Alkitab & Karya Pewartaan Injil
[by: Fr.Daniel Byantoro]
Date: 19 November 2011
Dalam Rangka Konnas Regional LAI di Wisma Kinasih,
Rabu-Jum’at tanggal 9-11 November 2011.
Shalom Alaikhem Be Shem Ha Massiakh,
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus,
Pertama-tama saya sebagai Ketua Umum dan Pendiri Gereja Orthodox Indonesia memohon maaf karena tidak dapat menghadiri pertemuan yang amat penting ini dikarenakan saya sedang berada di Amerika Serikat. Namun melalui artikel sederhana ini saya ingin membagikan sedikit pemikiran, untuk menambah pengetahuan lebih jauh atas pemahaman Iman Kristen Orthodox mengenai pentingnya Alkitab dalam kehidupan kita ber-Gereja maupun perkembangan kehidupan rohani kita secara pribadi, terutama dalam kaitannya dengan Karya Pewartaan Injil yang seluruh pengikut Kristus itu dipanggil untuk melaksanakannya.
Semua umat Kristiani dari tradisi yang berbeda-beda mengakui Alkitab sebagai "firman Allah", baik itu dalam tradisi Protestan dari bermacam-macam denominasi yang ada, dalam tradisi Roma Katolik, maupun dalam tradisi Orthodox Timur yang merupakan Gereja Rasuliah yang sejarahnya selama 21 abad itu bisa dilacak langsung tanpa putus berasal dari jaman awal-awal Kekristenan itu sendiri. Meskipun dari ketiga kelompok tradisi besar Kekristenan ini mengakui jumlah dan urutan yang sama dari ke 27 buah tulisan dari Kitab Suci Perjanjian Baru itu, namun dalam hal Kitab Suci Perjanjian Lama ketiga kelompok ini ternyata memiliki jumlah kitab yang berbeda-beda. Komunitas-komunitas Protestan sebagian besar menggunakan kanon Masoret bahasa Ibrani yang baru dikanonkan oleh umat Yahudi di Konsili Yamnia pada sekitar tahun 90-100 Masehi, yang digunakan umat Yahudi sampai kini, sebagai reaksi mereka bagi membendung laju perkembangan Injil dan pengaruh Septuaginta yang secara effektif digunakan untuk menyebarkan Injil oleh Gereja Orthodox di jaman purba itu. Sedangkan Gereja Orthodox sejak jaman Rasul sampai kini tetap menggunakan Kitab Suci Perjanjian Lama terjemahan Yunani Septuaginta. Terjemahan Yunani ini dilakukan oleh umat Yahudi di Alexandria, Mesir kira-kira 300 tahun sebelum kedatangan Sang Kristus ke dunia. Dan terjemahan ini menjadi Kitab Suci dari umat Yahudi di wilayah penyebaran, di luar Palestina, dimana pada saat itu bahasa Yunani merupakan bahasa ibu mereka, bukannya bahasa Ibrani atau bahasa Aramia lagi. Dan inilah yang merupakan Kitab Suci resmi Gereja Orthodox sejak jaman purba sampai kini, meskipun pada saat yang sama Gereja Orthodox juga mengakui eksistensi dan ke-absah-an dari Kitab Suci bahasa Ibrani Palestina itu. Dan dalam menterjemahkan ke bahasa lain, Kitab Suci Ibrani itu juga dijadikan rujukan. Gereja Orthodox di jaman purba telah menterjemahkan Kitab Sucinya ke dalam bahasa-bahasa umat dimana saja Injil disebarkan, sehingga kita memiliki terjemahan-terjemahan Alkitab ke dalam macam-macam bahasa kuno supaya berita dan warta gembira itu dapat di mengerti oleh setiap umat yang dicapainya: bahasa Syriak, bahasa Koptik (Sahidik dan Boihairik), bahasa Armenia, bahasa Ethiopia ( Ge’ez dan Amharik), bahasa Georgia, bahasa Arab, bahasa Slavonik (Rusia Kuno), bahasa Germanik oleh Ulfillas dari Konstantinopel, dan lain-lain.
Karena pada saat penterjemahan ke dalam bahasa Yunani ini proses kanonisasi Kitab Perjanjian Lama belum ditutup, maka ada kitab-kitab rohani umat Yahudi berbahasa Ibrani lainnnya, yang tidak ada dalam Kitab Suci Ibrani di Palestina, yang ikut diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani itu. Dan itu dimasukkan sebagai bagian dari Kitab Suci Perjanjian Lama oleh umat Yahudi di Alexandria tersebut. Kitab-kitab yang ikut diterjemahkan itu adalah : I , II, III, dan IV Makabi, Tobit, Yudit, II Esdras, Tambahan pada Kitab Ester, Tambahan pada Kitab Daniel, Mazmur 151 yang hanya 7 ayat saja isinya, Kebijaksanaan Salomo, Kebijaksanaan Yesus bin Sirakh, Barukh, Surat Nabi Yeremia, Doa Manasye. Kitab-kitab yang ikut diterjemahkan ini, dalam kalangan tradisi Protestan disebut sebagai “Apokrifa” (Kitab Tersembunyi) dengan makna yang negatif, meskipun makna aslinya adalah sekedar berarti “Kitab yang tersembunyi” yaitu tersembunyi dari pengetahuan orang awam saja, tidak ada konotasi negatif di dalamnya. Bahkan ada sebagian menyebutnya ini Kitab Sesat meskipun sering orang-orang demikian ini belum pernah baca isinya, dan sering tak mengerti proses kesejarahan Kitab Suci. Namun Gereja Orthodox menyebutnya sebagai “Anaginoskomena” (“Yang Layak Dibaca”). Gereja Roma Katolik menjadikan Kitab terjemahan Latin Vulgata sebagai Kitab resminya, yang mengandung sebagian dari “Anaginoskomena” ini karena kitab-kitab 3 Makabe, 4 Makabe, II Ezra (Esdras), Kitab Nyanyian-Nyanyian yang mencakup Doa Manasye, Mazmur 151 tidak ikut diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, dan yang disebut sebagai “Deuterokanonika”. Jadi Perjanjian Lama Latin Vulgata lebih pendek dari Septuaginta Yunani, dan lebih panjang dari naskah Masoret Ibrani. Meskipun kitab-kitab “Anaginoskomena” ini dihormati dan sering dikutip dalam Gereja Orthodox tetapi itu tidak diangkat menjadi “Kanon Kedua/Deuterokanonika”, sehingga ada larangan dalam Gereja Orthodox untuk memformulasi suatu dogma apapun berdasarkan kitab-kitab dalam “Anaginoskomena” tadi. Harapan kami suatu saat nanti ada terjemahan sepenuhnya dari Septuginta ke dalam bahasa Indonesia, terutama Kitab-Kitab Anaginoskomena yang tidak ikut diterjemahkan dalam Deuterokanonika Roma Katolik itu, sehingga kesejarahan Kitab Suci menjadi utuh dan lengkap. Meskipun Gereja Orthodox juga menggunakan Kitab Suci yang berasal dari naskah Masoret Ibrani yang umum digunakan dalam kalangan umat Protestan.
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, kebanyakan diantara kita pasti mengetahui, bahwa surat dalam Perjanjian Baru yang pertama kali dituliskan bukanlah Injil Matius, namun surat I Tesalonika, yang ditulis kira-kira sekitar tahun 58 Masehi. Dengan demikian Gereja Orthodox Purba sejak kenaikan Kristus pada tahun 33 Masehi sampai dengan dituliskannya Surat I Tesalonika itu, selama 25 tahun tidak mempunyai dokumen tertulis, tidak punya Alkitabnya sendiri, kecuali Kitab Suci umat Yahudi: Perjanjian Lama, dalam bentuk Septuginta tadi, yang dapat mereka ketemukan. Selama itu mereka mendapatkan ajaran serta berita tentang Injil itu berdasarkan ajaran lisan. Itulah sebabnya Injil atau Evanggelion (Kabar Baik/Berita Sukacita/Warta Rahayu) itu lebih bersifat Warta atau Berita yang perlu disebarkan daripada suatu Kitab tertulis untuk hanya dipelajari secara akademis saja. Ajaran lisan yang diterus-sampaikan dari satu orang ke orang lain, dari generasi satu ke generasi lainnya itulah yang dalam bahasa Latin disebut “traditio” atau dalam bahasa Yunani Perjanjian Baru disebut sebagai “Paradoseis”.
Sebagian dari ajaran lisan yang membentuk “Paradoseis” atau “Tradisi Suci” ini kemudian ada yang mulai dituliskan , seperti yang dikatakan oleh Lukas (Lukas 1:1-4). Serta tulisan-tulisan yang demikian ini, terutama tulisan-tulisan Rasul Paulus mulai dikumpulkan (II Petrus 3:15-16), dan dianggap sebagai buah karunia “hikmat” dari Roh Kudus yang diberikan kepada Paulus ( II Petrus 3:15), yang disejajarkan dengan “tulisan-tulisan yang lain” ( II Petrus 3:16) yaitu KItab Suci Perjanjian Lama. Jadi sejak jaman Rasuliah tulisan-tulisan Rasuliah yang akhirnya membentuk Kitab Suci Perjanjian Baru itu, sudah diakui oleh Gereja Orthodox Purba itu sebagai tulisan-tulisan yang memiliki kewibawaan dan otoritas ilahi, meskipun belum dikumpulkan menjadi satu jilid buku: Kitab Suci Perjanjian Baru, yang kita miliki sekarang. Dengan dituliskannya sebagian dari “Paradoseis Kudus” itu diatas kertas, tak berarti Paradoseis Lisan itu lalu tak berguna lagi, atau hilang tak berbekas, namun justru Kitab Suci mengatakan : ”Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran (bhs asli “paradoseis = tradisi-tradisi) yang kamu terima dari kami (dari para Rasul), baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (II Tesalonika 2:15). Baik “Paradoseis Lisan” maupun “Paradoseis Tertulis” yang akhirnya berkembang dalam bentuk Kitab Suci Perjanjian Baru itulah yang oleh Kitab Suci diperintahkan untuk kita jadikan pijakan untuk “berdiri teguh” dan sebagai yang harus kita “pegang”. Dalam prakteknya di dalam Gereja Orthodox “Paradoseis Lisan” yang akhirnya dengan berkembangnya waktu mengambil bentuk dalam wujud:
1) rumusan-rumusan dogmatis dalam tujuh buah Konsili Ekumenis Gereja Orthodox Purba dari tahun 325 Masehi di Nikea, tahun 381 Masehi di Konstantinopel, tahun 431 Masehi di Efesus, tahun 451 Masehi di Khalsedon, tahun 553 Masehi di Konstantinopel, tahun 680-681 Masehi di Konstantinopel, dan tahun 787 Masehi di Nikea itu,
2) rumusan Pengakuan Imannya yang berasal dari jaman awal Kekristenan dan terutama yang dirumuskan dalam Pengakuan Iman Nikea-Konstantinopel,
3) teks-teks Liturgis Gereja yang berasal dari jaman purba,
4) kidung-kidung purba Gereja yang tetap dilantunkan Gereja Orthodox sampai kini,
5) praktek-praktek Sakramen dan Ibadah dari jaman purba yang tetap dipeliharanya sampai sekarang,
6) teladan hidup dalam kisah-kisah dari para martir & orang-orang kudus yang setiap harinya tetap diperingati sampai kini,
7) ajaran-ajaran para Bapa Gereja yang mempunyai mata-rantai dari sejak jaman para Rasul dan berlanjut sepanjang jaman sampai saat ini,
8) seni arsitektur dan seni rohani Gereja yang diwarisinya dari jaman purba itu, menjadi lingkup dan konteks hidup bagi umat Orthodox di dalam memahami Kitab Suci.
Kitab Suci yang tumbuh dan berbentuk menjadi kanon dalam konteks kehidupan Gereja Orthodox purba; yang kehidupannya tadi tetap dipelihara selama 21 abad ini, menjadi ruang lingkup dimana Kitab Suci difahami tanpa mengalami penyimpangan dan pembelokan ajaran. Kitab Suci yang diilhami Roh Kudus itu adalah milik Gereja, ditulis oleh para pemimpin dalam Gereja, yaitu para Rasul dan orang-orang yang dekat dengan mereka, ditujukan kepada Gereja yaitu jemaat-jemaat yang kepada mereka tulisan-tulisan itu ditujukan, sehingga Kitab Suci itu tumbuhnya dari dalam Gereja dan untuk Gereja. Gereja Roma sudah ada dulu sebelum Surat Roma ditulis, Gereja Korintus sudah ada dulu sebelum Surat I dan II Korintus ditulis, dan seterusnya. Kitab Suci memang harus difahami dari dalam Gereja dalam konteks lingkup hidup “paradoseis” rasuliah tadi. Karena lingkup yang sama inilah yang menyebabkan meskipun Gereja Orthodox itu memiliki macam-macam yurisdiksi –wilayah administrasi Gerejawi - (Yunani, Rusia, Antiokhia,Serbia, Bulgaria dan lain-lain; dan dalam arti tertentu juga Syria, Koptik Armenia, Ethiopia, dan India) namun ajarannya sama dan satu, akidahnya sama dan satu, sehingga dalam pemberitaannya menyuarakan ajaran dan berita yang sama. Meskipun karena anggota-anggotanya juga manusia berdosa sehingga muncul pertengkaran dan ketidak-setujuan, namun itu bukan menyangkut ajaran dan dogmanya, dan kalau sampai menyangkut diogma biasanya dilakukan oleh kaum bidat yang langsung dipotong dari tubuh Gereja melalui eks-komunikasi. Dogma dan Ajarannya semua sama dan satu karena bersumber dari Kitab Suci yang satu yang diberi pagar dalam lingkup kehidupan Paradoseis yang satu.
Gereja terbentuk dalam konteks karya pewartaan para Rasul, dan tulisan-tulisan dari Kitab Suci Perjanjian Baru itu terbentuk bukan karena para Rasul itu sengaja duduk menulis untuk mengarang buku-buku yang secara sengaja nantinya akan dikumpulkan jadi Kitab Suci. Bukan demikian, namun surat-surat itu ditulis untuk kebutuhan pembangunan umat yang telah menerima Warta Injil dari para Rasul, dan bagi karya pewartaan itu sendiri, karena itu semua ditulis ditengah-tengah sibuknya karya pewartaan Injil itu. Injil itu adalah Berita Keselamatan di dalam Yesus Kristus, bukannya Kitab yang turun dari langit, karena memang tidak ada Kitab yang demikian itu. Itulah sebabnya adalah penting sekali bahwa semua umat Kristiani memahami Kitab Suci itu dengan benar, bagi makin membuat hidup mereka mengakar di dalam Kristus Yesus, sebagaimana yang dikatakan: ”Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu” (Kolose 2:7). Karena tujuan kita membaca Kitab Suci adalah agar kita menemukan Kristus, dan makin percaya kepadaNya dan memperhadapkan Kristus kepada diri kita sendiri (Yohanes 20:31). Itulah sebabnya barangsiapa buta akan Kitab Suci maka ia itu buta juga akan Kristus. Jadi memang betapa pentingnya Kitab Suci itu bagi kehidupan orang perecaya masing-masing maupun kehidupan Gereja, karena Kitab Suci sebagai yang “dihembusi nafas Allah” (“theopneutos”) itu “bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (II Timotius 3:16). Dengan mengatakan demikian, kita juga tetap harus ingat bahwa Kitab Suci itu ditulis ditengah-tengah hiruk-pikuknya pewartaan Injil yang dilakukan oleh para Rasul. Itulah sebabnya kita tidak bisa menjinakkan Kitab Suci dalam kurungan tembok Gereja. Kitab Suci harus dikembalikan kepada asal gerak kiprahnya, yaitu dalam dunia pewartaan. Gereja yang tidak melakukan pewartaan dan tidak memberitakan Injil adalah Gereja yang tidak memahami tujuan diciptakannya Kitab Suci oleh Roh Kudus di dalam Gereja. Kitab Suci diberikan untuk menjadi sarana membawa manusia sebanyak-banyaknya kepada Kristus. Sehingga mereka dapat dibawa kepada kehidupan panunggalan di dalam Kristus di dalam Gereja, yang adalah Tubuh Kristus itu. Oleh karena itu penyebaran Injil itu merupakan tugas yang tak akan pernah berhenti sampai akhir jaman, maka tugas penterjemahan Kitab Suci juga tak akan pernah berhenti. Karena bahasa selalu berubah, maka Kitab Suci yang tak pernah berubah isinya itu harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti pengguna bahasa yang mengikuti perubahan dan perkembangan bahasa itu. Adanya revisi dan terjemahan-terjemahan baru bukan menunjukkan bahwa Injil itu berubah-ubah dan diganti-ganti. Kitab Suci dalam bahasa aslinya Ibrani, Aramia, dan Yunani akan tetap sama, tetapi bahasa yang hidup itu selalu berkembang dan berubah. Maka Kitab Suci yang tak berubah itu harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang berubah-ubah itu. Itulah sebabnya mengapa ada macam-macam terjemahan, versi dan revisi. Karena tujuan dari semua karya terjemahan ini adalah untuk menjangkau orang sebanyak mungkin bagi memahami berita keselamatan di dalam Yesus Kristus itu sesuai dengan kapasitas dan kemampuan intelektual dan pendidikan mereka masing-masing.
Itulah sebabnya kita patut bersyukur akan adanya Lembaga Alkitab Indonesia ini, dan keberadaannya harus didukung secara bersama-sama oleh segenap umat Kristiani. Karena memang sejak jaman kuno Gereja Orthodox selalu menterjemahkan Kitab Sucinya kemanapun ia pergi membawa berita Injil itu. Maka dengan adanya lembaga penterjemahan yang mandiri ini kita dibebaskan dari tanggung jawab untuk melakukan tugas yang tidak mudah dan tidak kecil ini. Mari kita berdoa agar Kitab Suci ini memiliki tempat yang sentral dalam setiap Gereja kita, dan ajarannya yang benar dan lurus memiliki tempat yang sentral dalam kehidupan masing-masing umat kita. Dan dengan demikian Berita Kitab Suci dapat bebas mengembara kemana-mana untuk menyentuh serta mencapai sasaran siapapun yang dapat dicapainya dimanapun mereka berada bahkan ditempat-tempat yang paling sulit sekalipun. Kita doakan LAI makin mantap, dan dapat melayani bukan saja satu golongan tertentu dalam warna-warni kekristenan yang ada di Indonesia, namun demi untuk kepentingan semua golongan, termasuk kepentingan umat Orthodox yang premis-premisnya memang berbeda dari premis-premis Gereja Barat: Roma Katolik maupun Protestan. Kiranya Tuhan membarkati LAI, dan kiranya Sang Tritunggal Maha Kudus: Bapa. Putra . Roh Kudus Allah yang Esa itu sendiri memberikan bimbinganNya dalam Konsultasi ini. Amin.
Dalam Rangka Konnas Regional LAI di Wisma Kinasih,
Rabu-Jum’at tanggal 9-11 November 2011.
Shalom Alaikhem Be Shem Ha Massiakh,
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus,
Pertama-tama saya sebagai Ketua Umum dan Pendiri Gereja Orthodox Indonesia memohon maaf karena tidak dapat menghadiri pertemuan yang amat penting ini dikarenakan saya sedang berada di Amerika Serikat. Namun melalui artikel sederhana ini saya ingin membagikan sedikit pemikiran, untuk menambah pengetahuan lebih jauh atas pemahaman Iman Kristen Orthodox mengenai pentingnya Alkitab dalam kehidupan kita ber-Gereja maupun perkembangan kehidupan rohani kita secara pribadi, terutama dalam kaitannya dengan Karya Pewartaan Injil yang seluruh pengikut Kristus itu dipanggil untuk melaksanakannya.
Semua umat Kristiani dari tradisi yang berbeda-beda mengakui Alkitab sebagai "firman Allah", baik itu dalam tradisi Protestan dari bermacam-macam denominasi yang ada, dalam tradisi Roma Katolik, maupun dalam tradisi Orthodox Timur yang merupakan Gereja Rasuliah yang sejarahnya selama 21 abad itu bisa dilacak langsung tanpa putus berasal dari jaman awal-awal Kekristenan itu sendiri. Meskipun dari ketiga kelompok tradisi besar Kekristenan ini mengakui jumlah dan urutan yang sama dari ke 27 buah tulisan dari Kitab Suci Perjanjian Baru itu, namun dalam hal Kitab Suci Perjanjian Lama ketiga kelompok ini ternyata memiliki jumlah kitab yang berbeda-beda. Komunitas-komunitas Protestan sebagian besar menggunakan kanon Masoret bahasa Ibrani yang baru dikanonkan oleh umat Yahudi di Konsili Yamnia pada sekitar tahun 90-100 Masehi, yang digunakan umat Yahudi sampai kini, sebagai reaksi mereka bagi membendung laju perkembangan Injil dan pengaruh Septuaginta yang secara effektif digunakan untuk menyebarkan Injil oleh Gereja Orthodox di jaman purba itu. Sedangkan Gereja Orthodox sejak jaman Rasul sampai kini tetap menggunakan Kitab Suci Perjanjian Lama terjemahan Yunani Septuaginta. Terjemahan Yunani ini dilakukan oleh umat Yahudi di Alexandria, Mesir kira-kira 300 tahun sebelum kedatangan Sang Kristus ke dunia. Dan terjemahan ini menjadi Kitab Suci dari umat Yahudi di wilayah penyebaran, di luar Palestina, dimana pada saat itu bahasa Yunani merupakan bahasa ibu mereka, bukannya bahasa Ibrani atau bahasa Aramia lagi. Dan inilah yang merupakan Kitab Suci resmi Gereja Orthodox sejak jaman purba sampai kini, meskipun pada saat yang sama Gereja Orthodox juga mengakui eksistensi dan ke-absah-an dari Kitab Suci bahasa Ibrani Palestina itu. Dan dalam menterjemahkan ke bahasa lain, Kitab Suci Ibrani itu juga dijadikan rujukan. Gereja Orthodox di jaman purba telah menterjemahkan Kitab Sucinya ke dalam bahasa-bahasa umat dimana saja Injil disebarkan, sehingga kita memiliki terjemahan-terjemahan Alkitab ke dalam macam-macam bahasa kuno supaya berita dan warta gembira itu dapat di mengerti oleh setiap umat yang dicapainya: bahasa Syriak, bahasa Koptik (Sahidik dan Boihairik), bahasa Armenia, bahasa Ethiopia ( Ge’ez dan Amharik), bahasa Georgia, bahasa Arab, bahasa Slavonik (Rusia Kuno), bahasa Germanik oleh Ulfillas dari Konstantinopel, dan lain-lain.
Karena pada saat penterjemahan ke dalam bahasa Yunani ini proses kanonisasi Kitab Perjanjian Lama belum ditutup, maka ada kitab-kitab rohani umat Yahudi berbahasa Ibrani lainnnya, yang tidak ada dalam Kitab Suci Ibrani di Palestina, yang ikut diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani itu. Dan itu dimasukkan sebagai bagian dari Kitab Suci Perjanjian Lama oleh umat Yahudi di Alexandria tersebut. Kitab-kitab yang ikut diterjemahkan itu adalah : I , II, III, dan IV Makabi, Tobit, Yudit, II Esdras, Tambahan pada Kitab Ester, Tambahan pada Kitab Daniel, Mazmur 151 yang hanya 7 ayat saja isinya, Kebijaksanaan Salomo, Kebijaksanaan Yesus bin Sirakh, Barukh, Surat Nabi Yeremia, Doa Manasye. Kitab-kitab yang ikut diterjemahkan ini, dalam kalangan tradisi Protestan disebut sebagai “Apokrifa” (Kitab Tersembunyi) dengan makna yang negatif, meskipun makna aslinya adalah sekedar berarti “Kitab yang tersembunyi” yaitu tersembunyi dari pengetahuan orang awam saja, tidak ada konotasi negatif di dalamnya. Bahkan ada sebagian menyebutnya ini Kitab Sesat meskipun sering orang-orang demikian ini belum pernah baca isinya, dan sering tak mengerti proses kesejarahan Kitab Suci. Namun Gereja Orthodox menyebutnya sebagai “Anaginoskomena” (“Yang Layak Dibaca”). Gereja Roma Katolik menjadikan Kitab terjemahan Latin Vulgata sebagai Kitab resminya, yang mengandung sebagian dari “Anaginoskomena” ini karena kitab-kitab 3 Makabe, 4 Makabe, II Ezra (Esdras), Kitab Nyanyian-Nyanyian yang mencakup Doa Manasye, Mazmur 151 tidak ikut diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, dan yang disebut sebagai “Deuterokanonika”. Jadi Perjanjian Lama Latin Vulgata lebih pendek dari Septuaginta Yunani, dan lebih panjang dari naskah Masoret Ibrani. Meskipun kitab-kitab “Anaginoskomena” ini dihormati dan sering dikutip dalam Gereja Orthodox tetapi itu tidak diangkat menjadi “Kanon Kedua/Deuterokanonika”, sehingga ada larangan dalam Gereja Orthodox untuk memformulasi suatu dogma apapun berdasarkan kitab-kitab dalam “Anaginoskomena” tadi. Harapan kami suatu saat nanti ada terjemahan sepenuhnya dari Septuginta ke dalam bahasa Indonesia, terutama Kitab-Kitab Anaginoskomena yang tidak ikut diterjemahkan dalam Deuterokanonika Roma Katolik itu, sehingga kesejarahan Kitab Suci menjadi utuh dan lengkap. Meskipun Gereja Orthodox juga menggunakan Kitab Suci yang berasal dari naskah Masoret Ibrani yang umum digunakan dalam kalangan umat Protestan.
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, kebanyakan diantara kita pasti mengetahui, bahwa surat dalam Perjanjian Baru yang pertama kali dituliskan bukanlah Injil Matius, namun surat I Tesalonika, yang ditulis kira-kira sekitar tahun 58 Masehi. Dengan demikian Gereja Orthodox Purba sejak kenaikan Kristus pada tahun 33 Masehi sampai dengan dituliskannya Surat I Tesalonika itu, selama 25 tahun tidak mempunyai dokumen tertulis, tidak punya Alkitabnya sendiri, kecuali Kitab Suci umat Yahudi: Perjanjian Lama, dalam bentuk Septuginta tadi, yang dapat mereka ketemukan. Selama itu mereka mendapatkan ajaran serta berita tentang Injil itu berdasarkan ajaran lisan. Itulah sebabnya Injil atau Evanggelion (Kabar Baik/Berita Sukacita/Warta Rahayu) itu lebih bersifat Warta atau Berita yang perlu disebarkan daripada suatu Kitab tertulis untuk hanya dipelajari secara akademis saja. Ajaran lisan yang diterus-sampaikan dari satu orang ke orang lain, dari generasi satu ke generasi lainnya itulah yang dalam bahasa Latin disebut “traditio” atau dalam bahasa Yunani Perjanjian Baru disebut sebagai “Paradoseis”.
Sebagian dari ajaran lisan yang membentuk “Paradoseis” atau “Tradisi Suci” ini kemudian ada yang mulai dituliskan , seperti yang dikatakan oleh Lukas (Lukas 1:1-4). Serta tulisan-tulisan yang demikian ini, terutama tulisan-tulisan Rasul Paulus mulai dikumpulkan (II Petrus 3:15-16), dan dianggap sebagai buah karunia “hikmat” dari Roh Kudus yang diberikan kepada Paulus ( II Petrus 3:15), yang disejajarkan dengan “tulisan-tulisan yang lain” ( II Petrus 3:16) yaitu KItab Suci Perjanjian Lama. Jadi sejak jaman Rasuliah tulisan-tulisan Rasuliah yang akhirnya membentuk Kitab Suci Perjanjian Baru itu, sudah diakui oleh Gereja Orthodox Purba itu sebagai tulisan-tulisan yang memiliki kewibawaan dan otoritas ilahi, meskipun belum dikumpulkan menjadi satu jilid buku: Kitab Suci Perjanjian Baru, yang kita miliki sekarang. Dengan dituliskannya sebagian dari “Paradoseis Kudus” itu diatas kertas, tak berarti Paradoseis Lisan itu lalu tak berguna lagi, atau hilang tak berbekas, namun justru Kitab Suci mengatakan : ”Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran (bhs asli “paradoseis = tradisi-tradisi) yang kamu terima dari kami (dari para Rasul), baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (II Tesalonika 2:15). Baik “Paradoseis Lisan” maupun “Paradoseis Tertulis” yang akhirnya berkembang dalam bentuk Kitab Suci Perjanjian Baru itulah yang oleh Kitab Suci diperintahkan untuk kita jadikan pijakan untuk “berdiri teguh” dan sebagai yang harus kita “pegang”. Dalam prakteknya di dalam Gereja Orthodox “Paradoseis Lisan” yang akhirnya dengan berkembangnya waktu mengambil bentuk dalam wujud:
1) rumusan-rumusan dogmatis dalam tujuh buah Konsili Ekumenis Gereja Orthodox Purba dari tahun 325 Masehi di Nikea, tahun 381 Masehi di Konstantinopel, tahun 431 Masehi di Efesus, tahun 451 Masehi di Khalsedon, tahun 553 Masehi di Konstantinopel, tahun 680-681 Masehi di Konstantinopel, dan tahun 787 Masehi di Nikea itu,
2) rumusan Pengakuan Imannya yang berasal dari jaman awal Kekristenan dan terutama yang dirumuskan dalam Pengakuan Iman Nikea-Konstantinopel,
3) teks-teks Liturgis Gereja yang berasal dari jaman purba,
4) kidung-kidung purba Gereja yang tetap dilantunkan Gereja Orthodox sampai kini,
5) praktek-praktek Sakramen dan Ibadah dari jaman purba yang tetap dipeliharanya sampai sekarang,
6) teladan hidup dalam kisah-kisah dari para martir & orang-orang kudus yang setiap harinya tetap diperingati sampai kini,
7) ajaran-ajaran para Bapa Gereja yang mempunyai mata-rantai dari sejak jaman para Rasul dan berlanjut sepanjang jaman sampai saat ini,
8) seni arsitektur dan seni rohani Gereja yang diwarisinya dari jaman purba itu, menjadi lingkup dan konteks hidup bagi umat Orthodox di dalam memahami Kitab Suci.
Kitab Suci yang tumbuh dan berbentuk menjadi kanon dalam konteks kehidupan Gereja Orthodox purba; yang kehidupannya tadi tetap dipelihara selama 21 abad ini, menjadi ruang lingkup dimana Kitab Suci difahami tanpa mengalami penyimpangan dan pembelokan ajaran. Kitab Suci yang diilhami Roh Kudus itu adalah milik Gereja, ditulis oleh para pemimpin dalam Gereja, yaitu para Rasul dan orang-orang yang dekat dengan mereka, ditujukan kepada Gereja yaitu jemaat-jemaat yang kepada mereka tulisan-tulisan itu ditujukan, sehingga Kitab Suci itu tumbuhnya dari dalam Gereja dan untuk Gereja. Gereja Roma sudah ada dulu sebelum Surat Roma ditulis, Gereja Korintus sudah ada dulu sebelum Surat I dan II Korintus ditulis, dan seterusnya. Kitab Suci memang harus difahami dari dalam Gereja dalam konteks lingkup hidup “paradoseis” rasuliah tadi. Karena lingkup yang sama inilah yang menyebabkan meskipun Gereja Orthodox itu memiliki macam-macam yurisdiksi –wilayah administrasi Gerejawi - (Yunani, Rusia, Antiokhia,Serbia, Bulgaria dan lain-lain; dan dalam arti tertentu juga Syria, Koptik Armenia, Ethiopia, dan India) namun ajarannya sama dan satu, akidahnya sama dan satu, sehingga dalam pemberitaannya menyuarakan ajaran dan berita yang sama. Meskipun karena anggota-anggotanya juga manusia berdosa sehingga muncul pertengkaran dan ketidak-setujuan, namun itu bukan menyangkut ajaran dan dogmanya, dan kalau sampai menyangkut diogma biasanya dilakukan oleh kaum bidat yang langsung dipotong dari tubuh Gereja melalui eks-komunikasi. Dogma dan Ajarannya semua sama dan satu karena bersumber dari Kitab Suci yang satu yang diberi pagar dalam lingkup kehidupan Paradoseis yang satu.
Gereja terbentuk dalam konteks karya pewartaan para Rasul, dan tulisan-tulisan dari Kitab Suci Perjanjian Baru itu terbentuk bukan karena para Rasul itu sengaja duduk menulis untuk mengarang buku-buku yang secara sengaja nantinya akan dikumpulkan jadi Kitab Suci. Bukan demikian, namun surat-surat itu ditulis untuk kebutuhan pembangunan umat yang telah menerima Warta Injil dari para Rasul, dan bagi karya pewartaan itu sendiri, karena itu semua ditulis ditengah-tengah sibuknya karya pewartaan Injil itu. Injil itu adalah Berita Keselamatan di dalam Yesus Kristus, bukannya Kitab yang turun dari langit, karena memang tidak ada Kitab yang demikian itu. Itulah sebabnya adalah penting sekali bahwa semua umat Kristiani memahami Kitab Suci itu dengan benar, bagi makin membuat hidup mereka mengakar di dalam Kristus Yesus, sebagaimana yang dikatakan: ”Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu” (Kolose 2:7). Karena tujuan kita membaca Kitab Suci adalah agar kita menemukan Kristus, dan makin percaya kepadaNya dan memperhadapkan Kristus kepada diri kita sendiri (Yohanes 20:31). Itulah sebabnya barangsiapa buta akan Kitab Suci maka ia itu buta juga akan Kristus. Jadi memang betapa pentingnya Kitab Suci itu bagi kehidupan orang perecaya masing-masing maupun kehidupan Gereja, karena Kitab Suci sebagai yang “dihembusi nafas Allah” (“theopneutos”) itu “bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (II Timotius 3:16). Dengan mengatakan demikian, kita juga tetap harus ingat bahwa Kitab Suci itu ditulis ditengah-tengah hiruk-pikuknya pewartaan Injil yang dilakukan oleh para Rasul. Itulah sebabnya kita tidak bisa menjinakkan Kitab Suci dalam kurungan tembok Gereja. Kitab Suci harus dikembalikan kepada asal gerak kiprahnya, yaitu dalam dunia pewartaan. Gereja yang tidak melakukan pewartaan dan tidak memberitakan Injil adalah Gereja yang tidak memahami tujuan diciptakannya Kitab Suci oleh Roh Kudus di dalam Gereja. Kitab Suci diberikan untuk menjadi sarana membawa manusia sebanyak-banyaknya kepada Kristus. Sehingga mereka dapat dibawa kepada kehidupan panunggalan di dalam Kristus di dalam Gereja, yang adalah Tubuh Kristus itu. Oleh karena itu penyebaran Injil itu merupakan tugas yang tak akan pernah berhenti sampai akhir jaman, maka tugas penterjemahan Kitab Suci juga tak akan pernah berhenti. Karena bahasa selalu berubah, maka Kitab Suci yang tak pernah berubah isinya itu harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti pengguna bahasa yang mengikuti perubahan dan perkembangan bahasa itu. Adanya revisi dan terjemahan-terjemahan baru bukan menunjukkan bahwa Injil itu berubah-ubah dan diganti-ganti. Kitab Suci dalam bahasa aslinya Ibrani, Aramia, dan Yunani akan tetap sama, tetapi bahasa yang hidup itu selalu berkembang dan berubah. Maka Kitab Suci yang tak berubah itu harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang berubah-ubah itu. Itulah sebabnya mengapa ada macam-macam terjemahan, versi dan revisi. Karena tujuan dari semua karya terjemahan ini adalah untuk menjangkau orang sebanyak mungkin bagi memahami berita keselamatan di dalam Yesus Kristus itu sesuai dengan kapasitas dan kemampuan intelektual dan pendidikan mereka masing-masing.
Itulah sebabnya kita patut bersyukur akan adanya Lembaga Alkitab Indonesia ini, dan keberadaannya harus didukung secara bersama-sama oleh segenap umat Kristiani. Karena memang sejak jaman kuno Gereja Orthodox selalu menterjemahkan Kitab Sucinya kemanapun ia pergi membawa berita Injil itu. Maka dengan adanya lembaga penterjemahan yang mandiri ini kita dibebaskan dari tanggung jawab untuk melakukan tugas yang tidak mudah dan tidak kecil ini. Mari kita berdoa agar Kitab Suci ini memiliki tempat yang sentral dalam setiap Gereja kita, dan ajarannya yang benar dan lurus memiliki tempat yang sentral dalam kehidupan masing-masing umat kita. Dan dengan demikian Berita Kitab Suci dapat bebas mengembara kemana-mana untuk menyentuh serta mencapai sasaran siapapun yang dapat dicapainya dimanapun mereka berada bahkan ditempat-tempat yang paling sulit sekalipun. Kita doakan LAI makin mantap, dan dapat melayani bukan saja satu golongan tertentu dalam warna-warni kekristenan yang ada di Indonesia, namun demi untuk kepentingan semua golongan, termasuk kepentingan umat Orthodox yang premis-premisnya memang berbeda dari premis-premis Gereja Barat: Roma Katolik maupun Protestan. Kiranya Tuhan membarkati LAI, dan kiranya Sang Tritunggal Maha Kudus: Bapa. Putra . Roh Kudus Allah yang Esa itu sendiri memberikan bimbinganNya dalam Konsultasi ini. Amin.