Banyak orang akan mengikut cara hidup mereka yang dikuasai hawa-nafsu” dalam II Petrus 2 yang telah kita kutip diatas. Karena ia harus menjadi panutan maka gembala harus betul menjadi bapak yang harus diikuti dalam kasih, bukan sebagai bos yang memerintah dari tempat tinggi, sebagaimana dikatakan Rasul Petrus mengenai sikap gembala kepada umatnya ”Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.” Apa yang kita khotbahkan itu pula yang harus kita usahakan untuk kita lakukan. Kalau kita mengajar umat berpuasa, kita harus terlebih dahulu melakukan itu. Kalau kita mengajar umat untuk memberi persepuluhan, maka kita juga harus rela memberikan persepuluhan, kalau kita mengajar umat berdoa, kita terlebih dahulu harus menjadi manusia yang berjiwa pendoa. Kalau kita mengajar kekudusan kita pula harus belajar untuk mengejar kekudusan itu. Sehingga dengan demikian gembala betul-betul menjadi “teladan bagi kawanan domba itu”. Gembala tidak bisa melakukan domba-domba sebagai bawahannya yang bisa diperintah semaunya, dan diperas kekayaannya kapan saja dia mau. Ia memang tak boleh berbuat seperti itu. Namun ia terlebih dahulu memberikan contoh hidup yang benar, karena tingkah laku kita berbicara lebih keras daripada apa yang kita khotbahkan. Dalam segala hal yang baik dan bajik gembala harus berjalan di depan. Ialah yang harus memberikan inisiatif dalam kegiatan kehidupan Gerejanya, dan domba-domba akan mengikutinya. Gembala yang baik tidak akan rela duduk bermalas-malas seperti pegawai kantor yang hanya menunggu gaji bulanan saja. Ia harus menetapkan visi dan misi dari pelayanan Gereja dimana ia menggembalakan demi kemajuannya. Ia tak bisa menunggu-nunggu umat yang harus mengingatkannya terlebih dahulu, sebab jika demikian umat yang akan memimpin Gereja, dan Gembala itu akan tersingkir.
Visi dan misi yang di-inisiatifkan Gembala itu memang harus diinformasikan kepada umat, dan bersama dengan umat Gembala akan menjalankan visi dan misinya itu. Dengan demikian Gembala akan betul-betul berjalan di depan, dan domba-domba mengikutinya. Semoga kita dapat menjadi gembala yang kreatif, berinisiatif, dan dapat diteladani.
e. Mereka Mengenal Suaranya
Seorang Gembala yang baik adalah Gembala yang dikenal suaranya oleh domba-dombanya. Ini bermakna bahwa suara kehidupannya itu diketahui oleh umat. Ia tidak memiliki agenda tersembunyi yang tidak dimengerti umatnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul Paulus ”…kami menolak segala perbuiatan tersembunyi yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah. Sebaliknya kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang dihadapan Allah” (II Kor. 4:2). Hidup Gembala harus menolak menyembunyikan sesuatu yang buruk, yang tidak dikenal umat. Umat harus tahu betul gaung kehidupan atau suara pemikiran dan gaya hidup Gembala, sehingga mereka tidak terjebak atau tertipu oleh “perbuatan tersembunyi yang memalukan” dari Gembala itu. Artinya Gembala harus rela untuk “menyatakan kebenaran” demi untuk kebenaran itu. Tidak ada motif-motif lain yang bersifat licik terdapat di dalam hatinya. Ini hanya mungkin kalau Gembala itu bersikap jujur apa adanya sehingga hidupnya begitu transparan memancarkan spiritualitas yang dalam, dan kesalehan yang khusyuk, serta standar moral yang tinggi.
Dengan demikian orang betul-betul mengenal Gembala itu sebagai apa adanya. Dengan begitu bersama Rasul Paulus ia dapat mengatakan “kami menyerahkan diri kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang” Gembala yang demikian inilah yang dapat dikatakan “suaranya” dikenal oleh domba-dombanya. Dengan demikian domba-domba akan tenang dalam jaminan bahwa mereka tidak akan jadi korban agenda tersembunyi serta kebohongamn Gembala yang memalsukan firman Allah, di dalam niatan-niatan licik dari hati yang tidak tulus. Kiranya kita layak menjadi Gembala yang transparan, tulus, dan terbuka, sehingga domba-domba dapat mengenal suara dan gaung kehidupan kita dalam diri mereka.
f. Memberikan Nyawanya Bagi Domba-Domba (Yohanes 10:11)
Ciri selanjutnya dari seorang Gembala yang baik adalah memberikan nyawanya bagi domba-dombanya. Suatu ilustrasi yang baik dari seorang Gembala yang baik yang memberikan nyawanya bagi domba-dombanya adalah kisah Aghios (Orang Kudus) Polykarpus, yang dapat ditemukan dalam khasanah Kumpulan Kisah-Kisah Orang-Orang Kudus dan Sejarah Gereja Orthodox. Aghios Polykarpus adalah seorang Episkop-Presbiter dari Smirna yang hidup pada abad kedua dalam Sejarah Gereja Orthodox. Ia pernah mengenal Rasul Yohanes ketika masih hidup, Namanya disebut Polykarpus artinya “Banyak Buah”, karena mukjizat hujan turun setelah kemarau panjang, yang mengakibatkan tanam-tanaman berbuah lebat akibat doanya. Dengan mukjizat itu ia mempertobatkan banyak penyembah berhala kepada Kristus. Lama ia menjadi Presbiter-Episkop di Smirna ini, sampai akhirnya muncul penganiayaan dari Kekaisaran Romawi terhadap para pemimpin Kristen.
Polykarpus telah mendapat sasmita dari Tuhan dengan mimpi bantalnya terbakar. Ketika hal itu diceritakan kepada asistennya, mereka bertanya akan maknanya. Polykarpus memberitahu mereka bahwa ia akan mati sahid demi umat Kristen dengan jalan dibakar. Umatnya khawatir akan keselamatan Romonya ini, dan memohon dengan sangat agar ia mengungsi jauh dari Paroikia (jemaat) dimana ia melayani, pertama kalinya Aghios Polykarpus menolak, namun akhirnya ia rela juga untuk menyelamatkan diri pindah ke tempat lain diikuti oleh salah seorang Diakon yang membantunya. Memang benar pemerintah setempat telah memerintahkan serombongan prajurit Romawi yang bersenjata lengkap yang dipimpin oleh seorang Jendral bernama Herodes untuk mencari Aghios Polykarpus. Sesampai di rumahnya yang dijumpai hanya asistennya saja, setelah dianiaya si asisten itu lalu mengaku dimana Aghios Polykarpus berada, karena ia memang tak punya semangat menjadi martir. Ketika bertemu Aghios Polykarpus, Jendral Herodes terkejut melihat orang tua yang kudus dan saleh ini. Karena ia menyangkan bahwa ia akan menangkap seorang penjahat yang kejam dan bengis. Ia menyesal bahwa ia telah datang untuk menangkap manusia tua yang suci dan saleh seperti ini. Aghios Polykarpus tak takut sedikitpun akan kedatangan rombongan prajurit bersenjata lengkap ini. Malah ia mempersilahkan mereka masuk ke rumah dan dijamu dengan makanan, sementara ia meminta waktu untuk sembahyang. Selama dua jam ia berdoa bagi domba-dombanya, dan termasuk berdoa bagi Jendral Herodes dan para prajuritnya yang sedang dijamu makan. Ini membuat Jendral Herodes makin merasa bersalah dan menyesal telah datang untuk menangkap orang semacam ini. Polykarpus dibujuk agar menyangkal Kristus saja namun Polykarpus menolak. Terpaksa ia ditangkap dibawa ke kantor Gubernuran untuk diadili.
Sepanjang perjalanan Herodes berusaha meyakinkan Polykarpus untuk menyangkal Kristus namun selalu ditolak. Akhirnya terpaksa Aghios Polykarpus diadili dan dijatuhi hukuman mati dengan dibakar. Namun sesuatu yang ajaib terjadi, api sama sekali tidak mau menyentuh tubuh renta dari Aghios Polykarpus ini. Api hanya membentuk lengkungan yang melingkari tubuh Aghios Polykarpus tetapi sama sekali tak menyentuhnya. Jengkel atas peristiwa ini maka hakim memerintahkan tubuh Aghios Polykarpus ditombak. Barulah darah menyembur, dan suatu penglihatan aneh terjadi, dimana ada serupa burung merpati putih keluar dari dada Polykarpus dan bau wangi menyebar ke seluruh lapangan. Baru tubuh Polykarpus rebah terbakar. Inilah contoh Gembala sejati yang demi domba-dombanya rela memberikan diri sebagai martir. Aghios Polykarpus adalah contoh kongkrit dari Gembala yang rela menyerahkan nyawanya demi domba-dombanya, bagi melawan serigala-serigala ganas yang menyerang kawanan domba itu. Orang-orang semacam ini banyak sekali dijumpai dalam Sejarah Gereja Orthodox. Polykarpus adalah teladan Gembala yang mengikuti ajaran Rasul Petrus secara literal, dimana ia melayani Kristus demi domba-dombaNya bukan ”karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri.”
Pengabdian diri yang tulus dan rela seperti Aghios Polykarpus inilah yang dituntut bagi seorang Gembala yang baik. Ia selalu berjaga-jaga bagi domba-dombanya dan bagi dirinya sendiri, serta tak henti-hentinya menasihati, mengajar, menguatkan, dan berkhotbah kepada umatnya dengan segala derita dan air mata, sebagaimana yang dikatakan Rasul Paulus kepada para Penatua (Presbiter) dari Miletus yang telah kita kutip diatas "Sebab itu berjaga-jagalah dan ingatlah, bahwa tiga tahun lamanya, siang malam, derngan tiada henti-hentinya menasihati kamu masing-masing dengan mencucurkan air mata” Masih adakah diantara kita Gembala-Gembala yang mempunyai jiwa pengabdian diri setinggi itu, yang bukan saja rela membagikan hidup bagi domba-dombanya, namun juga rela secara literal mencurahkan darah guna memberikan nyawanya bagi domba-dombanya. Ini semua terpulang kepada diri kita masing-masing untuk menjawab dan menanggapi tugas panggilan kita secara lebih serius lagi.
g. Saling Mengenal (Yohaes 10:14-15)
Hubungan antara Gembala dan umatnya, adalah hubungan yang bersifat eksistensial. Pengenalan antara gembala dan domba-dombanya, serta domba-domba dan gembalanya, dikatakan Sang Kristus sebagai “sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa” (Yohanes 10:15). Dan saling kenal antara Bapa (Allah Yang Esa) dan Anak (Firman Allah sendiri) itu terjadi secara kekal dalam kasih ”…Engkau (Bapa = Allah Yang Esa) telah mengasihi Aku (Anak=Firman Allah), sebelum dunia dijadikan” (Yohanes 17: 24).Sehingga tidak ada yang mengenal hubungan antara Allah yang Esa (Bapa) dengan FirmanNya sendiri itu, kecuali Allah dan FirmanNya sendiri. Ini dikatakan demikian oleh Sang Kristus ”…tidak ada seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak ada seorangpun mengenal Bapa selain Anak…” (Matius 11:27). Jika hubungan Kristus : Sang Gembala Agung itu dengan Domba-DombaNya (Gereja) itu adalah sama dengan hubunganNya sebagai Firman Allah dengan Bapa Yang maha Esa itu, berarti di dalam Gereja terdapat suatu hubungan ilahi, yang ada dalam Tritunggal Maha Kudus itu sendiri. Berarti Gereja bukanlah organisasai namun misteri hadirat hidup Allah sendiri di dalam dunia ini. Jika demikian hubungan yang ada antara Presbiter dan Domba-Dombanya adalah hubungan dalam hidup dan kasih ilahi ini. Terdapat suatu persekutuan hidup yang tak terpisahkan antara Gembala dengan Domba-Dombanya.
Gembala bukan hanya sekedar buruh upahan dari organisasi Gereja, namun ia adalah “Romo” dan domba-domba adalah “anak-anak rohani” baginya. Karena itu Gereja adalah “keluarga Allah” (I Tim. 3:15). Sehingga sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul Paulus, Gembala harus berfungsi sekaligus sebagai “ibu yang merawat dan mengasuh” serta “bapak yang menasihati dan menguatkan” anak-anaknya. Dengan demikian keperdulian seorang Gembala terhadap umatNya tidak boleh dikalahkan oleh keperduliannya terhadap keluarganya sendiri. Anak dan isteri tidak boleh menyita tugas kegembalaanya. Itulah sebabnya di dalam Gereja Orthodox ketika seseorang ditahbiskan Episkop sebagai Presbiter (Gembala), ia akan diarak oleh Episkop untuk mencium keempat ujung altar atau mezbah Perjamuan Kudus. Hal yang sama dilakukan oleh dua orang mempelai yang sedang menjalani upacara Sakramen Nikah Kudus. Ini menunjukkan bahwa ketika ditahbiskan itu seorang Presbiter telah dinikahkan kepada Gereja. Tanggung jawabnya kepada Gereja adalah sama derajatnya dengan tanggung jawabnya kepada anak isterinya, dan ini adalah tugas yang lebih berat lagi. Perhatian kepada anak-isteri tidak boleh mengalahkan pengabdiannya kepada Domba-Domba Kristus itu. Tanggung jawab terhadap domba-domba dan keterkaitannya secara erat itu terlihat juga dalam Sakramen Tahbisan Kudus Gereja Orthodox, dimana setelah selesai mencium keempat ujung Mezbah Perjamuan, maka orang yang ditahbiskan itu akan diajak menghadap umat dan diberi busana liturgis keimaman, sambil setiap kali mengenakan peranghkat jubah keimaman itu, Episkop berseru kepada umat yang hadir: ” Aksios!!!” (“Dia layak”), dan akan dijawab serentak oleh umat “Aksios!!” Dan seandainya ada diantara umat yang mengatakan “An-Aksios” (“Dia tidak layak!!!”) maka upacara pentahbisan akan dihentikan, dan penyelidikan dilakukan.
Jika memang orang yang ditahbis itu tidak layak karena tuduhan-tuduhan tindakan dosa yang tidak diakuinya, ia tak jadi ditahbis. Namun jika itu hanya karena kedengkian dan fitnah dari si pengucap, maka orang itu akan mendapat siasat dan sangsi Gereja sesuai yang ditetapkan dalam Hukum Kanon Gereja. Jadi kelayakan seseorang menjadi Gembala itu ditentukan juga oleh persetujuan serentak dari umat. Sehingga ia mempunyai perttanggungan jawab kepada umat disamping kepada Episkop yang mentahbiskannya dalam semua pelayanan yang ia hendak persembahkan. Dengan demikian ke-saling-terkait-an antara Gembala itu adalah sesuatu yang lebih dalam daripada sekedar dalam hubungan emosional dan sosial saja. Ini adalah keterkaitan secara Theologis dan secara misteri. Itulah sebabnya Gembala harus menuntun domba-dombanya untuk merealisasikan keterkaitan hidup dalam kasih ini di dalam jemaah yang dipimpinnya. Sehingga jika mampu apa yang dikatakan dalam Kitab Suci mengenai Gereja Purba itu dapat terlaksana: ”Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan bersama…tidak ada seorangpun yang berkekurangan diantara mereka” karena mereka mempersembahkan harta milik mereka kepada Gereja, yaitu kepada “romo-romo”Rasul, dan “dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya” (Kisah 4:32-35). Namun memang semangat semacam ini dalam Gereja Orthodox masih dipertahankan secara literal hanya di dalam biara-biara (monasteri-monasteri) saja. Kiranya keterkaitan hidup dalam kasih ini dapat mencirikan pelayanan kita semua.
h.Memikirkan Domba-Domba Lain Yang Masih Diluar Kandang (Yohanes 10:16)
Sang Kristus bersabda ”Ada lagi pada-Ku domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala” (Yohanes 10:16). Bagi Sang Kristus ini berarti umat non-Yahudi yang bukan dari kandang Israel, itu harus dibawa kepada iman kepada Gembala satu-satunya itu, dan menjadi satu kawanan dengan GerejaNya. Namun bagi Gembala Sidang ini berarti bahwa ia mempunyai kepedulian untuk memenangkan jiwa bagi mereka yang masih berada di luar kandang, dan masih belum menjadi satu kawanan, dan belum percaya kepada satu Gembala itu. Ini berarti bahwa pelayanan pertumbuhan dan pemeliharaan bagi mereka yang sudah ada di dalam Gereja tidak boleh mengesampingkan pelayanan misioner dari Gereja. Gereja ada di dunia adalah untuk memberitakan kasih Allah di dalam Kristus. Tugas sosial Gereja tidak boleh mengaburkan tugas Penginjilannya. Itulah sebabnya Gembala yang baik selalu akan memikirkan bagaimana cara membawa mereka yang diluar untuk percaya kepada Sang gembala Agung ini sehingga ia harus memobilisasi umatnya untuk melakukan tugas ini dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan Kitab Suci. Gembala Sidang yang sudah kehilangan semangat bersaksi, menginjil dan misioner, adalah Gembala Sidang yang telah kehilangan garam dalam pelayanannya. Itulah sebabnya Gembala Sidang harus melihat segala kesempatan untuk dapat memberitakan Injil dengan demikian mempertambah jumlah orang yang diselamatkan ke dalam Gereja Kristus. Demikianlah beberapa point yang dapat saya bagikan kepada saudara-saudara bagaimana seharusnya kita melayani Kristus sebagai gembala-gembala yang layak. Karena apapun yang akan kita lakukan demi Kristus itu tak akan pernah sia-sia. Apalagi Kitab Suci menjanjikan bahwa pelayanan kita ini dijanjikan “akan mendapat bagian dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak” dan jika kita dengan penuh pengabdian, ketulusan, dan kesungguhan kita melaksanakan tugas penggembalaan kita maka”apabila Gembala Agung datang, maka kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tak dapat layu” sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul Petrus dalam suratnya yang telah kita kutip diatas. Meskipun itu bukan tujuan kita dalam pelayanan kita namun itu akan memberikan kita dorongan dan insentif untuk kita lebih bersemangat lagi di dalam kita menggembalakan domba-domba Kristus. Semoga Tuhan menolong kita semua dan memberkati pelayanan kita. Amin.
Bapak-Bapak, Ibu-Ibu dan Saudara-saudari sekalian, Shalom Aleikhem Be Shem Ha-Massiah,
Dengan rasa menyesal saya meminta maaf, atas ketak-dapat-hadiran saya pada persekutuan bulanan kita kali ini, karena saya harus melakukan pelayanan di beberapa daerah di Sumatra, yang sudah dijadwal sebelum saya mendapatkan pemberitahuan atas pelayanan di hadapan saudara-saudara sekalian hari ini. Namun sesuai dengan yang diminta dari saya, saya tetap ingin membagikan beberapa pemikiran dari Kitab Suci kepada saudara-saudara sekalian mengenai kebenaran Sabda Ilahi.
Untuk itu saya ingin mengajak saudara-saudara sekalian membuka Kitab Suci yang tertulis dalam Kisah Rasul 20:17, 18a, 28-31 “Karena itu ia (Paulus) menyuruh seorang dari Miletus ke Efesus dengan pesan supaya para penatua (prebyteros, presbiter) jemaat datang ke Miletus. Sesudah mereka datang, berkatalah ia kepada mereka……(LANGSUNG KE AYAT 28-31) Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan , karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik (Episkopos = Episkop=Uskup) untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperolehnya dengan darah AnakNya sendiri. Aku tahu, bahwa sesudah aku pergi, serigala-serigala yang ganas akan masuk ketengah-tengah kamu dan tidak akan menyayangkan kawanan itu. Bahkan dari antara kamu sendiri akan muncul beberapa orang, yang dengan ajaran palsu mereka berusaha menarik murid-murid dari jalan yang benar dan supaya mengikut mereka. Sebab itu berjaga-jagalah dan ingatlah, bahwa tiga tahun lamanya, siang malam, dengan tiada henti-hentinya menasehati kamu masing-masing dengan mencucurkan air mata”.
Saudara-saudara sekalian dalam Kasih Sang Kristus Sesembahan kita, Sesudah KebangkitanNya dari antara orang mati, Junjungan kita Yang Maha Ilahi, Tuhan Yesus Kristus menampakkan Diri kepada Petrus yang sebelumnya telah menyangkali Gurunya. Ia memulihkan muridNya itu pada kedudukannya, dengan memberikan perintah dan tugas ”Gembalakanlah domba-dombaKu” (Yohanes 21:15-19). Dan Perintah Junjungan kita yang Agung kepada Petrus inilah yang juga akhirnya menjadi tugas dan pelayanan bagi semua yang dipanggil untuk melayani Sang Kristus. Perintah ini pula yang menjadi judul dari pembahasan kita pagi ini. Dan Petrus sendiri sesudah kembali kepada posisinya sebagai pelayan Sang Kristus mengatakan kepada sesama pelayan Kristus, yaitu para Penatua atau para Presbiter Gereja, demikian: ”Aku menasihatkan para penatua (presbyteros, prebyteros) di antara kamu, aku sebagai teman-penatua (sympresbyteros = sesama presbiter) dan saksi penderitaan Kristus, yang juga akan mendapat bagian dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak. Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu. Maka kamu apabila Gembala Agung datang, maka kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tak dapat layu” (I Petrus 5:1-4). Sebagai, seorang yang memberitakan Injil dan menyebarkan kebenaran Kristus serta Saksi Mata atas Penderitaan dan Kebangkitan Kristus, Petrus adalah seorang Rasul. Namun sebagai seorang yang memelihara dan melayani kawanan domba Kristus, Petrus adalah seorang “Presbyter” (Penatua) yaitu gembala sidang. Gelar-jabatan penggembalaan yang mana adalah merupakan gelar-jabatan seorang gembala sidang dalam Gereja Orthodox dari jaman Rasuliah itu sendiri, dan sepanjang sejarah purba Gereja sampai kini. Seorang gembala sidang disebut sebagai “Presbyteros/Presbiter” atau “Penatua” karena memang ia dituakan sebagai “orang-tua rohani” atau “bapa” bagi umat yang dilayaninya. Itulah sebabnya seorang Presbiter disebut “Romo” (I Kor. 4:15), yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti “Bapak”.
Karena ia bukan bapak jasmani atau bapak kandung, maka istilah “Romo” digunakan agar tidak kacau dengan panggilan bapak bagi orang tua kandung. Demikian pula dalam bahasa Yunani Presbiter dipanggil “Pater” (“Bapak”) yang dibedakan dengan panggilan “Baba” (“Bapak”) untuk ayah kandung, atau bahasa Arab “Abuna” yang dibedakan dari “Abba” atau “Abbi”. Dan panggilan “Romo” atau “Pater” atau “Abuna” itu hanya dikenakan kepada orang yang telah menerima “Sakramen Imamat” dari seorang Uskup (Episkop) dan bukan yang lain. Ini terkait dengan ajaran Orthodox bahwa “Baptisan” adalah “Sakramen Kelahiran Kembali.” Berarti secara Sakramental Presbiter yang membaptiskan itu telah menjadi “bapa” atau menjadi “romo” bagi umat yang dilahirkannnya secara sakramental dalam baptisan itu. Karena secara ilahi Roh Kuduslah yang memberikan kelahiran baru dalam peristiwa Sakramen Baptisan yang dilakukan Presbiter itu. Oleh karena itu gelar panggilan ini, tidak berada dalam ”vakum” namun sarat dengan Theologi Orthodox yang mendalam.
Menjadi seorang gembala bukanlah suatu hak istimewa yang berlandaskan pada kebaikan seseorang, namun ini adalah suatu panggilan dan tugas pelayanan yang berlandaskan belas-kasihan dan kehendak Allah. Untuk itu seorang gembala, patut mengikuti ketetapan dan aturan dari Tuhan yang memanggilnya, yaitu Sang Kristus, dan meneladani kegembalaanNya didalam melaksanakan tugas panggilannya. Karena Kristuslah “Sang Gembala Agung” (I Pet. 5:4) dan “Sang Gembala Yang Baik” (Yohanes 10: 11) itu. Dialah prototype dari setiap gembala yang melaksanakan kehendak dan panggilanNya itu. Ini penting sekali kita perhatikan, karena tidak semuanya yang berada dekat dengan “kawanan domba Allah” dan menampakkan diri sebagai gembala, itu pastilah seorang gembala. Sang Kristus mengajarkan setidak-tidaknya ada tiga jenis manusia yang berada dekat dengan “kawanan domba” dan menampakkan diri seolah-olah adalah gembala ini, yaitu “pencuri” dan “perampok” (Yohanes 10: 1), “orang asing” (Yohanes 10:5), serta “gembala domba”(Yohanes 10:2), “penjaga pintu kandang” (Yohanes 10:3). Dan Rasul Paulus menambahkan bahwa ditengah-tengah jemaat ini ada orang yang menampakkan diri sebagai gembala namun nyatanya adalah “serigala-serigala yang ganas” (Kisah 20: 29), dan “pengajar-pengajar palsu” (Kisah 20:30).
Untuk mengerti lebih jelas makna dari pengajaran Junjungan Agung kita ini, sebaiknya kita melihat terlebih dahulu bagaimana keberadaan kandang domba di Palestina pada Zaman Purba itu. Berternak adalah merupakan mata-pencarian yang banyak dilakukan orang kebanayakan di Israel pada jaman purba, karena ketandusan dari tanah di Timur Tengah ini. Gembala harus selalu menuntun kawanan domba yang digembalakannya menuju ke tempat-tempat dimana ada rumput dan air ” ….gembalaku… membimbing aku di padang yang berumput hijau, …membimbing aku ke air yang tenang…” (Mazmur 23:2).Bahkan sampai ke daerah-daerah yang sepi dan jauh. Padahal di tempat-tempat seperti itu banyak sekali serigala yang lapar dan mencari makan, serta siap untuk menerkam domba-domba yang dapat dijumpainya, terutama kalau mereka harus berjalan ditengah malam yang kelam, di bukit-bukit atau dilembah-lembah. Untuk itulah gembala itu akan membawa senjata berupa tongkat dan gada untuk mengusir atau melawan serigala-serigala ganas tadi. Disinilah domba itu menjadi aman dan tenang dan tidak takut apa-apa ”Sekalipun Aku berjalan dalam lembah kekelaman aku tidak takut bahaya…..gadaMu dan tongkatMu, itulah yang menghibur aku” (Mazmur 23:4). Setelah sampai pada tempat yang berair dan berumput hijau, maka gembala akan tinggal disitu selama beberapa hari, minggu, bahkan beberapa bulan serta akan membangun kandang yang terbuat dari batu dalam bentuk tembok tinggi berkeliling dengan satu pintu ada di depan. Pintu itu di ditutup pada waktu malam dan gembala sendiri atau orang lain akan menjaga domba-dombanya di depan pintu itu {“Untuk dia (gembala) penjaga membuka pintu…” – Yohanes 10:3a}.
Gembala itu akan memanggil domba-dombanya satu persatu, dan mungkin domba-dombanya itu diberi nama masing-masing, lalu dituntun keluar dari kandang. Ia berjalan di depan kawanan domba itu, dengan kawanan domba itu mengikuti dibelakangnya ke tempat yang berumput hijau dan berair (Yohanes 10:3-4). Setelah mengerti keberadaan para gembala di zaman Sang Kristus itu, marilah kita memahami bagaimana ciri-ciri dari “gembala-gembala palsu yang buas dan jahat” itu agar kita tidak terjatuh pada jebakan Si Jahat dalam tugas pelayanan kita semua, agar kita dapat menjadi gembala yang benar untuk menggembalakan “kawanan domba “ atau “domba-domba” Allah ini.
1.“Pencuri” dan “Perampok” (Yohanes 10: 1)
Dalam pengajaranNya mengenai Gembala yang baik, Sang Kristus mengatakan: ”…siapa yang masuk ke dalam kandang domba dengan tidak melalui pintu, tetapi dengan memanjat tembok, ia adalah seorang pencuri dan perampok” (Yohanes 10:1). Padahal Sang Kristus bersabda: ”…Akulah pintu ke domba-domba itu “ (Yohanes 10:7). Ini berarti bahwa orang ini masuk kedalam pelayanan bukan dengan motivasi yang tulus. Ia ingin mendapatkan hasil dari kawanan domba tetapi tanpa mau bertanggung-jawab untuk menjaga, untuk menuntun, untuk memelihara, maupun untuk memberikan makanan kepada domba itu. Inilah jenis gembala yang hanya ingin mendapatkan untung dari umat yang lugu dan percaya saja apa yang dikatakannya. Karena ia memang bukan gembala, namun pencuri dan merampok. Ia ingin mencuri keuntungan dan merampok nyawa umat dengan ketamakannya. Karena memang ia tidak melayani demi Kristus namun demi dirinya sendiri.
Ia tidak melalui pintu, yaitu Kristus, namun memanjat tembok dengan mengendap-endap, inilah niat tersembunyi yang jahat penuh ketamakan.Padahal Rasul Petrus mengingatkan kepada para gembala yang benar bahwa dalam menggembalakan “jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri” (I Pet. 5:2), Namun karena orang semacam ini adalah “pencuri dan perampok”, justru tujuannya adalah untuk mencari keuntungan, dan bukan pengabdian diri. Karena memang umat Kristen sangat mudah dibohongi dengan dalil kasih atau kerelaan memberi, atau ditakut-takuti dengan hukum persepuluhan, atau tidak akan diberkati kalau tak memberi pada orang semacam ini. Padahal Rasul Petrus justru menyatakan bahwa yang demikian ini adalah “guru palsu”. Hal ini dinyatakan oleh Rasul Petrus demikian: ”Dan karena serakahnya guru-guru palsu akan berusaha mencari untung dari kamu dengan ceritera-ceritera isapan jempol mereka. Tetapi untuk perbuatan mereka itu hukuman telah lama tersedia dan kebinasaan tidak akan tertunda” (II Pet. 2:3). Inilah ciri pencuri dan perampok dalam kawanan domba Kristus itu. Hanya keuntungan saja yang ia pikirkan. Ia akan mengarang banyak cerita isapan jempol, dan setiap hari memikirkan bagaimana dengan ceritera-ceritera orang tetap terikat kepadanya, dengan demikian tetap meberikan uang padanya. Tak perduli itu ceritera benar atau tidak, isapan jempolpun jadi, kesaksian-kesaksian buatanpun boleh, asal umat terpukau dan terpesona pada dirinya, sehingga uang membanjir padanya. Sebab ia memang bukan untuk mengabdi namun untuk mencuri dan merampok, serta mencari keuntungan saja. Semoga kita dijauhkan Tuhan dari jatuh pada niatan yang jahat seperti ini.
2.“Orang asing” (Yohanes 10:5)
Yang kedua setelah pencuri dan perampok dalam kalangan kawananm domba Allah, adalah “orang asing”. Menurut Sang Kristus ciri dari “orang asing” ini adalah demikian: ”Tetapi seorang asing pasti tidak mereka ikuti, malah mereka lari dari padanya, karena suara orang-orang asing tidak mereka kenal” (Yohanes 10:5). Sabda Sang Kristus ini sebenarnya adalah suatu kontras dengan ayat sebelumnya mengenai gembala yang benar. Dengan dikontraskan sedemikian ini maka kita dapat memngerti ciri-ciri dari “orang asing ini”. Untuk itu marilah kita baca Yohanes 10:5 ini dalam kaitannya dengan ayat diatasnya ” …yang masuk melalui pintu adalah gembala domba. Untuk dia penjaga membuka pintu dan domba-domba mendengarkan suaranya dan ia memanggil domba-dombanya masing-masing menurut namanya dan menuntunnya keluar. Jika semua dombanya telah dibawa keluar, ia berjalan di depan mereka dan domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka mengenal suaranya. Tetapi seorang asing pasti tidak mereka ikuti, malah mereka lari dari padanya, karena suara orang-orang asing tidak mereka kenal” (Yohanes 10:2-4).
Dengan demikian yang dimaksud dengan orang asing adalah mereka yang berlawanan sifatnya dengan gembala yang benar. Itu berarti mereka tidak “lewat pintu” sama seperti “pencuri dan perampok”. Ia tidak kenal nama masing-masing dari domba-domba itu. Ini berarti ia tidak mengenal kepribadian masing-masing domba, tidak perduli dan tak ada kaitan secara pribadi, ia tak tertarik pada permasalahan pribadi maupun perkembangan rohani dari domba-domba itu. Ia tidak menuntun domba-domba itu keluar dari kebodohan dan kegelapan mereka, karena ia hanya tertarik pada upah saja, bukan pada memberikan makanan yang benar. Ia hanya seorang buruh upahan saja. Asal dapat uang, dapat persembahan, selesailah sudah. Dengan isapan jempol juga okey, asal dapat upah. Ia tidak perlu berada dalam keadaan yang bagaimana secara rohani si domba itu. Ia tidak perduli apakah domba-domba itu dalam bahaya atau tidak, karena ia memang tidak berjalan di depan domba-domba itu. Ia memang bukan gembala, ia hanya orang asing yang sewaktu-waktu datang untuk dapat upah saja. Itulah sebabnya domba-domba itu tak mengikuti dia, ia memang tak dapat diikuti, tak dapat diteladani. Karena ia memang tidak datang ketengah kawanan domba untuk menjadi teladan, namun agar dapat keberuntungan dari domba-domba tadi, yang penting amplopnya.
Domba-domba itu tak sempat kenal kepada orang asing ini. Hidupnya tertutup bagi domba-domba itu, iapun tak mau tahu kebutuhan domba-domba itu. Tak ada persekutuan batin antara si orang asing ini dengan domba-domba, inilah para pelayan yang tanpa komitmen dan tanpa mau bertanggung jawab terhadap orang yang daripadanya ia mendapatkan keberuntungan. Jika hal-hal yang sedemikian ada pada diri kita, kita harus cepat mengubah niat dan komitmen kita kepada Allah di dalam Sang Kristus. Kita perlu segera bertobat, karena jika tidak ancaman Kitab Suci akan berlaku atas kita ”Tetapi untuk perbuatan mereka itu hukuman telah lama tersedia dan kebinasaan tidak akan tertunda” (II Pet. 2:3b).
3.“Serigala-serigala yang ganas” (Kisah 20: 29)
Kepada para Presbiter dari Miletus Rasul Paulus mengatakan ”Aku tahu, bahwa sesudah aku pergi, serigala-serigala yang ganas akan masuk ketengah-tengah kamu dan tidak akan menyayangkan kawanan itu” (Kisah 20: 29). Mengenai hal yang sama ini Sang Kristus mengajarkan ”Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka…. Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di Sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi namaMu, dan mengusir setan demi namaMu, dan mengadakan banyak mukjizat demi namaMu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari padaKu kamu sekalian pembuat kejahatan” (Matius 7:15-23). Apa yang disebut sebagai “serigala yang ganas” oleh Rasul Paulus itu disebut sebagai “serigala yang buas” oleh Sang Kristus, dan mereka ini tak lain adalah “nabi-nabi palsu”.
Ciri-ciri dari nabi-nabi palsu ini adalah“masuk ketengah-tengah kamu”. Mereka datang dari luar yaitu membawa ide-ide dan pemahaman yang asing dari ajaran Gereja, hanya demi untuk tampil beda saja. Mereka biasanya merasa lebih tahu tentang kebenaran, dan menganggap dirinya mendapatkan ilham dan pengertian khusus yang tidak dimengerti oleh mereka yang berada di dalam Gereja Kristus. Namun mereka ingin merealisaikan dirinya justru di dalam kawanan domba Allah, Gereja Kristus itu. Itulah sebabnya sejak zaman purba Gereja Orthodox melalui konsili-konsilinya telah melawan nabi-nabi palsu semacam ini. Karena Gereja Kristuslah yang menjadi sasaran penyebaran dan pekerjaan jahat para nabi palsu ini. Itulah sebabnya mereka ini disebut ““masuk ketengah-tengah kamu” Ciri selanjutnya dari serigala-serigala ini adalah “tidak akan menyayangkan kawanan itu.” Karena memang ia merasa bahwa Gereja Kristus itu dalam kesesatan, danm idenya sendiri yang benar, maka ia tak segan-segan bikin onar dan bikin kacau ditengah-tengah Gereja Kristus. Ia adalah orang yang egois, ia tidak menyayangkan kawanan domba Kristus. Karena memang kasih-sayang bukanlah misinya. Kecongkakan dan keangkuhan diri sendiri itulah yang menjadi sikap pokoknya. Namun tentu saja egoisme, niatan jahat, dan keangkuan ini tidak secara terang-terangan dikatakan pada orang, karena memang ciri dari nabi-nabi palsu itu adalah ”menyamar seperti domba”. Orang akan terkecoh akan penampilan secara lahiriah dari serigala-seriga jahat yang berkeliaran dalam Gereja Kristus itu. Ia akan menampakkan diri sebagai orang yang penuh kasih-sayang, penuh kerendahan-hati, berbicara dengan lemah-lembut.
Pendek kata demi menjebak umat yang tulus mempercayainya, ia akan berbuat apa saja yang membuat orang akan terkecoh, karena ia memang datang dengan penampakan seperti domba. Padahal kebanyakan orang semacam, hatinya penuh ketamakan, keserakahan, dan sering bersifat kejam, bengis dan culas. Itulah sebabnya Kitab Suci menjuluki mereka sebagai “ganas” dan “buas.” Ia tak segan-segan menghabisi karir orang yang telah bekerja untuk dia dan telah berjasa membantunya, jika ia merasa bahwa orang ini telah menghalang-halangi niatnya atau jika ia telah berani menentang dirinya. Ia memang orang kejam dan bengis, karena ia orang buas dan ganas, tetapi berpura-pura sebagai orang arif, orang rohani, orang bijak, orang yang lemah lembut dan rendah hati. Namun waktu juga yang akan membongkar kedok orang semacam ini. Tentu saja, serigala-serigala yang ganas dan buas karena bekerjanya ditengah-tengah kawanan domba, dia dalam Gereja Kristus, dia akan menampilkan diri sebagai orang rohani “yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan!”, demikian sabda Sang Kristus. Ia mengucapkan hal-hal yang rohani hanya demi untuk menarik orang yang percaya dan mengikut kepadanya karena tertarik pada ceritera-ceritera isapan jempolnya, tetapi tingkah lakunya bertentangan ucapan mulutnya itu. Ia berbicara hal-hal rohani dan mengucapkan hal-hal rohani, namun tidak memiliki standar etika dan moral yang jelas. Di belakang umat dan tanpa sepengetahuan umat ia melanggar semua hukum ilahi, pendek kata ia “ tidak melakukan kehendak Bapa”.
Orang-orang inilah penyebab skandal dalam banyak pelayanan Kristiani masa lalu dan masa kini. Disamping bersembunyi dibalik bulu domba ajaran-ajaran rohani dan tingkah laku yang dibuat-buat untuk menarik orang, orang awam juga akan terkecoh oleh serigala-serigala ini karena mereka juga dikarunia secara cuma-cuma oleh Allah dengan macam-macam karunia Roh Kudus seperti “bernubuat”,“mengusir setan”, serta ”mengadakan banyak mukjizat”. Namun pada hakekatnya orang semacam ini bukanlah hamba Kristus namun hamba dari hawa-nafsunya sendiri, ia baru sadar ketika di akhir zaman nanti Sang Kristus akan mengatakan ”Aku tidak pernah mengenal kamu’ Karena semua yang dilakukan dalam segala penyamarannya, kekejamannya, kemunafikannya, dan kebohongannya membuat dia digolongkan dalam kelas para “pembuat kejahatan.” Itulah sebanya kita harus betul-betul mawas diri untuk melihat sedalam-dalamnya kepada hati-nurani dan kalbu kita sendiri yang paling dalam, agar kita bukan termasuk dalam golongan serigala-serigala yang ganas dan buas yaitu golongan para nabi palsu ini, dalam pelayanan kita.
4.“Pengajar-pengajar palsu” (Kisah 20:30)
Disamping adanya serigala-serigala ganas, namun yang menyamar seperti domba, yaitu nabi-nabi palsu, Gereja Kristus diganggu juga dengan guru-guru palsu, seperti yang dikatakan “Bahkan dari antara kamu sendiri akan muncul beberapa orang, yang dengan ajaran palsu mereka berusaha menarik murid-murid dari jalan yang benar dan supaya mengikut mereka”. Rasul Petrus juga menegaskan tentang akan munculnya guru-guru palsu ini, sebagaimana yang dikatakan ”Sebagaimana nabi-nabi palsu dahulu tampil di tengah-tengah umat Allah, demikian pula di antara kamu akan ada guru-guru palsu. Mereka akan memasukkan pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan, bahkan mereka akan menyangkal Penguasa yang telah menebus mereka dan dengan jalan demikian segera mendatangkan kebinasaan atas diri mereka. Banyak orang akan mengikut cara hidup mereka yang dikuasai hawa-nafsu, dan karena mereka Jalan Kebenaran akan dihujat. Dan karena serakahnya guru-guru palsu itu akan berusaha mencari untung dari kamu dengan ceritera-ceritera isapan jempol mereka, Tetapi untuk perbuatan mereka itu hukuman telah lama tersedia dan kebinasaan m ereka tidak akan ditunda” (II Pet. 2:1-3). Yang mewmbuat kita harus ekstra peduli dalam pelayanan kita adalah karena guru palsu itu tidak mudah dideteksi, sebab mereka “dari antara kamu sendiri akan muncul”nya. Dan bahkan mendapatkan tempat yang terhormat, karena sudah terlanjur dianggap sebagai pengkhotbah ulung. Orang tidak sadar bahwa yang dikhotbahkan adalah “ajaran palsu” serta dengan sangat pandai dan liciknya, tanpa disadari oleh para pendengarnya yang sudah terlanjur percaya orang-orang semacam ini akan “memasukkan pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan“. Ini mungkin dilakukan karena umat Kristiani sudah tidak terbiasa berpikir secara Theologis lagi. Umat Kristiani sudah tidak perduli lagi pada kebenaran, yang dicari adalah hiburan, asalkan suatu khotbah dapat memberikan tertawa dan janji yang muluk-muluk, serta membuat hati ini sejahtera ia sudah gembira dan senang, dan itulah yang dianggap penting. Hedonisme rohani semacam itulah bahaya yang sedang kita hadapi dalam Kekristenan modern saat ini. Dan inilah yang dimanfaatkan oleh guru-guru palsu, siapapun orangnya.
Itulah sebabnya mudah menjamurnya orang-orang semacam ini, dari yang masih samar-samar dan masih bergerak ditengah-tengah umat Kristiani sampai yang betul-betul sesat seperti munculnya “Gereja Setan” yang terkenal itu, yang betul-betul “menyangkal Penguasa yang telah menebus mereka" sebagaimana yang disinyalir oleh Rasul Petrus dalam kutipan kita diatas. Guru-guru palsu semacam ini mempunyai tekad yang kuat untuk “menarik murid-murid dari jalan yang benar” untuk mengikuti ajarannya, bukan untuk tujuan lain kecuali agar murid-murid itu “mengikut mereka.” Karena diri mereka sendirilah yang menjadi pusat perhatian dari orang semacam ini. Bukan Kristus, bukan Gereja, bukan umat Allah, bukan Injil, bukan apapun yang dianggap suci. Egonya dan dirinyalah itulah yang penting, maka makin banyak orang mengikut membuat bangga dirinya, dan makin membengkak ego dan kecongkakan dirinya. Bahkan dengan manipulasi psikologis tertentu, dengan inovasi-inovasi tertentu, ia berusaha membuat orang bergantung dan terikat sepenuhnya kepada dirinya, tak perduli itu bersifat etis atau tidak, benar ataupun tidak. Dan akibat dari manipulasi tadi “Banyak orang akan mengikut” guru-guru palsu ini. Sebagaimana dengan para nabi palsu dan perampok serta pencuri yang telah kita bicarakan diatas, manipulasi yang dilakukan guru-guru palsu ini terhadap umat yang mempercayainya adalah “dengan ceritera-ceritera isapan jempol” melalui khotbah-khotbah atau pembicaraan-pembicaraan dan pengajaran-pengajaran yang menggunakan metode-metode kejiwaan atau trik-trik psikologis yang telah dipelajarinya sebelumnya.
Namun sama seperti para gembala palsu lainnya guru-guru palsu ini pada realita yang sesungguhnya mereka hanya peduli dengan “cara hidup mereka yang dikuasai hawa-nafsu.” Itulah sebabnya kita tak usah heran mendengarkan betapa seringnya kita mendengar skandal-skandal yang menyangkut nama-nama pengkhotbah terkenal, baik di luar negeri maupun di Indonesia ini sendiri. Karena menurut Kitab Suci gaya hidup yang diikuti oleh orang-orang semacam ini adalah gaya hidup atau “jalan yang ditempuh Kain dan karena mereka, oleh sebab upah, menceburkan diri ke dalam kesesatan Bileam, dan mereka binasa karena kedurhakaan seperti Korah” (Yudas 1:11). Gaya hidup Kain adalah gaya hidup tidak taat, memberontak, dengki, kekerasan, menolak bertanggung-jawab atas kesalahan sendiri, dan tanpa kasih sayang. Kesesatan Bileam adalah karena “serakahnya” sehingga hanya upah atau keuntungan materi dan uang saja yang dikejar, sehingga dengan segala cara mereka akan “berusaha mencari untung dari kamu” dan seperti Korah yang menghasut umat Israel untuk mempertanyakan kedudukan Musa dan Harun, sehingga timbul pemberontakan. Demikianlah mereka inipun ingin menduduki tempat yang seharusnya bukan tempatnya, yaitu berdalih pelayanan namun yang dicari keuntungan, karena ini dianggap cara yang paling mudah untuk menjadi kaya. Padahal pelayanan itu landasannya haruslah pengabdian, dan bukan sebagai lahan untuk mencari lapangan kerja. Itulah sebabnya kita harus lebih berhati-hati agar jangan sampai hukuman menimpa kita, jika motivasi dan niatan kita sudah tidak benar lagi dihadapan Allah di dalam kita melayani. Adalah sangat baik sekali kita mengingat apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus ”Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasai seluruhnya, SUPAYA SESUDAH MEMBERITAKAN INJIL KEPADA ORANG LAIN, JANGAN AKU SENDIRI DITOLAK” (I Kor.9:27)
5. ”Penjaga pintu kandang” (Yohanes 10:3)
Selanjutnya dari golongan orang yang berada dekat dengan kawanan domba ini adalah “penjaga pintu kandang”. Mengenai orang semacam ini Sang Kristus mengatakan ”…yang masuk melalui pintu adalah gembala domba. Untuk dia penjaga membuka pintu….” (Yohanes 10:3). Ini menunjukkan bahwa orang semacam ini biarpun ada dalam kandang domba, bahkan berada di pintu kandang domba itu, namun ia tidak mempedulikan domba-domba yang ada di sekitarnya. Ia tidak membawa mereka keluar, tidak membimbing mereka, tidak memberi mereka makan, tidak menegenal dan memanggil domba-domba itu masing-masing dengan namanya. Ia memang tak berbuat jahat namun ia tak berbuat sesuatu yang positif juga bagi domba-domba itu. Ia hanya menunggu orang lain yang melakukan, pekerjaannya hanya rutin untuk membuka dan menutup pintu saja. Ini adalah gambaran dari orang yang sudah berada dalam lingkup pelayanan bagi domba-domba Kristus, namun tidak memiliki inisiatif, tidak memiliki gairah, ia hanya melihat saja ketika orang lain melakukan. Yang penting pekerjaan rutinnya telah dilakukan, dan tiap bulannya nanti mendapat upah. Inilah orang yang pasif dan yang malas, berada dalam lingkup pelayanan gereja, melihat ada domba-domba yang membutuhkan pemeliharaan, memperhatikan ada gembala yang secara aktif, innovatif, dan penuh gairah memperhatikan dan mempedulikan domba-domba, itupun tak menggerakkan hatinya untuk melakukan hal yang lebih dari sekedar melakukan pekerjaan yang rutin yang ia lakukan. Orang semacam ini akan tersisih dan lama-lama ditinggalkan orang, karena domba-domba itu tidak mengenalnya, dan ia tidak mengenal domba-domba itu, meskipun ia berada dalam kandang domba. Tentu saja secara tepat orang ini tak dapat disebut sebagai gembala, namun hanya sebagai penjaga pintu saja, ia seorang penunggu yang pasif, bukan seorang gembala, apalagi gembala yang baik.
6. ”Orang Upahan” (Yohanes 10: 12:13)
Yang terakhir dari golongan orang yang dekat domba itu adalah orang upahan. Mengenai jenis orang semacam ini Sang Kristus mengajarkan demikian ”…seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu.” (Yohanes 10: 12-13), Dari semua gembala palsu yang sudah kita pelajari selama ini secra menonjol dibuktikan bahwa uang yang menjadi tujuan mereka. Jadi benar yang dikatakan oleh Kitab Suci bahwa uang sering telah menjadi motivasi utama manusia melakukan suatu pekerjaan. Bahkan tidak ketinggalan banyak orang yang memanfaatkan pelayanan Injil ini untuk menjadi lahan mencari uang ini. Kitab Suci menyebut orang Farisi, para ulama Yahudi itu, sebagai “hamba-hamba uang” (Lukas 16:14), dan mengatakan juga bahwa pada akhir jaman manusia akan “ menjadi hamba uang” (II Tim 3:2). Jika tokoh agama di jaman purba itu dapat jatuh menjadi hamba uang, dan akhir zaman itu ditandai oleh manusia-manusia yang menjadi hamba uang, jelas bukan tidak mungkin bahwa banyak diantara kitapun dapat terjebak kepada motivasi memperkaya diri, motivasi untuk makin menumpuk kekayaan dalam kedok pelayan yang kita lakukan. Jika demikian halnya, pastilah kita gembala sebagaimana yang dimaksud Kristus. Kita adalah orang upahan sejauh uang itu yang kita harapkan. Jadi biarpun kita sibuk melayani kesana kemari, biarpun kita sibuk dengan khotbah dimana-mana bahkan sampai keluar negeri, dalam kriteria Sang Kristus kita digolongkan sebagai “bukan gembala” namun hanya sebagai orang yang ingin mengejar upah saja. Itulah sebabnya ia dicirikan sebagai “bukan pemilik domba-domba”.
Ia adalah semacam pengkotbah liar, penginjil “free-lance” dalam arti yang negatif. Ia merasa tidak terikat dengan jemaat manapun, sehingga ia tidak harus ikut memikul tanggung-jawab menggembalakan domba-domba itu. Ia tidak mau merasakan sakitnya berinteraksi dengan jemaat dalam usaha untuk menuntun mereka ke dalam kedewasaan melalui pergumulan-pergumulan hidup mereka. Sebab ia menang bukan pemilik domba itu. Itulah sebabnya “ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari”. Ia sudah datang ke suatu jemaat hanya untuk “jual suara” atau memberikan “ceritera-ceritera isapan jempol” belaka, setelah uang diterima menyingkirlah ia. Jadi tak peduli jemaat itu mengalami persolan atau tidak, ia merasa itu bukan urusannya. Ia lari dari “serigala” yang mendatangi domba-domba itu. Ia lari dari tanggung jawab untuk melindungi umat dari bahaya. Karena bukan itu yang menjadi motivasi pelayannya. Iapun menutup mata ketika ”serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu”. Ia tidak peduli kalau setelah ditinggalkan jemaat itu rusak, atau mengalami kehancuran, asalkan upah telah didapat. Orang-orang semacam ini harus dihentikan dari usahanya mengharu-biru dan merusak Gereja. Karena Rasul Paulus juga menasihatkan ”…saudara-saudara, supaya kamu waspada terhadap mereka, yang bertentangan dengan pengajaran yang telah kamu terima, menimbulkan perpecahan dan godaan. Sebab itu hindarilah mereka! Sebab orang-orang demikian tidak melayani Kristus, Tuhan kita, tetapi melayani perut mereka sendiri. Dan dengan kata-kata mereka yang muluk-muluk dan bahasa mereka yang manis mereka menipu orang-orang yang tuluis hatinya.” (Roma 16:17-18) Kata-kata muluk-muluk , bahasa yang manusia itulah cara mereka menampilkan diri ditengah-tengah umat yang tulus hatinya. Namun itu semua adalah tipu daya saja, agar perut mereka jadi penuh. Karena “perut”, dan bukan Kristus itulah yang dilayani oleh para buruh upahan ini. Namun dampaknya, bukan saja mereka lari ketika serigala datang, ternyata mereka sendiri itu dapat jadi serigala yang “menimbulkan perpecahan dan godaan”. Dan jika itu telah terjadi tak sedikitpun ia mau menoleh ke belakang untuk memperhatikan apa yang telah terjadi, lalu menyesali perbuatannya, karena memang ia “tidak memperhatikan domba-domba itu”, namun memperhatikan perutnya sndiri saja, dan bagaimana dengan kata-kata yang muluk-muluk dan bahasa manis ia dapat mendapatkan uang yang banyak. Untuk orang-orang semacam ini, Kitab Suci menjatuhkan kutukan dengan sabdanya ”Celakalah mereka,…. karena mereka oleh sebab upah, menceburkan diri ke dalam, kesesatan Bileam….” (Yudas 1:11). Semoga kita dijauhkan Allah dari kesesatan Bileam ini, yang demi upah dan demi uang melanggar dan melalaikan firman Tuhan, serta menjual firman itu demi kepentingan kita sendiri. Agar dalam melayani kita tidak jatuh pada kutuk yang diucapkan Kitab Suci ini.
7. Gembala Yang Baik
Setelah mempelajari mengenai ciri-ciri gembala yang palsu dan gembala yang pasif, saatnya kita berbicara mengenai bagaimana seharusnya menjadi gembala yang baik itu, agar kita dapat melaksanakan panggilan tugas pelayanan kita untuk menggembalakan domba-domba Kristus itu. Teladan tunggal bagi pelayanan kita sebagai gembala itu tentu saja “sang Gembala Agung” dan “Sang Gembala Yang Baik”: Tuhan Yesus Kristus sendiri. Untuk itu marilah kita pelajari apa yang diajarkan Kitab Suci mengenai hal itu. Di dalam Sabda Sang Kristus yang telah kita kutip diatas dari Yohanes 10:2-4, ada beberapa unsur tentang karya gembala yang berpolakan kegembalaan Kristus yang patut kita pelajari. Unsur-unsur itu adalah:
a. Masuk Melalui Pintu
Bertentangan secara menyolok antara gembala yang palsu dan gembala yang benar adalah cara mereka masuk ke dalam kawanan domba. Gembala palsu masuk dengan cara memanjat tembok, yaitu memaksakan kehendak sendiri, tanpa melalui saluran yang sebenarnya, tidak perduli benar atau tidak, melanggar aturan atau tidak, haknya tau bukan haknya, diterjang saja, asal ia dapat mendapatkan keuntungan dari apa yang dilakukan itu. Namun gembala yang benar selalu masuk melalui pintu. Dan pintu menuju ke kawanan domba itu adalah Kristus sendiri, sebagaimana yang Beliau sabdakan ”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Akulah pintu ke domba-domba itu….Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput” (Yohanes 10:7,9). Ini berarti bahwa jika seseorang ingin melaksanakan karya sebagai gembala bagi kawanan domba Allah, ia melakukannya itu melalui saluran yang seharusnya. Pertama ia harus tahu bahwa memang ia mendapatkan panggilan untuk pelayanan itu dengan segala tugas dan jawab serta pengabdian yang harus dipikulnya. Dalam konteks Gereja Orthodox itu berarti seseorang harus mendapat surat rekomendasi dari Presbiter setempat kepada Episkop. Dan ia harus mendapatkan pentahbisan secara sah oleh Episkop (Kisah 14:23). Karena melalui pentahbisan inilah seseorang “ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik (Episkopos = Episkop=Uskup) untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperolehnya dengan darah AnakNya sendiri” (Kisah 20:28).
Memang pada zaman Gereja awal antara Penatua (Presbiter: Kisah 20:17) dan Penilik/Pengawas Jemaat (Episkop: Kisah 20:28) itu belum dibedakan dalam jabatannya. Itulah sebabnya ayat ini mengatakan bahwa para penatua (presbiter) dari Miletus itu ditetapkan sebagai penilik/episkop oleh Roh Kudus. Inilah pintunya bagi seseorang untuk menjadi gembala dari kawanan domba itu. Dalam pentahbisan itu seseorang dimanunggalkan secara misteri dengan karya keimaman Kristus, sehingga secara khusus ia menjalankan karya keimaman dan kegembalaan Kristus itu ditengah-tengah umatnya. Inilah pintu yang harus dilewati itu. Selanjutnya dalam mengajar ia harus tetap mengajarkan apa yang tidak ”bertentangan dengan pengajaran yang telah kamu terima “ (Roma 16:17), yaitu dengan pengajaran kebenaran yang diterima oleh Gereja dari para rasul, artinya dengan kebenaran Kristus itu sendiri. Itulah sebabnya di dalam Gereja Orthodox, pada saat seseorang ditahbiskan ia membacakan surat janji dan pertanggung-jawaban bahwa ia akan mengajarkan hanya apa yang telah secara berabad-abad dipelihara oleh Gereja sebagaimana yang terdapat dalam Alkitab sejak zaman, dan bukan pengajarannya sendiri. Itulah pintu pengajaran Kristus itu. Gembala juga harus melewati pintu Kristus dalam arti hidupnya harus merupakan gambaran dari hidup Kristus sendiri, dengan jalan selalu “jaga diri” (Kisah 20: 19) dari terjatuh kepada ajaran-ajaran sesat, dalam kehidupan doa yang khusyuk berkesinambungan dan mendalam, dalam puasa, dalam mentaati segenap perintah Allah, dan menjauhi apa yang dilarangnya. Dalam menjaga akhlak Kristiani yang benar, dalam kesucian, dan dalam pencapaian tujuan panggilan pelayanannya. Seorang harus memiliki spiritualitas yang mendalam dalam pemanunggalannya dengan Kristus, sebab jika ia tak memilikinya maka ia tak akan mampu memberikan apapun pada domba-dombanya sebagaimana yang seharusnya. Itulah pintu Kristus yang dilewati setiap orang yang ingin menjadi gembala yang baik.
b. Memanggil Domba-Dombanya Menurut Namanya
Syarat yang selanjutnya bagi seorang gembala yang baik haruslah mengenal anggota-anggota umat yang dipercayakan kepadanya dengan baik. Ini bermakna bahwa serorang gembala haruslah mengetahui situasi umatnya satu persatu, dan menjadi orang tua bagi umatnya. Ia perlu menyediakan waktu untuk memberikan konseling dan nasihat kepada umatnya itu. Ia tidak boleh pilih kasih, dengan yang mengutamakan umatnya yang kaya saja dengan harapan untuk mendapatkan sesuatu daripadanya. Ia harus “memanggil” artinya memberikan sapaan kehidupan, beserta dengan umat itu ketika hidup sedang tidak bersahabat dengannya. Ia harus dapat mengetahui “nama” yaitu situasi dan keberadaan serta kepribadian dari masing-masing umatnya. Ia tidak bisa hanya datang berkhotbah sesudah itu tidak mengetahui apapun mengenai kehidupan umat itu. Ia harus rela menyediakan waktu bagi umatnya jika memang diperlukan. Ia harus memberi penghiburan manakala umat berada dalam kesusahan, himbauan manakala umat dalam putus asa, keyakinan manakala umat dalam keraguan. Pendek kata ia harus seperti apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam pelayanannya yang demikian ”Tetapi kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya. Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi. Sebab kamu masih ingat saudara-saudara, akan usaha dan jerih payah kami bekerja siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapapun diantara kamu, kami memberitakan Injil Allah kepada kamu. Kamu adalah saksi, demikian juga Allah, betapa saleh, adil dan tak bercacatnya kami berlaku diantara kamu, yang percaya. Kamu tahu, betapa kami, seperti bapa terhadap anak-anaknya telah menasihati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang…” (II Tesalonika 1: 7-11).
Demikianlah gambaran gembala yang baik bagi umatnya itu. Ia adalah seorang ibu dalam mengasuh dan merawat, ia adalah seorang ayah dalam dalam menasehati dang menguatkan. Ia tidak menganggap jemaat itu hanya dengan angka bulat sebagai suatu jumlah saja, namun ia peduli terhadap mereka “seorang demi seorang”. Ia menyediakan waktu bagi mereka, atau kalau tidak mungkin, ia menyediakan suatu tim yang dapat berfungsi melayani umat secara “seorang demi seorang” ini. Ia berlaku ramah terhadap dombanya, bukan bengis, selalu cemberut dan suka marah terhadap mereka. Ia mempunyai kasih dan kasih-sayang yang amat besar kepada umatnya, dan secara pribadi ia adalah seorang yang saleh, adil serta tak bercacat. Dengan cara sentuhan kehidupan seorang gembala yang demikian iniah maka ia dapat dikatakan sebagai gembala yang memanggil sdomba-domba itu dengan namanya masing-masing. Ia tidak hidup dari domba-dombanya dengan memanipulasi mereka untuk kepentingannya sendiri, namun ia hidup bagi domba-dombanya dan membagi hidupnya ini bagi domba-dombanya. Ia tidak ingin menjadi beban secara finansial juga jika mungkin dari domba-dombanya itu.
c. Menuntunnya Keluar
Seorang gembala yang baik adalah dia yang menuntun domba-dombanya keluar dimana ada makanan “rumput hijau” dan “air yang melimpah”. Rumput sebagai makanan dari domba adalah lambang makanan rohani yang menyegarkan. Itulah kebenaran ilahi dan firman kebenaran yang diajarkan oleh gembala kepada domba-dombanya. Ia menuntun domba-domba itu agar mencari kebenaran itu, dan agar ada rasa lapar bagi kebenaran itu, dan adalah tugas seorang gembala untuk mengenyangkan domba-dombanya. Itulah sebabnya gembala itu adalah juga seorang pengajar, yang diberikan di dalam Gereja bagi memperlengkapi orang-orang kudus, agar mereka mencapai kepenuhan Kristus (Efesus 4:11-13). Gembala juga harus menuntun domba-dombanya untuk mencari air yang melimpah, yaitu lambang dari hadirat Roh Kudus, melalui daya kuasaNya yang menghidupkan. Umat dituntun agar dapat mengalami air sorgawi ini, melalui ibadah, sakramen dan kehidupan doa. Demikianlah Firman dan Sakramen ini adalah tujuan yang kearahnya Gembala harus menuntun domba-dombanya yang ada dalam kandang itu. Ia harus mengeluarkan domba itu dari kepengapan dosa dan egoisme kepada kesegaran kehijauan dan keluasan rumput kebenaran dan rahmat ilahi.
Karena inilah tugas panggilan seorang Gembala, maka ia harus tak jemu-jemu melakukannya. Sehingga benar apa yang dikatakan oleh Rasul Petrus bahwa dalam melakukan tugasnya ini Gembala “jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah”. Karena memang tidak mudah untuk menuntun domba-domba tadi menuju kedewasaan dan kepenuhan Kristus itu. Namun justru Gembala yaitu Penatua (Presbiter) yang giat melaksanakan tugas ini serta berjerih payah melakukannya saja yang patut mendapat penghormatan dua kali lipat. Dikatakan dalam I Timotius 5:17 ”Penatua-penatua (Presbiter-Peresbiter) yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar” Berkhotbah dan mengajar dengan jerih-payah ini berarti berkhotbah dan mengajar dengan persiapan yang benar, dengan penyelidikan yang mendalam, dengan pengetahuan yang memadai, dan dengan presentasi yang jelas dan dapat diterima. Sehingga kebenaran itu dapat diterima secara benar oleh umat, dan umat dikenyangkan serta dipuaskan batinnya dari kedahagaan akan kebenaran itu.
d. Berjalan Didepan Mereka & Diikuti
Gembala yang baik adalah juga seseorang yang dijadikan teladan dan panutan. Karena ia memang secara moral dan rohani harus berjalan di depan domba-dombanya, serta domba-dombanya itu akan mengikuti dari belakang. Memang mengikuti pemimpin itulah sifatnya umat. Dan meneladani Gembala itulah sifatnya domba. Sehingga jika gembalanya bertingkah laku yang dipenuhi hawa-nafsu umatnyapun akan demikian, dan jika gembalanya hidup dalam kekudusan itu pula yang akan dipancarkan kepada umat dan diteladani umat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul Petrus mengenai guru-guru palsu yang dipenuhi hawa-nafsu itu ”Banyak orang akan mengikut cara hidup mereka yang dikuasai hawa-nafsu” dalam II Petrus 2 yang telah kita kutip diatas. Karena ia harus menjadi panutan maka gembala harus betul menjadi bapak yang harus diikuti dalam kasih, bukan sebagai bos yang memerintah dari tempat tinggi, sebagaimana dikatakan Rasul Petrus mengenai sikap gembala kepada umatnya ”Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.” Apa yang kita khotbahkan itu pula yang harus kita usahakan untuk kita lakukan. Kalau kita mengajar umat berpuasa, kita harus terlebih dahulu melakukan itu. Kalau kita mengajar umat untuk memberi persepuluhan, maka kita juga harus rela memberikan persepuluhan, kalau kita mengajar umat berdoa, kita terlebih dahulu harus menjadi manusia yang berjiwa pendoa. Kalau kita mengajar kekudusan kita pula harus belajar untuk mengejar kekudusan itu. Sehingga dengan demikian gembala betul-betul menjadi “teladan bagi kawanan domba itu”. Gembala tidak bisa melakukan domba-domba sebagai bawahannya yang bisa diperintah semaunya, dan diperas kekayaannya kapan saja dia mau. Ia memang tak boleh berbuat seperti itu. Namun ia terlebih dahulu memberikan contoh hidup yang benar, karena tingkah laku kita berbicara lebih keras daripada apa yang kita khotbahkan. Dalam segala hal yang baik dan bajik gembala harus berjalan di depan. Ialah yang harus memberikan inisiatif dalam kegiatan kehidupan Gerejanya, dan domba-domba akan mengikutinya. Gembala yang baik tidak akan rela duduk bermalas-malas seperti pegawai kantor yang hanya menunggu gaji bulanan saja. Ia harus menetapkan visi dan misi dari pelayanan Gereja dimana ia menggembalakan demi kemajuannya. Ia tak bisa menunggu-nunggu umat yang harus mengingatkannya terlebih dahulu, sebab jika demikian umat yang akan memimpin Gereja, dan Gembala itu akan tersingkir.
Visi dan misi yang di-inisiatifkan Gembala itu memang harus diinformasikan kepada umat, dan bersama dengan umat Gembala akan menjalankan visi dan misinya itu. Dengan demikian Gembala akan betul-betul berjalan di depan, dan domba-domba mengikutinya. Semoga kita dapat menjadi gembala yang kreatif, berinisiatif, dan dapat diteladani.
e. Mereka Mengenal Suaranya
Seorang Gembala yang baik adalah Gembala yang dikenal suaranya oleh domba-dombanya. Ini bermakna bahwa suara kehidupannya itu diketahui oleh umat. Ia tidak memiliki agenda tersembunyi yang tidak dimengerti umatnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul Paulus ”…kami menolak segala perbuiatan tersembunyi yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah. Sebaliknya kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang dihadapan Allah” (II Kor. 4:2). Hidup Gembala harus menolak menyembunyikan sesuatu yang buruk, yang tidak dikenal umat. Umat harus tahu betul gaung kehidupan atau suara pemikiran dan gaya hidup Gembala, sehingga mereka tidak terjebak atau tertipu oleh “perbuatan tersembunyi yang memalukan” dari Gembala itu. Artinya Gembala harus rela untuk “menyatakan kebenaran” demi untuk kebenaran itu. Tidak ada motif-motif lain yang bersifat licik terdapat di dalam hatinya. Ini hanya mungkin kalau Gembala itu bersikap jujur apa adanya sehingga hidupnya begitu transparan memancarkan spiritualitas yang dalam, dan kesalehan yang khusyuk, serta standar moral yang tinggi.
Dengan demikian orang betul-betul mengenal Gembala itu sebagai apa adanya. Dengan begitu bersama Rasul Paulus ia dapat mengatakan “kami menyerahkan diri kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang” Gembala yang demikian inilah yang dapat dikatakan “suaranya” dikenal oleh domba-dombanya. Dengan demikian domba-domba akan tenang dalam jaminan bahwa mereka tidak akan jadi korban agenda tersembunyi serta kebohongamn Gembala yang memalsukan firman Allah, di dalam niatan-niatan licik dari hati yang tidak tulus. Kiranya kita layak menjadi Gembala yang transparan, tulus, dan terbuka, sehingga domba-domba dapat mengenal suara dan gaung kehidupan kita dalam diri mereka.
f. Memberikan Nyawanya Bagi Domba-Domba (Yohanes 10:11)
Ciri selanjutnya dari seorang Gembala yang baik adalah memberikan nyawanya bagi domba-dombanya. Suatu ilustrasi yang baik dari seorang Gembala yang baik yang memberikan nyawanya bagi domba-dombanya adalah kisah Aghios (Orang Kudus) Polykarpus, yang dapat ditemukan dalam khasanah Kumpulan Kisah-Kisah Orang-Orang Kudus dan Sejarah Gereja Orthodox. Aghios Polykarpus adalah seorang Episkop-Presbiter dari Smirna yang hidup pada abad kedua dalam Sejarah Gereja Orthodox. Ia pernah mengenal Rasul Yohanes ketika masih hidup, Namanya disebut Polykarpus artinya “Banyak Buah”, karena mukjizat hujan turun setelah kemarau panjang, yang mengakibatkan tanam-tanaman berbuah lebat akibat doanya. Dengan mukjizat itu ia mempertobatkan banyak penyembah berhala kepada Kristus. Lama ia menjadi Presbiter-Episkop di Smirna ini, sampai akhirnya muncul penganiayaan dari Kekaisaran Romawi terhadap para pemimpin Kristen.
Polykarpus telah mendapat sasmita dari Tuhan dengan mimpi bantalnya terbakar. Ketika hal itu diceritakan kepada asistennya, mereka bertanya akan maknanya. Polykarpus memberitahu mereka bahwa ia akan mati sahid demi umat Kristen dengan jalan dibakar. Umatnya khawatir akan keselamatan Romonya ini, dan memohon dengan sangat agar ia mengungsi jauh dari Paroikia (jemaat) dimana ia melayani, pertama kalinya Aghios Polykarpus menolak, namun akhirnya ia rela juga untuk menyelamatkan diri pindah ke tempat lain diikuti oleh salah seorang Diakon yang membantunya. Memang benar pemerintah setempat telah memerintahkan serombongan prajurit Romawi yang bersenjata lengkap yang dipimpin oleh seorang Jendral bernama Herodes untuk mencari Aghios Polykarpus. Sesampai di rumahnya yang dijumpai hanya asistennya saja, setelah dianiaya si asisten itu lalu mengaku dimana Aghios Polykarpus berada, karena ia memang tak punya semangat menjadi martir. Ketika bertemu Aghios Polykarpus, Jendral Herodes terkejut melihat orang tua yang kudus dan saleh ini. Karena ia menyangkan bahwa ia akan menangkap seorang penjahat yang kejam dan bengis. Ia menyesal bahwa ia telah datang untuk menangkap manusia tua yang suci dan saleh seperti ini. Aghios Polykarpus tak takut sedikitpun akan kedatangan rombongan prajurit bersenjata lengkap ini. Malah ia mempersilahkan mereka masuk ke rumah dan dijamu dengan makanan, sementara ia meminta waktu untuk sembahyang. Selama dua jam ia berdoa bagi domba-dombanya, dan termasuk berdoa bagi Jendral Herodes dan para prajuritnya yang sedang dijamu makan. Ini membuat Jendral Herodes makin merasa bersalah dan menyesal telah datang untuk menangkap orang semacam ini. Polykarpus dibujuk agar menyangkal Kristus saja namun Polykarpus menolak. Terpaksa ia ditangkap dibawa ke kantor Gubernuran untuk diadili.
Sepanjang perjalanan Herodes berusaha meyakinkan Polykarpus untuk menyangkal Kristus namun selalu ditolak. Akhirnya terpaksa Aghios Polykarpus diadili dan dijatuhi hukuman mati dengan dibakar. Namun sesuatu yang ajaib terjadi, api sama sekali tidak mau menyentuh tubuh renta dari Aghios Polykarpus ini. Api hanya membentuk lengkungan yang melingkari tubuh Aghios Polykarpus tetapi sama sekali tak menyentuhnya. Jengkel atas peristiwa ini maka hakim memerintahkan tubuh Aghios Polykarpus ditombak. Barulah darah menyembur, dan suatu penglihatan aneh terjadi, dimana ada serupa burung merpati putih keluar dari dada Polykarpus dan bau wangi menyebar ke seluruh lapangan. Baru tubuh Polykarpus rebah terbakar. Inilah contoh Gembala sejati yang demi domba-dombanya rela memberikan diri sebagai martir. Aghios Polykarpus adalah contoh kongkrit dari Gembala yang rela menyerahkan nyawanya demi domba-dombanya, bagi melawan serigala-serigala ganas yang menyerang kawanan domba itu. Orang-orang semacam ini banyak sekali dijumpai dalam Sejarah Gereja Orthodox. Polykarpus adalah teladan Gembala yang mengikuti ajaran Rasul Petrus secara literal, dimana ia melayani Kristus demi domba-dombaNya bukan ”karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri.”
Pengabdian diri yang tulus dan rela seperti Aghios Polykarpus inilah yang dituntut bagi seorang Gembala yang baik. Ia selalu berjaga-jaga bagi domba-dombanya dan bagi dirinya sendiri, serta tak henti-hentinya menasihati, mengajar, menguatkan, dan berkhotbah kepada umatnya dengan segala derita dan air mata, sebagaimana yang dikatakan Rasul Paulus kepada para Penatua (Presbiter) dari Miletus yang telah kita kutip diatas "Sebab itu berjaga-jagalah dan ingatlah, bahwa tiga tahun lamanya, siang malam, derngan tiada henti-hentinya menasihati kamu masing-masing dengan mencucurkan air mata” Masih adakah diantara kita Gembala-Gembala yang mempunyai jiwa pengabdian diri setinggi itu, yang bukan saja rela membagikan hidup bagi domba-dombanya, namun juga rela secara literal mencurahkan darah guna memberikan nyawanya bagi domba-dombanya. Ini semua terpulang kepada diri kita masing-masing untuk menjawab dan menanggapi tugas panggilan kita secara lebih serius lagi.
g. Saling Mengenal (Yohaes 10:14-15)
Hubungan antara Gembala dan umatnya, adalah hubungan yang bersifat eksistensial. Pengenalan antara gembala dan domba-dombanya, serta domba-domba dan gembalanya, dikatakan Sang Kristus sebagai “sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa” (Yohanes 10:15). Dan saling kenal antara Bapa (Allah Yang Esa) dan Anak (Firman Allah sendiri) itu terjadi secara kekal dalam kasih ”…Engkau (Bapa = Allah Yang Esa) telah mengasihi Aku (Anak=Firman Allah), sebelum dunia dijadikan” (Yohanes 17: 24).Sehingga tidak ada yang mengenal hubungan antara Allah yang Esa (Bapa) dengan FirmanNya sendiri itu, kecuali Allah dan FirmanNya sendiri. Ini dikatakan demikian oleh Sang Kristus ”…tidak ada seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak ada seorangpun mengenal Bapa selain Anak…” (Matius 11:27). Jika hubungan Kristus : Sang Gembala Agung itu dengan Domba-DombaNya (Gereja) itu adalah sama dengan hubunganNya sebagai Firman Allah dengan Bapa Yang maha Esa itu, berarti di dalam Gereja terdapat suatu hubungan ilahi, yang ada dalam Tritunggal Maha Kudus itu sendiri. Berarti Gereja bukanlah organisasai namun misteri hadirat hidup Allah sendiri di dalam dunia ini. Jika demikian hubungan yang ada antara Presbiter dan Domba-Dombanya adalah hubungan dalam hidup dan kasih ilahi ini. Terdapat suatu persekutuan hidup yang tak terpisahkan antara Gembala dengan Domba-Dombanya.
Gembala bukan hanya sekedar buruh upahan dari organisasi Gereja, namun ia adalah “Romo” dan domba-domba adalah “anak-anak rohani” baginya. Karena itu Gereja adalah “keluarga Allah” (I Tim. 3:15). Sehingga sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul Paulus, Gembala harus berfungsi sekaligus sebagai “ibu yang merawat dan mengasuh” serta “bapak yang menasihati dan menguatkan” anak-anaknya. Dengan demikian keperdulian seorang Gembala terhadap umatNya tidak boleh dikalahkan oleh keperduliannya terhadap keluarganya sendiri. Anak dan isteri tidak boleh menyita tugas kegembalaanya. Itulah sebabnya di dalam Gereja Orthodox ketika seseorang ditahbiskan Episkop sebagai Presbiter (Gembala), ia akan diarak oleh Episkop untuk mencium keempat ujung altar atau mezbah Perjamuan Kudus. Hal yang sama dilakukan oleh dua orang mempelai yang sedang menjalani upacara Sakramen Nikah Kudus. Ini menunjukkan bahwa ketika ditahbiskan itu seorang Presbiter telah dinikahkan kepada Gereja. Tanggung jawabnya kepada Gereja adalah sama derajatnya dengan tanggung jawabnya kepada anak isterinya, dan ini adalah tugas yang lebih berat lagi. Perhatian kepada anak-isteri tidak boleh mengalahkan pengabdiannya kepada Domba-Domba Kristus itu. Tanggung jawab terhadap domba-domba dan keterkaitannya secara erat itu terlihat juga dalam Sakramen Tahbisan Kudus Gereja Orthodox, dimana setelah selesai mencium keempat ujung Mezbah Perjamuan, maka orang yang ditahbiskan itu akan diajak menghadap umat dan diberi busana liturgis keimaman, sambil setiap kali mengenakan peranghkat jubah keimaman itu, Episkop berseru kepada umat yang hadir: ” Aksios!!!” (“Dia layak”), dan akan dijawab serentak oleh umat “Aksios!!” Dan seandainya ada diantara umat yang mengatakan “An-Aksios” (“Dia tidak layak!!!”) maka upacara pentahbisan akan dihentikan, dan penyelidikan dilakukan.
Jika memang orang yang ditahbis itu tidak layak karena tuduhan-tuduhan tindakan dosa yang tidak diakuinya, ia tak jadi ditahbis. Namun jika itu hanya karena kedengkian dan fitnah dari si pengucap, maka orang itu akan mendapat siasat dan sangsi Gereja sesuai yang ditetapkan dalam Hukum Kanon Gereja. Jadi kelayakan seseorang menjadi Gembala itu ditentukan juga oleh persetujuan serentak dari umat. Sehingga ia mempunyai perttanggungan jawab kepada umat disamping kepada Episkop yang mentahbiskannya dalam semua pelayanan yang ia hendak persembahkan. Dengan demikian ke-saling-terkait-an antara Gembala itu adalah sesuatu yang lebih dalam daripada sekedar dalam hubungan emosional dan sosial saja. Ini adalah keterkaitan secara Theologis dan secara misteri. Itulah sebabnya Gembala harus menuntun domba-dombanya untuk merealisasikan keterkaitan hidup dalam kasih ini di dalam jemaah yang dipimpinnya. Sehingga jika mampu apa yang dikatakan dalam Kitab Suci mengenai Gereja Purba itu dapat terlaksana: ”Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan bersama…tidak ada seorangpun yang berkekurangan diantara mereka” karena mereka mempersembahkan harta milik mereka kepada Gereja, yaitu kepada “romo-romo”Rasul, dan “dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya” (Kisah 4:32-35). Namun memang semangat semacam ini dalam Gereja Orthodox masih dipertahankan secara literal hanya di dalam biara-biara (monasteri-monasteri) saja. Kiranya keterkaitan hidup dalam kasih ini dapat mencirikan pelayanan kita semua.
h.Memikirkan Domba-Domba Lain Yang Masih Diluar Kandang (Yohanes 10:16)
Sang Kristus bersabda ”Ada lagi pada-Ku domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala” (Yohanes 10:16). Bagi Sang Kristus ini berarti umat non-Yahudi yang bukan dari kandang Israel, itu harus dibawa kepada iman kepada Gembala satu-satunya itu, dan menjadi satu kawanan dengan GerejaNya. Namun bagi Gembala Sidang ini berarti bahwa ia mempunyai kepedulian untuk memenangkan jiwa bagi mereka yang masih berada di luar kandang, dan masih belum menjadi satu kawanan, dan belum percaya kepada satu Gembala itu. Ini berarti bahwa pelayanan pertumbuhan dan pemeliharaan bagi mereka yang sudah ada di dalam Gereja tidak boleh mengesampingkan pelayanan misioner dari Gereja. Gereja ada di dunia adalah untuk memberitakan kasih Allah di dalam Kristus. Tugas sosial Gereja tidak boleh mengaburkan tugas Penginjilannya. Itulah sebabnya Gembala yang baik selalu akan memikirkan bagaimana cara membawa mereka yang diluar untuk percaya kepada Sang gembala Agung ini sehingga ia harus memobilisasi umatnya untuk melakukan tugas ini dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan Kitab Suci. Gembala Sidang yang sudah kehilangan semangat bersaksi, menginjil dan misioner, adalah Gembala Sidang yang telah kehilangan garam dalam pelayanannya. Itulah sebabnya Gembala Sidang harus melihat segala kesempatan untuk dapat memberitakan Injil dengan demikian mempertambah jumlah orang yang diselamatkan ke dalam Gereja Kristus. Demikianlah beberapa point yang dapat saya bagikan kepada saudara-saudara bagaimana seharusnya kita melayani Kristus sebagai gembala-gembala yang layak. Karena apapun yang akan kita lakukan demi Kristus itu tak akan pernah sia-sia. Apalagi Kitab Suci menjanjikan bahwa pelayanan kita ini dijanjikan “akan mendapat bagian dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak” dan jika kita dengan penuh pengabdian, ketulusan, dan kesungguhan kita melaksanakan tugas penggembalaan kita maka”apabila Gembala Agung datang, maka kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tak dapat layu” sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul Petrus dalam suratnya yang telah kita kutip diatas. Meskipun itu bukan tujuan kita dalam pelayanan kita namun itu akan memberikan kita dorongan dan insentif untuk kita lebih bersemangat lagi di dalam kita menggembalakan domba-domba Kristus. Semoga Tuhan menolong kita semua dan memberkati pelayanan kita. Amin.